Halo

“Halo,” katanya. Selalu dan hampir setiap saat. Suara yang entah dari mana asalnya itu, tidak pernah jemu mendatangiku. Pagi, siang, sore, dan malam, dia selalu mengatakan hal yang sama, “Apa kau benar-benar tidak mengingatku?”

Aku bukanlah tipe orang yang percaya dengan hal-hal takhayul. Makluk astral. Ataupun sejenisnya. Semua hal yang tidak dapat kulihat dengan mata kepalaku sendiri—aku tidak memercayainya. Aku hanya ingin tahu hal yang nyata, terbukti, dan sumbernya jelas. Bukan abstrak, tidak terpercaya, dan hoax. Jika kau tanya padaku tentang asal muasal suara itu, maka aku tidak memiliki jawaban untuknya.

Dia selalu datang, pada waktu yang sama setiap hari. Kadang kala di tengah-tengah kesibukanku, samar aku mendengarnya. Aku abai. Acuh. Kuanggap sebagai bagian dari bentuk kepenatanku. Waktuku terlalu mahal untuk mengurusi hal-hal seperti itu. Suara itu memang kedengaran nyata, tapi aku jelas tak memercayainya.

“Apa kau akan segera berangkat? Mungkin kau melupakan sesuatu yang harusnya kau lakukan!”

Suara itu menggema memenuhi apartemenku yang sunyi senyap. Apartemen ini memang besar, tapi kelewat sepi. Bukan karena kosong melompong, bukan, malah tempat ini sesak dipenuhi banyak barang. Hanya barang, bukan manusia. Dan aku, adalah satu-satunya manusia yang menghuninya. Sebelum menutup pintu, aku terdiam memikirkan sesuatu. Tas kugeledah sebentar untuk memastikan segala sesuatunya. Laporan, laptop, hardisk, disket, semuanya ada. Aku tidak meninggalkan benda-benda yang berkenaan dengan tugasku hari ini. Kuangkat bahu acuh. Suara itu salah. Aku tidak melupakan apapun.

Sebelum pintu tertutup sempurna, kepala kudongakkan ke dalam apartemen sebentar, “Semuanya lengkap. Seperti biasa, aku tidak melupakan sesuatu hal. Terima kasih sudah mengingatkan.”

Kalau penghuni apartemen lain lihat, mungkin aku akan disangka kehilangan akal. Ya, biarlah, peduli apa dengan pendapat mereka?! Aku sudah menikmati kegilaanku ini sejak beberapa hari belakangan. Membalas suara itu layaknya aku tahu siapa dia. Mungkin ini sudah suratan. Efek terlalu lama sendiri, membuatku mendapat sedikit konpensasi.

Sudah sesiang ini, tapi kantor belum terlalu ramai. Orang-orang memang terlalu senang bersantai. Seharusnya mereka lebih tahu waktu. Ini bukanlah waktu yang tepat untuk berleha-leha. Akhir tahun semakin dekat dan masa penutupan buku sudah di depan mata. Kalau saja aku punya sedikit saham di perusahaan ini, aku akan memecat mereka semua. Orang-orang tidak profesional seperti itu tidak patut dipertahankan.

Laptop terbuka di depan mata. Sembari menunggu proses loading selesai, aku melirik jam digital di atas meja. Pukul tujuh kurang sepuluh menit—ruangan di divisiku ini masih sepi. Aku mengeluarkan badge nama dari dalam laci. Meletakkannya tepat di balik laptop. Ah, perjalananku sudah sejauh ini, tapi tetap saja aku belum puas. Mungkin semua orang akan menganggapku tidak tahu bersyukur—ya, aku mafhum. Mereka seperti itu karena tidak mengetahui betapa besar perjuanganku. Aku melakukannya seorang diri. Benar-benar mengandalkan isi dari kepalaku. Tidak ada seseorang yang menyokong. Hanya aku seorang. Aku bisa sampai di sini, ya, karena aku bisa. Seorang manager, walau selalu tampak sebagai cleaning service.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun—beginilah kehidupanku. Berlalu begitu saja. Tidak ada yang istimewa dan, tentu saja, tidak ada yang mampu membuatnya istimewa. Ah, entah kenapa aku tiba-tiba melankolis seperti ini. Menjijikkan. Aku tidak boleh larut dalam hal-hal tidak berguna seperti melamun tadi. Lagipula, melamun sudah lama hilang dalam kamusku. Oke, fokus! Fokus pada THR besar yang akan kuterima nantinya.

Berbicara tentang suara itu, aku sebenarnya tidak terlalu merasa terganggu. Menganggapnya sebagai seorang teman yang selalu mengingatkanku—meskipun itu untuk hal-hal yang tidak dapat kutebak. Seorang teman, ah, miris mengatakannya. Aku tidak memiliki seorang teman sampai menganggap si pemilik suara adalah temanku. Awalnya memang aku biasa saja, tapi tidak untuk sekarang. Dia bersuara bukan lagi hanya dalam apartemen, dia seolah-olah mengikutiku hingga perusahaan. Mengajakku bicara di tengah-tengah pekerja lainnya.

Kejadian itu terjadi pada jam istirahat, saat makan siang. Aku turun ke bawah gedung menuju foodcourt. Selama dalam lift, dia selalu menyapaku. Berusaha mengajakku mengobrol. Berkata, “Halo,” setiap menit. Untungnya tidak ada seorang pun bersamaku. Jadi aku tenang, biarlah, anggap saja suara cacing yang mengingatkanku makan.

Tapi ternyata tidak sampai di situ. Ketika makanan terhidang di atas meja dan aku sudah mengambil kuda-kuda untuk menyantapnya, dia kembali bersuara, “Tunggu dulu,” katanya, membuatku spontan menurunkan sendok yang sudah terangkat. “Kau melupakan sesuatu.

Di atas meja sudah lengkap tersaji semuanya, lagi-lagi, aku tidak melupakan apapun juga. Kuangkat bahu acuh. Lebih baik makan dengan segera. Jam makan siang bukan selamanya. Aku punya waktu untuk dikejar. Tidak ada gunanya mendengarkan suara tidak jelas seperti itu. Kembali, kusendokkan nasi, kemudian bergerak, mencapai mulutku yang sudah menganga sedari tadi.

“Jangan!”

Sendok di tanganku terlepas begitu saja. Menyisakan nasi yang sudah berserak ke mana-mana. Aku benar-benar terkejut. Sangat terkejut. Kukumpulkan kembali puing-puing kesadaranku. Aku melihat ke sekeliling. Semua pasang mata penghuni tempat ini, menjadikanku fokusnya. Aku menjadi pusat perhatian, untuk hal yang memalukan. Dengan langkah gusar, aku meninggalkan foodcourt dan semuanya. Berkali-kali mengumpat seperti orang gila. Persetan dengan perut yang kelaparan! Nafsu makanku telah sirnah karena suara sialan.

Dia masih saja terus bersuara. Tanpa melihat emosiku yang memuncak. Aku merasa semua darahku telah naik hingga ke ubun-ubun. Semua hal yang kulakukan setelah jam istirahat tidak lagi terarah. Di tambah tatapan aneh dari semua orang benar-benar menambah bebanku. Sampai pada satu titik, aku tidak lagi tahan. Muak. Dan tak kusangka sampai mengeluarkan suara.

“Sialan! Keluar sekarang!”

Kumpulan berkas melayang begitu saja. Terlepas dari map dan berhamburan di udara. Aku melihat bagaimana kertas-kertas itu menutupi pandanganku untuk sementara. Lalu, semua sudah terjatuh sempurna di lantai, memperlihatkan kembali hal-hal di balik kertas sebelumnya. Kini yang tampak adalah ... sorot mata tajam yang sedang menghunjamku sampai ke dalam. Badanku terasa luruh saat itu juga. Berharap lubang hitam menelanku hidup-hidup sekarang.

---

Kupikir aku akan benar-benar kehilangan akal sejak hari itu. Tapi perkiraanku salah. Aku ternyata lebih kuat dari yang kubayangkan. Matahari terbenam sore kemarin, ikut menenggelamkan kejadian memalukan itu. Hari ini kembali seperti biasa. Kembali pada percaya diriku yang semula.

Sejak kemarin suara itu tidak lagi kudengar. Syukurlah. Jangan tanya dia ke mana. Tidak penting untuk dipertanyakan. Hidupku kini kembali pada porosnya. Walau ada hal yang harus kubereskan.

“Saya sudah dengar kejadian kemarin.”

Aku sedikit menunduk mendengar kenyataan yang diketahui Pak Direktur barusan. Tadi pagi, belum juga aku duduk manis, sudah kutemui secarik kertas tertempel dalam kalender meja. Aku menariknya, ternyata sebuah memo. Memorandum dari direktur. Tidak pernah sebelumnya aku mendapat panggilan seperti ini. Biasanya aku selalu mendapat kehormatan dengan dipanggil tanpa perantara—oleh Bapak itu sendiri. Karena, kau tahu, aku bukan pegawai biasa. Lagipula aku dipanggil biasanya hanya karena dua kemungkinan; dipercayakan tugas besar atau dipuji karena pekerjaan selesai tanpa cela. Kali ini tentu saja berbeda. Yang jelas-jelas di luar dua opsi yang ada.

“Kau tahu kan, kau adalah aset terbaik perusahaan.”

Ya, aku tahu itu sejak lama, batinku.

“Pergantian tahun semakin dekat dan saya tadi mendapat laporan bahwa pembukuan perusahaan hampir rampung semua. Saya rasa, kau hanya butuh istirahat. Kau perlu berlibur. Kudengar sudah setahun kau tak pulang kampung kan?!”

Aku manggut. Membenarkan hal itu. Aku melihat kalender meja yang ada. Sudah tanggal 30 Desember. Sebentar lagi kalender baru. Ibu ... aku sebenarnya merindukannya. Tapi semua yang ada di sini menambah jauhnya jarak. Bahkan aku lupa kapan terakhir menghubunginya. Terserah. Silakan sebut aku anak durhaka.

“Besok sepertinya tinggal sedikit lagi yang perlu dibenahi. Saya sudah transfer yang seharusnya kau dapat. Kau bisa pulang dengan tenang.”

Pekerjaan tinggal sedikit.

Pulang dengan tenang.

Kuharap besok memang akan sesederhana itu.

Malam ini semoga setenang malam kemarin. Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang. Membuang napas lega, lalu mulai memejamkan mata. Sembari membuang pikiran bahwa suara itu akan kemba—

“Halo.”

Aku tahu, aku tahu. Telingaku masih berfungsi normal. Aku mendengarnya. Suara itu benar-benar kembali, di saat aku melantunkan harapan untuk menyuruhnya pergi.

“Kau melupakan sesuatu lagi.”

Demi apapun, tidak adakah hal lain yang bisa dikatakannya?! Mengapa selalu itu-itu saja?! Aku refleks terduduk bersila sembari bersidekap dada. Memandang lurus langit-langit kamar dan berbicara sekenanya.

“Cukup. Asal kamu tahu, aku bukan direktur yang bisa angkat kaki, ngongkang-ngongkang hanya melihat laporan fluktuasi saham saja—itu pun diantar langsung ke depan wajahnya. Aku bukan anak orang kaya. Aku merangkak dari nol. Sendirian, kau tahu? SENDIRIAN!”

Suaraku menggema memenuhi kamar. Setetes air berhasil jatuh dari pelupuk mataku. Memalukan memang, aku tampak begitu lemah.

“Aku bisa seperti ini karena kemampuan yang aku punya. Bukan karena ada campur tangan siapa pun. Jadi, siapa pun kamu, please, jangan menambah bebanku. Aku bahagia hidup sendiri. Seorang diri. Dan sekarang, aku menginginkan tidurku. Hanya itu.”

Sungguh pengakuan di luar kendali otakku. Hati yang mengambil alih, makanya jadi dramatis. Aku menarik selimut sampai menutupi puncak kepalaku. Meringkuk layaknya zigot. Zigot yang sendirian di tengah kegelapan.

---

31 Desember

Pukul 10:00 p.m.

Sudah kuduga, ini tidak akan sesederhana kalimat dari Pak Direktur semalam. Lihat saja, banyak hal yang perlu dibereskan. Di tengah banyaknya karyawan yang sedang menunggu pergantian tahun, aku malah baru pulang dari kantor. Mandi sebentar, lalu bersiap berangkat malam ini juga. Aku mengumpulkan pakaian seadanya. Tidak ada waktu untuk membawa lebih banyak. Di basement tersisa hanya mobilku sendiri. Aku selalu tampak malang, maka untuk meninggalkan kemalangan itu, aku segera menghidupkan mobil dan pergi.

Jalanan tol juga sepi. Hanya ada beberapa truk bermuatan besar yang sudah kulalui. Sejauh mata memandang, hanya ada jalanan. Lurus ke depan. Aku sengaja tidak menghidupkan pemutar musik. Menikmati kesunyian ini dalam sunyi. Memikirkan jauh ke depan, apa lagi yang akan terjadi tahun depan. Lebih tepatnya satu jam ke depan. Di hati kecilku berteriak agar tahun yang akan datang tak seperti tahun ini. Aku butuh sedikit gebrakan. Mungkin aku bisa mendirikan perusahaan sendiri?! Astaga, jangan terlalu berpikir aku memikirkan hal lain. Harapanku hanya itu-itu saja. Dipromosikan, naik pangkat, hingga mimpi menjadi direktur.
Sebentar lagi, saatnya tiba. Untuk kesekian kali, aku harus meminta maaf pada Ibu. Lagi-lagi tidak dapat melewati detik-detik pergantian tahun bersama. Yang terpenting aku bisa sampai di sana besok pagi. Tepat di saat semua orang membuka mata menyambut mentari baru pertama kali.

Gema tahun baru mulai terdengar. Lonceng gereja, terompet anak-anak—terdengar seperti sirine kemenangan. Aku memandang lurus jalanan. Dari kaca ini aku dapat melihat jelas percikan-percikan terang di atas sana. Setiap titiknya terlebih dahulu bertubrukan, baru memencar ke mana-mana. Langit malam terlihat dipenuhi bintang-bintang baru yang menyala.

“Halo,” katanya. Fokusku tetap pada pemandangan menakjubkan.

“Kupikir di saat seperti ini kau tidak akan melupakan sesuatu hal, ternyata kau kembali melupakannya.”

Aku tertawa sendiri. Kalimat yang panjang sejak pengakuan panjang yang kuberikan. “Iya, aku melupakan sesuatu hal. Aku lupa memberi tahu petugas keamanan, bahwa kembang api itu benar-benar mengganggu penglihatan.”

Hening kembali. Tidak ada jawaban darinya seperti sedia kala. Entah dia sedang memikirkan hal lain, atau apa, biarlah demikian. Tapi, kali ini, aku merasa penasaran. Penasaran akan apa kalimat berikutnya.

“Semoga kau tidak terlambat mengingatnya.”

Mengingatnya?! Mengingat sesuatu hal itu?! Aku masih belum mengerti. Kalimat itu benar-benar kelihatan aneh. Aku membuang napas asal, kemudian kembali pada jalanan kosong yang lurus hingga jauh di depan. Kupijak pedal gas lebih dari sebelumnya. Membuat spidometer bergerak beberapa angka. Yang ada di pikiranku hanya cepat sampai. Sudah semakin malam. Aku juga sudah lelah.
Mataku kembali menangkap ledakan kembang api di langit. Memerhatikannya saksama. Ledakannya berpendar ke segala arah. Hingga kurasa kini tepat berada di depanku. Terang. Menyala begitu terang. Seakan berada di depan wajahku yang kebingungan.

---

Aku mengeratkan ransel di punggung. Hari sudah terang. Kulangkahkan kaki cepat menapaki jalan setapak menuju rumah. Tinggal beberapa langkah lagi, maka aku akan sampai di sana. Tidak sabar untuk segera merebahkan tubuh yang berat.

Semakin dekat dengan rumah, dahiku malah semakin berkerut dibuatnya. Aneh. Seharusnya yang terdengar adalah sorak-sorai anak-anak karena euforia tahun baru yang belum ada habisnya. Tapi, aku mendapati hal sebaliknya. Yang terdengar malah suara ibu-ibu yang menyenandungkan lagu sendu. Lagu sendu di tahun baru. Ah, sungguh aneh benar.

Aku masuk ke dalam rumah. Kulepas sepatuku asal. Bergegas hendak melihat kegilaan apa yang sebenarnya telah terjadi di sini. Tidak seorang pun menyadari kedatanganku. Semua sibuk mengerumuni sesuatu di tengah sana. Bagai kerumunan semut yang mengelilingi gula. Atau kerumunan burung gagak yang mengelilingi bangkai(?)

Jangan tanya apa yang baru saja kulihat. Aku tidak dapat mengatakan jawabannya. Mataku berpencar mencari keberadaan seseorang. Tidak kutemukan. Aku hanya mendengar suara itu lagi. Atas nama semua hal gila yang akhir-akhir ini kulewati, tidak ada yang lebih gila dari ini! Air mataku tidak kusangka jatuh berderai sangat deras. Berat. Aku seperti anak kecil yang kebingungan dan tersesat.

“Kau melupakan sesuatu hal.”

Aku mengacak-acak rambutku sebagai bentuk kegusaran. Masih saja, masih saja hal itu yang dikatakannya.

“Ceritakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi. Drama apa ini?” kataku sambil menunjuk-nunjuk yang dikelilingi oleh semua orang di sini.

“Apa kau benar-benar tidak mengingatku?”

Oke. Aku menyerah. Akan kuikuti permainannya sekarang.

“Apa? Apa yang sebenarnya kulupakan, hah?”

Aku menunggu. Untuk pertama kalinya aku menunggu dia berbicara. Menjawab pertanyaanku, lebih tepatku. Aku masih memerhatikan sekeliling. Belum berani menerima semua ini.

Hingga, mataku berhenti di sana. Aku menutup mulut dengan kedua tangan untuk meredam isakan. Air mata masih jatuh tak tertahan. Tepat di depan pintu, kulihat sekelebat putih muncul tiba-tiba. Tidak seorang pun terusik. Kurasa hanya aku sendiri yang melihatnya. Cahaya itu semakin terang, membuatku memejamkan mata cukup lama. Dan perlahan-lahan memudar, membuat mataku kubuka perlahan pula. Aku tidak menemukan apapun di sana. Sudah hilang. Hilang bersamaan dengan suara itu. Aku tidak menyangka bahwa itu akan menjadi kalimat terakhirnya. Kalimat yang membuatku tersungkur tak berdaya.

“Kau melupakanku.”

Saat itu juga aku menyadari sesuatu hal. Sesuatu hal yang seharusnya sejak lama kuingat. Aku melihat ke luar rumah. Lurus menerobos pintu rumah. Di pagar sana sudah tersemat bendera kuning yang tadi tak sempat kuperhatikan.

Dan di hadapanku ini, telah terbujur kaku seseorang.

Seseorang yang kukenal.

Sangat kukenal.

Seseorang yang gila pencapaian.

Seseorang yang selalu mengaku hebat.

Seseorang yang tidak peduli pada orang-orang.

Seseorang yang selalu sendirian.

Seseorang itu adalah aku.

Aku ....

Seseorang yang telah melupakan Tuhan-ku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top