Bujukan
Sebagai pilot, Dirga memang punya hak memilih kru penerbangannya. Namun, dia jarang sekali memilih. Baginya, bertugas dengan siapa pun sama saja, tidak ada yang spesial.
Dirga tipe orang yang profesional. Jadi, siapa pun yang bertugas dengannya merasa nyaman. Dia juga supel, meskipun co-pilot berusia lebih tua darinya, Dirga tetap bisa menempatkan diri.
Sebelum bertugas, Dirga dan krunya mengecek kesehatan. Saat mengantre di depan ruang kesehatan, tak sengaja dia bertemu Aurora. Mereka sama-sama bersikap tak acuh, seperti orang yang tak saling kenal. Aurora sibuk mengobrol dengan Adinda, teman sesama pramugari.
"Ra, kamu lihat pilot yang duduk itu," bisik Adinda di telinga Aurora. "Namanya Dirga," lanjutnya.
"Iya, terus kenapa?" tanya Aurora setelah melirik sekilas Dirga yang duduk santai sambil memainkan ponselnya.
"Ganteng, ya?" ucap Adinda malu-malu.
Aurora kembali melirik Dirga sekilas lalu berucap, "B aja tuh!"
"Iiih, Auroraaaa ... lihatin yang bener."
"Iya, gue udah lihat dia."
"Mata lo berarti yang seliwer," celetuk Adinda sambil terkekeh.
"Enak aja lo kalau ngomong. Ganteng itu relatif, menurut lo ganteng, belum tentu menurut gue ganteng."
"Iya juga sih. Tapi ...."
"Adinda Larasati." Seorang petugas kesehatan memanggil Adinda sebelum dia menyelesaikan ucapannya.
"Gue nitip ini dulu, ya?" ujar Adinda memberikan ponsel dan dompetnya kepada Aurora.
Selama menunggu, Aurora berdiri bersandar di dinding. Setelah beberapa menit sibuk mengamati ponsel, Dirga menegakkan kepala. Melihat Aurora berdiri sendiri, sengaja dia beranjak dari kursinya.
"Silakan duduk," ucap Dirga berlagak tak mengenal Aurora.
"Makasih, Kap," ucap Aurora bersikap profesional.
Tak berapa lama seorang petugas memanggil Dirga. Dia lalu masuk ke ruang pemeriksaan. Di sana Dirga kembali bertemu Tiara.
"Halo, Kap. Bagaimana kabarnya?" tanya Tiara berusaha menetralkan detak jantungnya yang berjalan abnormal.
Dia bisa bersikap biasa saja dan pura-pura tidak memiliki rasa spesial kepada Dirga. Namun, hati dan gelagat tidak bisa berbohong.
"Alhamdulillah baik, Dok."
Dirga bersikap biasa saja, dia tidak terlalu mengambil pusing dengan tingkah laku orang-orang di sekitarnya, terutama wanita.
Setelah mengecek tekanan darah, suhu tubuh, dan lain-lain, Tiara membuat surat yang menerangkan jika Dirga sehat dan diizinkan terbang.
"Kapten hari ini mau terbang ke mana?" tanya Tiara basa-basi karena bingung setiap ingin mengawali obrolan dengan Dirga.
"Ke Jambi," jawab Dirga singkat tanpa memandang Tiara.
"Oh, iya, Kap. Hati-hati kalau begitu."
"Terima kasih, Dok."
Setelah itu Dirga keluar dari ruang pemeriksaan. Dia melihat Aurora, tetapi cuek. Aurora pun tak masalah dengan hal itu. Toh dia juga tidak mengenal Dirga, dulu memang mereka pernah kenal, tetapi sama-sama masih kecil. Banyaknya kejadian dalam hidup membuat memori masa kecil mereka terhapus seiring berjalannya waktu.
Dirga pun mempersiapkan keperluannya untuk dinas terbang hari ini.
***
Berulang kali Rosita menelepon dan membahas hal yang sama. Sejak pertemuannya dengan Aurora di arisan keluarga satu bulan lalu, Rosita terus mendesak Dirga.
"Kamu enggak kasihan, Ga, dia yatim loh."
"Mama udah berapa kali sih bicara begitu? Dirga udah tahu, Ma."
"Makanya, coba kamu deketin dia."
"Ya Allah, Ma. Bisa enggak kalau telepon bicara yang realitas saja. Dirga bukan anak kecil lagi yang semua harus Mama atur."
"Iya, Mama tahu kamu udah dewasa. Tapi sampai kapan sih, Ga, kamu mau sendiri terus? Ga, Mama bilangin nih, pahalanya besar loh menikahi anak yatim."
Saking jenuhnya karena Rosita selalu membahas Aurora, Dirga menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Nanti deh, Dirga pikir-pikir dulu."
"Ah, kamu mah jawabannya pasti gitu. Pikir-pikir terus tapi enggak pernah ada keputusan."
"Terus maunya Mama aku harus gimana?" Saking geregetan akhirnya Dirga mengalah untuk kali ini agar Rosita berhenti membahas Aurora.
"Kemarin kan, Mama udah kasih nomor WA Aurora. Coba kamu hubungi dulu."
"Ya," jawab Dirga lesu, tanpa ada niat sedikit pun dari hatinya.
"Terus kamu ajak deh dia makan bareng atau jalan bareng gitu, Ga."
"Iya, Ma."
"Jangan cuma iya-iya aja. Mama serius ini."
"Iya."
"Gaaaa ...."
"Iya, Ma. Dirga denger."
"Mama sama Papa itu enggak selalu ada mendampingi kamu. Kami pengin lihat kamu berumah tangga sebelum ...."
"Ma, udah dulu, ya? Aku mau siap-siap terbang lagi. Nanti kalau ada waktu luang aku telepon."
Sengaja Dirga mengalihkan pembicaraan. Dia lemah setiap mendengar Rosita membahas hal itu.
"Iya sudah. Kamu hati-hati, ya? Jaga diri baik-baik."
"Iya, Ma. Jaga kesehatan, sampaikan salamku buat Papa."
"Iya, Sayang. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Setelah panggilan berakhir, Dirga meletakkan ponselnya di meja. Saat ini dia sedang duduk di kafe sendiri. Sambil menunggu jadwal penerbangan selanjutnya.
Sejenak Dirga berpikir tentang ucapan Rosita. Sambil menyeruput kopinya, tak sengaja kedua mata Dirga menangkap sosok yang diharapkan Rosita menjadi menantu.
Tanpa Dirga tahu, ternyata Aurora juga dinas di kota yang sama dengannya hari ini, Surabaya. Meskipun tidak dinas di satu pesawat, tetapi tidak menutup kemungkinan sesama kru Rajawali Indonesia bertemu di salah satu kota.
Dari tempatnya duduk, Dirga memerhatikan Aurora bercanda dan mengobrol dengan teman-temannya sesama pramugari.
"Guys, gue ke kasir dulu, ya?" ucap Aurora.
"Ra, bayarin dulu dong, entar gue ganti," ujar Tasya.
"Gue juga, Ra," timpal Titian.
"Ya udah, semua gue bayarin dulu. Tapi entar ganti, ya?"
"Iya, beres," sahut Tasya mengacungkan jempolnya.
Aurora pun berjalan ke kasir sambil menyangklong tasnya. Dirga masih setia memerhatikannya.
"Kak, mau bayar meja nomor delapan," ujar Aurora kepada wanita cantik penjaga kasir.
"Baik, Kakak." Kasir itupun mengutak-atik komputer dan bil pun tercetak. "Habisnya 134 ribu, Kak."
"Oke." Aurora merogoh tasnya.
Ada yang aneh, dia tak mendapati dompetnya. Aurora memastikan, dia melepas tasnya lalu mencari dompet lebih teliti di tas itu.
"Bentar, ya, Kak," ucap Aurora kebingungan mundur dua langkah dari depan kasir.
Melihat hal itu, Dirga dengan stay cool mendekati kasir, tanpa Aurora sadari karena dia sibuk mencari dompetnya.
"Meja dua," ucap Dirga kepada kasir.
Setelah bil keluar, Dirga bertanya kepada kasir, "Berapa habisnya tagihan cewek itu?" tunjuk Dirga kepada Aurora dengan dagunya.
"Habis 134 ribu, Kak."
Dirga mengeluarkan uang 200 ribu. "Sisanya ambil saja," ucap Dirga seraya memasukan dompet ke saku celana.
"Terima kasih, Kak."
Dirga membalas dengan anggukan. Lantas dia memakai kacamata hitamnya dan melewati Aurora yang masih menunduk, sibuk mencari dompetnya.
"Hah, dompet gue ...." Aurora hampir menangis.
Lantas dia panik dan berlari kembali ke mejanya.
"Guys, sorry ...," ucap Aurora dengan suara parau.
Semua teman-teman dia langsung menatapnya.
"Ra, lo kenapa?" tanya Titian bingung.
"Dompet gue ... enggak ada."
"Hah! Kok bisa?"
Semua terkejut dan ikutan panik.
"Gue enggak tahu." Air mata Aurora jatuh.
"Ya dah, lo duduk dulu. Gue aja yang ke kasir." Tasya menuntun Aurora yang gemetar agar duduk di kursinya.
Lantas dia pergi ke kasir. Teman-teman yang lain berusaha menenangkan Aurora. Dirga yang sudah di luar kafe, melihat dari kaca tebal transparan yang tembus ke kafe itu, mengernyitkan dahi.
"Kenapa orang itu nangis?" gumam Dirga yang menghentikan langkahnya.
Beberapa detik kemudia dia tak peduli lalu melanjutkan langkahnya.
"Guys, tagihan kita udah ada bayarin," kata Tasya begitu sampai di meja mereka sambil membawa bil.
"Loh, siapa yang bayarin, Sya?" tanya Titian.
"Kata yang jaga kasir, cowok, pakai seragam pilot."
Aurora yang tadinya menunduk langsung menegakkan kepala menoleh Tasya.
"Orangnya bagaimana?" tanya Aurora menghapus air matanya.
"Katanya tinggi, tatanan rambutnya rapi, belah pinggir," jawab Tasya tampak kebingungan.
Sejenak Aurora berpikir, Ah, masa sih dia?
"Lo kenal, Ra, sama orangnya?" tanya Titian menyadarkan lamunan Aurora.
"Mungkin," jawab Aurora ragu.
"Ya sudah, Ra, kita keluar dari sini cari dompet lo, yuk!" ajak Tasya menuntun Aurora.
Lainnya segera membereskan barang-barang mereka yang di meja lalu mengikuti Tasya dan Aurora keluar dari kafe itu.
"Lo inget-inget lagi deh, Ra, terakhir pegang dompet di mana?" tanya Titian berjalan di belakang Aurora dan Tasya.
"Gue tadi masih lihat Aurora bayar minuman di bandara Ngurah Rai sebelum kita berangkat ke sini. Coba deh, Ra, habis itu lo bayar apa lagi?" Tasya berusaha membantu Aurora mengingat.
"Perasaan udah gue masukin ke tas." Air mata Aurora tak berhenti mengalir biarpun dia terus menyekanya.
Mereka masuk ke ruang tunggu kru. Dirga yang sedang duduk mengobrol dengan pilot dan co-pilot menoleh memerhatikan Aurora dan teman-temannya yang baru masuk.
"Kenapa Aurora menangis, Sya?" tanya Zidan, pilot yang bertugas dengan Aurora tadi.
"Dompet Aurora hilang, Kap," jawab Tasya menuntut Aurora duduk.
Dirga hanya diam dan menyimak obrolan mereka.
"Tadi waktu di Ngurah Rai masih ada enggak?" tanya Zidan mendekati Aurora.
"Masih, Kap," jawab Aurora bersuara parau.
"Blokir dulu ATM-nya, biar enggak bisa dipakai orang lain," usul salah satu co-pilot yang duduk dekat Dirga.
"Iya, Kap," jawan Aurora baru terpikirkan hal itu.
Segera Aurora mengambil ponsel, lalu memblokir semua ATM-nya. Meskipun diam, Dirga ikut kepikiran.
"Kita persiapan dulu yuk, sepuluh menit lagi pesawat kita sampai," ucap Zidan setelah melihat jam tangannya.
"Siap, Kap!" sahut kru yang hari itu bertugas dengan Zidan, termasuk Aurora.
Meskipun hatinya diselimuti rasa sedih, dia harus tetap profesional, selalu tersenyum ramah jika di depan penumpang.
"Kap, saya izin ke toilet, mau benerin make up dulu," ucap Aurora.
"Iya, Ra," sahut Zidan. "Nanti langsung saja nyusul ke pesawat, ya, Ra," lanjutnya.
"Baik, Kap." Aurora pun ke luar sambil menarik kopernya, sedangkan yang lain bersiap bersama Zidan dan co-pilot.
"Kap, saya ke luar dulu, ya?" ucap Dirga kepada co-pilot-nya.
"Iya, Kap."
Dirga pun keluar menyusul Aurora. Dia menunggunya di depan toilet. Beberapa menit kemudian Aurora keluar, dia terkejut mendapati Dirga bersedekap dan bersandar di diding.
"Kapten Dirga?" ucap Aurora lirih.
Tanpa berucap, Dirga mengulurkan kartu ATM-nya.
"Apa ini, Kap?" tanya Aurora.
"Bawa aja dulu. Siapa tahu butuh." Dirga memberikannya kepada Aurora.
Dengan wajah bingung, Aurora menerimanya. Dirga lalu pergi sambil mengetik sesuatu di ponselnya. Ponsel Aurora bunyi tanda pesan masuk. Dia lalu mengambilnya dan mengecek.
127127
Isi pesan itu. Aurora langsung menatap punggung yang berjalan menjahuinya. Dia lantas menyimpan nomor itu dan melangkah dengan banyak tanda tanya di kepalanya.
Apa maksudnya? batin Aurora sambil melihat kartu ATM Dirga yang masih di tangannya.
########
Ribuan hari aku menunggumu ... kenapa baru sekarang kamu muncul?
Masih semangat?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top