6 - Ada Pucca!
Di depan tempat fotokopi milik ibu kos, Dion mengikat tali sepatu larinya sembari bersiul-siul. Matahari baru saja menyembul keluar dari persembunyian. Hawa pagi ini tak sedingin biasanya. Justru, terasa lebih hangat karena sinar mentari yang tak seberani kala terpancar di siang bolong.
"DAR!"
"AYAM!" Dion hampir saja melempar sepatunya ke arah Gina yang muncul dari arah belakang secara tiba-tiba.
"Hehehe ... kaget amat, Mas Bro."
Dion langsung berdiri, tangan cowok itu sudah berniat untuk menjitak gadis tengil di depannya. Namun, hal itu langsung Dion urungkan ketika menyadari sesuatu.
"Apaan, nih?" tanya Dion heran melihat benjolan yang ada di kedua sisi kepala Gina.
"Biasa, eksperimen ibu kos."
"Benar sekali! Gimana, Yon? Lucu, kan?" Astuti yang baru saja keluar langsung menyambar. "Ini namanya Pucca hairstyle. Lagi booming tau," jelas wanita paruh baya itu bersemangat. Beliau terlihat amat bangga atas mahakaryanya dan Gina telah dinobatkan sebagai kelinci percobaan.
Awalnya, tempat fotokopi ini memang merupakan sebuah salon. Karena tak banyak pengunjung, juga sepertinya bisnis tempat fotokopi dan menjual berbagai alat tulis di kalangan mahasiswa dan pelajar jauh lebih diminati. Akhirnya, Astuti menutup salon tersebut.
Dion menaikkan alis sambil mengamati Gina dengan tatanan rambut yang terinspirasi dari tokoh kartun Pucca itu.
"Gimana, ucul khaaan? Gue jadi imut-imut." Gina mengerjapkan matanya genit dan menangkupkan telapak tangan di kedua pipi.
Dion berusaha keras untuk menyembunyikan kegemasannya pada Gina. "Imut-imut apaan. Amit-amit iya, Nang," ledek Dion yang kontan membuat Gina manyun.
"Ih kamu, Yon. Orang beneran imut begini kok!" bela Astuti tak terima.
Iya saking gemesnya, pengen gue karungin lo, Nang. Suara hati Dion berkoar.
Tapi namanya juga Dion Awan Angkasa, cowok itu seolah sedang tinggal di Bikini Bottom yang memiliki Hari Kebalikan. Dalam hati bilang imut, yang keluar di mulut malah amit.
"Sekarang kapan nih kita mulai lari paginya?" tanya Dion.
Gina kontan menjawab tegas. "Nggak, sebelum lo bilang gue imut."
Dion menghela napas selama beberapa detik. Entah mengapa lidahnya begitu kelu untuk mengungkapkan hal yang sejujurnya. Mungkin karena kadar kegengsiannya yang tinggi.
Namun, karena Gina yang terus-terusan memasang muka sok imut di depannya. Benteng pertahanan Dion akhirnya goyah.
"Heeewh, anak siapa sih, ini!" Dion memberondong Gina dengan cubitan gemas di pipi.
"Jawab dulu gue imut apa enggak?" Gina mengenggam kedua tangan Dion agar berhenti mencubit pipinya. "Terus, imutan gue apa Manis?"
"Imutan Manis, lah."
Dion memeletkan lidah mengejek kemudian kabur. Ia terbahak melihat Gina yang mencak-mencak dan mulai melesat untuk mengejarnya seperti banteng matador.
Gina memang begitu sewot bin sensi jika dibanding-bandingkan dengan Manis, sepeda kesayangan Dion. Yaiyalah, Manis kan benda mati bukan manusia. Masa dia selalu kalah saing dengan sepeda itu?
"Dadah, Ibu!" Sambil berlari, Dion melambaikan tangan pada Astuti yang terus tertawa melihat tingkah laku keduanya.
Gina mengejar-ngejar Dion seakan cowok itu sudah melakukan kesalahan fatal sekelas maling jemuran. Setelah cukup lama dan diwarnai sedikit cekcok, mereka lari beriringan dengan kecepatan sedang. Kadang, Gina hampir kewalahan meimbangi langkah Dion yang besar-besar. Maklum saja, kaki Dion jauh lebih panjang darinya.
"Yon, capeeek," keluh Gina menghentikan larinya. Bahu gadis itu naik turun karena ngos-ngosan.
"Yaelah, masa segini doang udah capek. Katanya mau bakar lemak."
Sembari duduk di atas trotoar yang terdapat di tepi jalan, Gina menyelonjorkan kakinya lurus-lurus. "Iya sih tapi capeeek. Gue balik aja dah ya. Mending nonton drama korea."
"Heh, jangan mager. Lo harus rajin olahraga. Gue nggak mau ya lo nyoba diet instan nggak jelas."
Gina merengut. Dion itu terkadang terlalu mengerti dirinya. Jujur aja Gina emang lagi searching obat pelangsing di internet.
Hehe. Jangan bilang-bilang Dion, lho.
Detik berganti menjadi menit. Dion membiarkan Gina beristirahat sebentar. Ia juga memutuskan untuk turut duduk di sebelah gadis itu.
"Hape lo geter, Yon," tegur Gina saat mendengar bunyi getaran yang berasal dari saku celana training Dion.
Dion memeriksa ponselnya dan langsung memasukkannya kembali dengan malas. Ekspresi cowok itu juga berubah bete. "Nggak penting."
"Siapa, sih? Celia?" tebak Gina penasaran. Dion pun hanya berdeham tak acuh.
"Angkat aja, woy. Siapa tau penting."
Kendati dengan perasaan agak malas, Dion menuruti perkataan Gina.
"Halo?" Dion menempelkan ponsel di telinga.
"Sorry, gue sibuk, Cel. Gue tutup ya."
"Apa katanya?" tanya Gina penasaran.
"Nggak papa."
Gina berdecak. "Lo tuh kenapa sih, Yon? Enggak ada bersyukurnya sama sekali dah jadi manusia. Cewek kayak begitu malah disia-siain. Udah cantik, bening, pinter, hitz badhay, badannya bagus pula," cerocos Gina tak habis pikir.
"Tapi gue nggak ada hati sama dia. Lagian lo kenapa sih getol amat nyomblangin gue? Gue tuh nggak suka, Nang."
Gina terperanjat mendengar nada suara Dion yang tajam. Cowok itu jadi terlihat menyeramkan. "Santai dong, Yon. Dia minta tolong terus-terusan sama gue. Gue kan susah nolaknya."
"Pokoknya gue nggak suka. Titik."
Gina memutar bola matanya. "Yeu, lo tuh pilih-pilih banget jadi cowok. Jadi bujang lapuk tau rasa lo, Yon."
"Ya nggak papa, kan ada elo yang nemenin."
Gina mendengus sebal. Dion memang kufur atas nikmat. Ya, secara gitu terhitung lumayan cewek yang mengejar-ngejar Dion. Tak jarang, bahkan ada yang berani untuk mengungkapkan perasaan pada cowok itu. Tetapi Dion selalu menolak secara halus.
"Gue males pacaran. Males jagain jodoh orang. Pacaran itu ribet, riweuh, malesin. Gue terlalu sibuk sama dunia gue. Gue mau ngurus impian gue, juga ngurusin elo. Kalau gue pacaran, elo bakal gimana coba?"
"Idih, ngapain juga lo ngurusin gue? Gue bisa sendiri." Gina menukas sewot.
"Halah, entar juga naik-naik lagi lo ke atas genteng."
Gina memberengut. "Yon, plis deh. Lo tuh nggak usah nurutin apa kata emak gue. Ya namanya juga emak-emak. Dion, titip Gina ya. Kalau ada apa-apa, pites aja palanya." Gadis itu meniru ucapan sang mama. "Gue ini bukan anak PAUD. Dari segi umur, gue udah remaja akhir menuju dewasa awal. Setahun lagi gue juga udah wisuda."
Ya, Ninda -ibunda Gina- memang menitipkan putri semata wayangnya itu pada Dion. Ini pertama kalinya mereka berpisah jauh. Namun, saat mengetahui Dion satu kampus bahkan satu fakultas dengan Gina, kekhawatiran perlahan menghilang dalam benaknya. Apalagi fakta tentang kos mereka yang bersebelahan, Ninda jadi benar-benar merasa lega. Sejak dulu, Dion selalu jadi orang kepercayaannya.
"Ya, tetap aja lo itu amanah."
Gina melongo. Dia adalah amanah bagi seorang Dion Awan Angkasa?
"Pokoknya, gue nggak mau dicomblang-comblangin." Dion berdiri dan mengulurkan tangan ke hadapan gadis itu. Mata Gina mengerjap sebelum menyambut uluran tangan Dion lalu mulai bangkit berdiri.
"Dan yang terpenting gue udah punya cewek yang gue suka."
Jantung Gina bagai ditembus oleh tombak. "Hah? Siapa?" tanyanya dengan raut wajah yang luar biasa terkejut.
Dion menjawab singkat. "Rahasia."
"Yon, katanya kagak ada rahasia di antara kita."
"Kepo aja lo." Dion menyentil kening Gina dan kembali melanjutkan lari paginya.
"Yon! Siapa?" seru Gina sambil berlari mengiringi Dion. Namun, Dion hanya bersenandung asal dan mengabaikan pertanyaannya.
Cewek yang Dion suka itu siapa sih?!
Gina sampai bosan menanyakan hal yang sama tetapi tak juga memperoleh jawaban. Mereka kini tiba di sebuah taman di depan kompleks. Gina dan Dion bergabung di barisan orang-orang yang melakukan peregangan.
"Coba liat, lengan gue gede banget penuh lemak. Paha gue udah kayak gedebok pisang." Gina mulai menggerutu mengabsen lemak-lemaknya.
"Kamu nyindir saya?!" Gina dan Dion terkaget-kaget mendengar bentakan dari belakang mereka.
Gina menggeleng cepat pada wanita berbadan lima kali lebih berisi dibandingkan dirinya itu. "Eh bukan, Bu! Bukan!"
"Saya belum ibu-ibu!" seru wanita itu melotot. Pipinya luber. Dagunya berlipat. Bahkan lehernya tidak terlihat lagi karena tertutup lemak.
"Maaf, Mbak. Maaf! Ampun saya ngomongin diri saya kok suer, Mbak. Maaf banget, Mbak. Saya nggak bermaksud nyindir, Mbak." Gina panik dan menangkupkan kedua telapak tangannya memohon ampun.
Setelah berpamitan yang dipaksakan, Gina dan Dion kemudian kabur dari tempat itu.
"Elo sih, Nang. Ada-ada aja!" Dion terengah-engah sambil menumpu lutut.
"Ya mana gue tau kalau mbak itu tersinggung," kata Gina sembari mengatur napasnya.
"Gue yakin. Menurut mbak itu, elo pasti orang yang nggak bersyukur sama sekali."
Gina terenyak. Benar kata admin bijak sosmed yang pernah Gina baca. Terkadang, kehidupan yang kita keluhkan adalah sesuatu yang orang lain impikan.
"Emang kenapa sih, Nang. Lo terobsesi banget buat kurus?" tanya Dion.
Gina mengernyit. "Lo kok nanya lagi sih? Bagaimanapun caranya gue mau balas dendam. Kalau gue mau, gue juga bisa kan kayak Zoya?"
"Elo itu elo. Elo nggak perlu jadi siapa-siapa."
"Yon, gue tau. Elo, Ibu Kos, Juli, Kiya, Pilip sama temen-temen yang lain pasti bilang ini bukan kesalahan gue. Gue nggak perlu merasa bersalah sama diri gue sendiri karena Ruri yang salah. Seharusnya dia nggak seenaknya judge gue kayak gitu.
"Tapi gue terus-terusan berpikir. Gue ngerasa nggak berharga. Kenapa sampai seseorang bisa memandang gue dari atas sampai bawah dengan tatapan meremehkan kayak gitu. Kenapa? Apa yang salah sama gue?" Gina bercerita dan Dion setia mendengarkan.
"Gue nggak perlu dipuja-puja atau dipuji-puji. Gue cuma mau dihargai," lirih Gina yang membuat Dion tertegun.
"Tapi gue nggak tau apa yang salah sama diri gue. Apa jangan-jangan, sekarang lo malu temenan sama gue ya, Yon?" Gina bertanya, matanya bahkan sudah berkaca-kaca.
Andai saja, waktu bisa terulang. Dion tak pernah membiarkan Gina untuk mengenal Ruri. Cowok itu membuat kepercayaan diri Gina lenyap. Sekarang, Gina malah bertanya hal yang menurutnya tidak masuk akal. Bagaimana bisa ia malu berteman dengan cewek itu?
Berteman dengan gadis ini adalah salah satu hal yang paling Dion syukuri dalam hidupnya.
"Nang, gue nggak suka ya lo nanya begitu. Kita temenan bukan satu dua hari doang tapi udah bertahun-tahun," ujar Dion serius.
"Tapi---"
"Bahkan sampai kita jadi kakek sama nenek pun, gue nggak akan pernah bosen temenan sama lo."
Gina tak tau lagi harus berkata apa.
NOTE;
TETAPLAH BERSAMAKU JADI TEMAN HIDUPKU~~ EYAEYAEYAAAA
Gue suka banget sama Pucca hairstyle. Apalagi liat member gerlben koriya pake hairstyle gitu luculucu banget omonaaa. Terutama member-member redvelvet, twice dll. Wohoho. Jadi gue bayangin Ginangcu keknya lucu deh jadi pucca pucca juga wkwkw.
Hm, kira-kira yang namanya Celia itu akan membawa dampak besar nggak ya dalam cerita ini?
Tunggu part selanjutnya yaaa hoho.
.
.
.
.
.
.
.
I'm so so so sorry untuk kalian yang nunggu PLL. Oke gue emang php banget. Gue nggak mau ngumbar janji apdet kapan lagi, takut ga bisa ditepatin. Anggap ini alasan, tapi PLL bakal dark banget dan ada banyak hal yang harus gue pikirin. Saking darknya yg ada di pikiran gue, gue jadi takut sendiri. Maka dari itu gue ga pernah berminat untuk nulis horor.
Bahkan gue udah berapa kali berpikir untuk berhenti nulis PLL. Gue rasa itu emang bukan ranah gue. Tapi kasian kalian juga yang nunggu. Hm. Aku akan mengusahakan yang terbae.
Dan akhir-akhir ini mood gue naik turun abis, gue agak depresi dan tertekan. Berat badan gue merosot dan gue yang udah kerempeng ini makin kurus kerings. Wkwkwk.
So, komen kalian yang bikin ketawa itu vitamin banget looo hohoho.
Ah iya ini yg belum tau pucca hairstyle itu cemane hehe
sebenernya rambut Dek Ayu aka Rengginang Poli termasuk pucca hairstyle juga sih, tapi aku maksud lebih yang kek gini hihiw
Terimakasih ❤
Iin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top