Kabar yang Ditunggu

Napasnya tersengal-sengal, masih mengenkan seragam kebanggaannya, Dirga berlari menyusuri koridor rumah sakit. Tak peduli orang-orang memerhatikannya aneh, yang ada dalam kepalanya saat ini adalah Aurora.

Sesampainya di deretan pintu ruang perawatan istrinya, Dirga mencari tulisan VVIP nomor 2. Setelah ditemukan, dia perlahan mengetuk pintu. Samsul membukakan pintu. Napasnya masih tersengal, Dirga masuk lalu menyalami papanya. Di dalam ruangan tenang, ada Vera, Rosita, dan Panji mengelilingi Aurora yang sedang tidur.

"Gimana keadaannya, Pa?" tanya Dirga tampak cemas.

"Atur napas, duduk, dan minum dulu," ujar Samsul merangkul Dirga, mengajaknya mendekati brankar yang ditiduri Aurora.

Semua memandang Dirga dengan tatapan yang sulit diartikan. Dirga kebingungan, dia semakin kalut.

"Apa yang kamu lakukan sampai Aurora begini?" tanya Rosita bersedekap sambil menatap Dirga tajam.

"Ma, aku enggak ngapa-ngapain dia. Sumpah, demi Allah, Ma. Aku juga kaget tadi pas Papa telepon ngabari Aurora dibawa ke rumah sakit," jawab Dirga panik.

"Jadi suami itu yang siaga gitu loh, Ga. Peka sama istri, perhatikan istrinya," omel Rosita dengan wajah judes.

Vera hanya diam, duduk di sebelah tempat berbaring Aurora sambil memegangi tangannya.

"Kemarin dia masih sehat pas aku mau berangkat dinas, Ma. Memang dia ngeluh pusing, tapi katanya enggak apa-apa. Aku ajak berobat, Aurora menolak."

"Terus kamu biarin gitu aja? Iya?" Rosita sedikit meninggikan suaranya. Dia khawatir terjadi sesuatu kepada menantunya.

Dirga yang merasa bersalah hanya dapat menunduk, tak berani menatap Rosita.

"Sudah, Ma, kita juga belum tahu hasil tes kesehatan Aurora. Kita berdoa saja, agar tidak ada masalah sama kesehatan Aurora," ujar Samsul meredakan amarah Rosita.

Untuk menenangkan hatinya, Rosita menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Lantas dia berjalan ke sofa di pojok ruangan itu dan duduk.

"Ga, duduk sini."

"Iya, Ma."

Setelah Dirga duduk, Vera dan Panji bergabung dengan Rosita, duduk di sofa. Sedangkan Samsul keluar mencarikan makan untuk Dirga.

"Sayang, kenapa bisa begini sih?" ucap Dirga lirih sambil mengelus kepala Aurora.

Dalam tidur, Aurora samar-samar mendengar suara Dirga. Perlahan dia membuka mata, hal pertama yang dia lihat adalah wajah sedih dan letih suaminya. Bibir pucat Aurora berusaha melempar senyum terbaiknya untuk Dirga.

"Kamu baru sampai?" tanya Aurora dengan suara lemah dan mengelus pipi Dirga.

Dirga hanya tersenyum dan mengecup punggung tangan Aurora yang bebas dari infus.

"Apa yang kamu rasakan?" tanya Dirga sangat lembut.

"Aku pusing banget, terus lemes, makan selalu muntah."

"Jangan-jangan kamu telat makan, ya? Jadi mag kamu kambuh."

"Enggak kok. Aku makan aja muntah."

"Ya sudah, kamu istirahat dulu." Dirga mencium kening Aurora dan menemaninya sampai kembali tertidur.

Rosita, Vera, dan Panji mengobrol lirih, seperti berbisik. Mereka tampak serius.

"Ga, Mama sama Om Panji mau keluar dulu. Tolong jagain Aurora, ya?" kata Vera dari tempatnya duduk.

"Iya, Ma."

Setelah mendapat jawaban Dirga, segera Vera dan Panji berlalu dari tempat itu.

"Ga, Mama mau nyusul Papa dulu. Kok lama banget keluarnya."

Tanpa menunggu jawaban Dirga, Rosita keluar. Tinggallah Dirga dan Aurora di ruang itu. Dirga melepas PDH-nya, menyisakan kaus putih polos dan celana kerja.

Sebenarnya Dirga lelah, ngantuk, dan lapar. Namun, dia tahan demi menemani istrinya. Hampir satu jam orang tua dan mertuanya keluar, sampai sekarang belum juga kembali. Dirga mencari sesuatu yang bisa dia makan untuk mengganjal perutnya.

Saat dia ingin membuka plastik putih yang berada di nakas, Aurora terbangun. Dia seperti ingin muntah. Dengan sigap Dirga membuka plastik di depan Aurora. Namun, tak ada yang keluar dari mulut Aurora. Dirga mengambilkannya minum, setelah minum, Aurora kembali berbaring.

"Kata dokter kamu sakit apa?" tanya Dirga mengembalikan gelas di nakas.

"Aku juga belum tahu, Sayang. Emang hasil tesnya sudah keluar?"

"Mama sama Papa belum bicara apa-apa," ujar Dirga duduk di sebelah Aurora lalu membelai wajahnya yang sudah lumayan merah, tak sepucat tadi.

"Sabar, mungkin belum keluar." Aurora menggapai tangan Dirga lalu dia kecup telapaknya.

Senyum Dirga mengembang, dia bahagia dengan kondisi rumah tangganya sekarang yang jauh lebih baik dari awal mereka menikah. Aurora juga bisa lebih fokus mengurus keluarga dan sedikit menekan egonya.

"Kamu mau sesuatu?" tanya Dirga menyingkirkan anak rambut yang menutup kening Aurora.

"Aku cuma pengin kamu ada di sampingku." Aurora memeluk lengan Dirga.

Pintu ruang perawatan terbuka, orang tua mereka datang bersama dokter paruh baya, berkacamata, dan memiliki kumis, yang menangani Aurora sejak masuk rumah sakit.

"Bagaimana, Bu Aurora? Sudah mendingan?" tanya dokter sambil mendekati brangkar Aurora.

Seorang suster mengecek infus Aurora.

"Alhamdulillah, lemesnya udah mendingan, Dok. Tapi pusing sama mualnya yang enggak hilang-hilang."

Dokter itu hanya tersenyum simpul, dia memeriksa nadi Aurora.

"Dok, sebenarnya istri saya sakit apa?" tanya Dirga penasaran bercampur cemas.

Dokter itu malah menatap orang tua mereka yang berdiri di belakang Dirga.

"Ga, sebenarnya Aurora itu enggak sakit," ujar Rosita sambil memegang kedua bahu Dirga.

"Tapi, memang begitu gejala wanita hamil," lanjut Vera mengejutkan Dirga dan Aurora.

"Maksud Mama, a-a-aku ha-ha-mil?" kata Aurora tak percaya, air mata haru menggantung di pelupuknya.

"Dok, benar istri saya hamil?" Dirga menatap dokter, menuntut penjelasan.

"Iya, benar, Pak. Usia kehamilannya sudah enam minggu," ujar dokter itu sambil tersenyum lebar, meyakinkan Dirga.

"Alhamdulillah hirrobil'alamin." Dirga sujud syukur menghadap kiblat. Dia menangis bahagia lalu bangkit dan memeluk Aurora.

Begitupun Aurora, dia juga menangis bahagia, memeluk Dirga erat.

"Akhirnya Allah menjawab doa-doa kita, Yang. Usaha kita membuahkan hasil. Program hamil kita berhasil," ucap Aurora di sela tangisannya.

Semua tampak bahagia, termasuk orang tua mereka. Vera dan Rosita tahu betul bagaimana Dirga dan Aurora sudah sangat menanti momen ini. Di usia pernikahan mereka yang keempat tahun, Allah baru mempercayakan anugerah itu. Usaha Aurora dan Dirga untuk mendapatkan buah hati tak main-main, dari alternatif  hingga dokter untuk membantunya program hamil.

Setelah Dirga melepas pelukannya, Aurora kembali berbaring. Dirga menciumi wajah Aurora; kening, kedua sisi pipi, hidung, dan bibir. Itu dia lakukan berulang kali.

"Makasih, ya?" ucap Dirga tak peduli air matanya mengalir.

"Kita sebentar lagi punya anak, Yang." Air mata Aurora banjir, tetapi bibir tersenyum lebar.

"Bu Aurora," sela dokter, "jadi selama trimester pertama usahakan bed rest, ya? Jangan stres, jangan sampai kelelahan, pokoknya kuatkan dulu kandungannya. Soalnya kandungan Ibu lemah dan mungkin juga faktor usia, apalagi ini kehamilan pertama, kan?"

"Iya, Dok. Saya akan turuti saran Dokter," jawab Aurora tak dapat ditutupi rasa bahagianya.

"Saya akan tuliskan resep vitamin dan obat penguat kandungannya."

"Baik, Dok," ucap Dirga tak kalah bahagianya dengan Aurora.

Dokter itu menulis sesuatu di kertas, setelah selesai, dia berikan kepada Dirga.

"Itu bisa langsung ditebus," terang dokter.

"Baik, Dok. Terima kasih," ucap Dirga.

Dokter dan suster itu keluar dari ruang perawatan.

"Mama kok baru ngasih tahu sih?" protes Aurora kepada Vera.

"Mama juga baru tahu tadi pas mau balik ke sini. Ketemu dokter di depan," jelas Vera mendekati Aurora lalu mencium keningnya. "Selamat, ya, Sayang. Sebentar lagi kamu jadi ibu."

"Makasih, Ma," ucap Aurora menggenggam tangan Vera erat.

"Aku akan ngabari Suci," ujar Rosita antusias, dia tak sabar mengambil ponselnya di tas lalu menelepon Suci.

"Ni, Ga, makan dulu," ujar Samsul memberikan plastik bening berisi kotak nasi.

"Makasih, Pa."

"Tadi Mama sama Om Panji dari mana? Kok lama keluarnya?" tanya Aurora mendongak, menatap Vera.

"Tadi ke restoran sebentar, ngecek keadaan. Biasanya kalau jam makan siang ramai," papar Vera mengelus kepala Aurora.

Panji yang berdiri di sebelah Vera, ikut senang, dia akan mendapatkan cucu lagi dari anak sambungnya. Hubungan Panji dan Aurora baik, hanya saja Aurora belum membiasakan diri memanggil Panji papa. Tidak masalah bagi Panji, yang terpenting Aurora menerimanya dengan tangan terbuka.

***

Bosan! Aurora hanya bisa melakukan apa pun di tempat tidur. Paling jalan-jalan sebentar untuk meregangkan otot yang kaku.

"Yang, kamu beli apa lagi ini?" tanya Dirga membawa masuk paket yang terbungkus plastik hitam ke kamar.

"Enggak tahu, aku lupa, Yang," ujar Aurora bangun dan bersandar di kepala ranjang.

Dirga membuka paket tersebut, ternyata isinya tempat tidur karakter khusus bayi. Aurora memiliki hobi baru selama bed rest, yaitu belanja online. Banyak barang-barang untuk bayi yang sudah dia beli.

"Ya Allah, Yang. Beginian aja beli di online, kan nanti bisa kita belanja di toko khusus anak," ujar Dirga menggeleng.

"Lucu, Yaaaaaang. Gemesin."

"Kamu mah lapar mata namanya ini. Semua maunya dibeli. Hemat, Yang, buat persiapan anak kita."

"Iya, iya. Bawa sini," pinta Aurora.

Dirga membawa barang itu ke tempat tidur. Sejak pulang dari rumah sakit, Bi Nah diminta Vera untuk membantu Aurora selama mereka belum mendapatkan ART yang cocok. Selama ini jika ingin membersihkan rumah, mereka menyewa jasa cleaning service.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Dirga dan Aurora menyahut bersamaan.

Pintu kamar terbuka, Bi Nah mengantar seseorang.

"Destiiiiii!" pekik Aurora girang sambil merentangkan tangan, menyambut sahabat baiknya.

Tak kalah girang, Desti menghampiri Aurora lalu memeluk sambil mencium pipinya.

"Gue seneng banget denger kabar lo hamil, Ra." Saking bahagianya Desti sampai menangis.

Dia lupa di situ ada Dirga. Saking kangennya karena sejak Aurora tak bekerja menjadi pramugari, mereka jarang sekali bertemu. Paling saling menanyakan kabar melalui ponsel. Dirga memberikan waktu untuk Desti dan Aurora. Dia bersama Bi Nah keluar dari kamar.

"Lo libur?" tanya Aurora mengelap air mata Desti dengan tisu.

"Iya. Sebenarnya baru pulang Subuh tadi sih. Pengin cepet-cepet ke sini, tapi enggak enak, masa pagi-pagi bertamu."

Aurora terkekeh sambil menutup mulutnya.

"Lo ngidam apa? Gue siap beliin," ujar Desti antusias.

"Gue lagi enggak pengin apa-apa. Lihat lo begini aja udah happy."

"Kalau misal lo pengin makan sesuatu, gue lagi ke daerah itu, bilang aja, ya? Pasti gue beliin."

"Iya. Makasih, Des."

Aurora sangat bahagia, ternyata selama ini, dia dikelilingi banyak orang yang sayang padanya. Dia bersyukur, mengambil keputusan meninggalkan karier demi keluarga tak ada ruginya. Dia masih bisa bahagia dengan cara lain.

Tuhan sudah mengatur semuanya dengan indah. Apa yang kita takutkan dan khawatirkan, itu hanya akan membelenggu kita dalam pikiran negatif.

"Yang," panggil Dirga dari ambang pintu.

"Iya," sahut Aurora menoleh ke sumber suara, begitu juga Desti.

"Aditya sama istrinya ke sini."

"Suruh naik aja, Yang. Enggak apa-apa."

Dirga lalu membuka pintu kamar lebar, dia memanggil Aditya dan istrinya yang menunggu di ruang tamu.

"Aku seneng deh, Ra, lihat kamu sama Kapten Dirga sekarang romantis," ujar Desti sambil tersenyum tulus.

"Alhamdulillah, Des. Ini juga berkat masukan dari lo, kebawelan lo selalu nasihati gue yang keras kepala ini. Maaf sempat bikin lo marah, sebel, dan jengkel sama gue."

"Iya, gue paham kok, Ra, karena lo sumbu pendek, makanya gue bawel." Desti terkikih geli, begitupun Aurora, dia tertawa lepas.

Dirga datang bersama Aditya yang menggendong anak lelaki berusia sekitar satu tahun dan istrinya berjalan di belakang.

"Assalamualaikum," sapa istri Aditya ramah.

"Waalaikumsalam," jawab Aurora dan Desti bersamaan.

Desti turun dari tempat tidur lalu menyalami istri Aditya.

"Gimana, Ra? Masih lemas?" tanya Aditya menurunkan anaknya.

"Sudah mendingan, Kap. Kadang-kadang mual, entar hilang, gitu deh," jelas Aurora masih menghormati Aditya yang pernah menjadi atasannya.

"Sabar, Ra. Gejala ini hamil beda-beda. Dulu aku juga gitu, paling parah setiap pagi," sahut istri Aditya.

"Iya, Mbak. Bener itu." Aurora menyahut, obrolan mereka melebar.

Suasana di kamar itu siang ini ramai. Dirga dan Aurora berkumpul bersama sahabat-sahabat terbaiknya. Mereka adalah saksi perjalanan cinta Dirga dan Aurora.

Cinta hadir karena terbiasa dan tanpa alasan. Begitu berat seseorang memilih antara karier dan keluarga. Namun, rencana Tuhan lebih dasyat dari apa yang kita khawatirkan. Tak ada salahnya melepas karier demi keluarga, karena sesungguhnya harta berharga kita adalah keluarga.

SELESAI

#######

Akhirnya sampai di ujung ceritaaaaa. Yeaaaaaa .... Tunggu extra part-nya, yaaa?

Maaf, beberapa hari aku sibuk. Ngetiknya nyicil-nyicil. Habis ini akan ada cerita seru, Yang mengisahkan kebadungan anak SMA.

Pokoknya banyak pelajaran hidup di dalam cerita itu nanti. Ditunggu, yaaa?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top