Debat
Awalnya biasa saja Dirga melihat Aurora bercanda bersama teman-temannya saat di restoran. Lama-lama agak terusik ketika seorang pria memegang bahu Aurora, kadang juga mencolek dagunya. Aurora menepis setiap tangan pria itu menyentuhnya, gadis itu sangat terlihat tidak nyaman.
Mereka sedang di restoran bandara Ngurah Rai. Sampai detik ini mereka belum dipertemukan dinas dalam satu pesawat. Namun, sering bertemu di suatu kota. Aurora tak tahu jika Dirga juga ada di restoran itu.
"Kap, kenal orang itu?" tanya Dirga kepada Stefanus, co-pilot yang sedang makan siang bersamanya.
Stefanus langsung menoleh ke tempat yang Dirga tunjuk.
"Oooh, itu Kapten Rico, Kap," ujar Stefanus ikut memerhatikan segerombol pramugari sedang makan bersama pilot dan co-pilot-nya.
Sebenarnya itu pemandangan biasa, pramugari makan bersama pilot dan co-pilot-nya, yang menjadi tak biasa saat pilot menggoda pramugari di tempat umum.
Kalau Dirga sangat jarang mengajak makan bersama krunya. Dia lebih nyaman makan sendiri atau bersama temannya, sesama pilot atau co-pilot.
"Sebentar, ya, Kap," ucap Dirga tak tahan melihat Rico meletakkan tangannya di paha Aurora.
Bukan berarti Dirga cemburu, hanya saja dia tak suka wanita yang dikenalnya sebagai adik sepupu itu disentuh-sentuh pria mata keranjang. Apalagi status mereka saat ini sudah bertunangan. Dirga punya tanggung jawab harus menjaga Aurora.
Meski Aurora menghindar dan menggeser tangan Rico, sepertinya pilot itu memang sengaja melakukannya. Aurora merasa risih dan gelisah.
"Mau ke mana, Kap?" tanya Stefanus saat Dirga beranjak dari tempat duduknya.
"Mau cuci tangan," ucap Dirga dingin.
"Oh, iya, Kap. Silakan." Stefanus melanjutkan makan siangnya.
Sedangkan Dirga sengaja lewat di meja itu dan berhenti di sana. Aurora sangat terkejut mendapati Dirga berdiri di samping kursinya. Dia langsung menyingkirkan tangan Rico kasar dan berdiri.
Aurora dan Dirga saling memandang. Raut wajah Aurora tampak takut sedangkan Dirga bersikap santai, tetapi mimiknya tegas.
"Mau tetap di sini atau ikut saya?" tanya Dirga dengan tatapan tajam.
Aurora menunduk, perlahan mengambil ponsel yang ada di meja, tak lupa juga menyangklong tasnya. Teman-teman Aurora memerhatikan, tadinya mereka sedang asyik mengobrol.
"Maaf nih, Kap, dia kru saya hari ini. Mau diajak ke mana?" tanya Rico dengan tampang blagu dan ngeselin.
"Cuma mau saya ajak pindah tempat duduk saja, Kap. Itu di sana," tunjuk Dirga ke mejanya.
"Memangnya kenapa di sini?" tanya Rico ingin menggapai tangan Aurora, tetapi Aurora menghindar.
"Ada yang mau saya bicarakan sama dia."
Meski dalam hati Dirga sangat muak melihat wajah songong Rico, dia tetap bisa mengontrol emosinya demi menjaga image.
"Kan, bisa diobrolin di sini."
"Baiklah kalau begitu. Maaf jika obrolan kami menganggu." Dirga menggeser kursi yang kosong lalu duduk. "Silakan duduk lagi, Aurora," ujar Dirga tanpa senyuman dan raut khasnya, datar.
Perlahan Aurora duduk di kursinya lagi. Dia masih setia menunduk, perasaan takut menjalar ke sekujur tubuhnya.
"Ada apa, Kap?" tanya Aurora tanpa memandang wajah Dirga karena dia masih setia menunduk.
"Ra, kamu sudag menelepon mamamu?"
Aurora langsung menatap Dirga dan mengerutkan dahi, dia merasa agak aneh, tumben Dirga bertanya begitu?
"Mmm ... belum, Kap," jawab Aurora dengan tatapan heran.
"Kamu itu perempuan, anak satu-satunya, orang tua tinggal satu, cuma mama kamu. Hubungi dia, pasti sekarang sedang mengkhawatirkan kamu. Jadi perempuan harus bisa menjaga diri." Sengaja Dirga berkata sedikit keras supaya Rico mendengarnya.
"Iya, Kap."
"Kalau melakukan apa pun, ingat mamamu, dia menunggu di rumah. Mendoakanmu setiap waktu biar kamu selalu dalam keadaan baik. Jaga kehormatanmu. Ngerti?"
"Iya, Kap." Hati Aurora merasa tersentil saat Dirga menasihatinya.
Rico yang mendengar ocehan Dirga hanya melirik. Dia baru tahu ternyata Aurora anak yatim. Dia merasa bersalah, hampir saja dia melecehkan Aurora. Dia sudah biasa merayu dan menggoda pramugari cantik yang bertugas bersamanya. Korbannya banyak, maklum, Rico memiliki wajah tampan, wajar jika beberapa wanita tak menolak ajakan kencannya. Sayang, ketampanannya tak seimbang dengan pikiran kotor dan sikap bejatnya.
"Ya sudah, saya permisi dulu," ujar Dirga berdiri. "Kap, terima kasih waktunya," ucap Dirga kepada Rico.
Rico hanya membalas dengan anggukan sambil mengangkat tangan. Merasa tak enak hati, Aurora tanpa meminta izin kepada Rico berdiri lalu menyusul Dirga yang berjalan menuju mejanya.
"Ga!" ucap Aurora saat Dirga sudah duduk di kursinya. Saat menyadari ada orang lain di meja itu, dia lantas bersikap formal. "Kapten Dirga, boleh saya bicara, berdua," ucap Aurora melirik Stefanus.
"Kap, mau nunggu saya di sini atau mau duluan balik ke ruang kru?" tanya Dirga sengaja tak menggubris Aurora dulu malah dia bicara dengan Stefanus.
Memahami maksud Dirga, sebagai teman yang pengertian, Stefanus berkata, "Saya duluan ke ruang kru saja, Kap. Nanti kita bertemu di sana."
"Baik, Kap. Tinggal saja, nanti saya yang bayar ini."
"Baik, Kap. Terima kasih." Lantas Stefanus pergi.
"Mau berdiri aja atau duduk?" tanya Dirga karena Aurora hanya berdiri di sampingnya.
"Berdiri aja," jawab Aurora tak nyaman karena dia rasa Dirga melihat Rico menyentuhnya tadi.
"Mau bicara apa?" tanya Dirga tanpa menoleh Aurora.
"Mmm ... tadi ...."
"Jangan bahas itu. Bukan waktunya." Sebelum Aurora menyelesaikan ucapannya, Dirga langsung memotong. Dia paham arah pembicaraan Aurora.
Dari tempat duduknya, Rico dan yang lain melihat Aurora berdiri di samping kursi Dirga, seolah dari sikap dan gelagat mereka, Dirga tak memedulikan Aurora.
"Eh, ada apa sih Aurora sama Kapten Dirga? Gue baru kali ini loh lihat Kapten Dirga bicara sama pramugari. Sekalinya bicara panjang langsung menasihati kayak ustaz," bisik sala satu pramugari yang tadi dinas bersama Aurora.
"Iya. Gue juga. Ada urusan apa, ya, mereka?" sahut wanita yang dibisiki.
"Heh, kalian itu, kepo banget sih jadi orang. Itu urusan mereka. Ngapain ikut campur," sela pramugari yang lain.
"Kami heran aja. Kok bisa Kapten Dirga deket begitu sama Aurora."
"Daripada penasaran, mending nanti kalian tanya langsung sama Aurora," sela Rico tak nyaman mendengar wanita-wanita itu menggosip.
"Hehehe, iya, Kap."
Mereka langsung berhenti membicarakan Aurora.
"Kalau mau bahas itu, di luar, jangan di sini." Dirga lalu berdiri, pergi ke kasir membayar makanannya dan Stefanus.
Aurora masih mematung di tempat yang sama. Dia menunggu Dirga.
"Ayo!" ajak Dirga setelah membayar.
Mereka keluar dari restoran itu. Aurora tak peduli dengan omongan teman-temannya dan jika nanti dia ditegur Rico, dia tak mau ambil pusing. Terpenting Aurora harus menjelaskan agar Dirga tak menganggapnya wanita gampangan.
Sampai di ruang kru, mereka duduk saling berhadapan. Tak banyak orang di sana, hanya beberapa, di antaranya ada Stefanus.
"Mau ngomong apa?" tanya Dirga pelan.
Suasana yang tadinya tegang sedikit mencair. Lebih santai dan Aurora nyaman mengobrol bersama Dirga.
"Tadi ... soal Kapten Rico ...."
"Ra, tadi saya sudah bicara panjang lebar. Apa kurang jelas?"
"Iya, saya mengerti, Kap. Tapi perasaan saya belum tenang."
"Apa yang kamu khawatirkan?"
"Saya takut Kapten Dirga berpikir macam-macam tentang saya."
"Selama kamu bisa menjaga diri, saya tidak akan berpikir macam-macam tentang kamu, Ra. Apa kamu bisa menjaga diri jika tidak di depan mata saya?"
"Saya bisa!"
"Buktikan!"
Setelah berucap, Dirga beranjak pergi mendekati Stefanus yang duduk sendiri memainkan ponselnya. Aurora memerhatikan Dirga.
Sebenarnya lo itu peduli sama gue enggak sih, Ga? Gue ini lo anggap siapa? Gue itu tunangan lo, Ga! Aurora hanya bisa membatin.
***
Kenangan bersama Lili sulit dihapus. Semakin berusaha melupakan, malah kenangan itu terus terbayang. Dirga duduk sendiri di balkon hotel tempatnya menginap.
"Aku kangen kamu," gumam Dirga memejamkan mata sambil mengenang Lili. "Andai musibah itu tidak terjadi, pasti saat ini kita sudah menikah. Aku duduk di sini sambil meneleponmu, kita bercerita banyak hal. Kamu tersenyum mendengar rayuanku, kamu tertawa mendengar cerita lucuku, dan lelahku hilang saat mendengar kata cintamu. Lili, andai kamu tahu betapa tersiksanya batinku hingga saat ini aku tidak bisa melupakanmu bahkan membuka hati untuk wanita lain pun aku belum bisa. Damailah di sisi-Nya, akan aku kirim doa selalu untukmu."
Air mata Dirga tak terasa mengalir membasahi pipi. Nyatanya dia buka pria gagah dan tangguh seperti yang dilihat orang di luar sana. Dirga manusia biasa yang menangis saat hatinya terluka.
Perlahan Dirga membuka mata, dia biarkan air matanya mengalir. Dirga selalu membiarkan dirinya menangis saat sendiri. Berpura-pura tegar dan kuat di depan banyak orang ternyata lelah. Kenyataannya hatinya lembut tak sekuat baja.
Dering ponselnya mengusik, Dirga menyeka air matanya lalu menarik napas dalam dan mengontrol emosi. Dia berusaha seolah baik-baik saja. Saat melihat nama Aurora di ponselnya, Dirga mengangkat telepon itu.
"Ga, lo di mana?" Suara Aurora parau terdengar isakannya.
Dirga terperanjat langsung menegakkan duduknya.
"Gue RON di Semarang. Kenapa, Ra?"
Bukannya menjawab, Aurora malah menangis. Justru membuat Dirga khawatir.
"Ra, kenapa!" tanya Dirga sedikit meninggikan suaranya.
"Ga, dia datang ke Indonesia," ucap Aurora menangis tersedu-sedu.
Dirga belum paham orang yang Aurora maksud.
"Dia siapa, Ra?"
"Faruq."
Tangis Aurora semakin kencang. Dirga mengusap wajahnya gusar. Entah apa yang bisa dia lakukan saat ini untuk membuat Aurora berhenti menangis. Dirga bingung!
"Ra, dengerin gue. Lo aman, dia enggak akan datang menemui lo apalagi Tante Vera."
"Lo bisa menjamin?" Tiba-tiba suara Aurora meninggi dan keras. "Lo enggak tahu apa yang gue rasain, Ga! Lo enggak akan bisa mahami gue!"
Dirga sangat terkejut. Ini pertama kali dia mendengar Aurora marah dan membentaknya. Dia terdiam dan mendengar ocehan Aurora.
"Gue yang tahu sifat dia, Ga. Dia itu nekat. Apa pun yang dia mau harus didapatkan! Enggak peduli merugikan orang lain. Gue takut, Ga!"
"Apa yang lo takuti, Ra?" Dirga berusaha mengontrol diri supaya tidak terpancing degan emosi Aurora.
Padahal saat ini perasaannya pun sedang kacau. Sulit untuk Dirga mengontrol emosinya ketika dia sedang dalam kondisi rapuh begini. Cintanya kepada Lili yang membuatnya lemah.
"Enggak peduli jika dia nyakitin gue, tapi gue takut dia nyakitin Mama. Lo enggak bisa berbuat apa-apa, Ga!" Tangis Aurora semakin keras.
"Kalau gue enggak bisa apa-apa, ngapain lo telepon gue, hah!"
Merasa diremehkan Aurora, emosi Dirga tersulut. Dia tak sadar meninggikan suaranya dan terdengar marah dari ujung telepon Aurora.
"Lo bisa apa, Ga? Lo bisa apa buat bantuin gue?" Isakan Aurora semakin keras, hal itu semakin membuat Dirga kalut.
"Lo mau gue ngelakuin apa?" Dirga menantang Aurora.
Memang dasarnya Aurora ceroboh dan tak berpikir panjang, dia takut jika terus diganggu Faruq, akhirnya dia berkata, "Cepet nikahi gue!" Sambil sesenggukan.
"Oke! Kalau itu mau lo! Besok gue telepon Papa biar pernikahan kita dipercepat!"
Isakan Aurora semakin terdengar lirih. Beberapa menit Dirga diam memikirkan ucapannya tadi. Apa dia yakin dengan ucapannya itu? Menikah? Dirga mengacak rambutnya frustrasi. Dia terlalu terbawa emosi menanggapi masalah ini, ucapannya pun ikut melantur.
Ya Allah, apa yang aku bicarakan tadi? Menikah bukan hal yang main-main. Aku ingin menikah hanya sekali seumur hidup, itupun bersama pilihanku dan wanita yang aku cintai. Aurora, aku belum bisa mencintainya. Lili, apakah kamu tidak bisa kembali dan menyelamatkanku dalam kondisi seperti ini? Kamu di mana? Kembalilah, Li. Dirga membatin, sampai saat ini dia belum percaya jika Lili termasuk dalam korban kecelakaan itu.
Dia masih berharap Lili selamat, tetapi itu mustahil. Padahal sudah jelas dari berita dan black box yang ditemukan, tak ada korban satu pun yang selamat.
"Sekarang lo di mana?" tanya Dirga menurunkan volume suaranya setelah hatinya lumayan membaik.
"Gue di toilet bandara."
"Bandara mana?"
"Ahmad Yani."
"Berapa jam lagi lo dinas?"
"Waktu transit cuma dua jam."
"Oke, tunggu di kafe dekat pintu keluar."
"Iya."
Setelah memutus teleponnya, Dirga bergegas mengenakan celana panjang dan jaketnya. Dia memasukan dompet di saku celana. Sambil jalan ke luar kamar, Dirga memesan taksi online.
Wajah Aurora sembap walaupun sudah dilapis make up lagi, tetap saja terlihat bekas menangis. Dia berjalan santai ke tempat yang dijanjikan bersama Dirga.
Setelah Aurora duduk sendiri menunggu hampir 30 menit di kafe itu, akhirnya Dirga datang dan langsung duduk di depan Aurora. Dia mengenakan hoody agar tak dikenali orang.
"Kenapa cuma pesan minum? Enggak makan?" tanya Dirga dengan suara lembut.
Aurora hanya menggeleng lemah. Dirga merasa kasihan melihat kondisi Aurora seperti orang linglung dan tak tahu arah.
"Gue izinin lo libur, ya?" tawar Dirga tak tega jika membiarkan Aurora bekerja dalam kondisi seperti itu.
Perasaannya tak keruan. Saat ini dia benar-benar kacau dan kalut.
"Enggak," jawab Aurora menatap Dirga sendu.
Tatapan itu melumpuhkan kerasnya hati Dirga. Ternyata benar kata Samsul, gadis di depannya butuh penopang dan pemimpin yang bisa mengarahkan hidupnya. Apa Dirga bisa hidup bersama wanita yang tidak dia cintai? Dirga berpikir keras.
"Mmm ... apa lo sudah yakin mau nikah sama gue, Ra?" tanya Dirga langsung mendapat tatapan lemah Aurora dan matanya berkaca-kaca.
"Entahlah, Dig. Gue juga enggak tahu. Setidaknya kalau gue sudah punya suami, mungkin dia enggak akan berani ganggu hidup gue lagi."
"Itu berarti lo cuma manfaatin gue."
"Enggak tahu, Dig. Jangan bahas itu dulu, gue pusing banget." Aurora mengusap kepalanya sambil menumpahkan air matanya kembali.
Dirga menghela napas dalam, dia pun bingung.
#######
Belum apa-apa udah dapat ujian aja! Sabar, ya? Semoga bisa melewati.
Masih setia, kan? Hehehe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top