Extra Part (Cinta Tak Berujung)
"Yang, mmm ...." Dirga ragu saat ingin bicara dengan Aurora yang sedang mengolesi wajahnya dengan krim malam.
"Kenapa, Yang? Mau bicara apa?"
Selesai memakai krim malam, Aurora lantas mendekati Dirga yang berbaring di tempat tidur. Dia merangkak lalu menjatuhkan diri di samping Dirga. Aurora memeluknya.
"Kan, Mega sudah umur 7 tahun. Dia udah SD."
"Iya, terus?"
"Mmm ... gimana kalau Mega dikasih adik?"
"Ide bagus."
"Kapan kamu berhenti KB?"
"Sebenarnya aku tuh udah berhenti KB beberapa bulan lalu, Yang. Kita berusaha dulu, ya?"
"Kok kamu enggak membicarakan ini sama aku sih?"
"Mmm ... niatku itu pengin bikin kejutan buat kamu, Yang. Tapi, sampai sekarang Allah belum ngasih kita anak lagi."
"Sabar, insyaallah kalau sudah waktunya, Allah kasih lagi."
"Iya,Yang."
"Ma, Pa!" pekik suara anak kecil dari luar sambil mengetuk pintu.
"Iya, Sayang," sahut Aurora turun dari tempat tidur lalu membukakan pintu.
Gadis kecil berambut panjang dan lurus sambil memeluk boneka beruang cokelat, mengucek matanya, berdiri di depan kamar.
"Kok bangun sih? Udah tengah malam loh," ujar Aurora membopongnya lalu mengajaknya masuk.
Aurora turunkan Mega di samping Dirga.
"Kenapa bangun, Sayang?" tanya Dirga sangat halus sambil mengelus kepala Mega.
"Pengin bobo sama Papa," jawab Mega polos.
Dirga tersenyum lebar, putrinya itu memang sangat manja padanya. Aurora menggeleng, lantas dia menyusul tidur di sebelah Mega.
"Ya sudah, sekarang kita bobo. Baca doa dulu," ujar Aurora.
"Bismillah hirrohmannirrohim. Bismika Allahumma ahyaa wa bismika amuut. Aamiin."
Setelah Mega membaca doa, Dirga lalu mendekapnya. Aurora mencium pipi Mega dan menarik selimut sebatas leher.
"Selamat malam, Yang," ucap Aurora mencium singkat bibir Dirga.
"Malam juga, mimpi indah, Sayang," balas Dirga mengecup kening Aurora.
Di kamar yang remang itu, tampak kehangatan keluarga kecil Dirga dan Aurora.
***
Mata berbulu lentik itu mengejap, samar-samar dia mendengar suara azan. Dia mengumpulkan kesadarannya, lalu membuka mata. Bibir merahnya tersungging senyuman manis. Pemandangan yang sangat indah, suaminya masih setia mendekap putri kecil mereka.
"Sayang, bangun." Sangat pelan dia mengelus pipi Dirga.
Ada pergerakan dari suaminya itu, Dirga menggeliat hingga tak sengaja mengusik tidur Mega. Gadis kecil itupun ikut menggeliat dan perlahan membuka mata.
"Ayooo, bangun. Kita salat Subuh," ujar Aurora lebih dulu turun dari tempat tidur.
Dirga membuka mata, dia tersenyum sangat manis kepada putrinya yang ternyata sudah lebih dulu bangun.
"Ayo, wudu dulu!" ajak Dirga bangkit lalu membantu Mega berdiri.
Setelah itu Mega naik ke punggung Dirga. Mereka wudu bergantian dan salat Subuh berjamaah. Selesai berdoa, Aurora langsung ke dapur menyiapkan sarapan, dibantu ART. Sementara itu, Dirga membantu Mega menyiapkan keperluannya sekolah.
"Mbak, tolong lanjutin gorengnya, ya? Saya mau mandiin Mega dulu," kata Aurora kepada ART.
"Baik, Bu."
Bergegas Aurora naik ke kamar Mega. Nam
un, Mega tak ada. Dia mengecek di kamarnya, ternyata Mega dan Dirga berbaring di tempat tidur sambil bercerita.
"Aduuuh, serius amat. Lagi ngomongin apa sih?" tanya Aurora sembari berjalan ke tempat tidur.
"Ma, kata Papa sebentar lagi Mega punya adik, ya?"
Aurora sangat terkejut, matanya membulat sempurna. Dia melirik Dirga. Yang dilirik hanya cengengesan.
"Insyaallah. Doakan secepatnya Mega punya adik, ya? Kalau nanti punya adik, maunya cewek apa cowok?"
"Cowok," jawab Mega mantap.
"Kenapa?" sahut Aurora dan Dirga bersamaan.
"Biar enggak rebutan boneka sama aku, Ma, Pa," jawab Mega lugu dan sangat menggemaskan.
Dirga dan Aurora terkekeh, mereka gemas lalu menggelitiki Mega hingga tawa terpingkal menguasai kamar itu.
"Ampun, Ma, Pa," ucap Mega di tengah tawanya.
"Sudah, sudah, sudah." Aurora menghentikan aksinya, begitupun Dirga. Napas Mega tersengal, tetapi dia bahagia, Mega masih tertawa meski Aurora dan Dirga sudah berhenti menggelitikinya. "Sayang, ayo mandi!" kata Aurora mengambil handuk Mega yang tersampir di kursi.
Mega tak langsung menuruti mamanya, dia malah memeluk Dirga manja. Mega mendongakkan wajahnya menatap Dirga.
"Papa nanti berangkat kerja?"
"Iya, Sayang. Tapi berangkat siang. Kamu pengin sesuatu?" Dirga mencolek hidung mancung putrinya.
"Nanti kalau Papa libur, kita main ke rumah Oma sama Nenek, ya?"
"Siap, Bos! Sekarang Mega mandi dulu, ya?" Dirga mengacak kecil rambut Mega.
"Siap, Kapten!" pekik Mega lalu melompat turun dari ranjang.
Aurora sudah menunggunya di kamar mandi sambil menyiapkan peralatan mandi untuk putrinya. Sambil menunggu Aurora dan Mega selesai mandi, Dirga menyiapkan pakaian dan kebutuhannya untuk dinas nanti siang.
"Mega, Sayang, ayo sarapan!" pekik Aurora dari ruang makan memanggil putri dan suaminya.
Pemandangan setiap pagi selalu begitu. Aurora sibuk mengurus putrinya ditambah suami jika dia sedang tidak dinas.
Dirga menuruni tangga sambil menuntun Mega yang sudah rapi dengan seragam atasan putih, bawahan merah, dan tas cangkolong merah gambar kartun barbie kesukaannya di punggung. Sampai di ruang makan, mereka duduk di kursinya masing-masing.
"Mega, nanti bekalnya dimakan, ya?" kata Aurora sambil memasukan kotak nasi ke tas Mega.
"Siap, Mama!"
Melihat putrinya sudah besar dan pintar, Dirga bangga padanya. Dia mengelus rambut Mega yang dikepang dua.
"Habiskan sarapannya," ujar Dirga tak bosan memerhatikan setiap tingkah putrinya itu.
"Iya, Papa," jawab Mega sambil mengunyah.
Sarapan sederhana yang Mega sukai adalah naget atau sosis goreng, kalau tidak, telur ceplok.
"Yang, aku nanti mau ke tempat Mama. Kan, Mbak Sofia cuti lahiran. Mama kualahan ngurusi bisnisnya sendiri," kata Aurora yang sedari tadi sibuk wira-wiri di dapur, kini sudah duduk di sebelah Dirga dan mengambilkan sarapan untuk suaminya itu.
"Iya, nanti sekalian aja berangkat setelah kita antara Mega sekolah."
Selain mengurus keluarga, Aurora terkadang juga membantu Vera mengurusi bisnisnya. Jika Vera sibuk mengurus klinik kecantikannya yang di Bali, restoran di sini Aurora yang hendel.
"Yang," seru Aurora pelan saat mereka tengah sarapan.
"Hmmm."
"Kamu masih pengin beli sports car?"
Dirga tak menjawab, dia hanya fokus pada makanannya. Di hati kecil memang keinginan itu masih ada, impian sejak dulu yang tertunda karena ingin membangun rumah tangga bersama Lili dan tertunda lagi karena mendadak menikah dengan Aurora yang tanpa dia rencanakan.
"Tabungan kita cukup kok kalau kamu mau beli," ujar Aurora sudah memikirkan itu matang.
Sudah lama sebenarnya Aurora ingin membicarakan itu kepada Dirga, hanya saja tabungan mereka untuk keperluan yang lain dulu. Kali ini ada tabungan lebih, Aurora ikhlas jika Dirga pakai untuk membeli mobil impiannya.
Setelah Dirga minum, dia berucap, "Menurut kamu sekarang lebih penting mobil itu atau masa depan keluarga kita?"
"Mmm ... keluarga kita."
"Apa manfaatnya kita punya mobil mewah kalau hanya untuk koleksi? Mending kita beli mobil satu lagi buat kamu."
"Kok jadi aku sih? Mobil kamu itu saja masih bagus kok."
"Sayang." Dirga berucap sangat lembut sambil menggenggam tangan Aurora yang berada di meja. "Kamu sudah cukup mengalah dariku selama ini. Mobil sering aku bawa ke bandara, kamu ke mana-mana naik kendaraan umum. Sekarang kita sudah punya Mega, dia juga butuh kendaraan. Kalau memang ada tabungan lebih, kita pakai saja beli mobil lain."
"Misalkan mau beli mobil untuk fasilitas Mega, tabungan kita masih sisa kok, Yang. Serius."
"Iya, aku tahu. Mending buat yang lain, ya?"
"Kamu serius udah enggak pengin beli mobil itu?"
Sambil tersenyum manis, Dirga menggeleng.
"Yakin, Yang? Soalnya aku masih kepikiran. Bertahun-tahun aku berusaha nabung buat itu loh, Yang."
"Iya, Sayang. Yakin!" ujar Dirga sangat lembut dan tegas. "Makasih, ya, kamu sudah mengatur keuangan kita dengan baik. Tapi, kalau kamu mau apa-apa jangan ditahan. Beli saja jika itu penting."
"Aku enggak pengin apa-apa, Yang. Cukup dengan apa yang kita punya sekarang, sudah sangat bersyukur. Selama hidup sama kamu, soal finansial aku tidak kekurangan, kasih sayang berlimpah, hanya satu yang kurang."
"Apa?" tanya Dirga mengerutkan dahi.
"Waktumu."
Dirga memahami itu, dia mengangguk. Risiko punya suami pilot salah satunya adalah rela berbagi waktu bersama para penumpang.
"Insyaallah nanti kalau Mega libur sekolah dan aku pas cuti, kita nginep di villa Mama yang di Bali, ya?"
"Oke," sahut Aurora dengan senyuman sangat manis. "Sayang, sudah selesai makannya?" tanya Aurora kepada Mega.
"Sudah, Ma."
"Bawa piring kotornya ke belakang, jangan lupa cuci tangan," titah Aurora mengajarkan anaknya supaya mandiri.
"Baik, Ma."
Tanpa membantah, Mega menjalankan perintah mamanya.
***
Hari yang paling ditunggu pun tiba. Cuti dari dinas merupakan momen berharga dalam hidup Dirga dan Aurora. Mereka liburan ke Bali, menempati villa milik Vera.
Di ruangan yang remang, Dirga memeluk Aurora dari belakang. Tubuh polos mereka tertutup bed cover. Lelah bergumul semalaman, hingga matahari sudah menyongsong, mereka masih setia di tempat tidur.
Sedangkan di luar kamar, Vera dan Panji pulang dari joging bersama Mega. Mereka mengajak Mega berkeliling villa, melihat pemandangan alam yang masih asri.
"Oma, Mama sama Papa kok belum bangun sih?" tanya Mega polos saat dia melepas sepatunya di ruang tengah.
"Mungkin Mama sama Papa cape, Sayang. Kan, kemarin kalian sampai sini malam. Biarkan istirahat dulu. Kita bikin sarapan saja yuk!" ajak Vera tersenyum manis sambil mengelus pipi cucunya.
"Opa mau sarapan apa? Biar Oma sama Mega masakin."
"Apa pun yang Mega dan Oma masak, pasti Opa makan." Panji mencolek hidung mancung Mega.
"Siap, Opa!" Mega mengacungkan kedua ibu jarinya kepada Panji.
Panji mengacak kecil rambut Mega, dia tersenyum lebar. Panji masuk ke kamar untuk membersihkan diri. Jika dia dan Vera sedang berada di Bali, tempat singgah mereka villa itu.
Netra itu mengejap. Tidurnya terusik saat perut tiba-tiba terasa mual. Aurora membuka mata, dia melepas dekapan Dirga lalu berlari ke kamar mandi memuntahkan sesuatu.
Setelah agak lega, dia keluar, Dirga masih terlelap. Dirga kelelahan, kemarin seharian dinas dan selesai dinas langsung berangkat ke Bali, malamnya lembur sampai pagi bersama Aurora.
Tak ingin mengganggu waktu istirahat suaminya, Aurora memakai pakaiannya lalu membasuh wajah dan menggosok gigi, setelah itu dia keluar. Aroma ayam goreng dan bumbu ditumis menusuk indra penciumannya.
Dia pergi ke dapur, Aurora berhenti di ambang pintu antara dapur dan ruang makan. Melihat Mega dan Vera yang saling membantu memasak, dia teringat masa kecilnya saat seusia Mega, dulu Vera juga sering mengajaknya memasak.
"Waaah, masak apa nih?" ujar Aurora menyadarkan kehadirannya.
"Mamaaaa!" pekik Mega girang lalu berhamburan memeluk Aurora. "Papa mana?" tanya Mega menengadahkan wajahnya.
"Papa masih istirahat, Sayang."
"Mega bangunin, ya?"
Saat Mega ingin berlari, dengan cepat Aurora menahannya.
"Jangan dulu, Sayang. Papa masih cape. Biar Papa istirahat dulu, ya?" kata Aurora sangat lembut.
"Oke deh, Ma."
"Kita bantuin Oma masak aja yuk!" ajak Aurora lalu mereka mendekati Vera.
Tiga wanita berbeda generasi itu saling membantu menyiapkan sarapan.
"Ra, katanya nanti mertuamu mau nyusul ke sini," ujar Vera sambil mengangkat ayam goreng yang sudah kering lalu dituriskan.
"Iyakah, Ma?"
"Iya. Katanya kalau Suci sama Yogi enggak sibuk, mereka juga ikut."
"Wah, bakalan rame dong, Ma? Kita pesan makanan dari luar aja, Ma."
"Kenapa enggak masak sendiri?"
"Aku lagi enggak enak badan, Ma. Lemes, rasanya pengin santai, badan mudah cape sekarang."
"Oooh, ya sudah, entar Mama keluar, pesan makanannya."
Lagi-lagi perut Aurora terasa mual, dia juga ingin muntah. Namun, dia tahan, sungkan karena mereka sedang masak. Setelah beberapa jam di dapur dan menu sarapan jadi, Aurora kembali ke kamar. Sedangkan Mega ikut Vera.
"Baru bangun, Yang?" tanya Aurora melihat Dirga duduk di tepi ranjang sambil menunduk, bagian bawahnya ditutupi bed cover.
"Iya. Kepalaku pusing banget, Yang," keluh Dirga memijat pelipisnya.
"Kenapa?"
Aurora mendekat, menempelkan tangan di dahi Dirga. Agak hangat.
"Enggak tahu, tiba-tiba aja berat."
"Ya sudah, kamu berbaring lagi aja. Mungkin kamu itu kecapean."
Tanpa membantah, Dirga kembali berbaring. Aurora mengambilkannya pakaian. Tadi saat Dirga masih nyenyak tidur, ponselnya berdering, dia kaget. Ternyata Rosita menelepon.
"Mega mana, Yang?"
"Ikut Mama, katanya mau mandi sama omanya."
Aurora memberikan kaus dan celana pendek agar Dirga memakainya. Setelah terpasang, Dirga kembali berbaring. Aurora duduk di tepi ranjang, dia terus menatap wajah suaminya yang sedikit pucat.
"Kamu dari mana tadi?" Dirga mengelus pipi Aurora dengan punggung tangannya.
"Masak di dapur sama Mama juga Mega."
"Mama nanti mau ke sini sama Kak Suci?"
"Iya. Paling kalau enggak siang, malam sampai. Kamu istirahat lagi aja. Nanti aku buatin teh sama bawakan sarapan, ya?"
"Enggak usah, entar aja kalau aku sudah mendingan ambil sendiri. Kamu udah mandi?"
"Ini mau mandi."
"Ya sudah. Aku mau istirahat dulu. Nanti kalau Mega mau jalan-jalan, kasih tahu, tunggu aku agak enakan, ya?"
"Iya. Dia anak pintar dan baik, pasti bisa memahami kok. Kamu istirahat dulu aja, ya?" Aurora mencium kening Dirga dan menyelimutinya.
Setelah itu dia mengambil sesuatu di koper, Aurora lantas masuk ke kamar mandi. Dia sangat penasaran, akhirnya Aurora beranikan diri mengetes urinnya.
***
Malam semakin larut, suasana di ruang makan villa itu bertambah hangat dan ramai. Bari dan Mega bermain kembang api di teras samping villa diawasi Suci dan Yogi.
Gelak tawa Rosita dan Vera menguasai ruangan itu. Tak mau kalah, Samsul dan Panji menimpali. Saat Dirga sedang minum di dapur, Aurora menyusulnya.
"Yang, aku mau bicara."
"Bicara saja, Sayang."
Aurora tampak gugup, dia mengulurkan kotak kecil yang sedari tadi dibawa. Dia berikan kepada Dirga. Setelah meletakkan gelas, Dirga menerimanya.
"Apa ini? Aku enggak ulang tahun, kok dikasih kado?"
"Buka aja."
Meskipun ragu, Dirga membuka kotak itu. Dia mengambil benda di dalamnya. Matanya melebar, bibirnya sedikit terbuka, detik Berikutnya dia menatap Aurora.
"Sayang, kamu positif?" tanya Dirga dengan wajah tak percaya.
"Iya, aku hamil anak kita yang kedua, Sayang," ucap Aurora girang.
Langsung Dirga memeluknya dan sedikit mengangkat tubuh Aurora. Dia turunkan Aurora, lalu menciumi semua wajahnya.
"Makasih, Sayang," ucap Dirga berulang kali.
"Iya, sama-sama," ucap Aurora tak kalah bahagianya.
Dirga lalu berlari ke ruang makan sambil berteriak, "Aku bakal punya anak lagi, Ma, Pa!"
Di ruangan itu beberapa detik diam, mereka memasang telinga baik-baik.
"Kamu tadi teriak apa, Ga?" tanya Vera hanya ingin memastikan bahwa pendengarannya masih normal.
Aurora datang dan berdiri di samping Dirga.
"Di sini, ada adik Mega," ucap Dirga mengelus perut Aurora.
"Benar, Ra?" tanya Rosita.
"Iya, Ma. Benar," ujar Aurora dengan senyuman bahagia.
"Alhamdulillah," ucap semuanya hampir bersamaan.
Suasana semakin riuh dan kebahagiaan menyelimuti keluarga mereka.
"Mega!" panggil Vera tak sabar ingin memberi tahu cucunya kabar bahagia itu.
"Iya, Oma?" Mega mendekati Vera diikuti Bari juga Suci dan Yogi.
Vera berbisik sesuatu di telinga Mega. Gadis kecil itu lalu berlari masuk sambil memekik, "Papa, Mama, benar Mega mau punya adik?"
Mega mendongak, menanti jawaban dari orang tuanya. Dirga membopong putrinya. Dia lalu mengangguk.
"Asyiiiiik! Aku mau punya adik!" ucap Mega girang.
Suci dan Yogi ikut bahagia mendengar hal itu. Apalagi saat ini Suci juga sedang mengandung anak keduanya. Usia kandungan Suci sudah tujuh bulan.
Dukungan keluarga sangat berperan penting dalam kehidupan kita. Keharmonisan keluarga tercipta karena komunikasi yang baik dan saling peduli.
TAMAT
#####
Akhirnya lunas!
Cerita berikutnya semoga tidak disalahartikan karena mengandung unsur 18+. Bukan niat mau bercerita pornografi, hanya saja aku mau menyampaikan sesuatu dalam cerita itu.
Ditunggu, yaaa? Semoga saja bisa mengambil hikmah dalam setiap cerita yang aku bikin.
Terima kasih, teman-teman yang sudah mau sabar menunggu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top