keempat ,

Menangis di sekolah jelas tidak termasuk dalam daftar hal-hal yang ingin kulakukan. Tetapi, kalau aku pulang ke rumah, barangkali atmosfernya akan jauh lebih menyesakkan. Karena itu, di saat murid lain pulang, aku bertahan. Sendirian, menatap jendela kelas seolah menunggu datangnya hujan.

Kegagalan memang selalu jadi bagian dari hidup, tapi aku tak pernah terbiasa dengan rasa sakit saat mengalaminya. Aku sudah berusaha sebaik mungkin, lalu kenapa hasil yang kudapat seperti sia-sia? Benar, hal yang kau inginkan tidak akan terjadi dalam sekejap mata. Tapi sungguh, aku merasa sudah melakukan apa yang kubisa, meski mungkin belum sempurna.

Tanpa bisa kucegah, tetes air lolos dari sepasang mataku. Aku membisu, menatap rintik hujan yang mulai turun satu persatu. Dadaku sesak oleh rasa pilu. Kecewa, sudah tentu. Aku akan tetap melangkah maju, tapi aku perlu waktu.

Lalu, tiba-tiba saja ada ujung jempol yang mengusap sudut mata kananku. Bukan diriku yang melakukannya. Seraya mengerjap kaget, kuangkat kepala. Bukankah teman sekelasku sudah pulang semua?

Tapi Gojo Satoru belum. Dia berdiri di depan mejaku, memakai seragam sekolah yang sedikit kotor oleh lumpur. Aku melotot, nyaris menyemprot, lalu kusadari tangannya sudah bersih. Tangan itu terasa lembut, mengusir air mata yang semula mengaliri pipiku.

Dia tidak bertanya apa-apa. Hanya menatapku dengan netra biru berlian yang begitu cantik, disertai senyum tipis penuh pengertian. Bibirnya pun membuka perlahan, "Air mata tidak serasi dengan wajahmu."

Entah kenapa, aku merasa dia tidak sedang merayu.

Otakku menolak untuk merespons kalimat itu. Aku memilih memperhatikan seragam Gojo yang akan membuat guru mencak-mencak saat melihatnya. "Kau bisa dimarahi lagi," kataku pelan.

Gojo tertawa, ringan dan tanpa beban. "Aku tidak pernah peduli."

Kenapa dia bisa tampak begitu lepas dan bebas?

Aku hampir merasa iri padanya. Gojo juga mungkin menyadari apa yang kupikirkan, sebab dia kembali melukis senyuman. Tubuh tinggi itu lalu membungkuk, berniat untuk menjajarkan pandangan.

"Kalau aku mengantarmu pulang, apa kau juga mau tersenyum sepertiku?"

Aku tidak merasa yakin, tapi sesuatu dalam diriku mendorong untuk mengiyakan permintaannya. Maka, aku mengangguk. Merasa bahwa tidak ada salahnya pulang sekarang, sebelum hujan makin deras.

"Kau bawa payung?"

"Tidak."

Sudah kuduga.

Aku menarik napas panjang, "Aku bawa. Ayo."

Cengiran lebar khasnya datang lagi. "Ayo? Ke mana?"

Kutembakkan tatapan jengkel ke arah Gojo. "Semenit yang lalu kau bilang mau mengantarku pulang!"

Tawanya terlepas. Ini aneh, tapi kali ini suara tawa tersebut tidak terdengar terlalu menyebalkan. Pemuda itu kemudian menatapku lamat-lamat, bibirnya melengkung membentuk senyum penuh makna.

"Sepayung berdua?"

Terserahlah.

"Kalau kau mau hujan-hujanan, ya silakan saja."

Kusambar tasku, lalu berjalan keluar kelas. Di belakangku, Gojo Satoru buru-buru menyusul, menjajari langkahku sambil melontarkan lelucon kuno yang tidak terlalu lucu. Meski begitu, aku heran mengapa diriku bisa tersenyum.

Sesuai janjiku, saat Gojo mengantarku sampai ke depan rumah hingga kami siap berpisah, kuberikan senyum tulusku padanya.

Dan mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi kulihat mata biru itu sempat mengerjap-erjap. Seolah gugup, untuk suatu alasan yang tidak kuketahui apa sebabnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top