Mempertanyaan Panji dan Vera
Ketika Aurora sedang berjalan di bandara bersama tim penerbangannya, tak sengaja berpapasan dengan Tiara. Sejak kejadian memalukan di kafe itu, Tiara dihentikan sebagai dokter penerbangan di Soekarno Hatta.
Dia seolah tidak mengenal Aurora. Tiara membuang pandangannya ke arah lain, menghindari tatapan denga Aurora. Namun, Aurora tak ambil pusing, toh mereka dulu tak saling kenal, wajar jika sekarang pun masih tetap tak kenal, bukan begitu?
"Ra, lo langsung pulang?" tanya Ayunda.
"Iya, Ay," sahut Aurora berjalan bersama timnya ke ruang kru.
"Kita dah lama enggak kumpul. Kangen tahu, Ra!" protes Gita yang berjalan di belakang Ayunda dan Aurora.
"Gimana lagi? Gue udah punya suami, kebetulan suami gue hari ini enggak dinas. Selesai kerja, gue harus cepet pulang," ujar Aurora yang sebenarnya juga ingin sekali nongkrong bersama mereka.
"Ya sudah, Ra, enggak apa-apa. Tugas utama lo kan, emang mendampingi suami," sahut Ayunda. "Tapi, kalau lo punya waktu luang, kita ngumpul, ya?"
"Iya, insyaallah."
Mereka mengobrol cukup lama di ruang kru sambil menunggu Dirga menjemputnya. Ponsel Aurora berdering. Dirga menelepon bahwa dia sudah sampai depan lobi bandara. Bergegas Aurora pamitan dengan teman-temannya lantas keluar dari bandara menghampiri Dirga.
"Mau langsung pulang apa makan dulu?" tanya Dirga setelah Aurora duduk di sampingnya.
"Langsung pulang aja deh. Aku cape, Yang. Pengin mandi terus bobo."
"Oke."
Segera Dirga menjalankan mobilnya keluar dari bandara. Aurora tak lagi malu-malu menunjukan sifat aslinya kepada Dirga. Untung suaminya orang yang sabar dan bersifat ngemong. Biarpun Aurora manja, dengan sabar Dirga menghadapinya.
"Sayang, kamu merasa aneh enggak sih lihat hubungan Mama sama Om Panji?" tanya Aurora menoleh Dirga sebentar lalu kembali memerhatikan ke depan.
Pagi ini jalanan lumayan lengang, pukul 08.00 WIB. Jarak dari bandara ke rumah Dirga hanya 30 menit kalau tidak macet.
"Aneh gimana sih? Biasa aja menurutku."
"Aku ngerasa aneh aja, Yang. Udah sering jalan bareng, mereka juga dekat, dan aku lihat Mama kayaknya cocok kalau ngobrol sama Om Panji."
"Terus mau kamu bagaimana?"
"Aku cuma pengin tahu, sebenarnya mereka itu sekadar teman atau sudah pacaran. Biar aku tuh enggak gelisah melihat kedekatan mereka."
"Kamu kepo ah! Itu urusan orang tua, kita sebagai anak mendukung saja."
"Bukan begitu, Yang. Maksud aku tuh gini loh," Aurora menegakkan tubuhnya menghadap Dirga yang fokus menyetir, "sebenarnya Om Panji itu serius enggak sama Mama. Kalau memang serius, kenapa enggak dinikahi saja Mama."
Bibir Dirga tersungging senyuman lebar.
"Sayang, kok jadi kamu sih yang repot. Mereka saja nyantai kok."
"Ish, Yang, kamu enggak ngerti apa yang aku pikirkan." Aurora memanyunkan bibirnya sebal.
"Aku bukan cenayang, Sayang. Mana tahu isi pikiranmu. Tapi aku paham kekhawatiranmu. Tenang saja, mereka sudah dewasa, pasti tahu mana yang terbaik."
"Aku jadi mikir."
"Ah, kamu banyak mikir."
"Iiiiih, serius dong, Yang." Aurora merengek manja sambil menampar lengan Dirga pelan.
Tawa kecil Dirga pecah. "Aku dari tadi juga serius."
"Sebagai anak wajar dong aku khawatir dan pengin tahu. Enggak cuma orang tua yang cemas kalau tahu anaknya dekat sama temen cewek atau cowoknya. Mama kan, janda, kalau dekat sama pria pasti jadi buah bibir. Aku enggak mau ada gosip enggak bener tentang Mama, Yang."
Dirga manggut-manggut, dalam diam berpikir sesuatu. Sampailah mereka di rumah. Setelah turun dan masuk rumah, Aurora langsung ke kamar. Sedangkan Dirga bersantai di ruang tengah sambil memikirkan sesuatu.
"Mama!" ujar Dirga lantas mengambil ponselnya.
Dia harap Rosita dapat membantunya.
***
Hari demi hari berlalu. Hubungan Vera dan Panji masih begitu-begitu saja. Belum ada kejelasan.
Setelah kejadian di rumah Dirga beberapa hari lalu, Vera langsung menghentikan Dinda dengan alasan tak dapat bekerja profesional. Akhirnya Panji membantu mencari asisten baru yang lebih berpengalaman. Usianya sudah matang, 27 tahun, tetapi masih single. Penampilannya sederhana, tetapi sopan dan rajin.
"Sofia," panggil Vera saat dia di ruang tamu bersama Panji.
Wanita berambut panjang nan lurus, berkacamata, dan tinggi sekitar 165 sentimeter, mendekati Vera.
"Iya, Bu."
"Tolong ambilkan laporan yang kemarin saya minta kamu buat."
"Baik, Bu."
Bergegas Sofia mengambilnya. Selepas kepergian Sofia dari ruang tamu, Panji menegakkan duduknya.
"Gimana, Ver, yang ini?" tanya Panji bermaksud menanyakan cara kerja Sofia.
"Sopan ini, professional, enggak neko-neko. Kemarin pas Dirga sama Aurora main ke sini, mereka merasa lebih cocok sama Sofia. Malahan Aurora bisa ngobrol dan kelihatan welcome menerima Sofia jadi aspriku, Ji."
"Alhamdulillah. Mungkin dari segi usia juga mempengaruhi, Ver."
"Iya, Ji. Pendidikan tinggi enggak cukup kalau attitude-nya nol."
"Itulah, Ver, kenapa kita harus selektif. Memilih asisten untuk bekerja dan patner hidup juga."
Vera hanya tersenyum menanggapi ucapan Panji. Beberapa saat saling diam, sambil menunggu Sofia. Dalam hati Panji gelisah, seperti ada yang ingin disampaikan kepada Vera, tetapi tertahan. Hingga Sofia datang, Panji tak berani mengatakannya kepada Vera.
Di tengah obrolan Panji, Vera, dan Sofia tentang perkembangan bangunan restoran yang masih dalam proses, mobil Rush hitam berhenti di depan rumah. Pengemudi turun bersama Rosita. Karena pintu terbuka lebar, mereka lalu mengucap salam, "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab mereka yang ada di ruang tamu.
Vera langsung berdiri diikuti Panji dan Sofia. Dia menyambut hangat Rosita dan Samsul. Setelah saling berjabat tangan, Vera mempersilakan mereka duduk.
"Sof, minta tolong bilang sama Bi Nah suruh bikin minum dua, ya?" bisik Vera saat Rosita dan Samsul mengobrol dengan Panji.
"Baik, Bu."
Bergegas Sofia ke belakang, mencari Bi Nah.
"Tumben sih, Ver, datang enggak ngabari dulu," ujar Vera.
"Mau ngasih kamu kejutan," sahut Rosita dengan ciri khasnya yang heboh dan ceria. "Nanti Aurora sama Dirga mau nyusul ke sini kok. Tadi aku sudah telepon."
Suasana di ruang tamu itu menjadi ramai, padahal cuma ada empat orang. Suara Rosita yang mendominasi. Satu jam kemudian, akhirnya Aurora dan Dirga sampai.
"Kalian mau nginep di sini, kan?" tanya Vera kepada Aurora dan Dirga setelah mereka duduk bergabung di ruang tamu.
"Iya, Ma. Besok pagi Dirga berangkat dinas dari sini. Sudah sekalian bawa perlengkapannya tadi," jawab Aurora tersenyum simpul.
Beberapa menit ruang tamu hening, Dirga dan Rosita saling pandang. Mengisyaratkan sesuatu.
"Eham!" Rosita memecah keheningan. "Ver, Ji, sebenarnya kedatanganku sama Mas Samsul dan anak-anak ke sini ada maksud dan tujuan."
"Apa itu, Ros?" sahut Vera menatap serius.
"Kebetulan ada Panji di sini. Jadi, langsung aja deh." Rosita menegakkan tubuhnya. "Ver, sebagai anak, wajar kalau Aurora pengin tahu kehidupan mamanya, kan?"
Vera dan Panji langsung menangkap arah pembicaraan itu. Aurora yang duduk di dekat Vera lalu menggenggam tangan mamanya. Vera membalas dengan usapan lembut di punggung tangan Aurora.
"Kemarin Dirga meneleponku, bercerita kalau Aurora selalu gelisah jika memikirkan kamu, Ver. Terutama kedekatanmu sama Panji. Niatku di sini, ingin menyampaikan kegelisahan Aurora yang tidak berani disampaikan sendiri kepadamu, Ver. Kebetulan ada Panji di sini, jadi biar lebih jelas. Sebenarnya hubungan kalian sampai di mana?" Rosita menatap Vera dan Panji bergantian.
Sedangkan yang ditatap malah saling pandang. Beberapa detik tak ada jawaban, malah di ruangan itu hening.
"Maaf nih, Om, Ma, bukan maksud Aurora ingin ikut campur urusan kalian. Tapi, biar semua jelas dan dia tidak bertanya-tanya lagi." Kali ini Dirga angkat bicara.
Vera hanya menunduk, tak berani berbicara apa pun. Memang sejauh ini dia dan Panji tak membahas tentang pribadi mereka. Pernah sekali dulu Panji menanyakan perasaan Vera kepadanya, tetapi hingga detik ini Vera belum memberinya jawaban.
"Mmm ... begini, Ra, Ga, Ros, Sam." Panji mulai berbicara. "Sebenarnya aku juga sudah memikirkan sejauh itu. Pasti Aurora akan mempertanyakan hal ini. Aku juga sudah tanyakan kepada Vera. Kita menunggu bersama-sama apa jawaban Vera," ujar Panji menatap Vera.
Dalam hati Vera kalut, tangannya dingin berada dalam genggaman Aurora. Dia bingung.
"Ma, apa pun jawaban Mama, aku akan menghargainya. Misalkan Mama bersedia, silakan, Aurora tidak akan melarang Mama kok. Aurora sadar, Mama juga butuh pendamping dan teman hidup. Aku juga sudah punya suami, pasti akan sibuk sama keluargaku, enggak akan mungkin selalu ada di samping Mama." Suara Aurora parau, dia menahan air matanya.
Dirga lalu pindah ke samping Aurora dan mengelus punggungnya. Dia memberikan ketenangan untuk istrinya. Vera meneteskan air mata, dia galau. Belum genap dua tahun suaminya meninggal, apa pantas dia menikah lagi?
"Aku enggak akan memaksa kamu, kok, Ver. Apa pun keputusanmu, pasti punya alasan dan aku akan menghargainya," ujar Panji semakin membuat hati Vera tak keruan.
Vera menegakkan kepalanya, dia menoleh Aurora. Mata Aurora merah menahan tangis, tetapi bibirnya tersenyum.
"Apa kamu ikhlas?" tanya Vera kepada Aurora dengan suara parau.
"Insyaallah aku ikhlas, Ma. Selama aku kenal Om Panji, dia pria yang baik," ujar Aurora meyakinkan Vera.
Lantas Vera menatap Rosita dan Samsul. Mereka berdua tersenyum lebar.
"Tapi, bagaimana dengan anak-anakmu, Ji?" tanya Vera takut jika dari pihak Panji ada yang tidak menyetujuinya.
"Insyaallah anak-anakku semuanya sudah memberikan restu, Ver. Aku pernah menyampaikan niatku kepadamu sama mereka. Mereka justru senang mendengarnya."
Hati Vera masih ada yang mengganjal, sejujurnya dia belum sepenuhnya bisa merelakan Brama. Namun, Vera juga harus tetap melanjutkan hidup dan menjalani realitas, bahwa dirinya mustahil bisa bersama almarhum suaminya lagi. Tak mungkin Vera menunggu Brama kembali.
"Ma, kok malah melamun?" tanya Aurora menyadarkan Vera.
Vera tersenyum simpul lalu menyentuh pipi Aurora. "Sebenarnya, Mama masih berat dan belum bisa."
Semua menghela napas berat termasuk Panji. Ada sedikit kekecewakan di sudut hatinya. Namun, apa boleh buat, dia juga pernah mengalami di posisi Vera. Tak mudah melupakan orang yang kita cinta, apalagi dia sudah mendampingi kita bertahun-tahun.
"Tapi, kalau Mama terus-terusan memikirkan Papa, pasti hidup Mama tidak akan maju. Jangan pikir Mama sudah enggak sayang sama Papa. Tetap Mama menyayangi Papa, Ra, biarpun nanti Mama sudah punya suami," ujar Vera menatap Panji.
Dari isyarat itu, semua menatap Vera, menuntut penjelasan lebih. Perlahan senyum terukir di bibir mereka. Aurora lantas memeluk Vera. Lega perasaan Panji, meski Vera tak langsung menjawabnya, tetapi dari ucapan itu semua sudah mendapat jawaban.
"Aurora sayang sama Mama," ucap Aurora memecah tangis bahagianya dalam pelukan Vera.
"Alhamdulillah," ucap Rosita mengusap wajahnya, ikut lega.
"Nah, mumpung masih ngumpul, coba telepon anak-anakmu, Ji. Biar mereka juga kenal calon mama barunya," ujar Samsul setengah menggoda sahabatnya itu.
Lekas Panji mengambil ponselnya lalu melakukan video call langsung dengan kedua anaknya. Mereka berkenalan dengan Vera, tampak keceriaan dari anak-anak Panji. Panji juga mengenalkan Aurora kepada mereka.
Tak terasa hari sudah sore, Samsul dan Rosita lebih dulu pulang. Setelah makan malam, Panji juga berpamitan pulang. Tinggallah Dirga, Aurora, Sofia, dan Vera di rumah itu karena Bi Nah pulang selesai membereskan ruang makan dan dapur setelah mereka makan malam tadi.
"Mbak Sof, kalau mau istirahat duluan enggak apa-apa," ujar Aurora melihat mata Sofia sudah berat saat mereka berkumpul di ruang tengah menonton acara komedi di televisi.
Aurora melendot manja di dada Dirga. Dia tak peduli ada Vera dan Sofia di ruang itu.
"Iya, Mbak Ra. Maaf, saya sudah ngantuk," ujar Sofia cengengesan dan sungkan.
Dirga bersikap cuek kepada Sofia, bahkan mengajaknya mengobrol saja tidak pernah. Justru Sofia segan kepada Dirga.
"Sama, Sof. Aku juga sudah ngantuk," sahut Vera. "Kita tidur saja yuk! Biarin Dirga sama Aurora di sini." Vera beranjak dari sofa.
"Iya, Bu," sahut Sofia juga ikut berdiri. "Mbak Ra, saya tidur dulu, ya?" pamit Sofia hanya menatap Aurora.
Dia takut melihat wajah datar dan tegas Dirga. Percuma dia menyapa Dirga, basa-basi pun tidak karena Sofia tahu Dirga tak akan menggubrisnya.
"Iya, Mbak," sahut Aurora ramah.
"Mama duluan, ya, Ra, Ga."
"Iya, Ma," jawab Dirga dan Aurora.
Akhirnya Vera masuk ke kamarnya dan Sofia masuk ke kamar tamu. Tinggallah Aurora dan Dirga di sana.
"Yang, tidur yuk!" ajak Aurora menengadahkan wajahnya menatap Dirga yang masih fokus pada televisi.
"Bentar lagi, nunggu ini iklan." Dirga masih asyik menonton.
Aurora dengan setia menemani, dia memeluk perut Dirga.
"Ayo!" ajak Dirga setelah acara itu iklan.
"Mager aku, Yang," kata Aurora malas dan manja.
"Tadi ngajak bobo, sekarang mager. Gimana sih?" Dirga mengelus pipi Aurora yang mulus.
"Gendong, ya?" Aurora menaik-turunkan kedua alisnya.
Dirga menghela napas dalam dan mengembuskan kasar. Dia bangkit lalu berdiri membelakangi Aurora.
"Ayo!" ucapnya lemas.
Malah Aurora girang, dia langsung naik ke punggung Dirga.
Cinta hadir tak mengenal waktu, tempat, dan siapa. Tak kenal muda dan tua. Cinta bisa menjangkit semua orang.
######
Waaah, lega hati Aurora. Hmmm ... emang Mama Rosita ratunya mak comblang. Suka deh sama Mama Rosita. Hahahaha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top