Kesal

Siang ini di ruang tamu, Vera mengumpulkan Dirga, Aurora, Bi Nah, dan Panji. Suasananya santai, sekadar mengobrol biasa.

"Nah, jadi aku kumpulin kalian di sini itu, mau menyampaikan sesuatu."

Aurora yang tadi melendoti di dada Dirga lalu duduk tegak menatap Vera serius.

"Apa itu, Ma?" tanya Aurora tak sabar ingin tahu.

"Mama sama Om Panji mau ...."

"Menikah?" sahut Dirga memotong ucapan Vera, dia langsung mendapat pelototan Aurora, Vera, dan Panji. Bi Inah malah tersenyum sambil menutup mulutnya dengan punggung tangan.

"Kok nikah sih?" sahut Vera cemberut.

"Terus apa dong, Ma?" Kali ini Aurora yang menimpali.

"Mama sama Om Panji mau renovasi rumah nenek yang di Gianyar, rencananya mau dibikin villa. Jadi, nanti kalau kita ke Bali ada persinggahan, terus bisa juga kita sewakan. Om Panji sudah mengurus perizinannya, terus juga nanti Mama mau buka klinik kecantikan di tengah kota Gianyar."

"Waaah, mantap itu, Ma. Keren! Mama bisa lanjutin bisnis yang dulu waktu kita masih di Dubai. Kenapa enggak dari dulu kita punya pikiran begitu, ya, Ma?" Aurora sangat mendukung rencana mamanya itu.

"Itulah kenapa kita butuh teman untuk bertukar pikiran dan saling support, Ra. Setelah Om sering ngobrol sama mama kamu, sebenarnya banyak aset yang bisa dikembangkan. Hanya saja mungkin mamamu itu kurang mengeksploitasi diri."

"Gimana mau eksploitasi, Om, sehari-hari Mama cuma di rumah. Paling juga keluar ke pasar, mini market, atau enggak, pentok di depan rumah, lihatin koleksi bunganya," sahut Aurora ditimpali tawa mereka.

"Oh, iya. Ada lagi," ujar Vera. Tawa mereka berhenti, lalu kembali mendengarkan Vera. "Mulai besok Mama punya asisten. Dia akan menginap di sini."

"Asisten rumah tangga? Terus Bi Nah gimana?" sahut Aurora.

"Bi Nah tetap kerja di sini. Asisten Mama ini kayak admin gitu loh, Ra. Nanti dia yang bantuin Mama mengurus bisnis dan menjadwalkan kegiatan Mama. Biar Mama enggak kualahan."

"Ooooh, iya-iya, paham, Ma. Bagus kalau gitu," ujar Aurora manggut-manggut.

"Eh, Ra, terus kapan kamu mau tinggal sama Dirga?" tanya Panji menatap Aurora.

Bukannya langsung menjawab, Aurora justru menoleh Dirga yang duduk di sampingnya.

"Mmm ... gimana?" tanya Aurora kepada Dirga.

"Terserah kamu. Kalau masih mau tinggal sama Mama, silakan. Kalau mau ikut aku tinggal di rumah, ayo. Keputusan di tangan kamu," ujar Dirga, padahal dalam hatinya ingin sekali Aurora tinggal bersamanya.

"Mama gimana? Aku bingung," tukas Aurora terlihat galau menatap Vera dan Dirga bergantian.

"Kalau Mama sih mending kamu ikut Dirga. Sebagai istri yang baik, harus patuh sama suami. Jangan khawatirin Mama, sebentar lagi juga Mama bakalan sibuk. Ngurus banyak hal. Nanti kalau restoran sini sudah selesai dibangun, pasti Mama jarang di rumah. Apalagi nanti kalau klinik kecantikan sudah jadi, tambah sibuk, bisa-bisa Mama bolak-balik Jakarta-Bali."

Sejenak Aurora berpikir, dia menatap Dirga dan Vera bingung.

"Ra, nanti kalau kamu pas libur, kan, bisa jenguk mamamu. Atau enggak, kamu nginep sini kalau pas Dirga lagi dinas. Semua bisa diatur kok," nasihat Panji memberi masukan agar Aurora tidak bingung mengambil keputusan.

Beberapa saat Aurora diam, lalu dia berkata, "Ya sudah, aku mau tinggal sama Dirga."

"Alhamdulillah," ucap semua serentak, terdengar kelegaan.

Setelah mengobrol cukup lama di ruang tamu, Aurora ke kamarnya, mengambil pakaian dan barang seperlunya yang akan dia bawa ke rumah Dirga. Setelah siap, mereka berpamitan. Panji ikut pamit selepas Dirga dan Aurora pergi.

Di tengah perjalanan, Aurora sibuk membalas chat Desti. Dia tampak senang dan senyum terus mengembang di bibirnya.

"Kenapa senyam-senyum begitu?" tanya Dirga melirik Aurora.

"Ini loh, Desti lagi bahas film Korea yang kemarin dia lihat. Aku jadi penasaran pengin lihat juga."

Jika sudah menyangkut film Korea, Dirga diam. Dia tidak tertarik membahasnya.

Akhirnya mereka pun sampai di rumah Dirga. Setelah mobil terparkir di garasi, mereka masuk lewat pintu samping yang menyatu dengan garasi. Dirga membawakan koper Aurora langsung masum ke kamarnya. Sampai kamar, Aurora memindahkan isi kopernya ke lemari dan make up-nya di meja rias. Semua ditata rapi.

Selagi Aurora membereskan pakaiannya, Dirga main PS di depan televisi yang lebar dan slim. Dia asyik main sepak bola di TV itu.

"Ga, besok kita ke rumah Kak Suci yuk!" kata Aurora telah menyelesaikan pekerjaannya.

"Mau ngapain?" sahut Dirga tanpa menoleh, dia sedang asyik bermain PS.

"Mau ambil foto nikah kita."

"Iya."

Setelah mendapat jawaban dari Dirga, lantas Aurora keluar dari kamar, melihat bahan yang ada di dapur. Sudah pukul 17.00 WIB, dia ingin menyiapkan makan malam untuk mereka. Sayangnya di dapur tidak ada bahan untuk dimasak. Akhirnya Aurora memesan makan dari luar.

Tengah malam, saat Dirga sedang tidur, sayup-sayup mendengar seseorang terkikih. Merasa terusik, dengan berat hati dia membuka mata.

"Bisa enggak sih jangan berisik?" ujarnya pelan supaya tidak menyinggung hati Aurora.

"Enggak, ini lucu banget," kata Aurora sambil terkekeh.

Sedari tadi dia menonton drama Korea genre romance comedy di ponsel.

"Aku mau tidur, tolonglah," pinta Dirga memelas, matanya terlihat sangat berat.

"Ya sudah, tidur aja. Gitu aja repot!" ucap Aurora tak acuh, tanpa melihat Dirga.

"Kalau kamu terus berisik, gimana aku mau tidur?"

"Ish, tidur aja di luar!"

Tanpa berucap apa pun, Dirga ke luar kamar. Dirga sedang malas berdebat, mending dia mengalah. Percuma membantah istrinya, Aurora kan, memang keras kepala. Aurora masih asyik menonton film. Beberpa menit dia menyadari sesuatu.

Segera Aurora meletakkan ponselnya lalu ke luar kamar mencari Dirga. Dia membuka pintu kamar yang bersebelahan dengan kamar mereka, tak ada Dirga. Lekas Aurora mencari di kamar bawah, juga tak ada. Terakhir dia cek di kamar ART, pun tidak ada.

"Dirga!" teriak Aurora.

Dia bingung mencari Dirga.

"Ga! Kamu di mana?" pekik Aurora, lama-lama suaranya parau. "Dirgaaaa ...," ucap Aurora semakin lirih dan bergetar. Air matanya menggantung di pelupuk.

Rasa bersalah menjalar ke sekujur tubuh. Begitu asyiknya dia menonton film, tak sadar mengusir suaminya dari kamar. Jika sudah begini, mencari juga, kan?

"Gaaaaa." Aura menyapu pandangannya ke penjuru rumah sambil menaiki tangga. Tak tampan batang hidung Dirga.

Air matanya pun pecah, dia menyesal mengusir Dirga dari kamar. Aurora duduk di tangga terakhir, dia menunduk sambil menangis terisak-isak.

"Ga, maafin aku," ucapnya lirih sambil menghapus air matanya.

Dari pintu belakang, dapur, Dirga masuk. Sayup-sayup mendengar orang menangis. Segera dia mencari sumbernya.

"Ra," seru Dirga mendekati Aurora.

Segera Aurora mendongak, menengadahkan wajahnya yang bahas air mata, menatap Dirga. Wajah Dirga bengong dan kebingungan. Aurora langsung berdiri memeluknya.

"Kamu dari mana sih?" tanya Aurora menangis dalam pelukan Dirga.

"Aku tadi lihat keran di belakang rumah. Mau pindah ke kamar bawah, denger air ngalir, ternyata kerannya bocor. Makanya aku ikat dulu sementara pakai plastik. Kamu kenapa nangis di sini sih?"

Aurora semakin mengeratkan pelukannya.

"Aku kira kamu ngambek karena aku usir dari kamar. Maaf, aku terlalu asyik nonton drakor."

"Makanya kalau ada suami dijaga bener-bener. Ini malah ditinggal nonton, dicuekin, diajak main enggak mau."

"Ya sudah, ayo!" Aurora melepas pelukannya, dia menarik tangan Dirga.

"Masih mau nonton drakor enggak? Kalau iya, aku tidur bawah saja."

"Enggak," sahut Aurora manja.

Lantas mereka kembali ke kamar. Baru juga Dirga menutup pintu kamar, Aurora langsung mengalungkan tangannya dan bergelayut di tengkuk Dirga.

"Besok kamu dinas berapa hari?" tanya Aurora berjalan mundur, Dirga memegangi pinggang ramping Aurora sambil berjalan maju.

"Dua hari." Dirga menjatuhkan Aurora di tempat tidur lalu dia menindihnya. "Ra," panggil Dirga sambil membuka bajunya.

"Apa?" sahut Aurora sangat lembut.

"Sampai kapan kamu mau kerja jadi pramugari?" tanya Dirga mengelus perut rata Aurora.

"Sampai aku bosan."

"Kalau kamu hamil, gimana?"

Aurora terdiam, pasalnya jika pramugari hamil, dia tidak diizinkan bekerja lagi.

"Kok diem sih?" tanya Dirga berhenti mengelus perut Aurora.

"Ga, kamu pengin cepet punya anak, ya?" Aurora menatap wajah Dirga serius.

"Iya. Mauku secepatnya."

"Mmm ... kalau kita tunda satu tahun dulu, gimana?"

Dirga langsung menjatuhkan diri di tempat tidur. Dia menghela napas panjang, seketika nafsunya hilang. Padahal tadi dia sudah siap. Dirga menatap langit-langit kamar, dia diam, Aurora masih memerhatikannya.

"Kok diem?" tanya Aurora.

"Aku ngantuk, ayo tidur saja."

Hati Dirga diselimuti perasaan kecewa. Dia menarik selimut dan menutupi tubuhnya yang sudah setengah telanjang. Dirga memunggungi Aurora.

"Ga, enggak jadi main?" tanya Aurora mencolek punggung Dirga.

Tak ada sahutan, padahal Dirga mendengarnya.

Buat apa setiap hari melakukannya, kalau dia menunda kehamilan, ucap Dirga dalam hati.

"Ga, kamu ngambek?" Aurora masih berusaha membujuk Dirga. "Jangan diemin aku dong. Aku paling enggak bisa didiemin."

"Udah deh, Ra, tidur. Besok aku berangkat pagi," sahut Dirga menahan perasaan nyeri di dadanya.

"Kamu ... beneran enggak jadi nih?" tanya Aurora yang sebenarnya sudah siap dan menginginkannya juga.

"Enggak, Ra. Udah, tidur aja," kata Dirga mematahkan semangat Aurora.

Wanita itu memanyunkan bibir lalu memunggungi Dirga.

"Tadi minta, giliran udah siap enggak jadi. Apa sih maunya!" gumam Aurora kesal terdengar sampai di telinga Dirga.

Namun, tak dihiraukan Dirga. Dia telanjur kecewa dengan jawaban Aurora tadi. Mereka tidur saling memunggungi.

***

Sinar matahari membias masuk ke celah jendela. Sehabis salat Subuh, Aurora menyiapkan sarapan untuk Dirga. Hari ini dia masih libur, Dirga yang berangkat dinas pagi.

Setelah rapi dan wangi, Dirga turun, meletakkan kopernya di bagasi. Sambil menunggu mesin mobil panas, Dirga ke ruang makan. Aurora menyiapkan nasi putih, tumis jagung muda dicampur bakso dan sosis, serta jus buah favorit Dirga.

"Aku nanti ke rumah Kak Suci sendiri aja," ujar Aurora setelah Dirga duduk.

"Kalau gitu aku berangkat ke bandara naik taksi saja."

"Enggak usah, aku aja yang naik taksi. Entar pulangnya, Kak Suci mau antar. Aku mau ambil foto pre-wedding kita sama foto nikah kita." Aurora meletakkan piring yang sudah berisi nasi di depan Dirga. Dia mengambilkan sayur dan lauk di piring Dirga.

Beberapa saat tak ada obrolan, Dirga masih sedikit kecewa dengan rencana Aurora yang menunda kehamilannya.  Padahal dia sudah ingin sekali punya anak. Selain usianya sudah kucup matang, Dirga mau melengkapi keluarga kecilnya dengan tangisan bayi.

"Ra, kalau kita ambil ART gimana?"

"Bukannya yang kemarin sudah ada?"

"Yang waktu itu aku udah hentikan, sejak dia sekongkol sama Dokter Tiara."

"Mau ART yang nginep?"

"Terserah kamu. Mau yang nginep atau langsung pulang."

"Kalau nginep, takutnya terjadi sesuatu hal yang enggak kita iginkan. Soalnya kalau kita lagi sama-sama tugas, rumah kosong."

"Makanya, kamu di rumah aja. Aku yang kerja."

"Enggak bisa gitu dong," bantah Aurora cepat.

"Aku udah selesai makan." Dirga menyela ucapan Aurora, dia tak ingin suasana paginya buruk karena berdebat dengannya. "Kamu pikir-pikir saja dulu, mau cari PRT yang nginep atau enggak. Kalau sudah dapat jawabannya, entar kabari aku," ujar Dirga tanpa menatap Aurora, dia sibuk mengelap bibir dengan tisu lalu minum jusnya.

Aurora yang memerhatikan gerak-gerik Dirga, merasa jika suaminya itu berubah.

"Ga, kamu masih marah sama aku?" tanya lirih Aurora berhenti makan dan menatap Dirga sendu.

"Kenapa marah? Enggak," elak Dirga setelah menghabiskan jusnya.

"Kok sikap kamu aneh sejak semalam."

"Aneh bagaimana? Aku memang biasa begini, kan?"

"Aku merasa kamu aneh, Ga."

"Ra, jangan memulai hari dengan perdebatan enggak penting deh. Jangan mengacaukan perasaanku. Aku mau berangkat dinas. Bisa enggak kamu itu menyenangkan perasaan suami biar dia selalu happy dan kerja tenang."

Apa dia dongkol karena semalam kita enggak jadi main? batin Aurora terus menatap Dirga.

Dia memiliki ide, Aurora bangkit lalu duduk di meja depan Dirga. Dia mengelus bahu Dirga dan meraba dadanya.

"Mau ngapain kamu?" tanya Dirga menyandarkan tubuhnya di kursi.

"Tadi katanya aku suruh nyenengin suami sebelum kerja." Aurora mengendurkan dasi Dirga.

"Bukan begini, Ra. Aku sudah rapi."

"Nanti bisa dirapiin lagi, kan?"

"Nanti aku telat, Ra." Dirga menahan tangan Aurora yang ingin melepas sabuknya.

"Bentar saja," pinta Aurora sambil menggoda dengan kerlingan.

Dirga menarik napas panjang, dia mengangkat tangan, pasrah. Apa boleh buat, dia juga menginginkannya. Dengan senyum puas Aurora melepas kaitan celana Dirga.

"Cepet, ya? Jangan lama-lama."

"Kenapa sih? Kan, kalau lama enak."

"Ih, kamu enggak dari tadi, habis salat Subuh kan, enak. Ini udah mau berangkat minta jatah."

"Lagi penginnya sekarang, Sayang."

Dirga hanya bisa pasrah saat Aurora pindah di pangkuannya dan menciumi leher sampai belakang telinga.

"Bentar, lepas dulu PDH-ku, entar lecek."

Aurora turun dari pangkuan Dirga. Setelah Dirga melepas semuanya, dia menidurkan Aurora di meja makan lalu mulai menumpahkan hasratnya.

######

Pasti Aurora yang jadi biang kerok! Dasar Sumbu Pendek!🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top