Aurora Cemburu?

Aroma telur goreng menyeruak menusuk indra penciuman Dirga. Samar-samar dia mendengar orang sedang memasak. Dia membuka mata dan menoleh ke samping, tak ada Aurora.

"Raaaa," panggil Dirga masih malas bangun.

"Apa?" sahut Aurora dari dapur.

Jarak dapur dan ruang tengah dekat, hanya terhalang meja makan yang disekat dengan buffet setengah badan.

"Ngapain?" tanya Dirga masih enggan meninggalkan kasur.

"Bikin sarapan. Laper gue."

Tak ada sahutan lagi, Dirga kembali memejamkan mata. Jika tidak dinas, begitulah Dirga, memanfaatkan waktu untuk memanjakan diri dengan tidur sepuasnya.

Selesai memasak, Aurora membawa dua piring ke ruang tengah. Dia melihat Dirga masih memeluk guling dan tubuhnya terbalut selimutan.

"Gaaaa, bangun." Aurora mengguncang tubuh Dirga.

"Hmmm." Dirga hanya bergumam.

"Makan ayo!" Aurora menyibak selimut Dirga dan menariknya agar bangun.

Meskipun masih malas, Dirga bangun. Dia beranjak ke kamar mandi mencuci muka dan menggosok gigi.

"Ga, lo kalau pagi biasa minum apa?" tanya Aurora.

"Jus buah," sahut Dirga dari kamar mandi dekat dapur.

Aurora mencari buah di kulkas, tetapi tidak ada. Namun, dia menemukan jus instan. Aurora menuangnya ke gelas. Setelah itu dia bawa ke ruang tengah. Dirga ternyata sudah bersila di sofa sambil menonton berita di televisi.

Sebenarnya agak mengganggu pandangan Aurora, melihat Dirga hanya mengenakan boxer dan kaus putih tipis polos. Memang itu kebiasaan Dirga jika di rumah, pakaian ternyamannya.

"Nih!" Aurora memberikan gelas berisi jus jambu instan kepada Dirga.

"Makasih," ucap Dirga lalu meminumnya.

Aurora mengambil dua piring berisi roti bakar dan telur orak-arik yang tadi dia letakkan di meja. Satu diberikan kepada Dirga.

"Biasanya lo sarapan apa kalau sendiri di rumah?" tanya Aurora duduk di sebelah Dirga dan bersila seperti Dirga.

"Jarang sarapan."

"Kenapa?"

"Biasanya gue bangun siang. Jadi, sarapannya sekaligus makan siang."

"Ih, kebiasaan lo buruk. Gitu bisa jadi pilot, enggak disiplin banget sih lo."

"Sengaja. Gue kalau libur penginnya tidur sepuasnya, manjain diri sendiri. Entar sore olahraga, joging kalau enggak nge-gym."

"Oooh, gitu? Lo enggak dinas?"

"Besok pagi."

"Gue tadi mau masak nasi, lo emang enggak punya beras, Ga?"

"Enggak pernah nyimpen beras. Paling bahan yang instan dan bisa disimpan lama di kulkas."

"Pantes!"

"Lo mau masak?"

"Emang boleh?"

"Bolehlah!"

"Antar belanja, ya?"

"Ke supermarket aja, ya?"

"Kenapa enggak ke pasar?"

"Emang lo mau belanja di pasar?"

"Maulah! Biasanya sama Mama juga ke pasar."

"Ya sudah. Tapi naik motor aja, ya?"

"Terserah."

Mereka menghabiskan sarapannya. Setelah itu Aurora membawa piring dan gelas yang kotor ke dapur.

"Ra, lo enggak ganti baju? Emang nyaman pakai jeans gitu?" tanya Dirga menghampiri Aurora yang sedang mencuci piring.

"Gue kan, enggak punya baju ganti, Ga."

"Gue ada pakaian cewek."

Dengan cepat Aurora menoleh dan menatapnya curiga.

"Lo tinggal sama siapa di sini?" tanya Aurora mengintimidasi.

"Apaan sih! Sumbu Pendek, selalu pikirannya dangkal. Itu baju Lili, dulu sebelum gue tempati rumah ini, dia tinggal di sini."

"Loh, ini rumah Lili?" tanya Aurora sambil mengelap tangannya.

"Rumah gue."

"Berarti kalian pernah tinggal serumah sebelum nikah. Kalian kumpul kebo?"

"Hus! Enak aja lo!" sahut Dirga cepat.

"Yaaa ... kirain ...."

"Dulu gue ngontrak di apartemen. Karena gue udah telanjur beli ini rumah, daripada kosong, terus Lili juga ngekos, mending dia nempati sini, sebelum kami menikah. Gitu!" Dirga memukul kepada Aurora pelan menggunakan gagang kayu spatula.

Lagi-lagi hati Aurora nyeri mendengar Dirga menyebut nama Lili. Seperti tak rela, padahal kejadian itu sudah berlalu dan sebelum Aurora datang lagi dalam kehidupan Dirga.

"Sana mandi di kamar gue, cari aja baju Lili di lemari. Ukuran kalian kayanya sama."

"Lo enggak mandi?"

"Entar aja," jawab Dirga kembali duduk di ruang tengah sambil mengecek ponselnya.

Aurora naik ke lantai dua, langsung menuju kamar Dirga. Ruangan yang cukup luas, di tengah ruangan itu ada tempat tidur yang lumayan lebar, dan semua tertata rapi. Ada yang mengganggu pandangan Aurora, bingkai besar yang tergantung di dinding, foto Dirga sedang memeluk Lili.

"Akan susah buatku menggantikan posisi Lili dalam hidupmu, Ga," gumam Aurora sedih.

"Ra!"

Aurora terperanjat lalu menoleh ke arah pintu. Ternyata Dirga sudah berdiri di sana.

"Ngagetin aja sih lo!" sungut Aurora sambil mengerucutkan bibir.

"Sorry," ucap Dirga lalu masuk. Dia berjalan ke laci buffet dekat dengan lemari. Dirga mengeluarkan sikat gigi baru lalu diberikan kepada Aurora.

"Ga, cariin bajunya," ujar Aurora sungkan ingin membuka lemari Dirga.

"Tinggal cari aja kok."

"Enggak enak," rengek Aurora manja. Dia duduk di tepi ranjang.

"Manja!" gumam Dirga lalu membuka lemari yang penuh dengan pakaian Lili.

Apa nanti setelah kita nikah, kamu akan tetap menyimpan pakaian Lili di lemari itu, Ga? batin Aurora memerhatikan Dirga yang sedang mencari baju ganti untuknya.

"Ini masih baru semua, belum pernah dia pakai. Buat lo aja," ucap Dirga memberikan Aurora pakaian santai; celana tiga perempat, kaus lengan pendek, sekaligus dalaman yang masih terdapat bandrol harganya.

"Banyak, ya, pakaian dia?" tanya Aurora basa-basi menahan perih di hati.

"Gitulah, Ra! Tapi banyak juga yang belum sempat dipakai. Kalau lo mau pakai yang masih baru, enggak apa-apa. Entar yang pakaian lamanya gue ringkas di kardus."

"Terus mau diapain?" tanya Aurora mengikat rambutnya ke atas.

"Gue mau taruh di panti asuhan, sayang kalau dibuang. Masih bagus-bagus dan layak dipakai kok."

"Ya dah, terserah lo. Gue mau mandi dulu, sana keluar!"

"Kenapa gue yang diusir? Kan, ini kamar gue," gerutu Dirga masih berdiri di depan lemari.

"Terus lo mau ngapain di sini? Ngintip gue mandi?"

"Ih, ngarep lo ya, gue intip?" ujar Dirga menyeringai sambil tersenyum jahil.

"Yeeeee, ogah! Terus mau ngapain lo di sini?"

"Gue mau ganti bajulah! Mau ke pasar, masa begini aja."

"Kalau lo enggak punya malu, enggak apa-apa," sahut Aurora sambil berjalan ke kamar mandi yang ada di pojok kamar itu.

Setelah Aurora menutup pintu kamar mandi, Dirga memakai celana pendek selutut dan mengganti kaus tipisnya dengan kaus yang lebih pantas. Dia menunggu Aurora di bawah.

***

Hari ini Suci sengaja datang ke rumah Rosita membawa undangan yang selesai dicetak.

"Dirga sudah tahu kalau undangannya jadi, Ci?" tanya Rosita saat mereka mengecek satu per satu undangan sesuai daftar nama yang sudah terdata.

"Sudah, tadi aku WA dia. Mungkin masih flight dia, Ma. Centang satu soalnya."

"Aku suruh Tante Vera ke sini, ya? Biar bantu ngecek undangannya. Kan, ini juga undangan buat teman-temannya Tante Vera."

"Iya, Ma."

Setelah itu Rosita menghubungi Vera. Menunggu hampir dua jam, akhirnya Vera datang. Persiapan pernikahan Aurora dan Dirga sudah 70%.

Di lain tempat, tatapan Tiara sinis saat bertemu Aurora. Desti hari ini dinas bersama Aurora, mereka sedang dicek kesehatannya sebelum terbang.

Gara-gara kejadian kemarin, Tiara mendapat surat teguran pertama. Dokter Fahmi juga mengawasinya lebih ketat.

Saat memeriksa Aurora, wajah Tiara masam. Dia hanya membisu, Aurora justru merasa aneh dengan sikap itu. Desti sudah mendapat cerita tentang kejadian tempo hari dari Aurora. Selesai pemeriksaan, mereka bersiap-siap untuk terbang. Sambil membersihkan kabin, Desti dan Aurora mengobrol.

"Parah banget sih menurut gue, Ra," ujar Desti sambil merapikan majalah penerbangan ke tempatnya.

"Gue juga enggak tahu, kenapa dia bisa senekat itu. Enggak malu apa, ya?"

"Eh, Ra, cinta itu buta. Mana dia paham malu, yang ada di otak dia itu cuma gimana caranya biar Kapten Dirga menganggapnya," sahut teman pramugari yang lain.

"Setuju sama Eni!" sahut Desti. "Cinta bisa bikin orang berwibawa jadi lemah, ya?" lanjut Desti disusul kikihannya.

"Tergantung!" sahut Eni selesai membersihkan lantai kabin.

"Tergantung gimana?" tanya Aurora menautkan kedua alisnya menatap Eni.

"Kalau cinta pakai logika, dia enggak akan menjadi orang bodoh. Tapi, kebanyakan cewek kalau udah cinta, logikanya mati. Yang ada baperan, dikit-dikit sakit hati, sedih, galau. Termasuk gue," tukas Eni disusul tawa kecilnya. Aurora dan Desti pun ikut tertawa.

"Bener-bener lo, En! Tapi emang gitu setelah dipikir-pikir sih," sahut Desti tak berhenti tertawa sambil menutup mulutnya.

"Asyik bener, ngobrolin apa sih?" tanya pilot yang usianya tak lagi muda.

"Biasa, Kap, obrolan wanita," sahut Eni sambil tersenyum ramah.

"Sudah selesai beres-beresnya?"

"Sudah, Kap," jawab Desti.

"Kita buka boarding, ya?"

"Iya, Kap," sahut mereka bersamaan.

Aurora membuka pintu pesawat, meskipun kelihatannya mudah, aslinya membukanya berat dan butuh pelatihan khusus. Biarpun pramugari-pramugari memiliki penampilan cantik, tubuh langsing, mereka juga dituntut tangguh dan kuat.

########

Maaf, yaaa? Aku dari kemarin sibuuuuk ngurus naskah yang mau terbit ulang. Hehehehe

Akan terbit buku There's Someone For Someone, Kawin Gantung, dan He Is Mine.

Siapa yang berminat mengadopsi?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top