24 - Nikah-Nikahan
Hari ini Gina terlihat bersahaja dengan hijab berwarna biru pastel yang ditata sederhana. Tak lupa, Gina mengenakan toga seperti wisudawan dan wisudawati lainnya. Topi toga bertahta indah di kepala gadis itu.
Setelah acara wisuda selesai, para wisudawan dan wisudawati lantas berpencar di luar gedung. Menikmati momen-momen bahagia bersama keluarga dan orang terdekat mereka.
“Ya ampun, cantiknya sayangcuuuu.” Ninda memeluk Gina erat. Sedangkan Bisma yang ada di sampingnya tersenyum bangga adik kecil bangornya ini sudah mengantongi gelar sarjana.
Ya, Ninda datang bersama Bisma karena tante-tante Gina tak ada yang bisa menemaninya pergi ke acara wisuda ini.
“Mamacuuuu. Akhirnya anakmu ini jadi sarjana.” Gina tertawa mengingat momen-momen ketika ia jungkir balik berjuang dengan kerasnya dunia perkuliahan.
Namun, setelah lulus ini, Gina sadar ia akan menghadapi rintangan yang sebenarnya. Masalah akan datang silih berganti dalam kehidupan dan tidak hanya berkisar tentang kumpulan tugas yang berat atau dosen yang galak.
Ia akan berjuang mencari pekerjaan, bersosialisasi dengan orang-orang baru dan impian-impian lain yang belum tertuntaskan. Satu hal yang pasti, Gina bertekad akan berusaha sekuat tenaga untuk berbakti dan membahagiakan sang mama apa pun yang terjadi.
Bisma terkekeh. “Congraduation. Alhamdulillah lulus tepat waktu. Liat lo ngeluh mulu dulu A’a kira bakalan jadi mahasiswa abadi.”
“Enak aja!” Gina mendengus kesal. Namun, detik selanjutnya cewek itu tersenyum lebar menampilkan gingsulnya.
Tiba-tiba Bisma melambaikan tangan tinggi-tinggi, memberitahukan posisi mereka di tengah banyaknya orang-orang. Gina langsung diserang gugup karena Dion bersama kedua orang tuanya ditambah Dian dan Kenzie berjalan menghampiri mereka.
Sang mama bahkan sudah cipika-cipiki dengan Erika, mama Dion. Para ibu-ibu itu memang sudah akrab dari dulu. Gina lalu menyalimi mama dan papa Dion.
Pemandangan tersebut membuat jantung Dion berdebar secara tak wajar. Kenapa ini terasa seperti ... pertemuan keluarga?
Dua keluarga itu mengobrol ringan dan Gina juga bercanda dengan Kenzie yang ada dalam gendongan Dian.
“Ayo foto-foto dulu yuk.” Bisma mengeluarkan kamera untuk mengabadikan momen ini.
Dari foto formal Dion dengan kedua orang tuanya juga Gina bersama sang mama hingga foto yang diambil Bisma secara acak, seperti Gina dan Dion yang tak sengaja bersitatap namun buru-buru mengalihkan pandangan.
Dalam hati Bisma bertanya-tanya, mereka berdua itu kenapa sih? Tidak seperti biasanya yang jika sudah bertemu ributnya minta ampun.
Kali ini Bisma meminta orang untuk memotret mereka semua. Jika dulu saat acara pengukuhan SMA Gina tak ragu untuk melingkarkan tangan di lengan Dion atau Dion yang merangkul bahunya dengan akrab, sekarang Gina dan Dion malah merasa teramat canggung dan jantung yang berdebar tak terkendali di saat mereka hanya berdiri berdampingan. Si lucu Kenzie berada di tengah-tengah mereka dan menggenggam tangan Oom dan Onti-nya itu. Di sebelah Dion ada orang tuanya serta Dian dan di samping Gina terdapat Ninda dan juga Bisma.
Semua orang tersenyum ke arah kamera. Lalu ... cekrek!
***
4 tahun yang lalu.
“Sst. Sst.”
“Sst. Sst.”
Kiya menoleh pada suara-suara aneh di sampingnya. Kepala Kiya sedikit mendongak untuk melihat cowok yang menjadi sumber suara itu. Ketika pandang mereka bersirobok, sebuah cengiran lebar menyambutnya hangat.
“Sepupu Dion, ya?” tanya cowok berparas bule itu. Bahkan dari awal kegiatan Ospek sosoknya sudah banyak menarik perhatian.
“Kok tau?” Alis Kiya tertaut heran. Kemudian kembali meluruskan pandangan karena mereka sedang ada di dalam barisan.
Dari tadi Kiya merasa gelisah karena di barisan paling belakang ini, matahari terik sedang gencar menjamah kulitnya. Andai kelompoknya ada di barisan seberang, yang berbaris di belakang pasti tidak akan kepanasan. Ya, sekarang barisan mereka membentuk angkare alias seperti huruf U. Dan di sayap kiri ini matahari sedang menyapa dengan berlebihan.
“Gue temen sekos Dion. Kemaren liat lu di kosan sebelah sama Gina.”
Mulut Kiya membentuk huruf o tanpa mengeluarkan suara sambil mengangguk paham. Kiya memang bertandang ke kos Gina untuk mempersiapkan barang-barang serta teka-teki yang perlu dibawa saat Ospek sambil fangirling bareng. Ngerumpi idola mereka Kiev Bhagaskara yang sedang menimba ilmu di luar nusantara.
Merasa namanya disebut, Gina setengah berbalik. Gadis itu tepat berbaris di depan Kiya. “Kiya sama Ijul! Ngomongin apa woy?”
Gina berbisik galak. Volume bisikannya diatur sekecil mungkin karena sedang berlangsung pengarahan dari kakak-kakak Gaklin (Penegak Disiplin). Kalau tertangkap lagi ngobrol kan bisa berabe.
Ospek di kampus mereka terbagi menjadi dua. Ospek fakultas dan Ospek di program studi masing-masing. Sekarang mereka sedang menjalani Ospek fakultas di mana prodi yang berbeda pada satu fakultas bisa tergabung menjadi satu kelompok. Mungkin untuk menambah rasa persaudaraan di fakultas yang sama.
“Hussss!” Pilip yang ada di sebelah Gina mengingatkan. Cowok sipit itu paling tidak suka ada yang ribut sendiri saat kondisi yang diharuskan untuk hening begini.
Juli mingkem sejenak sembari memindai keberadaan para Gaklin. Setelah dirasa aman, dia menjitak kepala Gina. “Nama gue Juli bukan Ijul, Nyai!” bisik Juli mengomel.
Gina mengaduh tertahan. Andai tidak dalam situasi seperti ini, Gina sudah pasti akan melayangkan balasan. Gina mencibir lalu berusaha memfokuskan diri menyimak arahan seniornya.
“Gue Juli. Julian Kenneth Rojali.” Juli berbisik pada Kiya.
“Iya, tau.” Kiya mengulum senyum mengingat momen Juli yang begitu kocak memperkenalkan diri di depan peserta Ospek yang lain karena datang terlambat dengan logat betawi yang kental. Kontras sekali dengan tampangnya yang sangat mencerminkan produk luar negeri.
Melihat ekspresi Kiya, Juli turut tersenyum senang.
Waktu berjalan. Sinar matahari yang semakin menyengat membuat peluh menyeruak di kening Kiya, membasahi anak rambutnya. Kiya berharap pengarahan ini akan segera selesai.
Menyadari Kiya yang kepanasan, Juli mengambil langkah mundur dan memposisikan diri di belakang Kiya. Melindungi gadis itu dari pancaran sang surya dengan tubuh tingginya.
Tak hanya Kiya yang dibuat terkejut. Pilip yang merasa benteng pelindungnya dari serangan panas tiba-tiba menghilang kontan menoleh ke belakang.
“Juli ngapain di belakang gue? Cepetan balik ke barisan lo,” ujar Kiya panik. Matanya sesekali memeriksa posisi para Gaklin. Kiya bahkan tak sadar menggenggam tangan Juli erat. Memaksa cowok itu untuk kembali ke barisannya.
Juli menolak dan kukuh pada posisinya. “Udah diem. Entar Gaklin liat ke sini.”
Kiya langsung diam. Detik selanjutnya, gadis itu tertegun melihat senyum Juli. Cowok bule itu memang dikenal ramah dan sangat murah senyum. Tapi baru kali ini Kiya melihat senyum itu dalam jarak sedekat ini.
“Ada Gaklin.” Kepala Gina menoleh sekilat cinta lelaki buaya buntung sambil berbisik ke arah Juli dan Kiya. Dan tak perlu sampai dua detik Juli sudah kembali ke barisannya. Menampilkan raut serius seolah sebelumnya tak terjadi apa-apa.
Seorang anggota Gaklin menghampiri mereka. Senior cowok itu terkenal paling ditakuti. Nama panggungnya Bebew. Nama instagramnya, (at) BebewlaQ. Jangan dicari entar zonk.
Kebetulan acara pengarahan itu benar-benar selesai dan Kiya cemas luar binasa membayangkan kalau-kalau mereka akan menjadi bulanan-bulanan Gaklin.
“Hey kau Rojali! Sudah ku intai kau sejak tadi, ya! Tak usah lah kau belagak romantis berdiri di belakang cewek ini guna melindunginya dari terik pusat tata surya!”
“Panggil aye Juli aje, Bang. Jali mah Babeh aye.” Juli menyahut cengengesan.
“Baiklah kau, Juli Rojali! Maju ke depan! Kau juga, Nona!” Bebew mengarahkan telunjuknya pada Kiya.
“Kau berdua, cepat ikut serta!” Cowok berambut kribo itu menepuk bahu Pilip dan Gina bergantian.
“Kok saya ikut juga, Kak?!” tanya Gina kaget. Orang dia nggak ngapa-ngapain kok.
“Aku lihat kau itu tim sukses dua sejoli ini. Tak usah banyak protes. Sana cepat!”
Gina mendengus. Dalam hati dia terus mengomel.
Keempatnya lalu digiring menuju tengah lapangan. Kiya lantas dilanda gugup karena mereka menjadi pusat perhatian.
“Kau Julian Kenneth Rojali, ada rasa sama Nona Kiya?!”
Juli memang sering menjadi bahan ledekan senior karena mulut cablaknya. Tapi Juli tak menyangka seniornya itu akan menanyakan hal seperti ini. Mata Juli perlahan melirik Kiya. “Kecepetan kalau aye bilang sekarang, Bang.”
“Halah, jujur saja lah kau!”
Juli mengangguk malu-malu dan semua orang yang ada di sana mulai menyorakinya.
“Yang gentle jadi laki-laki! Kau suka sama Kiya?!”
Juli otomatis menegapkan tubuhnya. “Iya, Bang!”
Suasana kontan semakin riuh.
“Kalau nanti sudah dekat. Bakal serius tidak?!”
“Serius, Bang!” jawab Juli tegas.
“Sekarang kau bukan anak SMA lagi. Seperti halnya kau memutuskan untuk masuk Fakultas ini, jangan pernah kenal kata main-main. Serius! Kalau masih ragu, silakan mundur! Yakin kau serius suka padanya?”
“Iya serius, Bang!”
“Kalau serius. Sekarang kalian akan saya nikahkan!” Bebew meminta panitia yang lain untuk mengambilkan sesuatu. Mata Kiya membelalak. What? Nikah?
“WHAT? WHAT DO YOU MEAN?!” Juli berseru super kaget. “BANG BEBEW! Nikah begimane? Etdaaaah, kenalan aje baru tadi, Bang!”
“Buat latihan, kali aja jodoh betulan.” Bebew menepuk bahu Juli dan Kiya. Menyuruh mereka berdua duduk di atas koran yang dibentangkan di atas bata lapangan. Beruntung matahari sudah tak terlalu terik. Kalau tidak, bisa jadi pepes mereka dibakar matahari.
Gina dan Pilip juga terkejut bukan main. Mulut Gina bahkan masih termangap-mangap kaget.
“Kau kelinci lincah nan canggih, kau harus jadi penghulu!”
Gina tak bisa menyembunyikan ekspresi nyolotnya. “Masa saya yang jadi penghulu, Kak? Kenapa bukan Pilip aja?”
“Dia jadi saksi. Kau ini bawel kalik, lah! Pake ini biar keren!” Bebew memberikan lakban pada Gina untuk dijadikan kumis palsu.
Buset. Untung saja si Bebew Cabitah ini senior yang patut dihormati. Coba kalau tidak, sudah Gina kutuk cowok besar ini menjadi Ikan Puyau.
Lagian waktu Ospek begini jauh mending dikerjain daripada dibentak sambil diteriakin tepat di telinga. Apalagi sampai menghukum secara fisik. Dan konon, satu tahun kemudian, Ospek bersama Gaklin tak lagi ada dan hanya diisi oleh sosialisasi serta pemberian materi-materi.
Gina yang menjelma sebagai Pak Raden kumis lakban duduk bersila dengan sangat ribet mengatur rok SMA miliknya yang lebar dan berlipit panjang sampai mata kaki. Sedangkan Pilip duduk di samping Gina. Mengamati Juli dan Kiya yang tampak gugup.
Taplak meja bernuansa batik dibentangkan menudungi kepala Juli dan Kiya sebagai mempelai nikah-nikahan yang berbahagia. Seksi Dokumentasi dengan heboh membidik mereka dengan lensa kamera. Peristiwa ini akan menjadi bagian dari video kenang-kenangan yang akan diputar saat malam inagurasi.
“Ekhem-ekhem.” Gina mulai berdeham menghayati perannya sebagai penghulu. Sesuai arahan Abang Bebew, Gina mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Juli. “Saya nikahkan engkau Julian Kenneth Rojali bin Babeh Rojali dengan Adinda Kiya Pelita binti sang ayah dengan maskawin dua cincin gantungan konci dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Adinda Kiya Pelita binti sang ayah dengan maskawin tersebut tunai,” ujar Juli dalam satu tarikan napas.
“Bagaimana saksi, sah?”
“SAAAAAH!” Bersama Pilip semua orang berkata sah. Gabungan dari mahasiswa baru juga panitia serta manusia lainnya yang melihat acara nikah kaget itu.
“Alhamdulillah.” Bebew mencolek-colek pinggang Juli dengan tengilnya. “Nih, pake cincinnya.”
Juli salah tingkah setengah mati memasangkan cincin yang sebenarnya adalah gantungan kunci itu pada jari Kiya. Begitu pula sebaliknya, Kiya tak tahu pipinya sudah semerah apa, baru saja dia menjajaki dunia kampus malah sudah dihadapkan dengan kondisi kejailan senior seperti ini. Ajaibnya, cincin gantungan kunci itu pas terpasang manis di jemari keduanya.
“Ciyeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee.”
Tanpa keempatnya sadari, sejak tadi Dion yang baru memulai Ospek pada esok hari menyelinap ke gedung fakultas mereka dan turut mendokumentasikan momen tersebut. Dion berseru bersama yang lain menggoda Kiya dan Juli. Tak lupa, Dion mengambil foto Gina yang berperan sebagai penghulu karbitan.
***
Takkan pernah habis air mataku.
Bila kuingat tentang dirimu
Tangan Pilip sontak bergerak untuk mematikan musik yang terputar dalam mobil, tapi urung ketika melihat Kiya menggelengkan kepala. Sedangkan Dion yang duduk di samping Pilip, menoleh untuk menatap sepupunya.
Di hari wisuda yang seharusnya membahagiakan, Kiya tak bisa benar-benar bahagia dan wajahnya terus dirundung muram. Sosok yang diharapkannya ada pada momen ini tentu tak mungkin hadir di hadapannya.
Mungkin hanya kau yang tahu
Mengapa sampai saat ini ku masih sendiri
Adakah di sana kau rindu padaku
Meski kita kini ada di dunia berbeda
Bila masih mungkin waktu berputar
Kan kutunggu dirimu ....
Biarlah kusimpan ....
Sampai nanti aku kan ada di sana
Tenanglah dirimu dalam kedamaian
Ingatlah cintaku
Kau tak terlihat lagi
Namun, cintamu abadi ....
Lagu Mengenangmu dari Kerispatih itu membuat Kiya tak kuasa menahan air matanya.
“Kiyaaaa....” Gina mendekap Kiya. Mereka masih mengenakan toga. Sehabis dari acara wisuda, mereka pamit pada orang tua masing-masing untuk mengunjungi makam Juli, sahabat mereka.
Kiya menghapus air matanya. Sudah tiga bulan berlalu. Dan selama itu pula Kiya selalu mencoba bangun dari mimpi buruk ini.
Membayangkan ketika ia terbangun, ia akan bisa kembali bertemu dengan sosoknya. Dan terasa sangat menyakitkan bahwa setiap Kiya bangun dari tidurnya, ada kenyataan pedih yang harus ia hadapi. Sesuatu yang membuatnya mau tak mau kembali tersadar, bahwa kekasihnya benar-benar telah pergi untuk selamanya.
Mungkin Kiya telah mengikhlaskan kepergian Juli.
Namun, dia rindu Juli terus-terusan.
Kiya memandang wallpaper ponselnya. Fotonya bersama Juli di taman bermain kala itu.
Dan dari segalanya, kini yang tersisa hanyalah ia bersama kenangan.
***
Rasa sejuk adalah hal yang pertama kali keempatnya rasakan ketika memasuki area pemakaman. Mereka langsung menuju makam Juli. Tangan Pilip dan Dion secara otomatis bergerak untuk mencabuti anak rumput yang mulai tumbuh di makam sahabat mereka.
Mereka lalu menaburkan bunga di atas makam Juli. Dalam dekapan Kiya, terdapat skripsi tebal hasil jerih payah Juli serta selempang kelulusan bertuliskan Julian Kenneth Rojali, S.IP.
Tangan keempatnya menadah seraya memanjatkan doa. Melantunkan ayat-ayat suci yang ditujukan untuk Juli. Usai membaca doa, keheningan pun melanda keempatnya.
“Lo itu bule terbaik yang pernah gue kenal, Jul. Gue kangen sama lo, Sob.” Pilip berkata lirih sembari meletakkan topi toganya di atas makam Juli.
Dion sendiri lebih banyak berbicara dalam hati. Dia tidak terlalu ekspresif mengungkapkan kesedihannya akan kehilangan Juli.
Lo temen kos gue yang pertama, Jul.
Masih lekat dalam ingatan Dion saat ia bertemu Juli pertama kalinya.
“Cihuy cewek sebelah pacarnya ye, Mas? Pacar dari SMA? Asik bener dah, ngapel cuma ketok jendela doang!” cerocos Juli dengan tengilnya.
“Bukan pacar. Temen.”
“Yakin just pren, nih? Buset tapi keliatannya udah sedeket urat leher noh.” Juli menaik-naikkan alis sambil menunjukkan deret giginya yang putih.
Gina menepuk lembut punggung Kiya yang sedang mengelus nisan Juli. Gina yakin, ada beribu rasa rindu yang Kiya sampaikan melalui sentuhan tangannya pada batu itu. Gina yang notabenenya hanya teman saja, masih terbayang sosok Juli semasa hidupnya, apalagi Kiya yang dekat dari hati ke hati dengan cowok itu.
Kiya tidak menangis lagi. Kiya berjanji, setiap berkunjung ke sini, ia tidak akan menumpahkan air mata. Juli sudah tenang di sana. Mereka akan bertemu lagi di suatu masa. Entah kapan, itu rahasia semesta.
Terimakasih sudah hadir dalam hidup kami, Julian Kenneth Rojali.
Bersambung
JULIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII!!!! (╥_╥)
Maaf ya kalau kepanjangan, ini hampir 2500 word huhu mau motong asa tanggung.
Part selanjutnya besok ya “ψ(`∇´)ψ
Dan besok itu ugh Dion ugh
ヾ(゚∀゚ゞ)(〜 ̄△ ̄)
Terimakasih sudah bersabar. Kalian selalu jadi penyemangat aku. ( ˘ ³˘)❤
Semoga kalian panjang umur, sehat-sehat dan bahagia selalu.
Iin (づ ̄ ³ ̄)づ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top