Panik
Kemarin saat sampai villa, mereka beristirahat dan malamnya mengadakan barbecue.
Meski udara dingin, tak menghalangi semangat Samsul untuk melihat keindahan sekitar villa. Pagi ini Samsul ingin mengajak Dirga bersepeda mengelilingi kebun teh. Rosita dan Vera di dapur menyiapkan sarapan.
"Ayo, Ga!" pekik Samsul sudah menunggu di teras villa.
Dirga keluar dari kamar mengenakan kaus lengan panjang, celana training panjang, dan sepatu kets.
"Ga!" panggil Rosita saat melihat Dirga ingin berjalan ke teras.
"Apa, Ma?" Dirga mendekati Rosita ke dapur.
"Ajakin Aurora. Pasti dia bingung mau ngapain."
"Aku mau sepedaan sama Papa, Ma. Medannya susah, bebatuan."
"Makanya kamu jagain." Rosita masih terus berusaha mendekatkan Dirga dan Aurora. "Sana diajak! Ketuk pintu kamarnya," titah Rosita.
"Harus Dirga?" ucap Dirga keberatan sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Iyalah! Mama sama Tante Vera lagi masak." Rosita menoleh Vera yang sedang menggoreng ayam. Mereka saling melempar senyuman penuh arti dan Rosita mengedipkan mata.
"Tante minta tolong, ya, Ga, jagain Aurora," ucap Vera sangat lembut.
Mau tak mau Dirga menuruti mamanya. Dia sungkan jika menolak permintaan Vera. Akhirnya dengan berat hati dia pergi mengetuk pintu kamar Aurora.
Tuk, tuk, tuk.
"Iya. Sebentar!" sahut Aurora dari dalam.
Dirga menunggu di depan pintu, dia gugup karena sudah lama tak mengajak seorang gadis jalan bareng. Terdengar suara kunci diputar, Dirga memasang wajah datar dan sikap dingin.
Saat pintu terbuka, Aurora terkejut. Dia jadi salah tingkah karena hanya mengenakan celana pendek yang mengekspose paha mulusnya dan kaus lengan pendek.
"Maaf," ucap Dirga langsung memunggungi Aurora.
Aurora gugup, dia langsung menyembunyikan setengah badannya di belakang pintu.
"Ada apa, Kap?" tanya Aurora, dalam hati mengerutuki keteledorannya.
"Kita keluar, bersepeda," ucap Dirga tanpa menoleh, dia lalu pergi begitu saja.
Aurora cengung memerhatikan punggung Dirga yang menjauhi kamarnya. Beberapa menit Aurora mencerna ajakan Dirga, dengan tampang lugu dan menggemaskan, akhirnya Aurora paham lalu bersiap-siap. Di pelataran, Samsul sudah menunggu duduk di sepedanya.
"Lama banget, Ga?" tanya Samsul.
"Disuruh Mama ngajakin Aurora," jawab Dirga menuntun sepeda yang sudah disiapkan penjaga villa.
Samsul mengangguk paham, Dirga menaiki sepedanya mendekati Samsul. Aurora keluar mengenakan kaus yang sama, tetapi ditutup switer hitam, celana tiga perempat, dan sepatu kets. Rambut panjangnya diikat seperti ekor kuda.
"Sudah siap, Ra?" tanya Samsul ketika Aurora berjalan mendekatinya dan Dirga.
"Sudah, Om," jawab Aurora tersenyum lebar.
"Pakai sepeda itu," tunjuk Samsul pada tiga sepeda yang berjejer di dekat teras.
"Iya, Om." Aurora pun mengambil salah satu sepeda itu lalu menaikinya.
"Ayo, Ra, kamu duluan," ujar Samsul setelah Aurora siap.
"Baik, Om," sahut Aurora senang. Dia mengayuh sepedanya, disusul Samsul, dan di belakang mereka Dirga.
Mereka mengayuh santai melewati perkebunan teh. Samsul dan Aurora bersebelahan.
"Aurora happy?" tanya Samsul.
"Happy, Om. Makasih, ya, Om, udah ngajakin aku sama Mama ke sini."
"Iya, Sayang. Sama-sama. Besok-besok kalau Om sama Tante ajak piknik lagi mau, kan?"
"Insyaallah, Om."
"Kamu sudah Om anggap seperti anak sendiri. Soalnya sejak dulu papa sama mamamu kalau ada apa-apa pasti ke rumah." Samsul tersenyum lebar, dia sedih jika mengingat Brama.
Harusnya Brama menjadi wali saat Aurora nanti menikah. Namun, Tuhan belum mengizinkan. Padahal harapan seorang ayah adalah bisa menikahkan putrinya apalagi Aurora putri mereka satu-satunya.
"Ga, kita berhenti di saung sana dulu, ya?" Samsul menunjuk seperti rumah kecil yang terbuka di tengah kebun teh.
"Iya, Pa," sahur Dirga.
"Ayo, Ra." Samsul lebih semangat mengayuh sepedanya.
"Siap, Om!" Aurora mengejar Samsul diikuti Dirga.
Sampai di depan saung, Samsul lebih dulu memarkirkan sepedanya. Dia mengambil botol air mineral yang dijepitkan di sepeda. Dia duluan naik ke saung itu.
Aurora dan Dirga memarkirkan sepedanya bersebelahan. Dirga berjalan lebih dulu naik ke saung. Mengerti tanah pijakan ke saung agak licin, Dirga mengulurkan tangannya untuk Aurora.
"Pelan-pelan," ucap Dirga saat sedikit menarik tangan Aurora.
Sampai di saung itu, Aurora duduk di sebelah Samsul yang sedang menenggak minumannya. Dirga berdiri di sebelah Aurora. Dirga tahu jika Aurora tidak membawa minum, dia memberikan botol minumnya untuk Aurora. Dengan wajah bingung, Aurora menerima botol itu.
"Pa, minta," ucap Dirga setelah Samsul selesai minum.
Samsul memberikan air minumnya yang sisa setengah kepada Dirga.
"Aku habisin, ya?" ucap Dirga.
"Iya," ucap Samsul lalu menghirup udara sejuk sedalam-dalamnya.
Aurora masih bengong, dia mencuri pandang saat Dirga menenggak air mineral itu.
Ternyata menarik juga kalau diperhatiin, ucap Aurora dalam hati sambil terus menatap Dirga.
Samsul melirik ke sampingnya, dia mesem. Selesai minum, Dirga mengelap keringatnya yang mengalir di pelipis dengan punggung tangan.
Ya Allah, cakep juga orang ini. Sayang, cuek dan dingin banget, batin Aurora lagi sambil meremas-remas botol minum yang dia pegang.
"Ra, kok enggak diminum?" tanya Samsul.
Aurora langsung menoleh ke sampingnya.
"Ini mau minum, Om."
Langsung Aurora membuka tutup botolnya. Dia menyerong saat minum langsung dari botol. Aurora malu jika dilihat Dirga.
"Enak, ya, suasananya?" ujar Samsul menyapu pandangannya.
Hamparan hijau menyegarkan pandangannya. Bukit-bukit berjejer diselimuti kabut.
"Iya, Om. Kerja terus bikin penat. Kalau melihat begini, pikiran langsung fresh," sahut Aurora juga melihat hamparan daun teh yang pagi itu sedang dipanen beberapa wanita menggendong keranjang dan memakai caping.
Ponsel Aurora berdering tanda panggilan masuk. Lantas dia melihat si penelepon.
"Om, sebentar, ya?" ucap Aurora.
"Silakan," ujar Samsul mengangguk.
Aurora berdiri sedikit menjauhi Samsul dan Dirga. Dia mengangkat telepon itu. Dirga lalu duduk menggantikan Aurora. Dia mengobrol santai dengan papanya.
"Min fadlik la tazeajni baed alan!"
(Tolong jangan ganggu aku lagi!) Aurora terdengar menekan setiap ucapannya.
"Lazilat ahbik, Aurora."
(Aku masih mencintaimu, Aurora.)
"'Iidha kunt la tazal tahabani, famadha yumkinuk 'an tuthbit ly?"
(Kalau kamu masih sayang aku, apa yang bisa kamu buktikan padaku?"
"Sawf ati 'iilaa 'Iindunisia wa'ashrah li'umak."
(Aku akan datang ke Indonesia dan menjelaskan kepada ibumu.)
"'Amiy la turid rawyataka. 'Iinah balfel muhbat lilghayat fiak."
(Ibuku tidak akan mau menemui kamu. Dia sudah sangat kecewa padamu.)
"Hal ma zilt tahbani?"
(Apa kamu masih mencintaiku?")
Bibir Aurora kelu, jika boleh jujur, dia masih mencintai Faruq. Kesalahan Faruq yang dulu sudah dia maafkan. Namun, tak mudah menyembuhkan kekecewaan Vera kepada Faruq.
"Aurora," panggil Faruq dari seberang. "Hal ma zilt tahbani?" Dia mengulang pertanyaannya lagi.
"Nem, ma zilt 'ahbika. lkn asif, la yumkinuni 'an 'akun maeak baed alan."
(Iya, aku memang masih mencintai kamu. Tapi maaf, aku tidak bisa bersama kamu lagi.) Suara Aurora parau, dia menangis.
"Limadha a?" (Kenapa?)" tanya Faruq tetap mendesak Aurora.
"'Ana 'uhibu amy 'akthar," (Aku lebih mencintai ibuku.) ucap Aurora menahan sakit di hatinya.
Rasanya sangat menyesakkan dada. Masih mencintai, tetapi terhalang restu orang tuanya. Namun, Aurora tak ingin mengulang kejadian yang sama, tinggal Vera orang tua satu-satunya yang harus dia jaga.
"Sa'atsil bi'umk," (Aku akan menghubungi ibumu.) ucap Faruq terdengar tak main-main.
"La! Faruq, la!" (Jangan! Faruq, jangan!) ucap Aurora cepat.
Sepertinya Faruq tak mengindahkan larangan Aurora, dia mengakhiri teleponnya. Berulang kali Aurora menelepon, tetapi Faruq sedang berada di panggilan lain. Aurora panik, dia lantas mendekati Samsul dan Dirga sambil menangis.
"Om, kita pulang yuk!" ajak Aurora sambil menangis.
"Loh, loh, loh, kamu kenapa, Ra? Kok tiba-tiba nangis?" Samsul terperanjat, dia mendekati Aurora lalu memeluknya, berharap dengan pelukan seorang ayah bisa membuat hatinya lebih baik.
"Om, aku enggak mau terjadi sesuatu sama Mama," ucap Aurora sesenggukan di dalam pelukan Samsul.
Dirga masih duduk dan bingung. Dia tak tahu harus bagaimana agar Aurora berhenti menangis.
"Sebentar." Samsul menegakkan tubuh Aurora. "Om enggak paham. Maksud kamu apa?"
Sambil sesenggukan, Aurora pun menceritakan semuanya kepada Samsul yang juga didengar Dirga. Cerita dimulai sejak dia berhubungan dengan Faruq sampai Brama serangan jantung dan meninggal karena saking kecewanya dengan Faruq.
"Tadi dia bilang mau telepon Mama, Om," ujar Aurora cemas masih sambil menangis.
"Ya sudah, kalau gitu kita pulang yuk!" Samsul ikut panik. "Ayo, Ga!" ajak Samsul kepada Dirga.
Samsul turun lebih dulu. Dari belakang Dirga menuntun Aurora. Dia memegangi tangan Aurora agar turun lebih dulu baru dirinya. Mereka pun kembali ke villa. Sampai villa, bergegas Aurora masuk mencari Vera.
"Maaaa!" pekik Aurora panik dari ruang tamu seraya menangis.
Ternyata Vera dan Rosita sedang mengobrol santai di ruang tengah sambil menonton acara gosip pagi di televisi. Air mata Aurora semakin banjir, dia merasa bersalah kepada mamanya, entahlah, dia sangat takut kehilangan Vera.
"Ra, kamu kenapa?" tanya Vera malah ikut panik melihat wajah Aurora basah air mata.
Dirga dan Samsul masuk ke ruang tengah. Rosita melihat mereka, seakan dari tatapannya menuntut penjelasan kepada Samsul dan Dirga.
Aurora langsung berlari memeluk Vera dan tangisannya semakin pecah sampai terisak. Vera menatap bingung Samsul dan Dirga bergantian.
"Maaaa," ucap Aurora lirih di tengah isakannya.
"Iya, Sayang?" Vera memeluk erat Aurora.
"Jangan tinggalin aku."
"Enggak, Sayang. Mama akan selalu menjagamu," ucap Vera malah ikut menangis.
Samsul dan Dirga duduk, Rosita masih menatap mereka penuh tanda tanya. Vera mengusap rambu Aurora, dia juga mencium keningnya.
"Sebenarnya ada apa sih?" tanya Rosita tak kuasa menahan penasarannya.
Dirga diam menatap Samsul, yang ditatap juga bingung mau menceritakan dari mana.
"Dirgaaaaa, kamu enggak macam-macam, kan?" ujar Rosita menatapnya tajam.
"Enggak, Ma. Bukan aku yang bikin dia begitu," sangkal Dirga cepat.
"Lalu ...?"
"Gini, Ma ...." Samsul menjelaskan kepada Rosita dan Vera.
Setelah semua jelas, Rosita berkata, "Ga, kalau udah tahu begini, kamu mau tetap diam saja?"
"Loh, kok Dirga dibawa-bawa sih, Ma? Beda urusan, Maaaaa."
"Iya. Setidaknya kalau kamu menikahi Aurora, dia ada yang melindungi dan menjaga."
"Ma ...." Dirga ingin membantah.
Namun, langsung dipotong Samsul, "Ga, benar kata mamamu. Di keluarga Tante Vera butuh sosok penjaga dan penyeimbang. Papa pikir, kamu sudah siap berumah tangga. Aurora kehilangan tiang penyanggah hidupnya. Ibarat orang berjalan, Aurora itu pincang. Dia butuh penopang agar bisa kembali berjalan normal."
Aurora sudah lumayan tenang dalam dekapan Vera. Dia juga mendengar bujukan Rosita dan Samsul kepada Dirga. Namun, fokusnya saat ini tak di situ, dia memikirkan Faruq.
Dirga menunduk lalu dia menatap Aurora yang sedang melamun dan tatapannya kosong. Wajahnya basah sisa air mata. Dalam hati dia iba melihat wanita itu berantakan. Takutnya jika Aurora tak ada yang menjaga, dia nekat melakukan hal di luar batas. Apalagi tidak ada kepala rumah tangga yang mengarahkannya.
"Ya sudah," ucap Dirga lirih.
"Ya sudah apa? Yang jelas, Ga," sahut Rosita.
"Atur saja, Ma, Pa. Mau kapan lamarannya."
Senyum mengembang di bibir Rosita, Vera, dan Samsul. Sayang, pikiran Aurora tak di situ. Dia tak begitu mendengar ucapan Dirga.
"Alhamdulillah," ucap Rosita mengusap kedua tangannya di wajah.
Dirga berdiri lalu masuk ke kamarnya.
"Ra, istirahat di kamar dulu yuk!" Vera dan Rosita membantu Aurora berdiri. Mereka memapah Aurora yang lemah ke kamar.
#####
Alhamdulillah. The power of emak-emak! Bisa ae Bu Rosita sama Pak Samsul. Memanfaatkan kesempatan. Hahahaha.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top