Perjalanan
"Sebenarnya lo sama Aurora punya hubungan apa sih, Ga?" tanya Aditya saat mereka sedang santai di balkon rumah Dirga.
"Enggak ada apa-apa," jawab Dirga datar.
"Gue pernah lihat lo sama Aurora ketemuan di kafe."
"Kafe mana?"
"Bandara Soekarno Hatta."
"Minggu lalu?"
"Iya."
"Oh, dia ngembaliin kartu ATM gue."
"Kenapa kartu ATM lo bisa dia bawa?"
"Dompetnya hilang, kebetulan kami ketemu di Surabaya."
"Terus?" Aditya semakin penasaran.
"Gue bawain kartu ATM buat kebutuhan dia. Soalnya enggak mungkin dia balik dulu ngurus semuanya, kan? Waktu itu dia masih lanjut dinas."
"Nah, ini nih yang bikin gue curiga sama lo. Gue kenal lo, enggak mungkin lo begini sama cewek kalau enggak punya hubungan spesial."
"Ck, dasar, pikiran lo yang negatif. Aurora itu keponakan nyokap gue."
"Hah! Serius lo?" Aditya terkejut bukan kepalang. Matanya sampai melotot menatap Dirga dan kedua kaki naik ke kursi.
"Ngapain gue bohong, enggak ada untungnya."
"Berarti dia sepupu lo dong?"
"Iya."
"Tapi, lo kayak cuek banget sama dia."
"Emang kenapa? Harus deket, gitu?"
"Iyalah! Namanya juga saudara."
"Mungkin karena dia dah lama di Dubai. Jadi ... gitu deh!"
"Gitu?" Aditya manggut-manggut. "Tapi, dia cantik loh. Pinter, ramah, kayaknya idaman lo deh, hahahaha." Sengaja Aditya menggoda Dirga.
"Biasa aja," ujar Dirga tak acuh.
Ponselnya berdering, lantas Dirga melihat peneleponnya. Tertera nama 'Mama' di layar datarnya, segera dia angkat.
"Halo, ada apa, Ma?" sahut Dirga sedikit malas. Dia menduga, Rosita telepon pembahasannya tak jauh dari Aurora.
"Besok kamu ke rumah jam berapa?"
"Subuh, Ma."
"Kenapa sih enggak malam ini aja pulang. Biar besok kita langsung bisa berangkat."
"Malam ini ada Aditya nginep di rumah, Ma."
Aditya langsung menoleh Dirga dengan tatapan tajam.
"Ooooh, gitu? Besok ke Bogor bawa mobil Papa saja, ya?"
"Kebesaran, Ma. Cuma bertiga, kan? Pakai mobil Dirga aja."
"Pakai mobil Papa aja, biar Mama bisa rebahan di belakang. Mobil kamu sempit."
"Iya, ya, deh."
"Ya sudah, Mama tunggu. Awas, jangan sampai lupa."
"Iya, Maaaa."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Panggilan berakhir, Dirga meletakkan ponselnya di meja.
"Gila lo, selalu jadiin gue kambing hitam," protes Aditya lalu menenggak minuman kalengnya.
"Gue sebenarnya lagi males pulang."
"Kenapa? Jangan jadi anak durhaka lo."
"Ck, orang tua gue desak terus, nyuruh gue cepet nikah." Dirga mengacak rambutnya asal.
"Bagus dong! Itu tandanya mereka masih memerhatikan lo. Beruntung lo masih punya orang tua lengkap."
"Iya, tapi gue enggak suka kalau disuruh cepet-cepet nikah."
"Emang udah ada calonnya sampai mereka mendesak begitu?"
Dirga terdiam, dia minum jus instan dingin yang dibeli tadi di mini market.
"Ga, jangan sampai menyesal. Lo anak bontot, mumpung orang tua lo masih lengkap. Pasti mereka pengin lihat anaknya melepas masa lajang, berumah tangga, dan kumpul sama cucunya. Jangan sampai lo merasakan apa yang gue rasain, menikah tanpa dihadiri Mama, rasanya tuh kebahagiaan gue kurang lengkap," ujar Aditya menahan sesak di dadanya. Mamanya meninggal beberapa tahun lalu karena diabetes.
Dalam diam, Dirga memikirkan sesuatu. Dia membayangkan jika keadaan Aditya menimpanya. Entah, apakah dia mampu sekuat Aditya. Apalagi selama ini Dirga sangat dekat dengan Rosita.
"Eh, BTW, lo besok mau pergi, Ga?" tanya Aditya memecah keheningan.
"Iya. Mama ngajak nginep di villa. Katanya udah lama kita enggak liburan bareng."
"Nah, gitu dong. Waktu libur itu dimanfaatin sama keluarga, enggak cuma di rumah bengong sendiri."
"Iya, bawel lo!" sungut Dirga.
Walaupun Aditya kadang menyebalkan bagi Dirga, tetapi nasihatnya masuk akal dan benar.
"Gue pulang, ya? Kelamaan di sini, entar dicari bini gue," ucap Aditya berdiri sambil memasukan ponsel di saku celana.
"Makasih, ya, udah mampir," ucap Dirga ikut berdiri mengantar Aditya sampai teras.
Dirga menunggu mobil Aditya sampai tak terlihat, lalu dia masuk ke rumah dan menutup pintu.
***
Pukul 03.00 WIB Dirga ke rumah orang tuanya. Perjalanannya lumayan cepat karena jalanan cukup lengah.
Setelah sampai rumah, Dirga istirahat sebentar di ruang tengah sabil menunggu Rosita dan Samsul siap-siap. Dirga tak curiga sama sekali bahwa ini rencana orang tuanya untuk mendekatkan dia dengan Aurora. Selesai salat Subuh, mereka siap berangkat ke Bogor.
"Ga, ayo!" pekik Rosita dari ruang tamu.
"Iya, Ma."
Samsul sudah menunggu di luar, tadi dia manasi mesin mobil dulu. Dirga dan Rosita menghampiri mobil yang sudah siap di pelataran. Samsul masuk dan duduk di jok paling belakang. Sedangkan Dirga yang menyetir. Rosita duduk di sebelah Dirga. Setelah semua siap, Dirga menjalankan mobilnya.
Di tengah perjalanan, Rosita berkata, "Ga, jemput seseorang dulu, ya?"
"Siapa, Ma?"
"Ada pokoknya."
"Mau ikut kita?"
"Iya. Kalau rame kan, lebih asyik."
"Ah, Mama. Katanya cuma bertiga."
"Ya gimana lagi? Ngajakin kakakmu, dia lagi hamil tua, nanti kalau ada apa-apa gimana? Yang bisa saudara kita yang ini."
"Enggak apa-apa, Ga. Jarang-jarang kita bisa kumpul begini, sekalian biar kamu dekat dan tahu saudara kita," sahut Samsul yang santai duduk di belakang.
Kalau sudah begini, membantah pun percuma. Dirga pasrah, walaupun dalam hati sebal.
Dirga mengikuti arahan Rosita, sampai di rumah minimalis bercat abu-abu yang depan rumahnya ada taman kecil tertata rapi berbagai jenis tanaman bunga, tampak asri dan sejuk, mereka berhenti.
Dirga dan Samsul menunggu di mobil. Rosita turun, memanggil pemilik rumah itu. Dua wanita cantik berbeda generasi keluar dari rumah. Dirga memerhatikan dari dalam mobil, Rosita dan Vera terlihat asyik mengobrol di teras rumah.
Tin!
Dirga sengaja membunyikan klakson supaya Rosita tak mengulur waktu. Mendapat kode dari putranya, segera Rosita mengajak Vera dan Aurora mendekati mobil.
"Aurora duduk di depan saja, ya?" ujar Rosita membukakan pintu mobil untuk Aurora.
"Tan, saya duduk sama Mama saja di belakang," tolak Aurora karena sungkan melihat Dirga yang menyetir.
"Eeeeh, Tante mau ngobrol banyak sama mama kamu. Udah, ya, kamu di depan saja." Rosita memaksa Aurora masuk.
Setelah dia duduk, Rosita menutup pintunya lalu dia dan Vera masuk duduk di jok tengah. Dirga menjalankan mobilnya. Rosita dan Vera sibuk mengobrol, tertawa, dan sesekali meledek Aurora dan Dirga. Yang terlihat malu Aurora, sedangkan Dirga biasa saja, tampangnya datar dan fokus menyetir.
Antara Dirga dan Aurora tak saling bicara. Sesekali Aurora melirik Dirga yang terlihat maco dan cool saat menyetir mobil. Menyetir mobil saja Aurora sudah kagum, bagaimana jika dia melihat Dirga memanuver pesawat?
Di lihat dari samping, rahangnya kukuh, hidungnya mancung, pipi tirus, tatapan sendu menyimpan banyak cerita, entah cerita apa saja yang dia pendam. Jantung Aurora tak terkontrol, tiba-tiba berdetak sangat cepat.
"Ma, boleh enggak berhenti di mini market?" tanya Aurora menoleh ke belakang.
"Yang nyetir kan, bukan Mama, Ra. Tanya Dirga dong," sahut Vera, Rosita hanya mesem.
Entahlah, Aurora sangat kikuk, dia merasa agak kurang nyaman di situasi seperti itu. Apalagi Dirga hanya diam tak bicara sepatah kata pun. Aurora jadi bingung mau mengajaknya bicara.
Sebenarnya Dirga mendengar permintaan Aurora kepada Vera, sengaja dia diam tak merespons. Aurora menunduk, dia tak meminta Dirga mencarikan mini market.
"Pa, lewat tol aja, ya?" ujar Dirga kepada Samsul.
"Ya," sahut Samsul yang duduk di belakang mulai mengantuk.
Sebelum masuk tol, saat melewati mini market, Dirga menghentikan mobilnya di depan mini market itu.
"Ma, mau nitip sesuatu?" tanya Aurora bersiap turun.
"Enggak, Sayang,"
"Tante Rosita mau sesuatu?"
"Enggak usah, Sayang. Tante udah bawa buah potong buat cemilan."
"Oh, ya sudah. Aku turun dulu."
Selepas Aurora turun, selang beberapa menit Dirga menyusul ke mini market. Vera dan Rosita tampak kegirangan, mereka senyam-senyum penuh arti.
Di dalam mini market, Aurora berdiri di depan rak-rak pembalut dan sabun. Dirga langsung menuju showcase memilih minuman kopi instan. Dia juga mengambil jus instan kesukaannya dan tak lupa air mineral.
Selesai itu Dirga ke kasir. Tak sengaja di depannya ada Aurora juga sedang mengantre. Sampai gilirannya, Aurora meletakkan keranjang di meja kasir. Tiba-tiba Dirga juga meletakkan belanjaannya di meja. Aurora menoleh ke belakang.
"Sekalian, jadikan satu, Mbak," ucap Dirga kepada kasir.
"Baik, Mas," jawab kasir tersenyum ramah.
Sambil menunggu, Aurora berusaha mengontrol debaran jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Totalnya 192 ribu, Kak," ucap kasir itu.
Dirga sudah menyiapkan uang 200 ribuan, lalu dia berikan kepada kasir.
"Makasih, Mbak," ucap Dirga menjinjing plastik berisi belanjaan Aurora dan minumannya. Dia lebih dulu meninggalkan Aurora tanpa bicara dengannya.
Aurora tertegun, entahlah, dia tak mengerti mengapa sikap Dirga bisa tak terduga begitu.
"Kak, ini kembalian dan struknya," ucap kasir menyadarkan cengungan Aurora.
"Oh, ya, Mbak. Terima kasih." Setelah Aurora terima, lantas dia keluar menyusul Dirga yang sudah masuk mobil.
Dia duduk di samping Dirga, bingung mau bersikap, apalagi bicara. Penumpang yang di belakang ternyata sudah tidur semua. Aurora mencari belanjaannya, ternyata diletakkan Dirga di bawah. Aurora membiarkan. Dia mengambil ponselnya di tas, ingin mengecek pesan, sosmed, dan mendengar musik online.
"Ck, iiih, kenapa sih habis di waktu enggak tepat," gerutu Aurora lirih, tetapi Dirga mendengarnya.
Aurora cemberut, dia menunduk, memegangi ponselnya, tetapi tak melakukan apa pun. Dia menoleh ke belakang, Vera tertidur pulas. Dia kembali ke posisi awal, lagi-lagi dia melihat ponselnya dan bingung.
Melihat wanita di sebelahnya gelisah dan seperti membutuhkan sesuatu, Dirga memahami. Wajah Aurora cemberut, dia tampak lemas, menyandarkan tubuhnya di jok dan menatap ke luar jendela, tampak sekali kebosanannya. Dirga mengambil ponselnya yang tergeletak di dashboard lalu menyalakan hotspot seluler.
Ponsel Aurora menjadi ramai, dia terkejut. Sengaja Dirga tidak memasang password supaya langsung nyambung di ponsel Aurora. Karena di rumah Aurora selalu memakai wifi dan sering lupa mematikannya, otomatis tersambungkan jika ada saluran wifi di sekitarnya. Aurora melirik Dirga, dia tahu jika itu hotspot-nya.
Makasih, ucap Aurora dalam hati.
Lantas Aurora memasang headset dan mencari posisi nyaman. Tak terasa dia tidur lelap. Masuk di tol, saat Dirga ingin menambah kecepatan, dia menoleh kesampingnya. Aurora belum memasang self belt yang benar. Aurora hanya menyampirkan saja, tidak dikunci.
Sambil menyetir, Dirga membenarkan self belt Aurora dengan tangan kirinya. Dia juga pelan-pelan membenarkan kepala Aurora yang miring bersandar di kaca jendela. Dirga mengatur jok Aurora ke belakang dan sedikit menurunkan sandarannya.
Ternyata sedari tadi Rosita pura-pura tidur. Dia mengintip saat Dirga memberikan sedikit perhatiannya kepada Aurora. Hatinya berbunga, dia senang. Setelah posisi Aurora aman, Dirga melajukan mobilnya.
######
Ah, kirimkan aku cowok seperti Dirga, ya, Allah. Hahahahaha
Biarpun cuek, aslinya perhatian. ternyata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top