22 - Jadikanlah Aku Suamimu~
❤❤❤
Semester tua yang sibuk. Itulah yang Dion dan Gina rasakan. Namun, hal tersebut telah berakhir sejak mereka berhasil melewati sidang skripsi.
Meski berada di fakultas yang berbeda, Dion di FT dan Gina di FISIP, kebetulan jadwal sidang Dion dan Gina dilaksanakan pada pekan bersamaan tetapi berbeda hari. Dion lebih dulu dan Gina menyusul dua hari kemudian. Mereka tinggal mengurus beberapa hal untuk keperluan yudisium.
Pilip dan Kiya akan sidang minggu-minggu ini, sedangkan Juli belum kelihatan hilalnya akan sidang kapan.
"PILIIIIP!!!" Juli berteriak heboh sembari berlari kencang ke arah Pilip yang sedang menggunting rumput di pekarangan indekos. "GUE SIDANG LIP! GUE SIDAAANG WOHOOOYYY LIP GUE SIDAAAANG!!!"
"Santai ngapa, Jul!" Pilip terbatuk-batuk karena pelukan Juli yang teramat kencang.
Juli melepaskan pelukannya pada Pilip dan segera meraih ponsel. Mencoba menghubungi Kiya untuk menyampaikan berita bahagia ini. Raut wajah Juli tampak muram ketika Kiya tak kunjung menjawab panggilannya.
"Pilip-Pilip."
Pilip mendelik. "Apaan?"
"Lo kagak ada niat ngucapin gue ulang tahun? Kiya juga nggak ada ngucapin, Dion sama Gina apalagi. Orang-orang hari ini pada kenapa, dah?! Masa yang peduli sama gue cuma pollowers gue yang berjut-jut?!" Juli mencerocos kesal. "Respon lu juga biasa amat denger gue sidang. Minimal lo tereak sambil kayang kek, nari jaipong kek, makan beling kek, apa kek!"
"Aelah, Jul. Kayak bocah aja lu!" Pilip mencibir. Matanya lalu tertuju pada sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilap yang baru saja tiba di luar pagar indekos. "Noh, siapa noh yang dateng."
Juli mengikuti pandangan Pilip, matanya lantas membulat maksimal. "ENYAAAK!!! BABEEEH!!!"
Pilip tergelak dan kepalanya menggeleng secara tak sadar melihat Juli yang memeluk kedua orang tuanya yang baru turun dari mobil dengan begitu erat.
"Enyak! Babeh! Aye bentar lagi lulus! Juli bentar lagi sidang! Ahahay!"
Mendengar itu, Enyak dan Babehnya Juli bersorak kegirangan. Juli bahkan mengangkat tubuh Babehnya yang dipenuhi oleh lemak sambil berputar-putar.
"Ah, iye! Selamet ulang tahun anak Babeh paling ganteng dunia akherat! Semoga apa-apa yang lu hajatin dikabulin! Udah gede lu, Tong!" Pak Rojali menepuk-nepuk bahu Juli dengan bangga.
Perut buncit Pak Rojali menggambarkan kemakmuran yang hakiki. Di sampingnya, Mrs. Aleida Rojali tampak begitu anggun. Di usianya yang sudah lumayan, tubuhnya masih begitu singset. Ditambah heels yang semakin menimpangkan tinggi beliau dari sang suami. Wajah Mrs. Aleida bule sekali, matanya biru seperti Juli versi perempuan. Style berpakaian beliau pun bak sosialita cyetar membahana badhay. Beliau mengenakan long dress warna merah menyala.
Ketimbang lagi nengok anak dikos-kosan, penampilan Mrs. Aleida Rojali seperti seseorang yang ingin kondangan ke Kerajaan Inggris.
"Gefeliciteerd met je verjaardag, Julian Kenneth Rojali." Mrs. Aleida mengucapkan selamat ulang tahun dalam bahasa Belanda. "Enyak huarap kamuh syelalu bahagia," lanjutnya dengan Bahasa Indonesia yang kaku persis seleb yang tren sama slogan udah becek nggak ada ojek, Cinta Laura.
"Dank u, Enyak!" Juli mencium kilat pipi sang ibunda.
"Oy, Pilip! Sini, Tong!" panggil Pak Rojali sambil melambaikan tangannya tinggi-tinggi.
Pilip menyalimi orang tua Juli bergantian setelah mencuci tangan.
"Wuadaw bocah sipit kesayangan gue makin ganteng aje!" Pak Rojali mengacak rambut Pilip sambil tersenyum kebapakan. Matanya sedikit berkaca menatap wajah Pilip yang mengingatkannya pada sahabatnya yang telah tiada. "Bapak lu pasti bangga ama lu, Tong."
"Babeh kenapa dah? Kok melow?!" Pilip tergelak. "Ayo mana kado utamanya buat Juli, Beh?"
"Etdah, iya bener! Ampe lupa Babeh!" Pak Rojali bersuit kocak. Mendengar kode itu, seseorang dari dalam mobil orang tua Juli keluar sambil membawa kue ulang tahun.
"Kiya?!" seru Juli syok. Kiya berjalan mendekati Juli dengan senyuman manis yang tak henti terpatri.
"Surprise!" Kiya terbahak melihat raut super kaget Juli.
"Kok bisa dateng bareng Babeh ama Enyak?"
Pak Rojali terkekeh. "Ya ... sekalian perkenalan ama calon mantu Babeh, lah. Babeh penasaran sama perempuan yang sanggup ngadepin kelakuan bocah lu bertaun-taun, Tong."
Kiya lantas tersipu-sipu mendengar perkataan Pak Rojali. Merasa bahagia hubungannya dengan Juli mendapat dukungan dari orang tua cowok itu.
Apalagi Pak Rojali memiliki watak yang teramat kocak dan menyenangkan. Enyak-nya Juli, walaupun anggunnya nggak ketulungan tapi sangat ramah padanya.
"Dion ama Gina mana dah? Tuh dua bocah pan sering bantuin lu nugas ya, Tong? Cepet bilangin. Join ama kite!"
***
Jujur, Gina sering bercanda atau mengungkapkan kebaperannya terkait sesuatu yang berbau akan pernikahan. Namanya juga perempuan. Siapa sih yang nggak mau menikah?
Waktu dilamar beneran, eh Gina malah kagok sendiri.
Apalagi yang melamar ini mantan musuh bebuyutan yang sudah lama bermetamorfosa menjadi sohib kentalnya.
Selama ini, hanya Dion yang bisa mengimbangi kegilaannya, kelakuan absurdnya dan tindakannya yang terkadang ceroboh dan teramat gesrek.
Mereka sudah bersama bertahun-tahun. Tak terpisahkan. Orang-orang yang mengira mereka sepasang kekasih itu sudah biasa. Bahkan mamang bakso yang biasa lewat depan kosan pernah menebak Dion dan Gina itu kembar pengantin soalnya katanya mirip.
Menurut Gina sih, dia sama Dion itu nggak ada mirip-miripnya kecuali mata mereka yang sama-sama belo.
Terus mirip apalagi?
Ya ya ya ... mereka sama-sama sangklek pada masanya.
Entah sejak kapan tepatnya, jantung Gina tak pernah bereaksi biasa ketika Dion ada di dekatnya. Tapi Gina selalu mengalihkan perasaannya. Menolak perasaan itu. Mencoba mencari subjek yang lain. Walau ujung-ujungnya, ia malah semakin menyadari sosok Dion yang selalu bertahta di hatinya.
Gina teramat kaget pada Dion yang secara jelas dan tegas mengutarakan perasaannya. Sesuatu hal yang membahagiakan ketika ia mengetahui Dion juga memiliki perasaan yang sama.
Namun, Gina tak menyangka Dion seyakin itu menyatakan niat untuk menikah dengannya ketika ia sendiri tidak yakin akan dirinya sendiri.
Kini Gina berdiri di tepi ruas jalan yang dipadati berbagai kendaraan. Jika saja nanti Gina jadi istri Presiden, Gina akan membangun penyeberangan berteknologi tinggi untuk fasilitas pejalan kaki, kalau bisa ada kereta gantungnya.
Entah berapa menit sudah Gina habiskan di tepi jalan ini. Gina sudah seperti siswa yang sedang dijemur karena melanggar peraturan sekolah. Mana ini nggak ada orang yang kebetulan juga mau nyeberang. Pak Polisi baik hati yang biasa membantunya menyeberang juga sedang tidak ada di tempat. Gina bingung bagaimana cara menghadapi cobaan jalan raya ini.
Akhirnya, Gina memberanikan diri untuk melangkahkan kaki meski beberapa kali termundur-mundur karena kendaraan yang memaksakan kehendak untuk melaju.
Apesnya, Gina sekarang terjebak di tengah-tengah. Entah apa yang terjadi tapi suasana jalan raya tak ubahnya arena balapan. Kendaraan-kendaraan itu saling mendahului secara tak sabar. Membuat Gina mengepalkan tangan karena takut.
Lutut Gina gemetaran kala suara klakson saling bersahutan. Dan klakson itu ditujukan untuknya yang terpaku di tengah-tengah. Gina bergidik ketika beberapa orang mengomelinya sambil berlalu. Rasanya tangis Gina akan pecah saat itu juga.
Tiba-tiba sebuah tangan menggenggam tali ransel Gina. Sosoknya yang menjulang membuat Gina terpana. Kehadiran Dion menutupinya dari terik mentari.
Tangan Dion lainnya terulur ke arah samping memberi isyarat pada kendaraan lain untuk membiarkan mereka melintas. Beberapa kali Dion juga mengangguk ramah pada pengguna kendaraan yang lewat. Inilah perbedaan penyeberang amatir dan profesional.
Perlahan tapi pasti, Dion dan Gina akhirnya tiba di seberang jalan dengan aman.
Sejak acara jauh-jauhan mereka, meski tidak sepanjang waktu, Dion memang kerap menjelma layaknya stalker dan mengikuti Gina dari belakang.
Dan hari ini setelah dari kampus, entah mengapa perasaan Dion berkata ia harus kembali menjadi stalker dan mencari keberadaan Gina. Benar saja, cewek itu sedang terjebak di tengah jalan raya dan kebingungan seperti anak kucing yang tersesat.
Gina menunduk takut ketika Dion memandangnya dengan tajam.
Cowok itu berdecak. "Gimana gue bisa jauh dari lo kalau lo selalu bikin gue khawatir kayak gini, Nang?"
Gina melirik Dion takut-takut. Mau jawab meneketehe ketumbar jahe, tapi kayaknya nggak mungkin sama sikon. Gina kembali menunduk memandangi ujung sepatunya.
Notifikasi pada ponsel mereka berbunyi bersamaan. Gina dan Dion membuka ponsel masing-masing.
Konco Mesra Kos Wattpad Indah Permai
Julian K. Rojali: Enyak Babeh gue dateng ke kosan. Kepada sodara Dion Awan Angkasa dan Firstya Angginafila diharapkan segera join
Lampu Bohlam Pilip: Join kuy join mamam mamam Juli mau nyusul sidang tjoiii
Akiyaya: Ditunggu secepetnyaaa!!!!
Netra Dion dan Gina akhirnya saling bersirobok. Gina pun berdeham gugup.
"Nggak mau ke mana-mana lagi, kan?" Dion bertanya dengan nada yang nggak ada manis-manisnya.
Gina menggeleng. Dion kalau khawatir gitu biasanya emang lebih banyak ngomel. Tapi berhubung omelan itu cuma Dion pendam dalam hati jadi ekspresinya aja yang masih rada-rada galak.
"Ya udah ayo!" kata Dion lagi.
"Iya, ayo!" Gina akhirnya menyahut tak kalah garang. Cewek itu berjalan cepat mendahului Dion.
"Dasar nyebelin," rutuk Gina pelan tapi masih terdengar oleh Dion.
Dion memutar bola mata. "Woy, Nang!"
"Apalagi?!" seru Gina tanpa berbalik.
"Jalannya bukan ke sana!"
Gina mendengus lalu berbalik agak gengsi. Terlebih kala melihat muka songong Dion yang sangat tertebak sedang menyembunyikan tawa. Gina terus menggerutu karena malu.
"Awas, Nang!" seru Dion lagi dengan mata terbelalak melihat tiang listrik yang berada tepat di hadapan Gina.
Ter.lam.bat.
Jedug!
"Aw!" Gina berjongkok sambil mengusap jidatnya yang terbentur tiang listrik.
Tawa Dion langsung menyembur keluar di atas penderitaan Gina yang meringis-ringis. Tiang listrik yang mungkin masih berkerabat dekat dengan tiang listrik fenomenal Papah Setnov itu membuat kepala Gina keliyengan. Matanya jadi berkunang-kunang.
Gina menenggelamkan kepala di antara tangannya yang terlipat di atas lututnya yang ditekuk. Mendengar suara isakan, Dion menghentikan tawa dan akhirnya turut berjongkok di depan Gina.
"Nang .... Lo nggak kenapa-napa?" tanya Dion hati-hati. Isakan Gina semakin kencang dan membuat Dion menggaruk belakang lehernya saat orang-orang mencurahkan perhatian pada ia dan Gina.
"Jidat gue benjol, Yoooon! Huhuhu!!!" Gian terisak sambil menengadahkan kepala. Hijabnya jadi mencong-mencong. Gadis itu lalu berselonjor sambil menangis.
"Kan udah biasa lo benjol, Nang."
Dion menutup kupingnya ketika Gina makin kejer. "Sakit banget tauuu! Coba lo jedotin pala lo sana ke tiang listrik! Huhu mamaaaa!"
"Makanya nikah sama gue," ujar Dion sambil tersenyum manis.
Tangis Gina langsung berhenti kayak ada remote-nya. Gina menarik ingus. "Apaan dah?! Nggak ada hubungannya benjol sama nikah!"
Dion tersenyum tengil. "Kalau kita udah nikah, kalau lo kejedot, kan benjolnya bisa gue cium biar nggak sakit."
AMBYAAAAR
Gina menggebuk bahu Dion dengan ransel dan berdiri sendiri meski sedikit terhuyung. "Au ah gelap!"
"Nang! Serius woy! Pikirin ya!"
Dion tertawa geli melihat Gina menoleh dan mendengus kesal ke arahnya.
"Dia galak, tapi tetap aja gue ...." Dion terkekeh. "Tau, ah."
Bersambung
Jadikanlah aku suamimu ...
Kan kubingkai slalu indahmu~~~
Maap-maap adek pikir-pikir dulu ya, A.
-0-
Kelamaan mikir seret aja seret 😂😂😂😂
Ini Pilip-Kiya-Julian Kenneth Rojali
Qaqa kapan Rengginang Poli sama Iyoncu dihalalin qaqa???
Ig:
@indadahindadah
@dionangkasa_
@angginafila
Bay, iin 😹
Kalo seminggu kagak apdet apdet, teror saja 😅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top