Cemburu Buta

Selesai menghadiri acara pernikahan anak temannya, Panji mengantar Vera sampai depan rumah.

"Ver, aku langsung pulang, ya?"

"Enggak mampir dulu?"

"Terima kasih, Ver. Sudah malam."

"Ya sudah, terima kasih, Ji."

"Sama-sama, Ver. Assalamualaikum," ucap Panji lalu masuk ke mobilnya dan pergi meninggalkan rumah Vera.

Selepas kepergian Panji, Vera masuk ke rumah. Dinda, asisten pribadinya, ternyata masih setia menunggu di ruang tengah sambil menonton acara di televisi.

"Loh, Din, kok belum tidur?" tanya Vera.

"Saya nungguin Ibu," ucap Dinda, gadis cantik yang baru lulus kuliah, usianya sekitar 22 tahun. Masih muda, pintar, rajin, dan sopan.

"Saya sudah pulang. Kamu tidur sana! Besok pagi kita kan mau ngecek pembangunan restoran," ujar Vera memperlakukan Dinda tidak seperti asistennya, melainkan seperti anak sendiri.

"Baik, Bu." Dinda segera ke kamarnya. Selama dia tinggal di rumah itu, Dinda menempati kamar tamu.

Vera masuk ke kamarnya, selesai membersihkan diri dan mengganti pakaian agar lebih nyaman untuk tidur, dia duduk bersandar di kepala ranjang. Vera menatap foto keluarga yang terpajang di kamarnya. Kerinduan kepada Brama tak terelakkan.

"Mas Bram, anak kita sudah menikah. Insyaallah, suaminya pria yang baik dan bertanggung jawab. Kamu pasti senang, kan?"

Sesak dada Vera setiap mengingat almarhum Brama. Cintanya masih tersimpan rapi di sudut hatinya. Meski saat ini ada Panji yang selalu di sampingnya, tetap hati Vera tak bisa berpaling dari Brama.

Sudah terbiasa Vera tidur diselimuti kesepian. Menyimpan rindu kepada sang suami. Dia berbaring, setelah berdoa, Vera memejamkan mata.

Hingga sampai detik ini, entah Panji maupun Vera tak ada yang membuka suara membahas kelanjutan hubungan mereka. Pastinya, bagi Vera, Panji adalah teman lama yang datang lagi di saat dia membutuhkan sosok patner. Panji orang yang tepat untuknya berbagi dan bercerita.

***

Sengaja Dirga dan Aurora mengundang keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Semua sudah berkumpul di ruang makan. Vera tadi datang bersama Panji dan Dinda.

Ini kali pertama Aurora mengenal asisten pribadi mamanya. Dia merasa was-was karena sedari tadi memerhatikan Dinda yang terus menatap Dirga. Hatinya panas saat tak sengaja melihat Dinda diam-diam mencuri pandang kepada Dirga.

"Ga, masih punya centong sayur lagi enggak?" tanya Suci duduk di dekat Rosita sambil memangku Bari.

"Aku ambilkan dulu," kata Dirga beranjak ke dapur.

"Dinda, tolong ini bawa ke dapur, ya?" titah Vera menunjuk piring yang sudah kosong di dekatnya.

"Baik, Bu."

Dari tempat duduknya, Aurora melirik Dinda. Dia terus memerhatikan gadis muda itu. Ketika ingin masuk ke dapur, tak sengaja Dirga dan Dinda hampir tubrukan. Untung Dirga langsung berhenti berjalan dan menghindari Dinda, gadis itu tersenyum ramah.

"Ehem!" Aurora sengaja berdeham keras, Dirga menolehnya, wajah Aurora masam.

"Maaf, Pak," ucap Dinda tak menghiraukan dehaman Aurora.

Dia terpana dengan ketampanan Dirga. Padahal dia tahu, jika Dirga adalah menantu Vera. Entah mengapa, dia tak bosan menatapnya terus.

Dirga tak menghiraukan ucapan maaf Dinda, dia tak peduli lalu kembali ke meja makan membawakan centong sayur untuk Suci.

Tanpa berucap apa pun, Aurora bangkit lalu berjalan ke tangga, ingin ke kamarnya. Dirga yang menyadari perubahan wajah istrinya lantas mengejar Aurora. Saat sampai di tengah tangga, ketika Dirga menahan lengan Aurora, dengan cepat Aurora menepisnya.

"Kamu kenapa sih?" tanya Dirga sedikit berbisik agar tidak didengar mereka yang ada di ruang makan.

"Aku cape, aku mau istirahat."

"Enggak pantas dong, Ra. Kita yang undang mereka, kok malah kamu mau tidur dulu."

"Aku enggak nyaman."

"Kenapa?"

"Enggak nyaman aja!"

"Ayo dong, hargai mereka yang sudah datang ke sini. Please," mohon Dirga memelas.

Sebenarnya Dirga paham hal yang membuat Aurora tak nyaman. Dia tahu yang harus dilakukan untuk menjaga perasaan istrinya.

Meski mendengus kasar, akhirnya Aurora mau kembali ke ruang makan. Dia melirik Dinda yang duduk di sebelah Vera.

"Dinda mau makan sama apa? Ambil saja," ucap Vera supaya Dinda tak sungkan duduk bersama mereka di sana.

"Sudah, Bu, ini cukup," ujar Dinda malu-malu.

"Masa cuma ambil cap jay. Ini, enak loh ayam asam manisnya." Vera mengabilkan untuk Dinda.

Hati Aurora merasa terusik, ketenangannya semakin terganggu. Dia iri melihat Vera memerhatikan orang lain. Selama ini Vera hanya memerhatikannya.

"Sayang, kamu mau apa?" tanya Dirga sangat lembut. Dia memahami situasi perasaan Aurora saat ini.

"Aku enggak lapar," jawab Aurora lemas.

"Aku suapin, ya?"

"Enggak. Aku lagi enggak nafsu," tolak Aurora menjauhkan sendok Dirga yang diulurkan padanya.

Dirga mendekatkan bibirnya di telinga Aurora lalu berbisik, "Jangan sampai aku bikin nafsu kamu di sini loh."

Tiba-tiba bibir Aurora tertarik senyum tipis. Dia menoleh Dirga, Aurora mencubit perutnya.

"Nakal!" ujar Aurora tersipu.

"Ciyeeeeee," ledek Suci melihat keromantisan mereka. "Dibisiki apa, Ra?" timpal Suci penasaran.

"Apaan sih, Kak. Mau tahu aja urusan suami istri," sahut Dirga lalu menegakkan duduknya.

"Wah, kalau sudah masuk pembahasan suami istri begitu, tandanyaaaa ...." Rosita mengerling Dirga dan Aurora.

"Apaan sih, Ma?" sahut Dirga setengah malu menjadi bulanan mama dan kakaknya.

"Ngomong-ngomong nih, sejak tadi kita enggak ada penjelasan, apa alasan Dirga sama Aurora mengundang kita ke sini," ucap Samsul menghentikan aktivitas mereka lalu semua memandang Dirga dan Aurora.

"Iya nih! Bener," timpal Panji.

"Enggak ada apa-apa. Kalau ngajak ngumpul, emang harus ada hari spesial atau sesuatu yang penting, gitu, ya?" ujar Dirga bingung.

"Biasanya kalau ngumpulin keluarga begini, akan ada pengumuman penting. Gitu loh, Ga," jelas Suci.

"Oooh," sahut Dirga dan Aurora bersamaan. "Sebenarnya cuma kangen aja sih, pengin ngumpul, mumpung jadwal kita kosong semua. Kebetulan juga hari ini Aurora ulang tahun."

Seperkian detik detak jantung Vera seperti berhenti berdetak. Dia lantas menatap Aurora bersalah. Apa yang membuatnya lupa bahwa hari ini ulang tahun putrinya? Dulu setiap tahun dia selalu menyiapkan kado kecil, biarpun hanya berdua, mereka rayakan bersama. Aurora tersenyum kecut melihat Vera lebih memilih duduk di sebelah Dinda daripada dengannya.

"Owalaaah. Kenapa enggak bilang sih, Ga. Kan, tadi Mama sama Papa bisa mampir beliin kado dulu," ujar Rosita.

"Enggak usah repot-repot, Ma. Doanya saja, semoga kita selalu dalam kondisi sehat dan akan selalu bisa berkumpul begini terus," ujar Aurora memaksa tersenyum menghargai kebaikan mertuanya.

"Ga, kamu ngado apa untuk Aurora?" tanya Suci setengah menggodanya.

"Mmm ... dia enggak minta apa-apa kecuali pengin ngumpul sama kalian. Udah, itu aja," jawab Dirga mengelus rambut Aurora.

"Alhamdulillah, sudah terwujud, Ra. Semoga di ulang tahunmu ini, segala impianmu terwujud. Semoga segera dikasih momongan, ya?" ujar Panji disambut bahagia oleh semuanya.

"Aamiin!" pekik Dirga paling keras.

Lantas Aurora menolehnya. "Kenceng amat, Paaaak?"

"Loh, kan itu doa, Sayang. Harus diaminin. Iya, kan?"

"Iya, tapi enggak usah kenceng-keceng. Bikin pekak telinga."

"Maaf, maaf," ucap Dirga mengelus pipi Aurora lembut.

Melihat keharmonisan rumah tangga itu, ada iri bergejolak di hati Dinda. Selain tampan, mapan, ternyata Dirga juga penyayang.

Sejak menyadari hari ini Aurora ulang tahun, Vera banyak diam. Dia merasa bersalah sudah melupakan hari spesial putri semata wayangnya itu.

"Ma, nginep sini aja, ya?" pinta Aurora karena dari tadi Vera hanya diam.

Vera menatap Panji, pria dewasa itu mengangguk, memberi dukungan kepadanya.

"Iya, Mama nginep di sini," jawab Vera sambil tersenyum.

Hati Aurora bahagia, akhirnya dia bisa dekat dan manja-manjaan dengan mamanya, nanti setelah para tamu pulang.

Sayang, apa yang ada di benaknya tak seindah kenyataan. Ternyata Vera juga meminta Dinda menginap di sana. Aurora kecewa, apalagi dia tak bisa tidur bersama Vera karena Dinda satu kamar dengan mamanya.

Tengah malam, semua lampu di rumah Dirga dimatikan. Namun, Dirga dan Aurora masih terjaga, mereka sedang menonton televisi di ruang tengah. Padahal di kamar juga ada televisi. Karena Aurora malas gerak dan sudah telanjur nyaman menonton drama Korea kesayangannya di ruang tengah, dia malas pindah. Dengan sabar dan setia Dirga menemaninya. Aurora duduk di sebelahnya sambil memeluk perut Dirga.

"Ra," bisik Dirga sangat lirih.

Tanpa menyahut Aurora mendongak. Mata Dirga sayu, dia menarik dagu Aurora dan mencium bibirnya mesra. Dirga memanggut sangat lembut dan hati-hati. Karena hanyut dalam cumbuan dan jamahan Dirga, Aurora naik ke pangkuannya.

Mereka lanjut saling membalas ciuman. Dirga mengecup leher Aurora. Nafsu mereka sudah sampai ubun-ubun.

Ceklek! Suara pintu dibuka, Dinda keluar dari kamar tamu. Aurora dan Dirga terkejut dan menghentikan aksinya, Dinda langsung menunduk malu. Aurora dan Dirga justru saling melempar senyum.

"Kamu sih," ujar Aurora mencolek hidung Dirga, dia masih setia duduk di pangkuan Dirga.

"Lupa ada orang lain," ujar Dirga cengengesan dan menjatuhkan wajahnya di dada Aurora.

Setelah mengambil minum, masih sambil menunduk, Dinda lewat lalu masuk kamar lagi tanpa menyapa mereka. Aurora dan Dirga saling menahan tawa.

"Lanjutin di kamar yuk!" ajak Dirga menurunkan Aurora dari pangkuannya.

Setelah televisi dimatikan, mereka pindah ke kamar dan melanjutkan kegiatan yang tadi tertunda.

Sedangkan di kamar tamu, Dinda mengerutuki dirinya sendiri. Dia berbaring di samping Vera, sambil mengingat kejadian yang baru saja tak sengaja dia lihat.

"Kenapa mereka melakukan itu di luar," gumam Dinda kesal. "Sengaja apa gimana sih?" ujar Dinda pelan.

Setiap teringat wajah Dirga, bibir Dinda tertarik seulas senyum manis.

"Pak Dirga, sudah ganteng, pilot, mapan, kaya, ya Allah, andai saja aku bisa menarik perhatiannya," gumam Dinda yang ternyata di dengar Vera.

Sedari tadi Vera belum benar-benar tidur. Dalam diam sambil memejamkan mata, dia kepikiran Aurora, Vera ingin menebus rasa bersalahnya kepada Aurora. Dia merasa bersalah telah melupakan ulang tahun putrinya.

Bahaya juga anak ini. Aduh, sepertinya aku salah memilih asisten, batin Vera merasa khawatir dengan kekaguman Dinda kepada Dirga.

***

Suara azan berkumandang. Hari masih gelap, tetapi mereka harus bangun untuk memenuhi panggilan Allah. Selesai mandi wajib, mereka menunaikan salat Subuh.

Selesai membereskan kamar, Aurora ingin ke dapur menyiapkan sarapan. Dirga menyusul, saat Aurora menuruni tangga, Dirga memeluknya dari belakang.

"Sayang, minta jatah," bisik Dirga.

"Ih, kamu mah minta jatah mulu." Aurora menampar pipi Dirga pelan.

"Soalnya bentar lagi kamu datang bulan. Aku pasti puasa satu minggu. Ayolah, please," mohon Dirga meletakkan dagunya di bahu Aurora.

"Nanti, habis masak."

"Enggak mau!" Dirga memutar tubuh Aurora.

Di tengah tangga mereka berciuman, Aurora memeluk pinggang Dirga sedangkan tangan kanan Dirga menahan tengkuk Aurora, tangan kirinya meraba punggungnya.

Lagi-lagi mereka dikejutkan pintu terbuka, kali ini Vera yang keluar dari kamar, sempat memergoki Aurora dan Dirga sedang berciuman.

"Maaf," ucap Vera salah tingkah, ingin kembali masuk ke kamar, tetapi Aurora mencegahnya.

"Mama bangun jam berapa?" tanya Aurora menuruni tangga diikuti Dirga yang menahan malu karena kepergok mertuanya.

"Mmm ... sudah tadi sebenarnya. Mama mau pinjam mukena," ujar Vera sedikit sungkan dan malu sudah memergoki putrinya sedang bermesraan dengan suami.

"Ada di kamar, Ma. Ayo, kita ambil," ajak Aurora. "Sayang, kamu ke dapur dulu, ya? Tolong masak air buat teh," ujar Aurora lalu kembali naik ke kamar bersama Vera.

Dirga lantas memenuhi perintah Aurora. Ketika dia sedang di dapur, Dinda datang. Dirga bersikap biasa saja, toh itu rumahnya.

"Pak Dirga mau dibantu?" tawar Dinda.

"Enggak usah. Makasih," tolak Dirga dengan sikapnya yang dingin dan wajah datar.

Merasa ada sesuatu dengan sikap Dinda, sinyal bahaya dalam diri Dirga menyala. Dia mengajak jarak dengannya.

Sedangkan di kamar, Aurora memberikan mukenanya kepada Vera.

Saat mereka ingin keluar dari kamar, Vera berucap, "Selamat ulang tahun anak Mama."

Hati Aurora menghangat. Lantas dia menghadap Vera. "Makasih, Ma."

"Maafin Mama, ya, Ra. Karena terlalu sibuk, lupa hari dan tanggal," ucap Vera menyesal sambil menyisihkan rambut Aurora ke belakang telinga.

"Aku bisa memahami kok, Ma. Enggak apa-apa, bagiku sekarang, terpenting Mama sehat terus, bahagia, dan kita selalu bersama." Aurora berusaha memahami keterlambatan Vera mengucapkan ulang tahun padanya.

Dia berusaha bijak dan berpikir realitas. Memang belakangan ini Vera sangat sibuk, banyak yang diurus.

"Kamu mau kado apa dari Mama, Ra?"

Aurora memeluk Vera dari belakang dan menempelkan pipi kanannya ke pipi kiri Vera, sambil berucap, "Kadonya Mama selalu sehat dan bahagia saja."

"Aamiin," sahut Vera.  "Semalaman Mama berpikir, bingung mau ngasih kado apa buat kamu."

"Enggak perlu aneh-aneh, Ma. Kadoku cukup dua tadi, Mama sehat dan bahagia."

Vera tersenyum manis, dia membalikkan badan dan membelai wajah cantik putrinya.

"Sejak menikah, pikiran kamu semakin dewasa, Nak."

"Alhamdulillah, karena Dirga yang selalu mengajariku, Ma. Sifat dan tingkah Dirga banyak berpengaruh padaku."

"Kita ke bawah yuk! Mama mau salat dulu."

"Ayo!" Aurora menggandeng lengan Vera, mereka menuruni tangga.

Di pantry, Dirga sedang membuat teh hangat untuk Vera dan istrinya. Sejak tadi dia tak mengacuhkan Dinda yang berdiri di samping meja, memerhatikannya berkutat di sana. Dirga cuek, melakukan apa yang harus dia lakukan.

"Pak Dirga, sini saya bantu." Dinda sengaja memegang tangan Dirga.

Saat itu Aurora dan Vera melihatnya. Dirga menepis tangan Dinda dan menjauhinya.

"Jangan lancang kamu!" tegur Dirga tegas.

Dirga meletakkan sendok tehnya kasar ke meja pantry, lantas dia pergi dari tempat itu. Dirga melihat Aurora dan Vera berdiri di depan tangga. Saat melewati Aurora, sengaja Dirga berhenti lalu mencium pipinya.

"Aku tunggu di kamar saja," ucap Dirga lirih.

Aurora memahaminya, dia hanya mengangguk. Dari tempatnya berdiri, Vera menggeleng kepada Dinda. Tatapan Aurora tak bersahabat kepada Dinda.

#####

Baguuuuus! Jangan beri peluang, Ga! Entar jadi pelakor dia. Tuman! Hahahaha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top