16 - Humaira

"Entar gue jemput."

"Okidoki. Tengkyu, Iyoncu!"

"Iye, bawelcu."

Gina tertawa geli mendengar nada suara Dion yang datar sebelum telepon itu benar-benar ditutup. Weekend yang menyenangkan telah berlalu. Gina dan Dion harus kembali disibukkan dengan tugas perkuliahan pada jurusan masing-masing. Dion yang beberapa minggu ini harus bolak-balik ke instansi Badan Tenaga Nuklir, sedangkan Gina mesti berkutat dengan proyek tugas akhir di ujung semester.

Keduanya jadi jarang menghabiskan waktu bersama. Makanya, ada perasaan senang yang membuncah pada diri Gina ketika mengetahui Dion akan menjemputnya nanti.

Gina berdiri di tepi jalan. Menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk menyeberang. Gina menggigit bibir agak cemas. Dari dulu kemampuannya dalam menyeberang tidak meningkat secara signifikan. Mengerucutkan bibir, Gina berharap akan ada seseorang yang menemaninya menyeberangi jalan. Huf, seandainya ada Dion ....

Gina menggelengkan kepala. Lupakan. Lupakan. Lupakan.

Dion tak mesti selalu ada di dekatnya 24 jam. Cowok itu juga memiliki kegiatannya sendiri. Tapi tak bisa dipungkiri, Gina merasa sudah terlalu bergantung pada Dion.

Apa jadinya jika di masa depan nanti mereka tak lagi bersama dan punya kehidupan masing-masing?

Hm,

Sedih juga memikirkan hal itu.

Aish, sudahlah. Gina rasa ia perlu berhenti memikirkan hal-hal yang belum terjadi. Ia harus menyeberang sekarang juga. Tapi bagaimana caranya?

Gina akan berterimakasih sekali jika ada seseorang yang mengiringinya berjalan ke seberang. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Gina menarik napas lega kala seorang cewek berdiri di sampingnya. Cewek itu mengenakan hijab berwarna biru awan. Terasa sangat pas dengan parasnya yang menyejukkan hati. Gina tertegun beberapa saat ketika cewek itu tersenyum padanya sebelum balas mengulas senyum ramah.

"Mau ke mana?" tanya Gina.

"Mau ke panti asuhan di seberang." Suara cewek itu terdengar lembut.

Gina cengengesan. "Aku juga mau ke sana. Kita bareng ya."

Masih dengan senyum ramah, cewek itu mengangguk mengiyakan. Tanpa terduga, ketika mereka sudah akan menyeberang, seorang laki-laki berpakaian preman berlari dan merebut tas yang cewek itu sandang.

Gina dan cewek itu lantas menjerit kaget. Kemudian mereka berteriak panik meminta pertolongan.

"WOY JAMBRET! JANGAN KABUR LO!" seru Gina garang sambil berlari mengejar si penjambret.

Cewek asing pemilik tas itu ternganga melihat Gina yang berlari dengan kecepatan maksimal. Tergagap, ia turut berlari sambil sedikit mengangkat rok panjang yang dikenakannya.

Gina berhenti untuk melepas sebelah sepatunya dan menimpuk si penjambret dengan sekuat tenaga.

"Yahow!" Gina berseru menang. Sepatunya mendarat tepat mengenai kepala abang jambret yang otomatis berhenti.

"Siniin kagak?!" seru Gina dengan ekspresi super duper gahar. Gina merebut tas itu dari tangan abang jambret. Tapi tentu saja laki-laki bermuka cadas itu tidak bisa mengabaikan tindakan Gina. Aksi tarik menarik pun tak bisa dihindarkan.

"Heh! Jangan sok berani lo, Neng!" bentak abang jambret galak. Membuat Gina menciut sepersekian detik. Mana pengendara yang berlalu lalang di sana sepertinya tak ada satu pun yang berniat untuk singgah dan memberi pertolongan.

Namun, bukan Firstya Angginafila namanya jika menyerah dan membiarkan kejahatan terjadi. Gina bergeming dan memperkuat tarikannya pada tas berwarna cokelat itu.

"ADAW!"

Abang jambret terhuyung ketika si cewek berhijab menendang kakinya dengan cukup keras. Cewek itu membantu Gina untuk menarik tas miliknya. Dan, yipiy! Mereka berhasil!

Terdesak, sang penjambret pun mengeluarkan pisau dan menarik Gina secara kilat lalu melingkarkan pisau tersebut ke leher Gina.

Gina meneguk ludah, tidak menduga akan seperti ini kejadiannya.

"Serahin tas lu atau leher ni cewek garong gue garok?!" ancam abang jambret sambil semakin mendekatkan pisaunya ke leher Gina.

Cewek berhijab itu pun kontan dilanda panik. "Jangan lukain dia! I-ini tas saya!"

Entah datang dari mana, sebuah tangan menahan tas cewek itu sebelum sampai ke tangan abang jambret. Gina membelalak ketika cowok berbadan tinggi penuh karisma yang baru saja hadir bagaikan pahlawan super dengan luar biasa cepat menangkap pergelangan tangan abang jambret dan memuntirnya ke belakang sampai pisau itu terlepas.

Memanfaatkan keadaan, Gina langsung mencelat, menjauh dari sana. Cewek tadi sontak memeriksa keadaan Gina. Mereka berdua bergerak mundur dan menyaksikan laki-laki tampan malaikat penolong mereka yang sedang berusaha menaklukan abang jambret agar tidak berkutik lagi.

Gina terpana bak melihat aktor laga kelas wahid secara langsung. Cowok itu terlihat amat mumpuni dalam bidang bela diri. Kulitnya sawo matang. Alisnya tebal dan hidungnya mancung. Dari parasnya, Gina menerka-nerka bahwa laki-laki itu ada keturunan timur tengah.

"Kalian nggak papa?" tanya cowok dengan kaos polo itu berwarna hitam itu setelah menyerahkan si penjambret pada polisi yang tiba di tempat kejadian.

Si cewek berhijab mengangguk singkat sedangkan Gina yang masih terpesona hanya bisa mengganguk terpatah. Cowok itu merunduk dan meletakkan sepatu kanan Gina di depan sebelah kaki Gina yang tak beralas. Kemudian tanpa kata, cowok itu pamit dan menaiki motornya, berlalu meninggalkan mereka.

Gina menunduk memerhatikan sepatunya yang terlihat seperti sepatu kaca karena sesosok pangeran yang meletakkannya di depan kakinya. Tersenyum-senyum, Gina memasang sepatunya dengan perasaan tak karuan.

Detik selanjutnya, gadis itu menepuk jidat. "Ya ampun, tadi aku nggak sempat bilang makasih sama dia!"

Teramat menyesali kecengoan yang membuatnya tak sempat mengeluarkan kata-kata. Dia belum berterimakasih dan juga tidak mengetahui siapakah nama kakanda yang menyelamatkannya dari abang jambret kutu kupret tadi.

"Oh, iya!" Suara Gina membuat cewek itu tergelagap. "Kita belum kenalan. Aku Gina. Lengkapnya, Firstya Angginafila."

"Namaku Humaira Yumna Andini. Panggil aja Aira." Cewek itu membalas jabat tangan Gina. "Makasih banyak ya, Gina."

Gina menyengir. "Aku juga makasih sama kamu."

"Ah, iya. Kamu pacarnya Dion, kan?"

Wa. Daw.

"Lho? Kamu kenal Dion? Eh, tapi aku bukan pacarnya. Kita cuman ... hm, temen." Gina mengelus tengkuk. Salah tingkah.

"Aku kira kamu pacar Dion. Aku satu program studi sama dia. Tapi beda kelas sih."

Dulu Aira pernah melihat Gina bertandang ke FT untuk menemui Dion. Mereka terlihat sangat dekat untuk disebut hanya sebatas teman. Aira juga pernah melihat Gina dan Dion berjalan saling merangkul, yang membuat fans Dion di Fakultas Teknik potek berjamaah.

"Buset, kamu anak Teknik Nuklir?!" kata Gina agak kaget. Nggak nyangka ukhti ini ternyata anak teknik, Bo!

"Iya, hehe. Nggak cocok ya?"

"Cocok kok. Cuman nggak nyangka aja hehe. Eh, btw kamu nggak penelitian? Dion lagi penelitian tuh."

"Iya, penelitian kok. Tapi jadwal aku sama Dion beda."

Gina mengangguk paham. Dion juga bilang hari ini kunjungan terakhirnya dan tinggal menyelesaikan laporan soalnya sebentar lagi minggu tenang terus UAS, deh.

Merasa terlalu lama di tepi jalan ini, mereka kemudian berjalan beriringan menyeberang jalan lalu memasuki panti asuhan. Keduanya disambut dengan antusias oleh anak-anak yang ada di sana.

Panti asuhan itu adalah tempat yang hampir satu bulan terakhir ini Gina kunjungi untuk membuat film pendek bertemakan sosial. Saking seringnya ia ke sana, gadis itu sudah sangat akrab dengan anak-anak dan semua orang yang ada dalam panti asuhan tersebut. Sedangkan Aira ternyata adalah keponakan Bu Winda, pemilik panti asuhan ini.

Karena Gina adalah tipe orang yang supel dan gampang berteman, ia tak mengalami kesulitan mengakrabkan diri dengan Aira.

"Gimana, Na. Syutingnya udah kelar?" tanya Bu Winda pada Gina.

Gina tersenyum semringah. "Iya, Bu. Kemaren yang terakhir. Makasih banyak ya, Bu."

"Ah, kamu ini udah banyak banget bilang makasihnya. Ibu juga makasih sama kamu udah ngajak anak-anak. Mereka juga pada seneng kok bisa jadi bintang film dadakan. Entar kita wajib nonton bareng ya." Bu Winda tertawa, menatap anak-anak yang berbaris untuk makan siang.

Gina mengangguk senang. "Pasti, Bu. Pasti."



*


Setelah pamit dengan Bu Winda, Gina keluar dan bergabung dengan anak-anak yang tengah bermain di halaman.

"Itu punya siapa yang kamu pake, Rafa?" tanya Gina pada anak kecil bertubuh gemuk. Anak yang kini duduk di jenjang Pendidikan Anak Usia Dini itu teramat menggemaskan mengenakan jas almamater yang tentu kebesaran untuknya.

"Nggak papa. Biarin aja."

Gina menoleh. Matanya membulat mendapati cowok arab yang tadi menyelamatkannya. Mereka bertemu lagi? Pertanda apakah ini?

Demi penguasa bumi dan surga, kakanda itu sangat mempesona ketika tersenyum tipis. Walaupun senyum itu sepertinya bukan ditujukan pada Gina karena mata cowok itu memandangi Rafa yang terlihat amat bangga memakai jas almamater milik cowok yang belum ia ketahui namanya itu.

Jari telunjuk Gina terangkat. "Kamu ...."

"Cewek sepatu?" kata si cowok arab yang juga menunjuk Gina.

Gina mengangguk lemah, lagi-lagi terpesona. Mengapa ia selalu selemah ini pada lelaki tampan. Ditambah lagi suara cowok itu sesyahdu dawai asmara.

"Iya! Anu .... Hm, makasih banyak udah nolongin tadi." Gina mengulas senyum terbaiknya.

"Sama-sama." Cowok itu menjawab singkat.

Gina mengulurkan tangannya dengan percaya diri. "Nama aku Gina."

Cowok itu menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Menolak tawaran jabat tangan Gina secara halus. "Saya Hafi."

Selain karena menjaga wudhunya, laki-laki bernama lengkap Muhammad Hafi Azwardhana itu juga menjaga dirinya untuk tidak bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram.

Gina menarik tangannya perlahan seraya tertawa menahan malu. Doraemon, tolong keluarkan alat apa pun yang bisa membawa Gina kabur dari sini.

"Aira!" panggil Gina pada Aira yang baru saja menapakkan kaki di halaman panti. Sekaligus mengalihkan rasa malunya yang luar binasa.

Gina berjalan dan menarik tangan Aira mendekat pada Hafi. "Ra, itu cowok yang tadi nyelamatin kita," bisik Gina pelan.

"Ha?" Hanya itu suara yang bisa Aira keluarkan karena Gina sangat bersemangat menggeretnya ke depan cowok yang sedang di kelilingi oleh anak-anak itu.

"Hafi ini Aira. Aira ini Hafi."

Aira dan Hafi sama-sama menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada sambil sedikit menundukkan kepala. Mata Gina melirik keduanya bergantian. Terlihat canggung sekali dua makhluk di hadapannya ini.

"Terimakasih," kata Aira. Singkat tapi terdengar santun.

Hafi hanya menggangguk. Gina melongo. Mengapa mereka ini sangat irit bicara?

Tiba-tiba, Rafa datang untuk mengembalikan jas almamater milik Hafi. Dari lambang dan warnanya, Gina bisa mengetahui bahwa Hafi kuliah di Universitas Islam yang berjarak tak jauh dari kampusnya.

"Kamu jurusan apa?" tanya Gina penasaran.

Hafi tersenyum tipis. "Dakwah."

What?

Gina terpana. Kekagumannya pada cowok ini semakin beranak pinak. Kalau orang yang ceramahnya model begini mah cewek-cewek dijamin bakalan rajin mendengarkan. Ya, sambil menyelam minum air. Muehehe.

"Oh iya, nanti abis UAS kan libur, di panti asuhan ini bakalan ada acara pekan iman dan takwa. Saya harap kalian bisa jadi volunteer dalam acara itu. Acaranya cuman dua minggu kok," jelas Hafi.

Libur panjang nanti sebenarnya Gina sudah berniat untung pulang kampung. Menghabiskan liburan dengan tidur, makan dan jalan-jalan sepuasnya. Tapi ....

"Hm, bisa kok, bisa bisa bisa!" tanggap Gina antusias. "Kamu juga bisa kan, Ra?"

Aira terperanjat saat Gina menggoyangkan lengannya. "I-iya, insyaallah bisa."

"Kalau bisa ajak temen-temen yang lain juga," timpal Hafi sembari menyerahkan masing-masing selembar kertas pada Aira dan Gina.

Gina membaca kertas terkait acara pekan iman dan takwa itu dengan saksama, hingga suara klakson di depan pagar panti mencuri perhatian. Gina mengangkat kepala dan menoleh, mendapati Dion yang melambaikan tangan ke arahnya sambil menaik-naikkan alis dengan tengil.

"Hm, aku duluan ya," pamit Gina pada Aira dan Hafi. Langkahnya terayun sangat ringan menuju Dion.

"Oh, iya." Gina berhenti mendadak lalu berbalik untuk mengucapkan salam pada Hafi dan Aira sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Hafi dan Aira pun menjawab salam Gina.

Ada ekspresi tak terbaca dari Aira ketika menatap Dion yang asik mengobrol dengan Gina sebelum gadis itu naik ke atas boncengan. Cepat-cepat ia mengubah air mukanya ketika matanya dengan Gina bertemu. Ujung bibir Aira melengkung ketika Gina melambaikan tangan ke arahnya. Dion juga tersenyum dan menganggukkan kepala ke arah Aira dan Hafi.

Sepeninggal Dion dan Gina, Aira menoleh dan mendapati Hafi kini sedang memandangnya. Pipi Aira memanas. Keduanya mengerjap lalu mengalihkan pandangan dengan canggung.

Astagfirullah, bisik suara hati mereka bersamaan.

"Hng, aku masuk dulu. Assalamualaikum," kata Aira terburu-buru.

"Waalaikumsalam warrahmatullah."

Hafi mengembuskan napas pelan. Namanya Humaira, si pipi kemerah-merahan.
















***

Buat Pilip dan Juli visualisasinya kuserahkan pada imajinasi kalian sajah karena ku sangat bingung hehehe.

Dan ini Humaira Yumna Andini

Eyak, tokoh baru lagi nih.

Welcome to Halal Zone, Aira dan Hafi ❤

Jadi Juli-Kiya-Pilip kan cinta segitiga.

Kalau Dion, Gina. Celia, Aira sama Hafi nanti cinta jajar genjang apa trapesium apa layang-layang gue juga kaga ngarti dah.

Maaf ya alurnya kek ngesot gitu. Semoga kalian nggak bosen soalnya ada pesan yang ingin kusampaikan :')

Intinya aku mau mereka jadi lebih baik sebelum (jika) semesta merestui keduanya melangkah ke jenjang yang lebih baik dari yg terbae. Ea mantav.

Tapi jodoh mereka siapa masih rahasia 😜

Prolog juga bikin ketar-ketir yaa😌

Maaf sebesar-besarnya yaaa aku ngaret. nggak nyangka update terakhir tgl 6. Astagfirullah. Manusia emang cuma bisa berencana. Karena ada kondisi yg aku sendiri ga bisa kendalikan.

Terimakasih udah bersabar dan pengertian :')

Regards,

Iin 😍😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top