ketiga ,

Gojo Satoru sekelas denganku saat kami naik ke tingkat akhir masa SMA. Bisa ditebak, dia langsung jadi senior favorit para adik kelas. Sudah tampan, tinggi, jagoan tim sepak bola, juga keren. Kadang, kutemukan dia melambai-lambai pada gerombolan kecil junior perempuan, yang disambut pekik histeris sedetik kemudian.

Tapi, Gojo Satoru tetaplah Gojo Satoru. Suka seenaknya sendiri, iseng, dan susah menurut.

"Kau harus piket, Gojo-kun," aku menegur saat dia hendak keluar melewati pintu. Kulirik jadwal piket harian yang menempel di papan administrasi kelas, lalu menunjuknya. "Ini hari Rabu."

Senyum lebar merekah di wajah lawan bicara, "Kalau aku piket, apakah akan dapat hadiah?"

Alisku mengerut. "Tidak."

"Kalau begitu tidak ada gunanya. Dadah!"

Dia melesat keluar begitu saja. Membiarkanku berdiri dengan rasa jengkel luar biasa. Memangnya dia berharap dapat hadiah apa? Piket itu perkara tanggung jawab, bukan lomba.

Dengan kelakuan yang seperti itu, aku agak heran kenapa para junior bisa sangat mengaguminya. Oke, dia memang tampan. Tapi aku ingat kutipan 'informasi' yang pernah kubaca di sosial media. Katanya, setampan apapun murid laki-laki, kalau dia sekelas denganmu maka kau akan merasa biasa saja.

Mungkinkah itu berlaku untukku juga?

Bisa jadi. Para adik kelas itu jatuh hati pada Gojo Satoru tanpa mengetahui tabiatnya yang menjengkelkan, seolah membuat kesal orang lain adalah hobi. Bayangkan saja melihat tingkahnya yang begitu setiap hari. Pusing, seolah setumpuk tugas saja belum cukup membuatmu jengkel setengah mati.

Waktu itu, aku belum tahu.

Bahwa Gojo Satoru justru akan membuatku merasakan suatu hal yang baru.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top