Badai Dalam RT

"Kenapa kamu pergi sama dia? Enggak izin, kamu anggap aku siapa? Beraninya kamu pergi dengan pria lain di depan suamimu," ujar Dirga, kedua matanya menatap Aurora lembut.

"Oh, kamu keberatan?" Aurora berusaha menahan emosinya, bersikap sok santai padahal dia menyimpan amarah, dongkol, dan sesak yang memenuhi rongga dadanya.

"Wajarlah! Kamu sudah bersuami, jaga sikap, jaga pergaulan, dan jaga perasaanku. Setidaknya hargai aku sebagai suamimu." Dirga menasihati Aurora dengan sikapnya yang tenang dan santai.

Namun, Aurora kali ini marah besar kepada Dirga. Sambil menangis, dia meluapkan semua yang tertahan di dada.

"Hah!" Aurora tersenyum kecut sambil menatap Dirga tajam. "Minta dihargai tapi kamu enggak bisa menghargai aku!" Suara Aurora mulai parau, air mata juga sudah menggantung di pelupuknya.

Dirga mengerutkan dahi. "Kapan aku enggak menghargai kamu? Aku selalu menjaga sikap, pergaulanku, dan menjaga perasaanmu."

Beberapa saat Aurora mengatur napasnya yang tersendat-sendat, dia menarik napas panjang lalu mengembuskan kasar.

"Punya hubungan apa kamu sama Desti? Hah! Jujur kamu!" Amarah Aurora sudah tak lagi terbendung, dia mendorong dada Dirga sampai pria itu hampir jatuh di tempat tidur.

Mulai kemarin Aurora mendapat jadwal dinas bersama Dirga. Bahkan Dirga yang meminta langsung kepada Ilham karena alasan tertentu. Dia juga minta setiap singgah di salah satu kota yang lebih dari tiga jam--karena biasanya jika kru penerbangan singgah di kota tertentu lebih dari tiga jam, mereka akan mendapat kamar hotel untuk beristirahat--atau saat RON, dia dan Aurora ditempatkan satu kamar hotel. Agar Dirga bisa mengawasi dan menjaga Aurora. Tak hanya itu alasannya, ini salah satu cara Dirga berusaha dekat dan mengenal kepribadian istrinya.

"Hubungan apa? Enggak ada," jawab Dirga berusaha mengalah dan menjadi air saat api dalam diri Aurora membara.

"Bohong!" sahut Aurora meninggikan ucapannya. Tangisannya semakin keras dan tak peduli wajahnya berantakan.

"Buat apa sih aku bohong? Kamu itu kenapa tiba-tiba marah, nuduh orang seenaknya sendiri. Besok kamu keluar saja dari pekerjaan ini, ya? Aku bisa memenuhi kebutuhanmu," ujar Dirga berusaha tetap sabar mengadapi Aurora. Padahal sebenarnya dalam hatinya masih kesal mengingat Aurora bersama Yoga kemarin di kafe bandara Soekarno Hatta.

"Kamu jangan sok ngatur hidup aku deh! Peduli saja enggak! Kamu enggak tahu perjuanganku jadi pramugari. Ini impianku! Enggak segampang itu aku ngelepasin pekerjaan ini."

"Kata siapa aku enggak peduliin kamu?" Dirga yang berdiri di depan Aurora semakin menghapus jarak di antara mereka dan tangannya berusaha menggapai wajah Aurora, dia ingin menyeka air mata istrinya, tetapi Aurora menepis tangan Dirga dari wajahnya.

"Kamu selalu mendiamkanku. Bersikap tak acuh kalau di muka umum. Aku ini istrimu atau sebatas pajangan sih, Ga? Kalau memang kamu enggak cinta, ngapain nerima perjodohan itu!" Hati Aurora sangat sakit mengatakannya. Dia meremas kaus di dadanya sambil terisak.

Sejak pernikahan mereka, baru kali ini dia bisa mengeluarkan unek-uneknya.

"Karena kamu pilihan mamaku," jawab Dirga santai.

Jleg! Jantung Aurora seperti jatuh dari tempatnya. Darahnya berdesir kuat, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Amarahnya sudah sampai ke ubun-ubun.

"Oke kalau itu alasannya, Ga. Aku mau bebas, aku minta cerai!"

Mata Dirga melotot, dia sangat terkejut. Aurora tak berani menatapnya, sambil berurai air mata dia menunduk.

"Dengerin aku." Dirga memaksa Aurora agar menatapnya, dia menangkup kedua pipi Aurora. "Kamu pilihan mamaku. Kamu tahu, seumur hidupku apa pun yang Mama pilih untukku, aku enggak bisa menolak. Sepanjang sejarah, apa pun itu, aku sudah membuktikannya kalau pilihan Mama selalu terbaik untukku. Termasuk kamu, aku percaya Mama enggak asal memilihmu menjadi menantunya," ucap Dirga sangat lembut hingga menyentuh relung hati Aurora.

Dadanya semakin sesak. Rasa bersalah menjalar ke sekujur tubuh. Dia sudah salah paham dengan jawaban Dirga tadi.

"Tapi kenapa kamu cuekin aku?" Kali ini suara Aurora mereda, meski tangisannya masih terisak.

"Kamu yang minta, kan? Ingat WA kamu ke aku?"

"Aku WA apa?" Aurora menghapus air matanya.

Dirga mengambil ponselnya lalu memperlihatkan isi WA yang Aurora kirimkan waktu itu.

"Silakan dibaca," ujar Dirga memberikan ponselnya kepada Aurora.

Oh, jadi gitu? Mentang-mentang enggak tinggal serumah, kamu seenaknya sendiri. Oke, Ga. Aku juga bisa!

Pesan itulah yang Dirga perlihatkan kepada Aurora.

"Gimana? Ingat?" tanya Dirga sambil tersenyum tipis di depan wajah Aurora.

"Kamu yang selingkuh, kenapa aku enggak bisa," ujar Aurora memberikan ponsel itu kepada Dirga.

"Selingkuh? Kapan aku selingkuh?" tanya Dirga heran.

Aurora lalu mengambil ponselnya, dia buka halaman percakapannya dengan nomor yang tak dikenal. Lalu memberikannya kepada Dirga.

"Apa ini?" tanya Dirga bingung.

"Baca aja semua dari atas sampai bawah."

Sambil duduk di tepi ranjang, Dirga membaca semua percakapan itu. Ada foto saat dia berjalan di lorong hotel, saat dia di rumah sedang makan, dan masih banyak lagi. Dirga teringat ucapan Desti tempo lalu saat mereka ngobrol.

Jadi, ini yang Desti maksud. Dirga membatin, Lalu memberikan ponsel itu kepada Aurora.

"Masih mau mengelak kalau kamu enggak selingkuh?" tanya Aurora dengan wajah merah bekas menangis dan tercetak jelas kekesalannya kepada Dirga.

"Ra, demi Allah aku enggak pernah macam-macam. Jangankan jalan sama cewek, nyimpen nomor cewek aja enggak. Selain nomor kamu, Mama, Kak Suci, sama Mama Vera. Mereka memang mengirim pesan, tapi aku enggak pernah menyimpannya."

"Enggak percaya," sahut Aurora masih keras depan pemikirannya.

"Silakan pegang HP-ku, kalau ada pesan yang aneh-aneh dari cewek jangan marah. Yang penting aku enggak pernah gubris," ujar Dirga memberikan ponselnya kepada Aurora.

Lalu dia menjatuhkan diri di tempat tidur dengan posisi tengkurap. Aurora mengecek semua pesan di HP Dirga. Dia baca satu per satu, benar saja, pesan dari wanita, nomor tak ada yang Dirga simpan dan dia pun tidak membalas pesan mereka kecuali percakapan yang membahas berkaitan dengan pekerjaannya. Bahasanya masih normal, biasa saja.

"Ra," panggil Dirga yang sudah mengubah posisinya menjadi berbaring.

"Apa?" sahut Aurora tanpa menatapnya, dia masih sibuk membaca semua pesan-pesan itu.

"Sini, tidur. Kamu enggak cape seharian kerja."

Tanpa menyahut, Aurora mendekati tempat tidur, pandangannya tanpa melepas ponsel Dirga. Lalu dia berbaring memunggungi Dirga. Dia melanjutkan membaca pesan yang ada di ponsel Dirga.

"Ra, aku mau ngomong sesuatu," ujar Dirga dengan posisi terlentang menatap langit-langit kamar hotel itu.

"Ngomong aja."

"Kenapa sih kamu diemin Desti?"

"Dia duluan yang diemin aku. Ini juga gara-gara kamu."

"Kok bisa gara-gara aku?" Dirga mengubah posisinya miring, menghapus jarak dengan Aurora lalu memeluk pinggangnya dari belakang.

"Iya, soalnya aku pikir yang selingkuh sama kamu Desti."

"Bukan karena ucapanmu yang menyinggung dia?" ujar Dirga sukses membuat Aurora berhenti membaca chat di ponsel Dirga.

"Kamu tahu dari mana?" tanya Aurora menoleh ke belakang.

Dirga menarik pinggang Aurora supaya dia menghadapnya. Setelah mereka saling berhadapan, dengan lembut Dirga berucap, "Pertama kenal, aku tahu kamu kalau ngomong asal tanpa pikir panjang. Itu yang bikin orang enggak betah temenan lama sama kamu. Desti menemuiku dan memberanikan diri ngobrol sama aku. Biasanya aku nolak kalau diajak ngobrol cewek mana pun, tapi karena yang dia bicarakan bersangkutan denganmu, aku berhak tahu. Apalagi selama ini kalian dekat, kan?"

Air mata Aurora kembali mengalir, Dirga menyekanya.

"Sebenarnya aku kangen main sama dia kayak dulu lagi. Dia teman yang bisa diajak gantian, yang cocok sama aku, dan sabar hadapi aku. Dia juga enak diajak ngobrol, curhat sama dia bisa leluasa. Desti orangnya amanah, dia bisa menjaga rahasia."

"Kalau sudah tahu begitu, kenapa kamu curiga sama dia? Dia juga kangen main sama kamu. Bahkan dia bilang sama aku, mau deket kamu lagi, tapi kamunya yang kayak menghindari dia. Kenapa?"

Aurora menggeleng sambil menangis. "Aku mikirnya dia yang menghindar. Jadi, aku berusaha menghargai keputusannya."

Dirga menghapus air mata Aurora yang mengalir melewati ujung matanya.

"Apa kamu cemburu buta?" Dirga mengerling, sengaja menggoda Aurora dengan senyum jahil. Dia berusaha menghibur Aurora yang sedang sedih.

"Enggak! Ngapain cemburu," sangkal Aurora, wajahnya sok dibuat cuek.

"Iya deh, terserah kamu," ucap Dirga lalu memejamkan mata.

Beberapa menit Aurora berpikir sambil menatap wajah lelah Dirga yang sudah terpejam.

Kalau Desti enggak selingkuh sama Dirga, terus siapa yang ngirimku WA setiap saat? batin Aurora.

"Tidur, Ra. Jangan mikir aneh-aneh lagi. Apa jangan-jangan kamu mikirin Kapten Yoga, ya?" ujar Dirga membuka mata menatap Aurora sambil memicingkan mata.

"Enggak!" bantah Aurora cepat.

"Terus mikirin apa lagi?"

"Kalau bukan Desti yang selingkuh sama kamu, terus siapa dong?"

"Enggak ada. Orang aku enggak selingkuh."

"Yang ngirim pesan itu ...?"

"Udahlah, aku udah tahu orangnya. Kamu jangan pikirin itu."

"Kamu ngerjain aku, ya?"

"PD banget sih!"

"Terus?"

"Pokoknya itu urusanku. Kamu terima beres aja. Udah ah, tidur. Aku ngantuk," ucap Dirga memeluk Aurora semakin erat.

Namun, Aurora masih sangat penasaran dengan orang itu. Dia menatap wajah Dirga lekat.

"Ga, apa itu kerjaannya Dokter Tiara?" tanya Aurora hati-hati. Sebenarnya dia tak mau menuduh, tetapi tiba-tiba saja pikirannya menjurus ke sana.

Sayangnya Dirga tak menjawab, malah kakinya mengapit kedua kaki jenjang Aurora, dia seperti memeluk guling. Akhirnya Aurora merasa nyaman dalam pelukan Dirga. Dia menelusupkan wajahnya di depan dada bidang Dirga. Aroma parfum Dirga yang khas lama-lama menghipnotis Aurora, kantuk pun datang. Akhirnya mereka tidur sambil berpelukan.

Ini kali pertama mereka tidur dalam posisi seperti itu setelah menikah. Dirga berharap ini awal yang baik untuk rumah tangga mereka.

#####

Babak baru dimulai. Are you ready? Hahahahaha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top