Mewujudkan Impian Aurora

Tidurnya terusik karena kedinginan. Tanpa membuka mata, dia meraba selimut lalu menaikkan hingga leher. Sedangkan Aurora sudah selesai membersihkan diri. Sejak pagi tadi, sampai di Amsterdam, dia dan Dirga belum keluar dari kamar hotel, makan saja belum sempat.

"Ga," panggil Aurora lirih sambil mengelus pipinya. "Ayooo bangun. Aku laper. Kita keluar cari makan yuk!"

Namun, Dirga masih nyaman dengan posisinya. Dia enggan membuka mata, rasanya tubuh Dirga lunglai, matanya pun masih sepet.

"Ayooo dong, bangun. Udah sore loh." Aurora masih membujuk sambil mengelus rambutnya.

Meski berat, Dirga membuka matanya pelan. Kepalanya dipindah ke pangkuan Aurora.

"Lima menit lagi, ya?" kata Dirga, bersuara parau khas orang bangun tidur.

"Kamu susah dibangunin."

"Aku cape, Sayang. Habis kerja keras."

Perasaan Aurora menghangat, dadanya seperti ingin meledak saat mendengar Dirga memanggilnya sayang. Apakah Aurora berlebihan? Sepertinya itu hal yang wajar. Tandanya Dirga menyayanginya, kan?

"Ya sudah, kalau gitu aku yang keluar cari makan sendiri." Aurora ingin menurunkan kepala Dirga dari pangkuannya. Namun, dengan cepat Dirga memeluk pinggangnya, walhasil Aurora tak bisa pergi.

"Iya, ini aku bangun. Tolong ambilin handuk," pinta Dirga sambil mengucek matanya yang masih terasa berat.

Segera Aurora mengambilkan handuk untuk Dirga. Setelah handuk di tangan, Dirga lilitan ke pinggang, dia masuk ke kamar mandi. Aurora merapikan tempat tidur, memungut tisu bekas yang berceceran di tempat tidur dan beberapa jatuh di lantai.

Sambil menunggu Dirga selesai mandi, dia mengecek ponselnya. Aurora membuka pesan dari Vera.

Ra, alhamdulillah, insyaallah dalam minggu ini restorannya mulai dibangun. Om Panji sudah selesai mengurus izin usahanya. Doain semua lancar, ya? Besok Mama mau ngadain syukuran sebelum dimulai pembangunannya.

Bibir Aurora tersungging senyuman manis. Lantas dia mengetik balasan untuk Vera.

Alhamdulillah, semoga lancar, Ma. Maaf, aku belum bisa ikut syukurannya. Aku masih di Amsterdam. Kemungkinan dua hari RON di sini, lusa baru tolak ke Jakarta.

Setelah mengirim pesan kepada mamanya, dia beralih membuka pesan dari Panji.

Ra, kamu belum menandatangi surat kuasanya?

Bergegas Aurora membalas pesan itu.

Om, maaf, aku urungkan niatku. Aku berubah pikiran.

Tak berapa lama balasan masuk.

Alhamdulillah, Om ikut senang mengetahui kabar itu, Ra. Gini dong, baru namanya dewasa. Setiap masalah pasti ada jalan keluar yang baik. Perceraian bukan solusi tepat untuk rumah tangga.

Iya, Om. Aku salah menilai Dirga. Terlalu cepat mengambil keputusan.

Ini baru wanita hebat! Om bangga padamu, Ra.

Makasih, ya, Om. Maaf sudah bikin Om repot dan ikut kepikiran.

Jangan diulangi lagi, ya?

Iya, Om.

Beberapa kali mengobrol dengan Panji, rasanya nyaman dan Aurora seperti mendapatkan sosok ayah yang selama ini dia rindukan. Apa ini petunjuk agar Aurora mengizinkan mamanya bersama Panji? Namun, bukankah Vera dan Panji selama ini tidak menjalin hubungan spesial, hanya sebatas teman lama dan rekan bisnis. Sepertinya Aurora akan mencari tahu kebenarannya.

Panji tak lagi membalas. Aurora beralih membuka balasan pesan Vera.

Kamu hati-hati, ya, Ra. Jaga kesehatan. Jangan lupa makan. Jangan boros, belanja seperlunya saja.

Begitulah pesan yang tak pernah bosan Vera sampaikan kepada Aurora.

Iya, mamaku tercinta. Aku di sini sama Dirga kok, Ma. Jadi, tenang saja.

Alhamdulillah kalau begitu. Salam dari Mama buat Dirga. Bilang, cepet bikinin cucu buat Mama.

Pipi Aurora bersemu, dia malu jika mengingat kejadian beberapa jam lalu. Bisa-bisanya dia dan Dirga bercinta jauh setelah mereka menikah.

Iya. Insyaallah nanti aku sampaikan. Mama jangan lupa makan, jangan terlalu cape, istirahat yang cukup.

Iya, bawel.

Dirga keluar dari kamar mandi. Dia langsung ganti baju di depan Aurora tanpa malu-malu lagi.

"Mau makan apa?" tanya Dirga saat memakai kaus lengan panjangnya.

Aurora yang duduk di kursi depan meja rias menjawab, "Terserah, yang penting perut terisi."

Setelah berpakaian lengkap, Dirga mendekati meja rias. Dia menyisir rambutnya, Aurora memerhatikan ketampanan wajah suaminya itu. Jika teringat kejadian tadi, dia sedikit malu. Aurora seperti tak menyangka dia dan Dirga sudah melengkapi ibadahnya sebagai suami-istri.

"Jangan bengong, kesambet setan Belanda kamu nanti," gurau Dirga selesai merapikan penampilannya.

"Iya, biar nanti aku jadi noni-noni Belanda," sahut Aurora beranjak lalu memakai jaket tebalnya.

Setelah mereka siap dengan pakaian musim dingin, segera Aurora dan Dirga keluar dari hotel. Suasana di luar ramai, orang berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Hotel Delta berada di tengah keramaian, dekat dengan bandara. Dirga menggenggam tangan Aurora erat. Mereka berjalan menyeberangi jalan sambil bertandang lalu naik tram.

Tram atau trem adalah kereta yang memiliki rel khusus di dalam kota. Trem yang berselang waktu 5-10 menit berangkat, bisa merupakan solusi untuk kemacetan. Rangkaian trem umumnya satu set, terdiri atas dua kereta, agar tidak terlalu panjang. Disebut light rail karena memakai kereta ringan sekitar 20 ton seperti bus, tidak seberat kereta api yang 40 ton.

Letak relnya pun berbaur dengan lalu-lintas kota atau terpisah seperti bus-way, bahkan bisa pula layang (elevated) atau sub-way, hanya untuk sebagian lintasan saja.

Hari mulai petang, keindahan kota Amsterdam terpancar. Apalagi lampu-lampu yang bercahaya di setiap sudut kota bahkan jembatan-jembatan kanal menyala indah, lampu membentuk lekukan jembatan kanal. Dirga mengajak Aurora ke Keizersgracht atau yang terkenal dengan sebutan Emperor's Canal.

"Negara favorit," ujar Dirga setelah turun dari trem.

"Oh iya? Kenapa?" tanya Aurora tak pernah melepas gandengan Dirga.

"Amsterdam itu kota yang menenangkan, nyaman, bangunan-bangunan tua yang tak lekang waktu. Bentuk dan arsitekturnya benar-benar menjadi spot instagramable."

"Kamu sering datang ke sini?"

Dirga hanya tersenyum karena kota itu banyak kenangan bersama Lili. Dulu mereka sering mendapat dinas bareng ke Amsterdam. Bahkan impian mereka dulu, akan pre-wedding dan bulan madu di sini.

Namun, Dirga tak lagi kecewa dan bersedih karena dia sudah mewujudkan salah satu impiannya, meski bukan dengan Lili. Bersama Aurora sudah sangat membuatnya bahagia.

"Kalau boleh memilih, aku pengin selalu ditugaskan terbang ke Amsterdam," ujar Dirga mengundang gelak tawa Aurora.

"Emang perusahaan Rajawali Indonesia milik nenek moyangmu. Seenaknya sendiri."

"Kan, tadi aku bilangnya kalau boleh memilih. Kalau kamu sukanya negara mana?"

"Indonesia dooong. Warga negara yang baik, harus cinta Indonesia!" ujar Aurora mantap dan bangga.

"Itu memang tidak ada duanya. Maksudku selain Indonesia dan pastinya Dubai."

Entahlah, sejak kapan Dirga tak menyukai Dubai. Jika mengingat perlakuan Faruq kepada Aurora, dendamnya masih tersimpan rapi di hati. Bukan Dubai yang bermasalah dengannya, tetapi kenangan dan bayangan masa lalu Aurora yang membuat Dirga hilang feeling dengan negara yang terkenal elit itu.

"Mmm ... aku suka negara-negara di Eropa. Salah satunya di sini. Belanda itu negara bersejarah yang unik dan bikin betah."

"Ini jawaban jujur atau kamu cuma mau bikin aku seneng?" tanya Dirga melirik Aurora.

"Jujur doooong. Aku punya impan dulu."

"Impian apa?"

"Ah, sudahlah! Enggak usah dibahas."

Mereka berjalan di pinggir kanal, menikmati keindahan kota yang semakin larut justru bertambah.

Sampai di salah satu restoran dengan bangunan tua, tetapi dekorasinya moderen, Dirga dan Aurora menempati kursi yang kosong. Di pojok ruangan yang dapat melihat langsung suasana di luar. Kesan romantis dengan pencahayaan lampu ruangan kuning dan sedikit redup. Setelah memesan makanan, Dirga menatap Aurora terus.

"Kenapa melihatku begitu?" tanya Aurora salah tingkah.

"Impianmu yang belum kesampaian apa?" tanya Dirga masih sangat penasaran dengan ucapan Aurora tadi yang belum mendapat jawaban.

"Mmm ... jangan ketawa, ya?" Aurora ragu, dia malu jika Dirga mengejeknya.

"Enggak."

"Jadi, aku tuh dulu bermimpi ada pria yang melamarku di jembatan kanal Amsterdam. Terus pre-wedding di kapal kanal, kebun tulip, kincir angin, pokoknya spot yang terkenal di Belanda. Habis itu, bulan madunya di Belanda juga. Sayang, kenyataan tak semanis khayalan kita."

Dirga tersenyum lebar menahan tawa karena melihat wajah cemberut dan kecewa Aurora.

"Tuh, kaaan, kamu nertawain aku," keluh Aurora malu.

"Muka kamu lucu. Memang hidup seperti itu, Ra. Enggak ada yang sempurna. Kita penginnya A, dapatnya B. Rencana kita begini, yang terjadi begitu. Allah itu lebih tahu yang terbaik untuk kita. Makanya, Dia sudah siapkan skenario sebelum kita lahir ke dunia."

"Iya sih. Impian tinggallah khayalan yang tak terwujud."

Dirga tersenyum lebar, tetapi pikirannya berjalan menyusun rencana.

***

Cuaca yang dingin, membuat Dirga dan Aurora malas melepas pelukan mereka. Di bawah selimut tebal, keduanya tak mengenakan sehelai benang pun.

Mata Dirga mengejap, tangannya pegal dan seperti banyak semut yang merayap, ada beban menimpa lengannya. Setelah mata terbuka sempurna, Dirga melihat di depannya Aurora masih setia tidur membelakangi. Semalaman mereka tidur Dirga memeluk Aurora dari belakang.

Pelan-pelan Dirga menarik tangannya dari bawah kepala Aurora. Langsung dia bangun dan masuk kamar mandi. Beberapa menit kemudia dia keluar dan melengkapi pakaiannya. Dirga menulis sesuatu di kertas, dia letakkan di bantal samping Aurora tidur. Perlahan dia membuka pintu dan keluar mencari sarapan dan hadiah kecil untuk istrinya.

Selang beberapa jam, Aurora membuka mata. Dia mengumpulkan kesadarannya. Merasa belakangnya kosong, segera dia menoleh.

"Ga!" panggil Aurora berpikir jika Dirga di kamar mandi.

Tak Ada sahutan, dia melihat kertas di sampingnya.

Aku sedang keluar, kamu tetap di kamar saja. Udara di luar sangat dingin. Jika sudah bangun, telepon aku.

Bibir Aurora tersenyum lebar. Lantas dia mencari ponselnya, begitu dapat langsung menghubungi Dirga.

"Halo, kamu di mana?" tanya Aurora setelaj panggilannya diterima Dirga.

"Di luar. Baru bangun?"

"Iya," jawab Aurora dengan suara serak khas bangun tidur yang terdengar seksi di telinga Dirga.

"Enggak usah keluar-keluar dulu, ya? Aku akan bawakan sarapan. Kamu bersih-bersih dulu, sebentar lagi aku balik ke hotel."

"Iya."

Panggilan mereka pun berakhir. Perasaan Aurora pagi ini sangat baik. Dia bahagia. Setelah meletakkan ponselnya di nakas, lalu dia masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Selesai melakukan ritualnya, Aurora keluar hanya memakai handuk. Ternyata Dirga sudah di kamar.

"Dari mana?" tanya Aurora melepas handuk yang membungkus kepalanya.

Dirga hanya tersenyum lalu dia mendekati Aurora dan memeluknya dari belakang.

"Habis mandi wajib, ya, Bu?" goda Dirga membuat Aurora malu.

Tangan Dirga usil, dia menarik handuk Aurora. Sambil menciumi lehernya, tangan Dirga mulai nakal, bergerilya ke seluruh tubuh langsing itu. Mata Aurora memejam sampai kepalanya mendongak, dia menikmati setiap kecupan Dirga.

Perlahan Dirga menidurkan Aurora di ranjang dan melanjutkan cumbuannya. Dirga berdiri di samping tempat tidur. Dia tersenyum penuh arti lalu melorotkan celananya. Aurora tak dapat menolak, dia juga sudah menginginkannya.

Satu jam kemudia setelah mereka sama-sama membersihkan diri dan berpakaian lengkap, Dirga mengeluarkan sarapan yang tadi dia beli dari paper bag.

"Ra, nanti sore kita keluar yuk!" ajak Dirga di tengah sarapan mereka.

"Mau ke mana?"

"Jalan-jalan sekitar sini aja."

Aurora mengangguk dan Dirga tersenyum lebar.

Sore pun tiba. Aurora yang sudah siap dengan coat cokelat, jeans biru yang ketat, sarung tangan, syal, sepatu boot, dan earmuff yang melindungi kedua telinganya agar tidak kedinginan dan tetap fashionable, lantas keluar bersama Dirga.

Setelah menempuh kurang lebih 30 menit menggunakan trem, mereka turun dekat kanal. Dirga mengajak Aurora melihat pemandangan sekitar kanal dari jembatan. Ditambah langit mulai menyemburat oranye, Dirga dan Aurora melihat matahari terbenam dari jabatan itu.

"Kamu suka tempat ini?" tanya Dirga yang berdiri di belakang Aurora sambil memeluknya.

"Begini saja sudah bikin aku sangat bahagia. Kamu tahu tempat ini dari siapa?"

"Mbak Google," jawab Dirga lalu terkikih.

Dirga melepas pelukannya, dia merogoh sesuatu di balik jaket tebalnya. Aurora yang masih setia menatap keindahan pemandangan kanal dan sekitarnya dikejutkan cincin emas bermata satu yang muncul tiba-tiba di depan wajahnya.

"Kalau kamu menginginkan aku romantis, kamu salah, aku bukan orang yang romatis. Ini bukan lamaran, tapi aku mau minta kamu selalu di sampingku. Dalam keadaan apa pun. Apa kamu bersedia?" bisik Dirga di telinga Aurora.

Bibir merah itu tersenyum lebar, hatinya berbunga-bunga. Dia membalikkan badan lalu Dirga berlutut di depannya. Sambil mendongak, Dirga memasangkan cincin itu di jari manis Aurora, bertumpukan dengan cincin nikah mereka.

Tak menyangka Dirga melakukan hal itu. Aurora menutup wajahnya malu, dia sangat bahagia. Dirga berdiri lalu memeluk Aurora. Dengan senang hati Aurora membalas pelukannya.

"Apa kata cinta sangat penting untukmu?" tanya Dirga saat memeluk Aurora.

"Seharusnya iya. Tapi kalau dengan aksi sudah kamu tunjukan, mengapa aku harus menuntut dengan ucapan? Yang penting cinta itu ditunjukan dengan tindakan, bukan sekadar ucapan. Bukan begitu?" Aurora mendongak, menatap wajah Dirga yang berseri.

Momen langka yang Aurora dapat, baru kali ini Dirga tampak bahagia dan wajahnya berseri-seri.

"Aku beruntung Mama memilihmu untuk menjadi istriku."

"Kenapa?"

"Ternyata aku dapat istri cengeng, manja, dan sumbu pendek sepertimu." Dirga terkikih.

"Ih!" Aurora mencubit dada Dirga mesra. "Enggak ada yang bagus sifatku."

Dirga melepas tawanya lalu berucap, "Itu tantanganku, menghadapi pikiranmu yang dangkal. Untungnya aku bukan sumbu pendek sepertimu."

"Tapi makasih loh, kamu mau sabar ngadepi semua sifat burukku. Aku juga benci kalau kamu cuekin," ujar Aurora mencolek pipi Dirga.

"Emang pernah?" Dirga mengerling, sok pura-pura lupa.

"Sering banget! Aku tuh paling enggak bisa didiemin dan dicuekin. Maunya selalu diperhatiin dan dimanja."

"Iya, janji deh, mulai hari ini aku manjain kamu, seluruh perhatianku untuk kamu. Biar overdosis tuh karena kebanyakan perhatian."

"Enggak apa-apa, daripada overdosis karena kebanyakan makan janji palsu."

"Ciyeee, yang pernah makan janji palsu cowok," goda Dirga sambil tersenyum lebar.

"Biarin! Tapi kan, sekarang aku dapat suami yang enggak pernah janji kosong. Iya, kan?"

"Iya dooong. Kapten Dirgantara anti janji kosong. Sekali komitmen akan selalu ditepati."

"PD amat sih!" Aurora mengelus pipi Dirga.

Hari mulai gelap, biarpun banyak orang berlalu lalang dekat mereka sedari tadi, keduanya tak menghiraukan. Berasa dunia milik berdua. Wajar jika orang sedang kasmaran, mereka tak peduli dengan sekitar.

Dirga menarik dagu Aurora, dia memanggut bibir merah nan tipis itu. Terbawa suasana, Aurora membalasnya, dia mengalungkan tangannya di tengkuk Dirga.

Bulan dan bintang di langit Amsterdam menjadi saksi cinta mereka.

#####

Berapa part lagi ending.

Apa pendapat kamu mengenai kisah Dirga dan Aurora ini? Pesan yang kamu dapat apa selama membaca cerita ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top