Desti Bertanya
Pulang dinas, Dirga menyempatkan datang ke rumah Vera. Dia membawa buah dan roti kesukaan Vera.
Setelah masuk ke ruang tamu, Dirga duduk menunggu Vera dan Aurora yang sedang dipanggil Bi Nah. Tak berapa lama mereka datang ke ruang tamu. Dirga berdiri menyapa Vera dan tak lupa mencium tangannya.
"Kamu bagaimana kabarnya, Ga?" Vera bertanya sambil duduk di sofa single.
"Baik, Tan. Bagaimana keadaan Tante?" tanya Dirga sembari duduk lagi.
"Alhamdulillah, keadaan Tante sudah membaik, Ga. Tapi gitu, kadang masih suka migren."
"Obat dari dokter masih, Tan?"
"Sudah habis, Ga. Bosen minum obat terus. Paling kalau kambuh, Tante buat tidur."
"Iya, Tan. Tetap jaga kesehatan, jangan lupa vitaminnya diminum."
"Iya, Ga. Makasih loh, ya? Maaf, Tante sama Aurora sering ngerepotin kamu dan keluarga."
"Ah, enggak apa-apa kok, Tan. Kami tidak merasa direpotkan."
"Ga, Tante tinggal ke belakang dulu, ya? Belum makan siang, kan, kamu?"
"Enggak usah repot-repot, Tan. Aku cuma sebentar kok."
"Sebelum makan, enggak boleh pulang. Tante siapkan dulu, kita makan siang bareng. Aurora sama Tante juga belum makan kok, Ga."
Mau menolak, sungkan. Akhirnya Dirga menyahut, "Iya sudah, Tan, kalau tidak merepotkan."
"Tentu tidak, Ga. Tante tinggal, ya?" Vera pun beranjak ke dalam, meninggalkan Aurora dan Dirga di ruang tamu.
Beberapa menit mereka saling diam, selama Dirga berbincang dengan Vera, Aurora hanya diam di sofa sebelah Dirga. Bi Nah datang membawa penampan.
"Silakan, Den Dirga," ujar Bi Nah sambil menurunkan dua gelas es sirup dan satu stoples camilan.
"Makasih, ya, Bi," ucap Dirga.
"Sama-sama, Den. Bibi tinggal ke dalam dulu, ya?"
"Silakan, Bi."
Selepas kepergian Bi Nah, Dirga menyeruput es sirupnya. Setelah itu dia mengeluarkan sesuatu dari balik jaket.
"Nih," ucap Dirga sambil mengulurkan barang itu di depan Aurora.
"Apa ini?" Aurora menegakkan badannya lalu menerima barang itu.
"Bisa dilihat, kan?" ujar Dirga masih tetap cuek dan tampang datar.
Aurora lalu membuka lapisan plastik di kardus itu. Setelahnya dia buka, ternyata Dirga membelikannya ponsel baru.
"Ini mahal banget loh, Ga. Gaji gue beberapa bulan," ujar Aurora mengeluarkan Iphone yang kameranya tiga.
"Biar sama punya gue. Kalau entar gue beliin di bawah ponsel gue, lo iri."
"Tapi, apa kata teman-teman kalau gue punya ponsel begini. Entar dipikir gue punya daddy sugar lagi!"
"Hidup lo terlalu mikirin omongan orang. Makanya pikiran lo pendek. Perasaan sering piknik, tapi kok otak masih aja sumbu pendek," ujar Dirga langsung dihadiahi cubitan di lengannya.
"Rasain lo!" sungut Aurora tak terima dengan ucapan Dirga.
"Sakit tahu! Belum juga jadi istri, udah sering nyakitin. Gimana kalau besok jadi istri? Lama-lama lo bunuh gue," ucap Dirga mengusap-usap lengannya yang terasa nyeri dan panas.
"Makanya, punya mulut kalau ngomong dijaga. Dasar lo, Mulut Cabai! Pendiam sih, tapi sekali ngomong langsung nusuk sampai ke ulu hati."
"Daripada lo, sumbu pendek!"
"Hiiiiih!" Aurora ingin mencubitnya lagi, tetapi kali ini Dirga menghindar.
"Udah ah, cek dulu HP-nya."
Sambil menunggu Aurora mengecek, Dirga membaca dan membalas pesan dari Suci.
Ga, tadi Kakak udah telepon Mama. Katanya kamu suruh ngajak main Aurora ke rumah Kakak. Kita bahas rencana pernikahan kalian. Soal katering biar diurus Mama sama Tante Vera.
Ya, Kak. Coba aku bilang Aurora dulu.
Oke. Kakak tunggu, ya, Ga.
Siap, Kak.
"Ga, tolong pasangin. Enggak bisa," ucap Aurora memberikan ponsel barunya kepada Dirga.
"Ini, baca." Dirga memberikan ponselnya kepada Aurora.
Baru kali ini Aurora menemukan pria yang tak takut ponselnya dia pegang. Mantan-mantan pacarnya dulu tak ada satu pun yang memperbolehkannya menyentuh apalagi membaca pesan di ponsel mereka.
Sembari menunggu Dirga memasang kartu dan memori di ponselnya, Aurora membaca pesan dari Suci itu.
"Harus hari ini?" tanya Aurora setelah membaca.
"Ya," jawab Dirga memberikan ponsel itu kepada Aurora. "Jaga baik-baik, jangan dirusakin," kata Dirga lalu mengambil ponselnya dari tangan Aurora.
"Iya."
"Bilang apa?" kata Dirga melirik Aurora.
"Makasih," ucap Aurora tanpa senyum.
"Ganti baju sana! Pakai celana panjang, yang sopan."
"Iya, bawel banget sih! Tanpa lo ngomong, gue juga udah tahu," kata Aurora sambil berjalan masuk.
Vera datang ke ruang tamu dengan senyuman yang selalu mengembang jika ada Dirga, mantu idamannya.
"Ga, makan dulu yuk!"
"Iya, Tan." Tanpa membantah, Dirga mengikuti Vera ke ruang makan.
Mereka lebih dulu menyantap makan siangnya. Tak berapa lama Aurora datang sudah rapi dan wangi langsung bergabung dengan mereka.
***
"Ra, lo serius? Enggak bercanda, kan?" Desti sangat terkejut menerima kejujuran Aurora yang membenarkan gosip itu.
"Ngapain sih gue bohong. Tanya aja sama Mama," sahut Aurora berlagak santai, duduk bersila di sofa sambil ngemil kacang sukron.
"Bener, Tan?" tanya Desti menoleh Vera yang sedang menyiapkan makan malam bersama Bi Nah.
"Iya, benar," jawab Vera sambil tersenyum manis.
Hari ini Desti libur, dia menyempatkan diri main ke rumah Aurora. Sudah satu minggu Aurora libur, dia gunakan waktu libur untuk istirahat dan mengurus KTP, ATM, dan sebagainya yang hilang.
"Kok mendadak sih?" tanya Desti belum sepenuhnya percaya.
"Enggak juga sih. Lamarannya udah satu bulan lalu," jawab Aurora.
"Habis nikah, lo mau berhenti kerja?"
"Enggak dong, menikah bukan berarti menghentikan karier gue, kan?"
Mendengar jawaban Aurora, dalam hati Vera sedih. Dia pikir setelah Aurora menikah, putrinya itu akan berhenti dari pekerjaannya.
"Loh, emang Kapten Dirga ngizinin?"
"Mau dia izinin atau enggak, pokoknya gue enggak akan berhenti gitu aja dari pekerjaan ini."
"Terserah lo deh, Ra. Mana baiknya buat lo aja. Gue mah sebagai temen cuma bisa mendoakan dan mendukung."
"Makasih, ya?" sahut Aurora sambil tersenyum lebar ke arah Desti.
Setelah makan malam siap, mereka pindah ke ruang makan. Aurora menceritakan kejadian saat dia dibawa Faruq sampai polisi menyelamatkannya.
"Gue jadi pengin lihat si Faruq itu, Ra. Rasanya pengin gue bejek-bejek muka dia," ujar Desti ikut geram mendengar apa yang Faruq lakukan kepada Aurora.
Aurora dan Vera hanya tersenyum, wajar jika orang-orang yang menyayangi mereka marah kepada Faruq. Itu emosi yang muncul otomatis saat sahabat, keluarga, ataupun saudara kita disakiti orang.
***
Keluar dari ruang kesehatan, Aurora cemberut. Dia tak bisa dinas hari ini. Pemeriksaan menyatakan dia sedang tidak sehat. Padahal dia merasa baik-baik saja. Karena sedih, dia mengirim pesan kepada Dirga.
Ga, gue enggak bisa dinas. Katanya gue sakit.
Aurora duduk di depan ruang perawatan. Wajahnya lesu dan tubuhnya lemas. Dari dalam ruangan itu senyum sinis Tiara tersungging. Sebagai dokter penerbangan, dia salah satu penentu kru bisa terbang atau tidak.
Bagus dong.
Aurora membaca balasan Dirga sambil mengerutkan dahi.
Bagus apanya? Gue enggak bisa kerja. Berpengaruh sama pendapatan gue.
Apa sih yang lo cari, Ra? Gue bisa memenuhi kebutuhan lo.
Bukan masalah itu, Ga. Gue percaya lo bisa lakuin itu. Tapi, gimana sama kebutuhan Mama? Gue juga masih punya cicilan kredit yang belum selesai.
Gue masih mampu, Ra.
Ga, enggak mungkin setiap gue membutuhkan sesuatu selalu minta lo.
Setelah kita nikah, ATM lo yang pegang. Enggak perlu lo minta gue. Gimana? Cukup lo kasih buat kebutuhan gue satu bulan.
Enggak, Ga! Gue enggak mau tergantung sama lo.
Terserah lo, Ra. Pusing gue ngerasain lo. Gue enggak tahu isi pikiran lo. Dienakin enggak mau.
Bibir Aurora cemberut, sambil berjalan lesu dia meninggalkan ruang kesehatan.
Itu baru permulaan, batin Tiara menyeringai menatap kepergian Aurora.
Saat di perjalanan pulang, ponsel Aurora berdering tanda panggilan masuk. Dia melihat Desti yang menelepon.
"Halo, apa, Des?" sahut Aurora lesu.
"Jadi enggak kita ketemu di Jogja?"
"Enggak."
"Lah, kenapa?"
"Gue enggak jadi dinas."
"Loh, kok bisa? Bukannya tadi lo bilang Udah mau berangkat?"
"Iya, tadi hasil tes kesehatan menyatakan gue sedang sakit, enggak memungkinkan terbang."
"Apa yang lo rasain, Ra?"
"Gue enggak ngerasain apa-apa, Des. Gue merasa baik-baik aja."
"Tadi yang meriksa lo siapa?"
"Dokter Tiara."
"Oh."
Desti curiga Tiara sengaja melakukan itu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Tiara menyukai Dirga. Namun, Dirga tak menggubris, dia selalu bersikap cuek dan dingin. Semakin sering Aurora tidak terbang, akan berpengaruh juga pada pendapatannya.
Biasanya pramugari mendapatkan tiga kali gajian. Pertama gaji pokok, kedua gaji premi, dan ketiga gaji tunjangan seperti uang makan, make up, kesehatan, dan lain-lain.
"Gue bulan ini udah absen banyak, Des. Huft, gue juga harus bayar kreditan. Pusing gue, Des," keluh Aurora sedih.
"Lo istirahat dulu aja, Ra. Jangan dipikirin."
"Iya, Des. Makasih."
Setelah itu Aurora menyandarkan tubuhnya lesu. Beberapa kali dia menarik napas berat. Dia sejenak menutup mata, Aurora punya ide, dia tak jadi pulang ke rumah. Melainkan pergi ke rumah sakit untuk mengecek kesehatannya. Taksi yang Aurora tumpangi pun berputar arah.
Setelah periksa, Aurora memfoto selembar kertas itu dan dikirimkan kepada Dirga.
Gue cek kesehatan di RS, hasilnya gue sehat, dan enggak ada masalah apa pun.
Mungkin Dirga sedang sibuk atau terbang. Jadi, pesannya belum dijawab. Aurora keluar dari rumah sakit dan mencari taksi. Di tengah perjalanan pulang, akhirnya Dirga membalas pesannya.
Pukul 14.00 WIB gue landing di Soekarno Hatta. Lo datang ke bandara, bawa hasilnya.
Iya.
########
Hmmm ... permainan pertama apakah berhasil?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top