30 - Pacaran (END)
Kamu adalah pelengkap hidup, penyempurna agama.
Semoga Allah mencintaimu, yang telah mencintaiku karena-Nya.
❤❤❤
Menginjak minggu-minggu pertama pernikahan mereka, rumah tangga Dion dan Gina tentu masih dipenuhi oleh nuansa pengantin baru. Mereka baru saja merasakan apa arti pacaran setelah menikah. Seperti orang yang baru pacaran, segalanya memang terasa indah. Apalagi dengan status yang halal, dijamin indahnya tidak bisa terdeskripsikan lagi.
Pagi ini Dion menghentikan motornya di halaman gedung tinggi menjulang tempat Gina bekerja. Cowok itu mengenakan kemeja formal berwarna navy dan celana bahan karena setelah mengantar Gina, dia sendiri juga harus pergi ke kampus untuk mengajar.
Setelah turun dari boncengan motor, Gina lantas meraih tangan Dion untuk ritual umum pasutri penuh cinta. Gina meraih tangan kanan Dion untuk dipertemukan dengan ujung hidung dan bibirnya. Disebutkan bahwa pusat ketenangan seorang istri itu ada pada tangan suaminya. Sedangkan pusat ketenangan suami ada pada kening istrinya.
Gina menahan senyum saat Dion tak kunjung melepaskan genggaman tangannya. Apalagi melihat senyum suaminya yang menggetarkan hati dan jiwa raga. Aduh, rasanya Gina mau nempel-nempel aja seharian.
"Nanti gue telpon, ya," ujar Dion sambil mengayunkan genggaman tangan kanan mereka. Sementara tangan kiri Dion menepuk-nepuk lembut kepala Gina yang dibalut pashmina berwarna pastel.
"Iyaaaa. Udah, ih. Entar ada yang liat," bisik Gina, agak malu-malu putri malu.
"Entar gue kangen, Nang."
Alis Gina terangkat. "Masa?"
"Beneran, yaelah. Kagak percayaan amat." Dion mulai berekspresi galak, tapi jatuhnya jadi terlihat menggemaskan.
"Iya, percaya-percaya." Gina terkekeh geli sambil mengamati tangan mereka yang masih tertaut. Lama banget ini nggak lepas-lepas.
"Emang lo nggak bakal kangen sama gue?" tanya Dion dengan mata menyipit.
"Ya ...." Gina membasahi bibirnya yang terasa kering. "Kangen, lah."
Sekarang gantian Dion yang mesem-mesem. Girangnya itu nggak bisa disembunyiin.
"Berangkat gih, entar telat. Kasian mahasiswa lo nungguin. Jangan jadi dosen PHP."
"Nggak dong, gue kan dosen yang selalu tepat waktu." Dion memandangi arlojinya. "Masih lama kok ini masuknya."
"Entar macet, suamiku."
Mendengar kalimat yang barusan Gina lontarkan, senyum Dion lantas makin membeleber. "Iya deh, iya. Tapi lo lepasin dulu dong tangan gue."
Gina mencebik lucu. "Elo tuh yang nggak ngelepas-lepasin dari tadi."
Tawa pengantin baru itu lalu terdengar indah mewarnai pagi.
Dari kejauhan, teman-teman kantor Gina lantas baper berjamaah melihat pemandangan itu dari depan lobi.
"Gila, cuy. Penganten baru nggak kira-kira. Ngobrol aja masih pegangan tangan itu weeh."
"Laki Gina manis banget ya, sis. Kayak gula-gula."
"Lebih indah ini mah dibanding sinetron tetanggaku adalah kekasih kakak suami kakakku."
Kiya yang mendengar ocehan teman-temannya pun tak bisa menahan gelak tawa. Detik selanjutnya, ia kembali memandangi Dion dan Gina. Gadis itu tersenyum hangat dan hatinya pun mulai bicara.
"Juli ... aku tau kamu pasti bahagia lihat mereka akhirnya bersatu. Kamu baik-baik terus ya di sana."
Lamunan Kiya kemudian terpecah karena getar pemberitahuan pesan yang masuk dari ponselnya.
Pilip: Ya, abis ngantor lo sibuk?
❤❤❤
"Udah makan?" Adalah pertanyaan Dion setelah mengucapkan salam. Jam makan siang tentu Dion manfaatkan dengan baik untuk mendengar suara Gina.
Terdengar suara cekikikan di seberang sana. Dion sampai mengernyitkan alisnya heran. "Nang, lo nggak kenapa-kenapa?"
Suara kikik itu kemudian berganti dengan tawa lepas. "Kita udah kayak orang pacaran ya, Yon?"
Mendengar itu, Dion jadi turut tersenyum. "Level kita mah udah lebih tinggi dari yang pacaran. Kan udah halal."
"Hm, jadi maluuu."
Dan, mereka sibuk pacaran lagi lewat telepon. Karena saat keduanya harus berkutat dengan masalah pekerjaan, mereka benar-benar total dan serius. Jadi, waktu-waktu luang memang harus digunakan untuk saling mentransfer rindu.
Menikah adalah penyatuan dua insan yang berbeda. Petualangan yang baru. Dijalani bersama dengan langkah yang mungkin tak selalu beriringan. Walaupun terkadang Dion akan menempatkan dirinya di depan sebagai seorang pemimpin atau Dion yang memposisikan dirinya di belakang menyokong Gina menghadapi resah dan gundahnya.
Namun, satu yang pasti Dion akan selalu menjaga genggaman tangan mereka. Genggaman yang nyaman, tidak mengekang hingga terasa sakit. Genggaman yang melindungi, yang terasa hangat. Dilandasi oleh doa dan cinta pada Pencipta.
Begitu pula Gina untuk Dion. Setelah menikah, Gina merasa benar-benar bahagia. Karena salah satu tujuan menikah adalah mencari kebahagiaan. Kalau tidak bahagia, untuk apa menikah?
Bahagia Gina sederhana. Saat Dion menjadi imam dalam shalatnya. Yang menjaga bacaan Qur'an-nya. Yang membangunkannya untuk shalat malam. Yang karena bersamanya, Gina merasa lebih dekat dengan Yang Maha Kuasa.
Dion adalah pribadi yang humoris juga penyayang. Perhatian dan pengertian yang tak terkira. Saat kelakuan Gina yang resek muncul ke permukaan, Dion menanggapinya dengan baik. Bahkan jika sudah mulai kelewatan, Dion menegur dengan memilih kata yang baik. Membawa keyakinan bagi Gina bahwa ia memang tidak salah pilih suami.
Seperti ungkapan Hassan Al-Basry. Pilihlah sebagai suami yang baik agamanya. Jika marah ia tak akan menghina, bila cinta ia akan memuliakan.
Untuk masalah rumah tangga, mereka tidak ingin adu urat dan saling membentak satu sama lain. Ego itu tentu ada, namun penyelesaian yang diliputi oleh amarah akan membawa potensi perpecahan.
Tentu sulit mengendalikan ego, menahan rasa ingin menang sendiri. Tapi inilah pernikahan. Bahkan seberapa lama mereka mengenal satu sama lain. Adaptasi dan saling memahami karakter masing-masing adalah suatu kewajiban.
Ini tentang bagaimana cara mereka untuk saling menjodohkan diri satu sama lain.
Hingga mereka tertanam di atas nisan yang berdampingan.
Gina ingin menjadi istri Dion bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat kelak. Mereka akan bersama bahkan setelah maut menjemput.
♡♡♡
Saat malam tiba, Dion dan Gina duduk pada sofa panjang di ruang tengah untuk sekadar menonton TV dan berleha-leha. Setelah tadi Dion sempat disibukkan dengan pekerjaan untuk mengoreksi tugas dari para mahasiswa berjam-jam lamanya. Hal itu memang biasa Dion lakukan dalam sekali duduk.
"Nggak ngantuk?" tanya Dion sambil membelai lembut puncak kepala Gina yang sedang bersandar di bahunya. Kini telah menginjak pukul 11 malam.
Gina menggeleng kecil kemudian sedikit mendongak untuk menatap Dion. "Elo ngantuk?"
Dion balas menggeleng.
Perhatiannya lalu tertuju pada notes berukuran sedang yang terletak di atas meja. Hei, Gina tahu buku itu. Buku catatan tersebut memang telah Dion miliki sejak masa kuliah. Goresan pena yang tertera di sana memuat hal-hal penting sampai yang tidak penting sekali pun.
"Nang."
"Hm?" Gina mengangkat kepalanya dengan sempurna.
Dion berdeham kemudian mengubah posisi duduknya menghadap Gina. "Begini ...." Dion terdiam sambil mengusap-ngusap notes bernuansa batik itu.
Gina menunjukkan ekspresi super penasaran dengan apa yang akan Dion katakan. Tetapi setelah detik berubah menjadi menit Dion belum juga bersuara. Dion hanya memandangi Gina dengan tatapan yang membuat istrinya itu membutuhkan oksigen sebanyak-banyaknya.
"Mau ngomong apa sih, Yon?" tanya Gina dengan bibir mencebik.
Dion terkekeh kecil dan mencubit pipi Gina gemas. "Sabar dong. Gue kan lagi mikirin kata-katanya."
Gina semakin mengernyit. "Ngomong aja ih."
Dion berdeham. "Ya udah, jadi gini ... ini rencana gue dari lama. Tapi ... gue mau minta pendapat lo dulu."
Gina sedikit memiringkan kepalanya. "Pendapat?"
Dion mengangguk lalu menggeser tubuhnya untuk semakin mendekat ke arah Gina. Kemudian membuka notes miliknya dan menunjukkan suatu tulisan yang membuat Gina sedikit terkejut. Tulisan itu adalah daftar harapan Dion yang akan ia wujudkan dalam waktu tertentu. Pria itu selalu mempunyai perencanaan dalam hidupnya.
"Dulu lo pernah bilang sama gue tentang rokok sama batako. Nah, sejak saat itu gue kan berenti ngerokok dan uang rokok itu gue tabung untuk ngebangun rumah untuk keluarga kecil gue kelak."
Gina terdiam. Ia tak menyangka Dion akan mendengarkan perkataannya waktu itu.
"Tapi, Nang," kata Dion lagi.
"Iya?"
"Gue tiba-tiba punya rencana lain." Dion berkata dengan mimik serius. "Gue mau ... kita ibadah ke tanah suci."
Deg.
Gina merasa kalimat terakhir Dion begitu berefek besar dalam dirinya. Rasanya, air matanya ingin sekali tumpah. Ia sungguh terharu dengan apa yang Dion katakan barusan.
Gaji Dion sebagai dosen memang tidak sebesar pendapatan CEO seperti di novel-novel remaja, tetapi sangatlah cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka berdua. Namun, tetap saja Dion tak bisa mewujudkan impiannya secara bersamaan.
Sebenarnya, untuk seorang yang memiliki pekerjaan tetap seperti Dion bukanlah hal yang sulit untuk mendapatkan pinjaman. Tapi Dion dan Gina sudah sepakat lebih baik bersabar dengan cara menabung. Mereka takut jikalau maut menjemput sebelum hutang piutang itu terselesaikan, belum lagi jika tersangkut masalah riba. Bagaimanapun, maut memang tidak bisa ditebak.
Papa Dion juga sesungguhnya ingin membantu secara cuma-cuma. Namun, Dion menolak dengan sopan karena dia rasa cukup untuk merepotkan orang tua.
Tabungan Dion semenjak kuliah itu, awalnya memang ia tujukan membangun istana keluarga kecil mereka. Tetapi keinginannya untuk mengajak Gina ke tanah suci kian besar. Sampai ia yakin bahwa hal itu benarlah impian terbesar yang harus diwujudkan untuk sekarang ini.
"Tapi gue kembalikan ke elo. Kalau lo mau kita punya rumah dulu, ya nggak apa-apa," tambah Dion sambil mengulas senyum yang begitu menenangkan. Ia mengerti apabila Gina lebih memilih untuk membangun rumah terlebih dahulu. Itu hal yang manusiawi.
Gina langsung menggeleng. Senyumnya mengembang lebar. Kontan, ia memeluk Dion erat-erat. "Enggak, Yon. Gue masih speechless aja lo mau ngajak gue ke sana."
Dion sempat kaget dengan pelukan Gina yang begitu tiba-tiba. Tangan Dion bergerak untuk membelai belakang kepala Gina yang kini tengah membasahi bahunya karena menangis penuh haru.
"Lah kok mewek?" tanya Dion dengan nada bercanda. "Cup cup cup ... atayang tayang ...."
Gina mengurai pelukannya dan memukul bahu Dion pelan. "Dion, ih!"
Mata Dion menyipit karena tertawa kecil. "Jadi, elo nggak papa kita bangun rumahnya nanti?" tanya Dion lembut sambil menghapus air mata Gina.
Gina mengangguk mantap. "Kalau rezekinya alhamdulillah udah ada, nggak baik kan kalau ditunda-tunda? Terus intinya kita udah punya niat," jelas Gina sambil menggenggam tangan Dion. "Lagian gue nyaman-nyaman aja kok sama rumah kita ini."
Dion mengangguk dan perlahan memajukan wajahnya untuk mengecup kening Gina singkat tapi dengan penuh perasaan. Ia merasa bersyukur, Gina satu pemikiran dengannya. Keduanya lalu tersenyum satu sama lain.
Tanpa aba-aba Gina menggenggam tangan Dion dan ibu jarinya bergerak membuat usapan pada punggung tangan Dion. Gina berkata jujur, rumah ini sederhana tapi terasa sangat nyaman.
Dion bahkan membantu pekerjaan rumah dan tidak melimpahkan semuanya pada Gina. Dion tahu mereka sama-sama berkerja. Seperti dia yang lelah, Gina juga lelah. Namun menurut Gina, pekerjaannya juga tidak terlalu berat. Dia hanya menghadapi komputer dan video acak yang dirampungkan menjadi film. Bukan seperti Dion yang mendidik manusia setiap harinya. Apalagi untuk ukuran mahasiswa dengan berbagai karakter dan pemikiran yang beragam.
Pokoknya dari awal, Gina telah jatuh cinta pada rumah ini. Apalagi kalau berdua Dion. Rasanya mah kayak bulan madu tiap hari.
"Nang," panggil Dion.
Gina berdeham dengan senyum yang masih terpatri. Dion meletakkan bantal sofa ke atas dua pahanya. Tangan Dion menepuk bantal itu, mengisyaratkan Gina untuk merebahkan kepala di sana.
Menurut, Gina pun berbaring dengan kepala di atas pangkuan Dion. Kemudian menikmati rasa nyaman saat Dion mengusap puncak kepalanya dengan lembut.
"Nang, lo tahu nggak. Pas lo nolak ajakan taaruf gue dulu, rasanya hati gue retak sampai ke urat-urat."
"Emang hati ada uratnya?"
"Nggak tau juga sih. Nggak pernah nanya."
"Gue ... cuma belum siap aja, Yon. Gue takut karena ketidaksiapan gue, gue akan kehilangan lo selamanya. Gue takut bikin lo kecewa. Gue takut nggak bisa jadi istri yang baik buat lo."
Ya, perceraian adalah momok terbesar bagi Gina. Dia belum cukup persiapan apa-apa kala itu. Mentalnya masih belum siap mengemban tugas sebagai istri.
"Tapi karena itu juga, gue sadar kayaknya gue terlalu menekan lo, Nang. Apalagi waktu Juli 'pulang'. Gue mulai memahami bahwa hidup ini bukan cuma tentang persoalan jodoh yang sebenarnya udah tercatat di Lauhul Mahfuz. Perlahan, gue mulai bisa ikhlas dengan keadaan. Lo sahabat gue. Gue selalu berdoa nantinya lo akan didampingi oleh orang yang terbaik."
Gina tersenyum manis. "Dan akhirnya, sosok terbaik yang Allah pilihkan buat gue itu elo. Elo jawabannya, Yon."
Dion menunduk untuk mengecup kening Gina. "Gue nggak pernah berhenti bersyukur atas itu."
Sementara Gina kini sibuk memainkan jari-jari tangan kiri Dion yang ada dalam genggamannya.
"Lo nggak tau aja gimana gue waktu lo mendadak pergi ke Jepang."
"Emang lo gimana?"
"Makan mulu."
"Nggak naik ke atas genteng?"
"Nggak. Kan nggak ada lo yang bakal nyuruh turun."
Dion tergelak sambil menguyel-uyel pipi Gina. "Terus gimana lagi?"
"Ya nggak gimana-gimana. Gue nggak mungkin ngelarang lo pergi, kan? Alasannya udah jelas lo tulis di surat itu. Dan gue nggak mau menghalangi lo mewujudkan cita-cita. Tapi kenapa lo nggak ngasi tau lebih awal sih? Seenggaknya kan gue bisa liat lo di bandara."
"Kalau ngeliat lo, kayaknya gue nggak bakal bisa pergi."
Gina lalu bangkit, duduk memepet Dion. "Sekarang gimana? Lo nggak nyesel kan nikah sama gue?"
Alis Gina naik turun, tersenyum lebar sampai gingsulnya terlihat jelas.
"Nyesel lah," tandas Dion yang langsung membuat Gina membelalak.
"Apa lo bilang?!" Gina sontak memukuli bahu Dion. "Nyesel kenapa coba?!"
Dion menggenggam tangan Gina yang memukulnya. Mata cowok itu kemudian memandang Gina lamat-lamat. "Karena harusnya, gue nikahin lo dari dulu."
"Hm, Diooooooon." Kepala Gina bergerak maju seperti akan menyeruduk Dion.
"Nang, jangan kesurupan, Nang."
Merasakan jitakan di kepalanya, Gina sontak duduk tegak dan memicing sinis pada Dion. Tangannya sudah bergerak aktif melancarkan balasan. Tapi langsung terhenti saat Dion menangkap tangannya.
Mata Gina melebar saat Dion mencium pipinya tanpa aba-aba. "Yuk, tidur."
"Dioooon!!!!"
END

sampai jumpa lagi my bestie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top