Di Ujung Tanduk
Awal bulan jadwal terbang keluar. Notif di grup pramugari Rajawali Indonesia masuk. Aurora terkejut, sekarang jadwalnya tidak lagi bersama Dirga. Dua hari sejak perdebatan malam itu, Dirga maupun Aurora tak saling bertukar kabar.
"Ra, dipanggil Kapten Dirga, disuruh nemui dia di pintu keluar terminal dua," kata teman Aurora sesama pramugari saat masuk ke ruang kru.
"Oh, iya. Makasih," ucap Aurora bergegas ke luar menemui Dirga.
Sampai di pintu keluar terminal dua, dia melihat Dirga gagah mengenakan seragamnya berdiri tegap di depan pintu keluar. Saat Aurora sampai di depannya, Dirga langsung memberikan amplop putih untuknya.
"Apa ini?" tanya Aurora menerima itu.
"Uang belanja bulan ini. Sebagai kewajibanku yang masih jadi suamimu sampai detik ini," ucap Dirga lalu memakai kacamata hitamnya.
"Enggak perlu, aku masih ada kok." Aurora ingin mengembalikanya, tetapi Dirga menolak.
"Silakan kamu ambil keputusan sesuka hatimu. Aku mengikutimu saja. Ke mana nasib rumah tangga kita, biarkan takdir yang bermain. Jalani saja seperti air mengalir. Jika memang tidak bisa dipertahankan lagi, silakan ambil keputusan. Prinsipku, menikah sekali seumur hidup. Jadi, apa pun keputusannya, itu di tangan kamu, Ra."
Sesak hati Aurora mendengar ucapan Dirga. Dia menatap wajah letih dan sendu Dirga. Di balik kacamata hitamnya, Dirga menatap kedua mata Aurora yang terpancar kesedihan.
"Jaga diri baik-baik, ya? Maaf enggak bisa selalu jagain kamu. Aku sudah minta Mas Ilham untuk mengubah jadwal kita seperti semula. Terima kasih sudah menemaniku dinas beberapa bulan ini. Aku senang bisa tugas denganmu. Terima kasih juga sudah memberikan kesempatan untuk mengenalmu lebih jauh."
Meskipun berat, Dirga bersiap menarik kopernya. Baru ingin melangkah, Aurora berucap, "Apa kamu mencintaiku?"
Pertanyaan itu sukses seperti menghentikan darah Dirga yang mengalir di sekujur tubuhnya. Bibir Dirga sangat kelu, entahlah, dia harus menjelaskan tentang perasaannya saat ini mulai dari mana. Yang pasti, dia sedih jika harus berjarak lagi dengan Aurora. Dia ingin memperbaiki rumah tangga yang sudah di ujung tanduk ini.
"Kenapa enggak jawab? Apa kamu belum bisa melupakan Lili?"
Lagi-lagi Dirga tak bisa menjawab. Sebenarnya dia ingin sekali menyangkal tuduhan itu, apalah daya, bibirnya seperti terkunci, sangat sulit dibuka.
"Wajar enggak sih kalau aku cemburu sama Lili? Kadang aku enggak ngerti, harusnya aku enggak perlu khawatir jika kamu akan kembali kepada Lili. Tapi aku cemburu saat kamu memikirkan dia."
Tanpa berucap apa pun, Dirga meninggalkan Aurora. Tak ada satu pun pertanyaan Aurora yang Dirga jawab. Hati Aurora semakin diselimuti perasaan kalut.
"Rumah tangga macam apa ini," gumam Aurora kesal lalu pergi dari tempat itu.
***
Tengah hari saat tidak dinas, Aurora memikirkan sesuatu ketika duduk di teras rumah. Vera datang membawakan es jeruk untuk Aurora lalu dia ikut duduk di sebelah putrinya yang sedang melamun.
"Makasih, Ma," ucap Aurora lalu meminumnya.
"Iya, Sayang." Vera mengelus rambut panjang Aurora.
Setelah itu hening beberapa saat.
"Ra, kok Dirga enggak ke sini sih?" tanya Vera mengawali obrolan mereka.
"Jadwalnya padat, Ma," jawab Aurora sesuai yang dia tahu.
"Maaf, Ra, sebelumnya. Mama mau tanya sesuatu sama kamu. Boleh?"
"Tanya apa, Ma?"
"Kamu enggak pengin tinggal sama Dirga?"
"Mmm ... Ma, Om Panji kapan ke sini lagi?" Bukannya menjawab, Aurora malah mengalihkan pembicaraan.
"Tumben kamu nanyain Om Panji?"
"Kenapa? Enggak boleh?"
"Ya boleh. Cuma enggak biasanya aja kamu cari dia."
"Ada yang mau aku tanyain, penting!"
"Banget?"
Aurora mengangguk yakin.
"Mama kasih nomor dia aja, ya? Kamu hubungi sendiri."
"Oke, Ma."
***
Di tempat itu tak begitu ramai, suasananya tenang dan nyaman. Dirga berhadapan dengan Panji, mereka mengobrol sambil minum kopi agar relaks.
"Maaf, Om, tumben nih Om Panji ngajakin ngopi. Ada apa sebenarnya, Om?" tanya Dirga tanpa basa-basi karena sejak dia datang, Panji tak bicara apa pun.
"Ga, kamu sudah Om anggap seperti anak sendiri. Om mau tanya, tolong jawab jujur, ya?"
"Insyaallah, Om. Mau tanya apa?"
"Jadi, gini, Ga. Beberapa kali Aurora menemui Om, dia konsultasi soal perceraian. Apa kalian berencana ingin bercerai?"
Darah Dirga berdesir sampai telapak tangannya seperti banyak semut. Jantungnya pun terasa sakit, seperti dicubit.
"Iyakah, Om?" tanya Dirga hanya tersenyum tipis.
Dia ingin menetralkan perasaannya, Dirga mengangkat cangkir kopinya lalu sedikit demi sedikit menyeruput.
"Ga, sebenarnya apa masalah kalian? Jujur saja, Om khawatir dan enggak mau kalau sampai Aurora minta tolong Om untuk mengurus perceraian kalian. Pasti orang tua kamu bakalan musuhi Om. Mama mertuamu juga pasti akan marah sama Om."
"Om, apa pun yang Aurora inginkan, turuti saja. Insyaallah aku akan berusaha mengabulankannya."
"Ga, jangan pasrah. Jadi cowok itu harus tegas mengambil keputusan."
"Sejak awal aku sudah ngajak dia buat bangun rumah tangga bareng, Om. Tapi, sepertinya kami tidak satu pemikiran. Dia maunya A, aku maunya B. Daripada aku memaksakan kemauanku tapi menyiksa batinnya, mending aku yang mengikuti dia."
"Tapi, Ga, saran Om, ajak dia bicara empat mata. Apa yang menjadi masalah kalian, coba cari solusi yang baik. Sebenarnya Om enggak akan ikut campur urusan kalian kalau Aurora tidak datang menemui Om dan membahas hal itu. Sudah lebih tiga kali dia minta ketemuan dan selalu membahas perceraian."
"Iya, Om. Besok kalau kebetulan kami sama-sama pas libur. Insyaallah aku bicarakan ini sama dia."
"Ga, Om minta tolong, jangan sampai perceraian itu terjadi. Ingat janji saat kamu menjawab ijab dari walinya. Janjimu bukan hanya sama Aurora dan keluarga, tapi Allah juga. Kalian jangan main-main soal pernikahan." Panji menarik napasnya dalam lalu mengembuskan pelan.
"Om, ini misalkan loh, dalam proses perceraian pihakku tidak mengabulkan, apakah bisa digagalkan?"
"Tergantung alasannya, Ga. Nanti kalian akan diberi waktu mediasi. Gunakan itu sebaik-baiknya."
Beberapa saat Dirga diam dan memikirkan sesuatu.
***
Setelah berpikir panjang, saat Aurora libur, dia datang ke kantor Panji tanpa sepengetahuan Vera. Dengan hangat Panji menerimanya.
"Silakan duduk, Ra."
"Terima kasih, Om." Aurora lalu duduk di depan meja kerja Panji.
Setelah Panji duduk di kursi kebesarannya, lantas dia bertanya, "Ada angin apa yang membuat kamu datang ke sini lagi, Ra?"
Senyum simpul tersungging di bibir Aurora.
"Setelah aku pikir-pikir, kayaknya sudah bulat keputusanku deh, Om."
"Maksudnya?" Panji mengerutkan dahi menatap Aurora serius.
"Aku mau cerai sama Dirga aja, Om."
Seketika itu Panji menyandarkan tubuhnya ke kursi. Dia menarik napas dalam, dadanya terasa sesak.
"Kamu sudah pikirkan itu?"
"Iya, Om. Sudah. Sepertinya aku enggak bisa begini terus."
"Alasan sederhana itu yang membuat kamu memutuskan hal besar ini, Ra? Coba pikirkan lagi, Ra."
"Om, aku sudah memikirkannya. Tapi, selalu itu jalan keluar yang aku dapat."
"Perceraian bukan solusi untuk masalah sepelemu itu, Ra. Apa yang membuat kamu mau menceraikan Dirga? Beri satu alasan yang sangat kuat. Tolong jawab pertanyaan Om dengan jujur. Apa Dirga tidak memeberikanmu nafkah?"
Aurora menggeleng. "Dia selalu memberiku nafkah."
"Lahir batin?" tanya Panji sukses menegangkan tubuh Aurora. Wanita itu langsung menatap Panji. "Kenapa diam?" tanya Panji curiga.
"Mmm ... kalau batin belum," ujar Aurora pelan sambil menunduk.
Kecurigaan Panji terjawab. Dia menghela napas berat.
"Siapa yang enggak mau? Kamu atau dia?"
"Enggak tahu, Om. Dia enggak pernah memintanya, aku pun begitu."
"Ya Allah, kalian ini ...." Panji mengusap wajahnya. "Apakah Dirga pernah memukulmu?"
"Sama sekali enggak pernah, Om. Membentak saja kayaknya enggak pernah. Aku malah yang sering marah dan bentak dia."
"Suami sesabar Dirga mau kamu lepas, Ra? Dia kurang apa, Ra, buatmu? Kebutuhan finansial kamu enggak akan kekurangan, Dirga sabar menghadapi kamu. Terus masalahnya cuma karena hal sepele itu kalian mau cerai? Jangan bikin panggung lelucon di kantorku, Ra. Apa kata lawyer yang akan membantumu nanti? Bertahun-tahun Om membangun kantor ini, baru kamu orang yang mau cerai dengan alasan sepele. Itu sangat lucu, Ra."
"Terus aku harus gimana, Om? Dia saja cuek, enggak pernah hubungi aku." Suara Aurora parau, dia menahan tangisannya.
"Dia punya alasan untuk itu, Ra. Harusnya kamu bisa mengenali suamimu lebih dekat lagi. Dirga itu paling malas buka HP. Satu keluarga juga tahu hal itu. Jangankan kamu, mamanya saja kalau bukan dia yang telepon, mana pernah Dirga telepon duluan. Kalau enggak penting banget."
"Iyakah? Kenapa aku baru tahu?"
"Berarti kamu belum mengenal dia lebih jauh, Ra. Untuk itu, sebaiknya kalian coba tinggal satu atap biar tahu kebiasaan masing-masing. Kamu tahu kebiasaan Dirga, kejelekan dia bagaimana saat tidak di muka umum. Kenapa setiap pasangan harus tinggal satu atap, alasannya supaya mereka bisa saling tahu kekurangan pasangannya. Mungkin kalau kelebihannya sudah dia diperlihatkan saat kalian pertama kenal dan pasti kalian bisa menerimanya. Coba, pikir panjang."
Terdiam, Aurora memikirkan lagi semuanya.
***
Dirga memikirkan sesuatu. Apakah dia mau mempertahankan pernikahannya atau mau merelakan begitu saja? Dirga yang telanjang dada keluar ke balkon kamar hotel. Dia menatap keramaian kota Surabaya sore ini. Udara panas membuatnya malas keluar jalan-jalan seperti kru yang lain.
Notif pesan dari ponselnya mengusik ketenangan. Dirga mengambil ponselnya yang tergeletak di ranjang. Dia lalu membukanya.
Dirga, tadi Aurora ke kantor Om lagi. Dia bilang sudah bulat keputusannya ingin menceraikan kamu. Tolong berusaha lebih keras agar dia yakin kamu suami yang baik untuknya.
Setelah membaca pesan dari Panji, Dirga mengusap wajahnya kasar. Dia menarik napas dalam dan membanting tubuhnya di tempat tidur. Dirga membayangkan apa yang dulu dia lakukan kepada Lili. Meneleponnya setiap saat, mengirimkan hadiah kecil tanda kepeduliannya, dan yang paling sering mereka lakukan adalah liburan bersama.
Sebuah ide muncul di otaknya. Lantas Dirga mengambil ponselnya lalu menelepon Ilham.
"Assalamualaikum, ada apa, Ga?"
"Waalaikumsalam. Mas, sibuk enggak?"
"Yaaa biasa, kenapa?"
"Minta tolong dong."
"Apa lagi?"
"Jadwalku terbang ke Amsterdam jadi, kan?"
"Insyaallah jadi. Kenapa?"
"Boleh minta tolong enggak, salah satu pramugari ganti sama Aurora."
"Hah, kamu ini. Kemarin minta jadwal disesuaikan lagi. Kenapa jadi minta ganti kru, mendadak lagi."
"Halah, kan masih seminggu lagi. Enggak mendadak kok. Please," mohon Dirga kali ini sungguh-sungguh. "Ayolah, Mas, aku mau ngajak dia bulan madu."
"Halah, gayanya! Masa udah nikah lama belum bulan madu sih?"
"Sumpah, belum, Mas."
"Serius?" terdengar nada keterkejutan dari seberang.
"Iya, serius!"
"Gila! Bisa tahan gitu kamu, Ga. Oke deh, Mas atur."
"Siap, Mas. Makasih banyaaaaak."
"Iya. Sama-sama."
Akhirnya panggilan terputus. Setidaknya Dirga ingin memperbaiki dan memulai hal baru. Mungkin dia akan mengingat lagi apa yang dulu pernah dia lakukan kepada Lili, bukan berarti dia tidak bisa move on dari Lili. Dirga hanya ingin menemukan jati dirinya yang lama terkubur bersama kenangannya dengan Lili dan mengingat kembali cara mencintai.
Semoga saja keputusan Dirga ini bisa mengubah semuanya agar lebih baik.
#####
Kita doakan bersama. Kita dukung Dirga. Semangat!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top