4 - Lebih Sayang Mana?

"Apa kewangian, ya?"

Seraya menaiki undakan tangga menuju kamar, Gina mengendus-endus kemeja flanel milik Dion yang baru saja diangkat dari atas tali jemuran. Aroma pewangi pakaian dan sisa-sisa parfum yang kerap Dion pakai lantas menghambur pada indra penciuman Gina. Sekonyong-konyong, perkataan manis yang Dion lontarkan sore kemarin menyerang pikirannya.

Gue available untuk lo setiap saat.

Gue available untuk lo setiap saat.

Gue available untuk lo setiap saat.

Langkah Gina terhenti mendadak. Pipinya otomatis bersemu merah. Gadis itu senyam-senyum sendiri sembari memeluk erat kemeja flanel milik Dion.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

Telapak tangan gadis itu melayang ke salah satu pipinya secara tiba-tiba. Gina sedang berusaha siuman dari jerat kebaperan yang bertambah akut. Kedua tungkainya lantas mencelat memasuki kamar dan menutup pintu dengan satu bantingan heboh.

"Wadaw, mulai lagi gue," keluh Gina sambil melempar asal kemeja Dion ke atas kasur.

Bersandar pada pintu, Gina berusaha menetralkan debar jantungnya yang meletup-meletup seperti pop corn. Karena tak kunjung netral, Gina lalu melenggang cepat untuk mengambil botol air minum dari kulkas kecil yang terletak di sudut kamar.

"Dion just a pren. Pren always pren!" Gina komat-kamit sebelum menenggak habis minumannya.

Kata-kata itu bagaikan sebuah mantra yang harus terucapkan agar sesuatu yang mengusik dalam perasaannya lenyap tak bersisa. Gina bahkan memasukkan kepalanya yang terasa panas ke dalam kulkas. Berharap suhu penuh keademan yang hakiki ini bisa meluruskan pikirannya.

Setelah dirasa cukup, Gina menutup kulkas dan beranjak ke arah meja yang biasa ia gunakan untuk menyetrika. Menyalakan alat pelicin pakaian itu ke stopkontak dan menunggunya panas.

"Udah kayak bininya aja gue nyetrika ini baju." Gina berdecih sambil meraih kemeja flanel Dion dari atas kasur.

Melepas hanger besi dari kemeja berwarna abu-abu itu, Gina lantas memulai kegiatan menyetrikanya. Tanpa sadar gadis itu bersenandung asal. Lagu berjudul Just A Friend To You dari Meghan Trainor melantun dari mulutnya seiring gerak setrika yang mondar-mandir di atas permukaan kemeja Dion.

Why you always making me laugh?

Swear you're catching feelings

I loved you from the start

So it breaks my heart

When you say I'm just a friend to you

'Cause friends don't do the things we do

Everybody knows you love me too

Tiba-tiba Gina menghentikan gerak tangannya dan membiarkan bibir setrika yang masih menempel di atas permukaan kemeja Dion. Tatapan gadis itu melayang pada kumpulan foto dirinya bersama Dion sejak mereka masih duduk di bangku SMA. Tergantung di sebuah tali dengan jepitan kertas pada masing-masing foto.

Foto itu berisi potret dirinya bersama Dion dan teman-teman atau bahkan keluarga masing-masing. Banyak momen yang ia lewati bersama cowok itu. Sejak SMA hingga kini mereka hampir menyelesaikan separuh dari perjalanan di bangku kuliah.

Kapan jadian?

Nggak bosen kejebak friend zone mulu?

Lo tuh sebenarnya suka nggak sih sama dia?

Entah berapa umat manusia yang menanyakan hal itu padanya, atau mungkin juga pada Dion. Gina tak tahu harus merespon bagaimana. Jika menemui pertanyaan seperti itu Gina pasti akan segera memutar otak untuk no comment dan mengalihkan bahasan.

"Bohong kalau gue bilang, gue nggak suka sama lo, Yon." Gina berkata lirih di tengah senyap yang meraja. Pikiran gadis itu menerawang.

"Dan udah lama juga, gue nyerah sama perasaan gue ke elo."

Selama bertahun-tahun kedekatan mereka sebagai teman, Gina hampir jungkir balik menyembunyikan perasaannya. Apalagi tak jarang, teman-teman akrabnya dan juga Dion berkata bahwa Dion juga memiliki perasaan yang sama padanya.

Mengapa Dion selalu bersamanya?

Mengapa Dion lebih memilih kuliah di fakultas yang sama dengannya ketimbang kuliah di luar negeri seperti pilihan sang ayah?

Mengapa juga Dion tinggal pada bangunan yang berada tepat di samping bangunan kos miliknya?

Hal itu membuat hati Gina menjadi bingung. Terkadang, ia merasa perkataan teman-temannya itu benar adanya. Bahwa mungkin, Dion memang menyukainya. Namun, di sisi lain ia juga merasa Dion tak mungkin menyukainya.

Sisi mellow dari diri cewek ekspresif itu memanglah jarang terlihat. Karena dia lebih memilih untuk memendam hal yang ia ingin pendam. Yang ia rasa, tak bisa dibagi pada orang lain. Bahkan Dion sekalipun. Tentu, karena cowok itu adalah sumber masalahnya.

Karena merasa tersiksa akan perasaannya pada Dion, Gina butuh pengalihan. Dia menjelma sebagai petualang yang mencari cinta sejati. Walau kisah cintanya selalu berujung tragis sebelum dimulai. Gina berpikir, mungkin dia memang tidak memiliki peruntungan yang baik dalam urusan cinta.

Jika ia ingin, Gina bisa menangis keras-keras atau mengomel tanpa batas. Meluapkan segala amarah atau apa saja yang mengganggu pikirannya. Lalu Dion akan datang. Menghibur atau pun menenangkannya sebagai seorang teman.

Tapi kali ini berbeda. Semua yang berkenaan akan perasaan yang sesungguhnya pada Dion, Gina memilih untuk merahasiakan dan memendamnya sendirian.

Sekali lagi, sendirian.

***

Di gedung sebelah, Dion sedang duduk di balik meja belajarnya. Menatap sebuah notes berukuran sedang yang selalu dibawa ke manapun ia pergi. Notes itu bukanlah sebuah diary. Melainkan sebuah catatan perencanaan.

Meski penampilan Dion sekarang terlihat urakan dengan rambut gondrong dan seringkali mengenakan jeans robek pada bagian lutut. Namun, Dion selalu memiliki perencanaan dalam hidupnya. Cowok itu mampu mengkoordinasi dirinya dengan sangat baik.

Apa yang akan ia capai dalam beberapa waktu ke depan atau bagaimana cara menyelesaikan suatu masalah. Berkat kemampuannya dalam mengatur aktivitas sehari-hari itu, Dion dapat menyeimbangkan antara kuliah, organisasi, juga pekerjaan sampingannya sebagai anak band.

"Tampil di radio, ganti oli motor Gina, acara BEM, Gina check up, persiapan kerja praktek, terus gigs." Dion menyebutkan beberapa hal penting yang harus ia lakukan dalam bulan ini.

Ya, selalu ada nama Gina dalam catatan penting dan rencana hidupnya. Bahkan hal sepele namun important seperti ganti oli motor. Juga check up ke rumah sakit karena Gina yang baru saja sembuh dari operasi usus buntu beberapa saat yang lalu.

Gina itu memang cewek ceroboh dan cenderung pelupa. Maka dari itu, Dion sering sekali berperan sebagai malaikat pengingat. Campur mencampuri urusan masing-masing memang hal yang lumrah terjadi di antara mereka. Karena mereka sama-sama jauh dari orang tua. Sebagai teman lama dan terdekat, mereka bergantung satu sama lainnya.

Dion menutup notes bernuansa batik tersebut lalu melipat tangan ke belakang. Bersandar nyaman pada kursi putarnya. Tak lama tenggelam dalam posisi wuenak, mata Dion membesar kala indra penciumannya menangkap bau asing, hm seperti ... ada sesuatu yang terbakar.

Sontak saja Dion bangkit dan mencari asal bau hangus itu. Alarm kepanikan dalam tubuhnya lantas menyala saat menyadari bau itu berasal dari gedung sebelah, tepatnya pada kamar Gina.

"Nang! Woy!" Dion langsung berdiri di depan jendela dan berseru keras.

Gina yang terkesiap dari lamunannya mengerjap dengan polos. Ia menatap bingung pada sosok Dion yang ada di seberang.

"Lo ngapain, Nang? Kok ada bau gosong?!" Dion bertanya tak santai. Gina tak mungkin memasak di dalam kamar sebab kegiatan masak-memasak hanya boleh dilakukan di dapur kos yang berada di lantai bawah.

"Gosong?" Gina balik bertanya. Wajar, indra penciumannya kini sedang tersumbat karena dilanda pilek. Dia tak mencium bau apapun. Sampai matanya menyadari kehadiran kukus-kukus kecil yang mulai mengudara dari setrika yang menempel di atas permukaan kemeja Dion. Gina melotot sampai bola matanya seolah-olah sebentar lagi akan keluar.

"Mampuse! Noooooo!" Gina menjambak rambutnya histeris. "Jangan gosong! Andwaeee!"

"AW!"

Gina mengaduh kesakitan kala pergelangan tangannya tak sengaja menyentuh bibir setrika yang masih panas bukan main. Dion yang menyaksikan hal itu dari jendela kamarnya tak bisa menahan decakkan. Gina memang makhluk yang sangat amat amat amat ceroboh.

Setelah melepas colokan setrika dari stopkontak, Gina mengangkat setrika itu dari kemeja Dion. Ia langsung meringis-ringis melihat kain kemeja Dion yang berlubang karena hangus.

Ujung mata Gina melirik takut ke arah Dion. Cowok itu masih berdiri di depan jendela dengan tangan yang bersedekap di depan dada. Kedua mata elang Dion tersorot begitu tajam. Gina menggigit bibir bawahnya saat melihat Dion yang menggerakkan jemari telunjuknya ke bawah berulang kali. Memberi isyarat pada Gina untuk segera bertemu di markas mereka.

Bahu Gina merosot. Ia berjalan gontai keluar kamar seperti terdakwa yang akan dieksekusi. Memandang kemeja Dion yang ada dalam pelukannya, Gina kembali menghela napas panjang.

"Mampuslah akuuu." Gina mengacak rambutnya frustrasi lalu menjedotkan kepala ke tembok.

***

"Yon, jangan maraaah."

Gina merengek agak takut. Secara dia telah melakukan kesalahan fatal pada kemeja kesayangan Dion. Gina tahu kemeja itu Dion beli dengan uang hasil jerih payahnya sendiri. Honor pertama cowok itu sebagai penyanyi di salah satu kafe terkenal.

"Entar gue ganti deh, janji. Yah? Jangan marah dooong, Yon."

Dion mendelik gemas ke arah Gina. "Siapa yang marah?"

Bibir Gina mengerucut. "Terus kenapa muka lo galak banget?"

"Karena lo nggak hati-hati. Liat nih tangan lo!" Dion mendengus dan meraih tangan Gina yang merah karena tak sengaja menyentuh bibir setrika. Untung saja tidak melepuh.

Gina terdiam melihat Dion yang sedang meneliti lukanya. Apa Dion benar-benar tak marah karena ia telah membuat kemeja flanel distro ternama itu bolong hingga tak layak pakai?

"Liat nih, merah banget! Kalau tangan lo yang gosong gimana? Lain kali tuh hati-hati!" cerocos Dion, memarahi Gina yang sepertinya senang sekali membuatnya khawatir.

Dion menghela napas panjang saat melihat Gina yang masih menatapnya dengan ekspresi cengo. "Di kamar lo nggak ada kotak first aid, kan?"

Dion beranjak mengambil sebuah gel untuk luka bakar pada kotak P3K di tempat fotokopian ibu kos. Markas yang telah mereka gunakan dari tahun pertama kuliah. Mereka sering nongkrong di sini. Entah hanya untuk ngobrol ngalor ngidul, nonton film atau mengerjakan tugas.

Gina tergeragap saat Dion menarik tangannya untuk duduk.

"Lo tuh ceroboh banget sih, Nang. Tiap hari ada aja kejadian. Kejedot udah kayak kebiasan. Kaki ketiban galon, lah. Ketiduran di angkot. Kepeleset di tangga. Kesetrum, lah. Sekarang, ini."

Dion terus mengomel sambil mengoleskan gel itu pada luka Gina dengan hati-hati. Gina lantas meringis, ada sensasi dingin sekaligus cenat-cenut yang ditimbulkan oleh gel tersebut.

"Jadi lo nggak marah kemeja lo rusak gara-gara gue?"

"Tsk, enggak. Ngapain gue marah?" jawab Dion tanpa mengalihkan atensinya dari luka Gina. Ia sibuk dengan pekerjaannya mengurus luka cewek itu.

"Itu kan kemeja kesayangan lo. Terus kan juga punya sejarah sendiri buat lo, Yon." Mata Gina bahkan berkaca-kaca karena dirundung rasa bersalah yang teramat besar.

Dion mendongakkan kepala mendengar suara Gina yang bergetar. "Kan gue udah bilang kemaren. Gue lebih sayang sama lo daripada itu kemeja."

Gina tertegun beberapa detik mendengar perkataan Dion. Jantung Gina juga dag dig dug saat Dion meniup luka yang ada di tangannya. Kalau sudah begini, Gina jadi ingin segera kembali memasukkan kepalanya ke dalam kulkas.

Dalam hati Gina buru-buru meralat. Yap, Dion menyayanginya sebagai seorang teman. Pasti begitu maksudnya.

Namun, kali ini Gina tak kunjung berhasil melenyapkan dilema yang ada di hatinya.

Gue nyerah berkali-kali, tapi lo juga bikin gue jatuh cinta berkali-kali.






Note.

(notice me if u find typo or kalimat yg rancu.)

sebenernya mau di onhold aja sampai PLL tamat. tapi karena kalian kangen dan kujuga kangen mereka jadi apdeet deeeh wkwkq.

Kalau gue jadi Gina gue juga mungkin galau bgt punya temen kek Dion wkwk. Apalagi ketemu mulu kaya gitu. Apalagi Dion bae, perhatian dan pengertian. Apalagi yang paling PENTING Dion nggak ada yang punya. Apalagi Dion unyu-unyu kek Hamtaro 😆

Yon, cepet halalin Ginaaaa dongggg!!!!!!

Kalau enggak gue jodohin ke orang nih 😂😂

Ini kenapa gue yang gemes 😂😂😂

qotd; kenapa kalian nunggu cerita ini?

jawab ya, entar aku gantung lagi loh lama-lama wkwk.

Best regards, Iin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top