keenam ,
Aku tidak sering menonton pertandingan olahraga atau semacamnya secara langsung. Tapi sekarang, di sinilah aku berada—di salah satu lapangan sepak bola yang telah disewa untuk pertandingan persahabatan antar angkatan. Seraya menempati salah satu bangku penonton yang strategis—aku sengaja datang lebih awal—kuedarkan pandangan ke sekeliling. Terlihat tim yang mewakili angkatanku sudah bersiap di sisi lapangan, menyusul tim junior kemudian.
Tidak sulit untuk menemukan sosok Gojo Satoru. Dia begitu tinggi, mencolok, dan kudapati tengah bergurau dengan seorang rekannya yang berambut gelap. Anak kelas sebelah, aku tidak tahu namanya. Tapi itu tidak penting. Aku ke sini dengan tujuan utama menonton pertandingan, khususnya memfokuskan atensi pada Gojo.
Bahkan bagi orang awam sepertiku, mudah untuk menilai permainan Gojo Satoru. Dia begitu andal, gerakannya menggiring bola lincah dan terkendali. Umpannya tepat sasaran. Gol dari tim angkatan kami dicetak paling banyak olehnya. Lalu aku, hanyut dalam euforia pertandingan yang begitu ramai dan seru, bertepuk tangan keras setiap Gojo mengarahkan tanda V dengan jari telunjuk dan tengahnya pada penonton. Dia terlihat penuh semangat, senyum lebarnya merekah hangat.
Kurasa hasil pertandingan sudah bisa ditebak. Tim Gojo menang telak. Bersama dengan penonton yang lain, aku berteriak. Tidak sampai ngotot keras-keras, sebab aku tidak mau suaraku jadi serak.
Puas dengan apa yang kusaksikan sore itu, aku langsung keluar dari stadion. Terburu-buru hendak mencari toilet saat kurasakan adanya dorongan buang air kecil. Mudah menemukannya, tidak begitu jauh dari pintu keluar. Berdekatan dengan ruang ganti para pemain.
Memastikan urusanku di toilet selesai, aku keluar setelah mematut diri di depan cermin. Di luar dugaan, nyaris saja aku menabrak sosok tinggi menjulang yang lewat dari arah belokan kanan.
"[Name]?" suara familiar menyebut namaku. Aku mendongak, langsung bertemu pandang dengan mata biru Gojo Satoru. "Kau mau pulang?"
Aku mati-matian menahan letupan rasa yang meruak dalam dada. Kulemparkan senyum padanya, "Iya, ini aku baru mau pulang."
"Perlu diantar?"
Alisku bertaut mendengar tawaran itu. "Untuk apa?"
"Memastikan Nona pulang dengan selamat," jawabnya dengan seringai menggoda.
Aku gatal ingin menjitak kepala lawan bicara, tapi sadar bahwa itu tidak akan banyak berguna. "Tidak perlu. Kau mau pesta merayakan kemenangan dengan yang lain, kan?"
Kepala bermahkota putih menggeleng tanda tidak setuju. "Soal itu diundur. Kami sekarang capek, lagipula cuaca makin mendung dan besok murid kelas lain banyak yang ulangan."
Aku terdiam, menimbang-nimbang.
"Bagaimana?"
Kuarahkan pandangan ke langit, sadar bahwa suara gemuruh semakin jelas. Hanya tinggal menunggu waktu saja hujan akan turun deras. Maka, aku merespons tawaran Gojo dengan anggukan sekilas.
Cengiran khasnya muncul, lagi. "Oke. Mari antarkan nona ini dengan selamat!"
Aku tertawa. Tanpa bertanya mengapa dia mau memberi tawaran mengantar pulang, aku segera menjajari langkahnya.
Mungkin, aku jadi menyukai lelaki itu lebih besar dari yang awalnya kukira.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top