Malam Pertama
Di tengah gelapnya kamar itu, bayangan Lili memenuhi pikiran Dirga. Saking rindunya dan rasa bersalah kepada Lili, tak sadar Dirga menatap wajah Aurora menyerupai Lili.
"Maafin aku," bisik Dirga mengelus pipi Aurora dan berbisik di telinganya.
Sekujur tubuh Aurora merinding saat Dirga merengkuh pinggangnya hingga Aurora tak bisa menghindar saat Dirga memeluk sambil menciumi lehernya.
Perlahan Dirga menidurkan Aurora di ranjang dan menindih tubuh langsingnya. Dia mencumbui Aurora dan memeluknya erat.
"Dig!" Aurora tersadar apa yang mereka lakukan. Dia mendorong Dirga dan menjauhkan tubuhnya.
Sekejap itu Dirga sadar bahwa yang di depannya bukan Lili, tetapi Aurora yang hari ini sah jadi istrinya.
"Maaf," ucap Dirga mengusap wajahnya.
Karena malu, Aurora lari ke kamar mandi. Jantungnya berdetak cepat, Aurora bersandar di pintu kamar mandi sambil memegangi dadanya.
Sedangkan Dirga mengerutuki kebodohannya. Bisa-bisanya dia membayangkan Aurora sebagai Lili.
"Ra, a-a-aku keluar dulu," ucap Dirga gelagapan.
"Iya," jawab Aurora dari dalam kamar mandi.
Bergegas Dirga ke luar kamar hotel. Dia pergi ke kafe yang ada lantai bawah, menenangkan pikirannya. Sambil menikmati secangkir kopi latte panas, Dirga mengingat kejadian tadi.
"Bodohnya aku, kenapa bisa seperti itu." Dia sangat malu kepada Aurora.
Padahal mereka sudah menikah, kenapa harus malu? Apa karena Dirga belum mencintai Aurora?
Selesai membersihkan badan, Aurora keluar kamar mandi. Kamar pengantin yang sudah dihias romantis harusnya menjadi saksi bisu malam pertama mereka sebagai suami-istri.
Aurora berbaring di tempat tidur yang ditaburi mawar. Aroma wangi menyeruak, dia keletihan, tak menunggu sampai Dirga kembali ke kamar, Aurora tertidur.
Hampir subuh Dirga baru masuk ke kamar. Dia melihat Aurora sudah tidur miring memeluk guling. Dirga mengembuskan napas berat, lantas dia masuk kamar mandi dan membersihkan diri.
Selesai itu, dia berbaring di sebelah Aurora. Dirga menoleh ke sampingnya, Aurora tidur memunggunginya.
"Maafin aku, ya, Ra. Sampai saat ini aku belum bisa membuka hati untukmu. Tapi, aku akan berusaha, Ra. Bersabarlah," ucap Dirga mengelus rambut Aurora pelan.
Karena lelah dan kantuk, akhirnya Dirga pun memejamkan matanya dan terlelap.
***
Pagi saat udara masih sejuk, banyak orang lewat depan rumah melakukan berbagai aktivitas; joging, jalan santai, tukang sayur berbulan keliling, dll. Vera dibantu Bi Nah membereskan rumah. Setelah rumah bersih, kini mereka merawat tanaman di taman kecil depan rumah.
"Ver," panggil pria dewasa berkumis tipis, memakai kacamata, mengenakan pakaian olahraga, dan masih terlihat tampan serta gagah di usianya yangsudah kepala lima. Dia berdiri di depan pagar yang tingginya sedada.
Senyum ramah mengembang di bibir tipis Vera, lalu dia membukakan pintu pagar untuk pria itu.
"Silakan masuk, Ji," kata Vera.
Pria itupun masuk sambil melihat-lihat pelataran rumah Vera yang tak begitu luas, mungkin cukup untuk satu mobil saja. Namun, asri, bersih, sejuk, dan rapi.
"Kamu sedang apa?" tanya pria itu menunjuk pot kosong dan juga tanah berserakan di depan teras.
"Oooh, mau mindahin bunga. Beberapa hari lalu beli, belum sempat mindahin ke pot. Soalnya masih sibuk ngurusi pernikahan Aurora," papar Vera. "Kamu mau minum apa, Ji?" tanya Vera setelah orang itu duduk di kursi kayu terbuat dari akar jati yang berada di teras.
"Enggak usah repot-repot, Ver. Aku cuma nepati jaji kemarin yang mau mampir aja," jawabnya lembut.
"Sudah sampai sini, masa enggak minum."
Pria itu terkekeh. "Baiklah, Ver. Aku minum teh panas saja."
Lalu Vera meminta Bi Nah mebuatkannya. Sambil menunggu teh datang, mereka mengobrol santai.
Dari caranya berjalan, bicara, bersikap, menandakan pria dewasa ini sabar dan penyayang. Dia adalah Panji, teman SMA Vera dan Rosita. Mereka dulu sering belajar kelompok bersama dan tiga tahun berturut-turut satu kelas. Paji melanjutkan kuliah ke luar negeri, sedangkan Vera dan Rosita kuliah di UI. Berpuluh tahun mereka tak saling komunikasi, bertemu lagi kemarin di pesta pernikahan Aurora dan Dirga karena Rosita mengundangnya.
"Ji, istrimu sudah lama meninggal?" tanya Vera melanjutkan obrolan kemarin malam saat di pesta itu, tepatnya ketika mereka berdansa.
"Sekitar 10 tahun lalu, Ver. Setelah si bungsu menikah, selisih tiga bulan tidak ada."
"Dia sakit, Ji?"
"Iya. Sakitnya sudah lama sih, Ver. Infeksi paru-paru, sebelum meninggal paru-parunya membengkak. Kami sudah mengupayakan segala cara, obat berapa pun kami beli biar dia sembuh. Sehari sebelum operasi Allah memanggilnya," ujar Panji lalu menarik napas dalam.
"Maaf, ya, jadi bikin kamu mengingat hal itu."
"Sudah, enggak apa-apa."
"Anak-anakmu tinggal di mana, Ji?"
"Yang sulung tinggal di Medan, soalnya kerjaannya di sana. Si bontot di Jepang, kerjaan dia sama istrinya di sana. Sekarang aku seperti kamu, sendiri. Menikmati masa tua," ujar Panji lalu tertawa. Vera pun ikut tertawa.
"Sibuk apa kamu, Ji?"
"Yaaa beginilah, Ver. Pengacara."
"Wah, hebat kamu, Ji."
"Hebat apanya?"
"Jadi pengacara."
"Pengangguran banyak acara, Ver," sahut Panji lalu mereka tertawa bersama.
"Bisa aja kamu, Ji. Kata Rosita kamu sebagai lawyer perusahaan Samsul."
"Iya, benar. Tapi namanya pengacara kan, pengangguran banyak acara. Banyak nganggur daripada acaranya."
"Yang penting itu kerjaan lancar, beres, pelanggan puas. Kamu buka kantor sendiri, Ji?"
"Iya, tapi buka di rumah. Jadi, rumah sekaligus kantor, gitu, Ver."
Obrolan mereka disela Bi Nah yang membawa dua teh panas dan bolu di piring.
"Silakan diminum, Ji," kata Vera sambil mengangkat cangkir tehnya supaya Panji tidak sungkan untuk minum.
"Anakmu tinggal sama suaminya, Ver? Atau mereka yang tinggal sama kamu?" tanya Panji setelah menyeruput tehnya.
"Belum tahu, Ji. Belum dibahas. Tapi kalau mau tinggal sama suaminya enggak apa-apa, Ji. Malah lebih dekat sama tempat kerjanya."
"Tapi kan, kamu jadi sendiri, Ver."
"Mau gimana lagi, Ji? Anak cuma satu, suami sudah enggak ada."
"Kita sama, Ver. Ditinggal anak-anak sama bojo."
Vera hanya tersenyum sambil melihat taman kecilnya yang masih berantakan.
***
Meski di luar matahari sudah bersinar terang, tetapi di dalam kamar hotel itu masih remang dengan pencahayaan lampu tidur. Gorden maroon yang tebal dan lebar masih tertutup rapat, tak sedikit pun ada celah yang bisa ditembus pantulan cahaya.
Pemilik bulu mata indah itu mengejap dan perlahan membuka mata. Mengingat momen kemarin saat pria tampan yang sebenarnya sama sekali tidak diimpikan menjadi suaminya, mengucap kabul di depan wali yang mengijabkan.
Bibir tipis nan merah itu tersungging senyuman manis, tetapi ketika mengingat kejadian semalam, senyum itu pudar berganti pipi merona, Aurora malu jika mengingatnya. Tak disangka Dirga melakukan hal itu, Aurora benar-benar tercengang dan belum siap. Maka dari itu dia menghentikan cumbuan Dirga.
Aurora merasa belakangnya ada pergerakan, dia membatin, Sejak kapan Dirga tidur di sebelahku? Bukankah semalam dia keluar dari kamar?
Aurora memejamkan mata lagi, pura-pura tidur. Dirga menoleh ke samping, Aurora masih setia memunggunginya. Karena tak ingin mengganggu Aurora tidur, Dirga bangkit pelan-pelan lalu ke kamar mandi membersihkan diri.
Selesai itu dia keluar, Aurora masih pada posisinya. Pikir Dirga mungkin Aurora kelelahan karena acara kemarin. Dirga menelepon bagian resepsionis dan memesan sarapan. Setelah itu dia duduk di sofa sambil melihat-lihat chat yang masuk dan sosial medianya. Banyak teman-temannya yang hadir kemarin, mengabadikan momen spesial itu dan upload di medsos.
Andai saja itu kamu, Li .... Dirga membatin sambil tersenyum kecut.
Merasa di kamar itu sepi, Aurora kira Dirga sudah keluar. Dia membuka mata lalu menggulingkan tubuh rampingnya yang pegal menjadi terlentang.
Dirga yang melihat Aurora ada pergerakan langsung menyapa, "Pagi."
Aurora terkejut lalu menoleh ke sumber suara. Ternyata Dirga bersila di sofa sambil memegang ponselnya. Aurora langsung menutup wajahnya dengan bantal. Dia masih malu melihat Dirga.
"Kenapa kamu, Ra?" tanya Dirga heran melihat tingkah Aurora.
"Enggak," jawab Aurora sambil menurunkan bantal dari wajahnya.
"Pukul sebelas kita check out, kita pulang."
"Pulang ke mana?" tanya Aurora bangkit dan duduk.
"Ke rumahku."
"Enggak ah!"
"Terus kamu mau pulang ke mana?"
"Rumah Mama."
"Apa kata orang tuaku kalau kamu pulang ke rumahmu dan aku pulang ke rumahku?"
"Aku belum bisa ninggalin Mama sendiri."
"Biasanya gimana? Bukannya juga ninggalin Tante Vera sendiri?"
"Tapi ini beda, Ga. Pokoknya aku enggak bisa!"
"Dasar, Sumbu Pendek. Terserah kamu, Ra. Aku cuma dikasih cuti tiga hari. Kalau kamu mau pulang ke rumahmu, silakan. Tapi aku tetep balik ke rumahku."
"Ya sudah," ucap Aurora cuek lalu masuk ke kamar mandi.
Dirga tak ambil pusing jika Aurora tidak mau tinggal dengannya. Toh dia juga sudah biasa tinggal sendiri. Mungkin hanya beda status saja sekarang. Dia sudah punya istri.
Pulang dari hotel, Dirga mengantar Aurora pulang ke rumah Vera. Saat membuka pintu, Vera terkejut, dia pikir Aurora akan langsung pulang ke rumah Dirga. Mereka duduk di ruang tamu.
"Tan, ini koper Aurora." Dirga memberikan koper berukuran sedang yang berisi pakaian ganti dan baju resepsi mereka kemarin malam.
"Ga, kenapa tadi enggak langsung ke rumah kamu? Kan, lebih dekat sana ketimbang ke sini. Malah jauh," tanya Vera bingung menatap Aurora dan Dirga bergantian.
"Aurora yang enggak mau, Tan."
"Ga, aku itu sudah jadi mertua kamu. Masa panggilnya masih tante. Mamanya aja, kayak Aurora panggil."
Dirga tersenyum manis lalu menyahut, "Iya, Ma."
"Jadi, ini kalian mau tinggal di rumah Mama dulu. Gitu?"
"Mmm ... enggak, Ma. Soalnya kan, aku cuma tiga hari cutinya. Besok sudah mulai dinas. Jadi, maaf, aku belum bisa nginep sini. Banyak yang harus aku siapin buat besok, Ma," jelas Dirga sambil melirik Aurora yang terlihat cuek kepadanya.
Padahal sikap cuek Aurora itu karena menutupi rasa malunya kepada Dirga. Bukan maksud menelantarkan suami, hanya saja Aurora belum siap tinggal satu atap dengan pria yang sebenarnya sudah mulai dia cintai. Namun, Aurora belum mengenal lebih jauh pribadinya. Dirga sangat sulit dipahami, Aurora merasa aneh kalau hidup bersama suaminya, tetapi terasa bersama orang lain.
"Ya sudah, Ga. Enggak apa-apa kalau gitu, mungkin Aurora butuh waktu."
"Iya, Ma. Kalau gitu aku pulang dulu, ya, Ma?" Dirga berdiri diikuti Vera dan Aurora.
Mereka mengantar sampai teras.
"Assalamualaikum," pamit Dirga sambil mencium tangan Vera.
"Waalaikumsalam," jawab Vera.
Aurora hanya membatin membalas salam Dirga. Tanpa pamitan dengan Aurora, dia masuk mobil. Rasanya sakit hati Aurora, seperti tak dianggap. Tanpa menunggu mobil Dirga jalan, Aurora masuk ke rumah lebih dulu.
Di dalam mobil, Dirga tersenyum kecut.
"Pernikahan apa ini? Nikah cuma buat status, enggak ada perubahannya. Oke, kalau maumu gitu, Ra. Aku turuti," ujar Dirga lirih lantas menjalankan mobilnya.
######
Takutnya salah paham. Dirga ngira Aurora menikah dengannya cuma sebatas status saja. Sedangkan Aurora sebenarnya sudah mulai cinta cuma belum siap tingal satu atap. Gimana sih mereka? Jadi bingung deh🤣.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top