Aditya Kepo
"Pa, gimana lagi cara membujuk Dirga biar mau menikahi Aurora?" tanya Rosita kehabisan akal.
Samsul diam, tetapi otaknya berjalan memikirkan cara lain. Dia dan Rosita sepakat dan mantap ingin menjodohkan Dirga dengan Aurora. Namun, agar tidak terlalu mencolok, mereka memilih cara halus agar seolah kedekatan mereka natural, tanpa campur tangan mereka.
"Bagaimana kalau kita liburan bareng, Ma? Ajak Vera sama Aurora menginap di villa kita?"
"Tapi, kan, libur mereka enggak selalu bareng, Pa."
"Coba kamu chat Vera, suruh tanya liburnya Aurora kapan."
"Oke."
Bergegas Rosita menggapai ponselnya yang terletak di nakas. Dia mengetik pesan lalu dikirim ke Vera. Beberapa saat menunggu, chat dibalas.
Oke, Ros, aku tanyakan dulu.
Samsul dan Rosita menunggu sambil berbincang.
"Pa, apa Dirga belum bisa melupakan Lili, ya?" ujar Rosita menoleh ke sampingnya.
Samsul masih setia menatap langit-langit kamar. Lalu menyahut, "Bisa jadi, Ma. Tapi, dia enggak mungkin, kan, selamanya sendiri."
"Mama cuma khawatir, bagaimana kalau dia tetap enggak mau menikah?" Suara Rosita menjadi parau, dia menahan air matanya.
Lantas Samsul mengubah posisinya miring menghadap Rosita, dia mengelus bahu Rosita supaya tenang.
"Sudah dong, Ma, jangan mikir macam-macam. Insyaallah Dirga bakal nurut sama kita."
Dering pesan masuk dari ponsel Rosita, segera dia mengeceknya.
Ros, satu minggu ini jadwal dia full. Tapi, katanya minggu depan ada jadwal off dua hari. Ada apa sih, Ros? Kok tumben tanya libur Aurora?
Karena penasaran isi chat dari Vera, akhirnya Samsul menghapus jarak dengan Rosita.
"Coba Mama tanya Dirga, kapan libur," titah Samsul.
Sengaja Rosita tidak membalas dulu pesan Vera. Dia ingin memastikan waktu libur Dirga. Rosita menelepon, beberapa kali tak ada jawaban. Mungkin Dirga sedang dinas, pikir Rosita. Lalu dia meninggalkan pesan agar Dirga balik menelepon setelah membaca pesannya nanti.
"Ya sudah, kita tidur saja. Semoga besok Dirga menelepon," ujar Samsul menarik selimut sebatas dada.
"Iya, Pa."
Rosita meletakkan ponselnya di nakas lantas menyusul Samsu,l tidur miring menghadapnya.
***
Sudah menjadi hal biasa bagi Dirga dalam sehari berpindah dari kota satu ke kota yang lain. Pagi ini dia mengawali penerbangannya dari Jakarta. Tadi sebelum dia berangkat ke bandara, Dirga sudah menyempaatkan diri menelepon Rosita. Saat ini dia sudah duduk di ruang tunggu kru menunggu timnya lengkap sebelum berangkat ke Medan.
Segerombol kru yang baru saja landing di bandara Soekarno Hatta masuk ke ruangan itu. Aditya berjalan gagah menarik koper, di sampingnya ada co-pilot dan di belakang beberapa wanita cantik berseragam pramugari. Aditya langsung menghampiri Dirga yang duduk sendiri sedang menetap layar datarnya.
"Heh, serius amat," ujar Aditya menepuk bahu Dirga.
"Gue lagi lihat-lihat ini." Dirga memperlihatkan ponselnya kepada Aditya.
"Wuiiih, gilaaa. Udah mau beli lo?" ujar Aditya meminta ponsel Dirga lalu melihat-lihat gambar mobil impian sahabatnya itu.
"Bagusnya warna apa, ya?" tanya Dirga tetap bersikap santai dan wajah tanpa ekspresi.
Yang ingin beli mobil Dirga, tetapi yang heboh Aditya. Begitulah mereka, Dirga introvert bertemu Aditya yang ekstrovert. Mereka saling melengkapi.
"Hei, Ra!" panggil Aditya.
"Iya, Kap," sahut Aurora menoleh Aditya.
Sedari tadi Dirga maupun Aurora saling tak menyadari keberadaan satu sama lain. Mereka terlalu sibuk degan urusan masing-masing. Saat Aurora tahu ada Dirga juga di ruangan itu, entah mengapa malah canggung dan sungkan. Beda dengan Aurora, justru Dirga bersikap santai dan biasa saja.
"Sini deh!" Aditya melambai agar Aurora mendekatinya yang duduk bersebelahan dengan Dirga.
Mesipun dadanya berdebar tak keruan dan hatinya merasa campur aduk, Aurora berusaha mengontrol sikapnya agar terlihat tenang. Dia berjalan anggun mendekati pilot yang tadi bertugas dengannya itu. Aurora sampai saat ini belum mengembalikan kartu ATM Dirga. Dia bingung mau mengembalikan bagaimana. Bertemu saja jarang, dari beberapa minggu yang lalu baru bertemu lagi sekarang ini.
"Ada apa, ya, Kap?" tanya Aurora setelah berdiri di samping kursi Aditya.
"Jadi, Kapten Dirga itu sudah lama pengin mobil ini, Ra. Dia lagi bingung milih warna. Siapa tahu kamu bisa bantu milihin. Kan, kriteriamu tinggi," ujar Aditya memperlihatkan ponsel Dirga kepada Aurora.
Sebelum menjawab, Aurora menatap Dirga. Namun, yang ditatap tak membalasnya, dia justru menoleh ke luar jendela yang memperlihatkan pesawat berjejer.
"Mmm ... Kapten Dirga sukanya warna apa?" tanya Aurora sebenarnya juga bingung karena mobil sport yang harus dia pilih bagus semua dari model dan warnanya.
"Hitam," sahut Dirga tanpa menatap Aurora.
"Menurut saya kalau hitam itu sudah biasa, Kap. Merah juga terlalu mencolok jika di keramaian. Mungkin lebih cocok warna biru, elegan dan kalem, sesuai sama sikap Kapten Dirga. Itu pendapat saya," ujar Aurora sesuai dengan pengamatannya.
"Setuju! Bener kata kamu, Ra. Enggak salah lagi aku minta pendapat kamu," puji Aditya. "Makasih, ya, Ra?" sambung Aditya tersenyum simpul.
"Iya, Kap. Sama-sama." Lalu Aurora mengembalikan ponsel Dirga kepada Aditya.
"Gimana, Bro?" Aditya mengulurkan ponsel itu kepada pemiliknya.
Sepintas Dirga melihat pilihan Aurora. "Lumayan, bagus sih. Tapi, harganya juga lumayan mahal yang ini."
"Coba gue lihat harganya." Aditya mengecek harga mobil tersebut. "Wow, gila ... emang, ya, pilihan cewek yang punya kreteria tinggi enggak murahan. Berkelas! Pantas saja enggak ada cowok deketin kamu, Ra. Mereka udah takut duluan lihat gaya hidupmu," gurau Aditya lantas terkekeh.
"Kan, ada pepatah Jawa mengatakan ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono, Kap," ujar Aurora supaya orang-orang tak salah paham dengan gurauan Aditya tadi.
Aurora takut jika dianggap cewek matre dan betah menyendiri sampai sekarang karena terlalu memilih pendamping hidup.
"Kamu lama tinggal di Dubai, tapi kok tahu begituan, Ra? Apa itu artinya, Ra?" tanya salah satu co-pilot yang tadi bertugas dengan Aditya.
Dirga hanya menyimak, dia tak berkomentar apa pun.
"Karena mama saya selalu mengingatkan soal itu, Kap. Jadi, harga diri seseorang dari lidah atau ucapan dan harga diri badan dari pakaian."
"Wah, keren, Ra. Bener tuh, setuju!" sahut Aditya mengacungkan dua jempolnya kepada Aurora.
"Tapi, pakaian enggak selalu harus yang mahal, kan, Ra?" Farah, salah satu pramugari senior menyahuti ucapan Aurora.
"Enggak, Kak. Saya enggak pernah mempermasalahkan harga pakaian. Walupun murah, tetapi bagaimana caranya agar terlihat mahal saat kita pakai. Kadang orang menilai dari apa yang kita pakai, bukan harga yang kita beli."
"Kamu pinter, Ra. Biarpun mahal kalau busananya tidak pantas dipakai, malah kelihatannya murahan. Bener enggak?" sahut Farah menyetujui ucapan Aurora.
"Bener, Kak," ucap Aurora.
"Apalagi kalau pakaian sudah mahal, terbuka lagi, waaaah, bukannya bikin elegan tapi malah murahan," ujar Aditya sambil cengengesan.
"Apanya, Kap, yang murahan?" sahut Farah tersenyum jahil memancing ucapan Aditya agar lebih jelas.
"Akhlaknya!" sahut Aditya tegas.
Semua orang tertawa lepas, kecuali Dirga yang hanya tersenyum tipis. Sejak kepergian Lili, belum ada seorang pun yang bisa membuatnya kembali tersenyum lepas dan benar-benar membuat hatinya bahagia sampai lega.
"Kadang saya tuh heran sama cewek, kalian kalau pakai baju kurang bahan. Giliran cowok tertarik, kalian marah. Kami para cowok dibilang mata keranjang, bajingan, apalah! Lah, tujuan kalian pakai baju begitu apa sih?" ujar Aditya menatap pramugari-pramugari di ruangan itu yang sering tampil seksi saat lepas dinas.
Beberapa pramugari diam, Aurora tak merasa tersindir karena selama ini pakaiannya sopan dan tidak terbuka.
"Biar terlihat menarik, Kap." Malah yang menjawab co-pilot.
"Gue keluar dulu, ya? Mau ngopi," ucap Dirga kepada Aditya.
Dia bosan mendengar obrolan di ruangan itu. Dirga lebih senang menyendiri dan di tempat tenang.
Aditya memahami, dia hanya mengangguk. Lantas Dirga keluar dari ruangan itu. Beberapa menit Aurora menimbang keputusannya, ikuti Dirga dan mengembalikan ATM-nya atau tetap di ruangan situ.
Akhirnya dia membulatkan tekad, diam-diam Aurora keluar dari ruangan itu agar tidak ditanya. Namun, Aditya melihatnya.
"Sebentar, saya mau ke toilet," ucap Aditya kepada orang-orang yang sedang bercanda dengannya.
"Iya, Kap," sahut mereka.
Aditya pun keluar, dia mencari Aurora. Saat melihat punggung Aurora sudag lumayan jauh, Aditya mengikutinya.
Aurora masuk ke kafe, dari kaca transparan kafe itu, Aditya melihat Aurora mendekati Dirga. Sebenarnya Aditya sangat penasaran apa yang terjadi antara Aurora dan Dirga. Selama ini Dirga tak pernah cerita padanya tentang Aurora. Di dalam kafe itu Aurora berdiri di depan meja Dirga.
"Kap," ucap Aurora lirih.
Dirga menegakkan kepalanya menatap Aurora datar.
"Mmm ... saya mau mengembalikan ini." Aurora mengulurkan kartu ATM Dirga.
"Sudah?" tanya Dirga sambil menerimanya.
"Sudah, Kap. Terima kasih banyak atas bantuannya."
"Iya," sahut Dirga singkat tanpa basa-basi mempersilakan Aurora duduk atau sekadar menawarinya minum, hal itu semakin membuat Aurora canggung.
"Mmm ... kemarin uang Kapten Dirga yang saya pakai sudah saya ganti."
"Iya, makasih."
"Kalau gitu saya tinggal dulu, Kap."
"Iya." Dirga mengangguk.
Segera Aurora keluar dari kafe itu. Dari tempatnya bersembunyi, Aditya bergegas kembali ke ruang kru. Dia berlagak tak tahu apa-apa. Aurora masuk ke ruang kru lalu duduk bergabung dengan teman-temannya.
Sebenarnya ada apa di antara mereka? Kenapa Dirga enggak cerita apa-apa tentang Aurora? batin Aditya sambil memerhatikan Aurora yang sedang bercanda dengan teman-temannya.
#####
Dasar Aditya! Hehehehe
Aku enggak akan menghentikan cerita ini di tengah jalan walaupun yang baca sedikit.
Tenang saja, yang sudah mengenal aku lama pasti paham. Kalau enggak sibuk atau kehilangan ide, update pasti lancar.
Semoga saja yang mengikuti sampai hari ini menikmati alurnya. Terima kasih buat teman-teman yang sampai hari ini setia membaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top