7 - Ada yang Baru Nih
“Yeay, berhasil! Berhasil! Berhasil! Hore!” Gina bersorak girang setelah melihat angka timbangan telah mencapai berat badan ideal yang ia impikan.
Perlahan tapi pasti. Meski tidak instan dan harus menunggu waktu lama, akhirnya Gina berhasil melaksanakan diet sehatnya secara disiplin. Hasilnya pun tentu tak mengecewakan. Hal ini juga tak lepas dari bantuan Dion. Cowok itu selalu memberikan motivasi dan masukan positif untuk Gina sebagai seorang teman.
“Wui! Selamat ya, Na!” sahut Kiya heboh. Dua cewek itu lantas berpelukan layaknya Teletubies. “Bagus deh elo nurut sama Dion. Soalnya diet instan itu banyak risikonya.”
“Betul apa kata Kiya. Sekarang kamu udahan aja ya dietnya, segini aja. Ibu nggak mau kamu terlalu kurus apalagi kena anoreksia. Jangan sampe,” pesan Astuti menambahkan.
“Iya, Bu. Siap!” Gina menghormat pada ibu kosnya itu. “Yang penting rencana balas dendam aku yang pertama udah berhasil!”
“Sekarang, kita masuk ke rencana selanjutnya!” seru Kiya bak seorang kapiten.
“Rencana selanjutnya apaan, Yang?” tanya Juli penasaran.
“Hehehe, nanti juga kamu tau.”
“Jangan aneh-aneh lo berdua. Entar kalau kenapa-napa repot,” celetuk Pilip yang langsung dibalas getokan cantik oleh Kiya tepat di dahi. Cowok sipit itu lantas mengaduh kesakitan.
“Cewek lo nih, Jul! Garang banget, kelamaan temenan sama Gina nih!”
“Lah, kenapa jadi bawa-bawa gue?!” sahut Gina segahar macan tutul diinjak ekor.
“Udah, Na. Biarin aja. Inget jurus wanita syantiek, oke? Nggak boleh gahar-gahar. Tarik napas, keluarkan. Tenang-tenang.” Gina mengangguk-angguk dan meredam emosinya.
“Dan elo Pilip-pilip!” Kiya menodongkan kuas blush on tepat di hidung Pilip.
“Shut up, karena gue butuh konsentrasi!” cetus Kiya yang langsung mendudukkan Gina di sofa yang ada di tempat fotokopian ibu kos ini. Tepatnya di sofa yang juga sedang Dion duduki. Cowok itu sibuk membaca buku walau perhatiannya kadang tercuri pada pembicaraan teman-teman di sekitarnya.
Kiya menarik bangku ke hadapan Gina dan mulai mengeluarkan amunisi. Sebuah boks berisi koleksi make up lengkap miliknya. Gina duduk dengan anteng kala Kiya menggunakan wajahnya seperti kanvas. Sementara Astuti, Pilip dan Juli menjadi penonton Gina yang sedang di-make over oleh Kiya.
“Adaw, hati-hati dong, Ya. Perihhhh nih mata gue.”
“Iya-iya.”
“Jangan tebel-tebel amat entar gue jadi kayak badut.”
“Iyoooo.”
“Lapisannya kok banyak amat kayak lapisan tanah? Jangan dempul-dempul entar kalau mangap bisa retak muka gue.”
Kiya lantas tertawa geli. “Nggak akan lah, Na. Udah diem lo. Serahin aja sama gue. Nanti hasilnya bakal cetar membahana badai pokoknya! Gue nggak akan bikin lo malu, oke?”
“Nah, udah selesai!” seru Kiya dengan mata berbinar.
“Lho? udah?” tanya Gina heran.
“Yoi, sekarang coba liat hasilnya.” Kiya mengajukan cermin ke depan Gina.
“UWAW!” Mata Gina terbelalak melihat pantulan dirinya di dalam cermin.
Pilip dan Juli yang sedang fokus pada game yang mereka mainkan lantas menatap Gina dan langsung ternganga-nganga.
“Oh My God! Busyet, demplon bener lu, Na!” Juli si bule betawi tak bisa menahan keterkejutannya. Begitu juga dengan Pilip yang seolah tak mampu berkata-kata.
“Cantik banget kamu, Na!” Astuti bahkan melakukan standing applause dengan tatapan terkagum-kagum. “Entar masalah rambutnya, biar serahin sama ibu. Ibu bakal buat kamu lebih enjess lagi!”
“Okidoki, Bu!” sahut Gina girang.
Gadis itu lalu melirik seseorang yang belum memberi komentar terhadap penampilannya saat ini. Ya siapa lagi kalau bukan Dion Awan Angkasa. Ternyata cowok itu sedang terlelap sambil memeluk buku bacaannya dengan sisi kepala yang menempel di atas lengan sofa. Lantas, Gina mengambil buku yang ada di pelukan Dion secara hati-hati dan meletakkannya di atas meja. Terlihat jelas gurat kelelahan pada wajah Dion. Gina mengerti karena akhir-akhir ini kegiatan cowok itu memang begitu padat.
Dion membuka matanya perlahan karena pergerakan kecil yang Gina buat. Gadis itu kemudian terperanjat melihat Dion yang langsung duduk tegak. Usai mengucek matanya, Dion terpana beberapa saat dan jatuh pada pesona Gina sejatuh-jatuhnya. Membuat Kiya, Juli, Pilip dan Astuti mengulum senyum secara bersamaan.
“Yon? Lo oke? Lo nggak kena serangan jantung, kan?!” tanya Gina panik.
Dion bertanya dengan muka bantalnya. “Lo siapa?”
“Bidadari,” sahut Gina sambil menyelipkan helai rambutnya ke belakang telinga.
“Lo Gina?!” tanya Dion lagi percaya tak percaya.
Gina memutar bola matanya. “Menurut el?”
“Gimana Yon, bagus kan kerjaan gue?” tanya Kiya membanggakan diri.
Dion mencondongkan tubuh ke arah Gina dan memandangnya lekat beberapa lama. Hal itu membuat Gina menahan napas dan memundurkan wajah. Lagi-lagi Dion berhasil membuat jantungnya berdebar-debar.
“Biasa aja,” jawab Dion seraya berdiri. Cowok itu meraih bukunya dan berjalan santai keluar sembari menguap sesekali. Gina melongo sepersekian detik sebelum berseru dongkol.
“Dasar nyebelin!” Gadis itu meninju udara ke arah punggung Dion yang semakin menjauh.
Mendengar itu, Dion mengulas senyuman yang tentunya tidak Gina ketahui.
“Udah Na, Dion boong tuh boong. Kayak nggak tau Dion aja,” ujar Kiya menenangkan Gina yang sedang dilanda emosi tingkat neptunus.
***
Penampilannya yang berubah secara drastis membuat efek yang cukup besar bagi diri Gina. Semua orang seolah menyadari keberadaannya. Teman-teman sekelas, kakak tingkat bahkan orang yang tidak ia kenali pun bersikap begitu manis. Gina berhasil menjadi pusat perhatian di setiap langkahnya.
“Gue nyamperin Juli dulu ya, Na,” kata Kiya usai jadwal perkuliahan mereka hari ini berakhir. Gina mengangguk dan melambaikan tangan melepas kepergian Kiya.
Gadis itu kemudian berjalan tanpa arah dan tujuan menyusuri koridor kampus. Gina menghentikan langkah dan kontan menutup mukanya dengan tas ketika melihat sosok Ruri bersama Zoya yang berjarak tak jauh di depannya. Gina menggigit bibir bawahnya gelisah. Kendati penampilannya telah berubah 180 derajat, Gina tetap dilanda perasaan minder bertemu dengan pasangan itu. Gina kembali melangkah secara ragu-ragu. Kepalanya tertunduk dalam.
“Hap!” Sebuah telapak tangan menahan dahi Gina yang akan membentur tiang koridor karena terlalu berkutat pada pikirannya. Gina tersentak dan menoleh pada pemilik lengan itu.
“Jalan tuh liat-liat. Jangan ngelamun mulu,” gerutu Dion sambil membenarkan posisi gigbag yang memuat gitar akustiknya di atas bahu.
“Ya maap,” ujar Gina tak bersemangat.
“Minta maaf sama ini tiang jangan sama gue.”
Gina cemberut dan kembali menghadap tiang koridor yang diam tanpa kata. “Maaf ya, Yang. Tiang maksud gue. Lagian bukan salah gue. Kenapa juga lo ada di sini ngalangin gue jalan?”
Dion terkekeh geli melihat Gina bicara dengan tiang itu. “Kasian amat lo dikacangin.”
“Au ah lu. Nyebelin.”
“Muka lo kenapa sih butek banget? Ngapain juga dandan-dandan kalau muka lo cemberut kayak gitu.”
Diam-diam, Gina melirik keberadaan Zoya dan Ruri. Gadis itu lantas berbalik menghadap arah yang berlawanan ketika Ruri dan Zoya dari kejauhan mulai melangkah ke arahnya.
Menyadari hal itu, Dion menghela napas dan membalik tubuh Gina kembali ke posisi semula. “Katanya lo mau bales dendam?”
“Gue nggak bisa, Yon. G-gue ….”
“Sekarang lo jalan, hadapin mereka berdua. Lo nggak perlu terus-terusan menghindar dari mereka.” Dion berbisik tegas di telinga Gina. “Lo pasti bisa, percaya sama gue.”
Gina mengangguk kaku. Ia harus bisa menghadapi Ruri yang membuat kepercayaan dirinya lenyap tak bersisa. Ia sudah berubah, ia bukanlah lagi Gina yang biasa.
“Nang, tunggu apa lagi? Tenang aja, gue ada di belakang lo.” Gina terenyak mendengar perkataan Dion.
“Oke. Gue harus bisa.”
Dion mengangguk dan tersenyum bangga. Gina mengambil napas dalam dan sedikit mengangkat dagunya. Ini adalah saatnya. Mata Dion terus mengikuti Gina yang mulai mengambil langkah mantap. Tangan gadis itu terkepal tanpa sadar kala Ruri dan Zoya berpapasan dengannya.
Jangan cemen, Gina. Lo pasti bisa! batin Gina turut menyemangati.
Langkah demi langkah diambilnya dengan pasti. Ruri yang awalnya berjalan sambil berbincang dengan Zoya langsung terdiam. Matanya tersihir memandangi Gina yang menurutnya cantik luar biasa. Aura gadis itu terpancar seperti waktu ia memerankan Dewi Shinta yang membuat Ruri memutuskan untuk mendekati Gina.
“Gina?”
Kaki Gina bagai terpaku di permukaan lantai mendengar suara Ruri menyebut namanya. Bayangan perkataan nyelekit dan pandangan meremehkan cowok itu terputar jelas dalam pikiran Gina.
“Iya?” Gina menoleh dan tersenyum tanpa makna apapun.
“Lo ... lo cantik banget,” ujar Ruri jujur tanpa memedulikan Zoya yang langsung melotot di sampingnya.
“Oh ya?" Gina menaikkan alisnya dan tersenyum secara berkelas. Ia kemudian berlalu menjauhi keduanya. Mengabaikan suara Zoya yang sedang mengomel pedas pada Ruri. Rasain!
Dion tersenyum dan mengikuti ke mana langkah kaki Gina tergerak.
“Cool.” Dion bertepuk tangan dan mengacungkan jempol setelah mereka berada cukup jauh dari Zoya dan Ruri.
Gina membuang napas lega. Gletser dalam hatinya seolah mencair.
“Yon, gue seneng banget. Sekarang temenin gue makan sepuasnya!” Gina merangkul paksa Dion yang sebenarnya jauh lebih tinggi darinya.
“Deaaaal!”
Gina dan Dion tertawa bersama. Sejak Gina terobsesi dengan diet, kedua sahabat itu jadi jarang berwisata kuliner. Biasanya mereka berlomba untuk menghabiskan banyaknya makanan.
“Dion!” panggil seseorang yang membuat mereka berhenti.
Gina lantas melepaskan rangkulannya pada Dion ketika retinanya menangkap sosok Celia. Cewek yang akhir-akhir ini berjuang maju terus pantang mundur untuk mendapatkan hati Dion. Seperti yang lainnya, Celia terpana dengan penampilan Gina saat ini. Style Gina yang tak jauh-jauh dari kemeja gombrong, jeans dan sneakers telah tergantikan. Juga riasan wajah Gina yang tidak terlalu berat namun berhasil membuatnya tampak fresh.
“Ada apa, Cel?”
Celia tergeragap dengan pertanyaan Dion. “Hng … ada yang perlu gue tanyain sama elo.”
“Tanya aja.”
Celia menggaruk tengkuk yang tertutupi oleh helai rambutnya dan melirik pada Gina. “Tapi ….”
“Gue cabut dulu, ya, Yon. Yang tadi kapan-kapan aja. Cel, gue tinggal ya.” Gina cukup sadar diri. Sebelum Dion merespon, ia melesat dan meninggalkan Dion berdua dengan Celia. Meski, ada suatu perih yang bahkan tak ia pungkiri akan datang menyergap.
Sadar, Gina. Dion bukan untuk lo. Kalian berdua itu temen. Dan akan selalu jadi temen. Gina membatin sambil melangkahkan kaki.
“Aw!” Gina jatuh terduduk dan langsung mengaduh kesakitan memegangi tapak kaki kanannya yang mungkin terkilir. Mulai hari ini sneakers gadis itu memang telah resmi berganti dengan heels meskipun haknya tidak begitu tinggi.
Melihat itu, Dion sontak berlari menghampiri Gina dan meninggalkan Celia di belakangnya. Tampak sekali perubahan raut wajah Celia yang tak senang. Mana ada seseorang yang senang jika momen bersama gebetan harus berakhir karena hal-hal yang dianggapnya tak penting. Tapi Gina sangat penting bagi Dion, itulah kenyataan yang tak Celia suka.
Namun, sebelum Dion tiba, telah ada tangan yang terulur di hadapan Gina. Gadis itu mendongak dan langsung terpesona pada pandang pertama.
“Lo nggak kenapa-napa?” tanya cowok itu dengan suara yang seindah parasnya. Gina lalu mengangguk tanpa sadar.
“A-i-iya,” jawab Gina gugup. Bagai seorang pangeran, cowok tampan itu mengulurkan tangan dan membantu Gina untuk berdiri. Sedangkan Dion mematung di tempatnya melihat interaksi Gina dan cowok asing itu.
“Hm, makasih ya.”
Cowok itu mengangguk. “Sama-sama. Oh iya kenalin nama gue Gery. Nama lo siapa?”
“Gue ... Gina.”
Note:
Hihi maaf ya lambreta mulu niyy.
Wah, Apakah Gery salut apa Gery pasta apa Gery Gery Gery (udah lama ga ngiklan niyy) bisa membuat Gina sepenuhnya melupakan perasaannya pada Dion? Apakah kehadiran Celia juga dapat meluluhkan hati Dion yang cuek bebek terus kepadanya?
atau malaaaah..... hehehe adadeh.
HMMMMM. Terus, doain ya ada sesuatu niyy. Semoga kalian juga terus sehat dan bisa membanggakan orang tua. Semangat, mwa!
oh iya mau nanya. di sini ada yg belum baca Fangirl Enemy nggak langsung baca Halal Zone gitu? yaaa siapa tau ada wkwkkw
Iin, maknya iyoncu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top