13 - Kita Punya Anak!
Tersenyum lebar, Gina melepaskan sejumlah sticky notes pengingat deadline tugas kuliah yang akhirnya terselesaikan. Yahow! Sekarang Gina bisa menikmati weekend dengan hati gembira tanpa harus memikirkan tugas negara yang menumpuk menjerit ingin dijamah. Ya ... walaupun Gina tahu tugas-tugas itu akan datang kembali nantinya.
Namanya juga perjuangan pasti ada misi-misi yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
Gina jadi ingat wejangan super dari Dion ketika ia rasanya ingin menyerah saja dengan segala tetek bengek per-kuli-ahan yang sudah seperti kerja rodi.
Tugas itu intinya dikerjain, entar juga kelar. Kalau ngeluh mulu kapan kelarnya? – Dion Teguh Golden Ways.
Iya sih, dulu Gina nggak pernah berhenti mengeluh ketika seabrek tugas itu menyerangnya secara bertubi-tubi. Ia juga mulai memahami apa makna ‘Maha’ dari Mahasiswa. Dia harus siap dengan semua ini. Kantung matanya yang kian besar karena kurang tidur. Waktu fangirlingan yang juga tergusur abis. Bahkan kegiatan penting seperti makan saja sempat terlupakan oleh Gina jika saja Dion tak datang menyuapinya sambil mengomel.
Pokoknya, badan, pikiran, jiwa dan raga semuanya terasa lelah. Dia harus benar-benar bisa mengatur waktu. Gina juga pernah menangis tersedu-sedu dan bilang mau berhenti kuliah aja kalau begini terus. Dia merasa nggak sanggup.
Tapi seperti biasa, Dion akan selalu memberikan kata-kata penyemangat untuknya.
“Bawa have fun aja dong, Nang. Jangan dijadiin beban mulu. Yang milih jurusan ini kan juga elo. Inget betapa senengnya lo masuk ini jurusan. Sekarang udah lebih dari setengah jalan, pikirin mama yang udah ongkosin elo sampai sejauh ini.”
“Pokoknya orang wisuda elo wisuda juga. Tengok ke belakang. Semester dulu juga nangis-nangis tapi bisa dilewatin, kan?”
Benar juga. Toh, tugas-tugas itu juga untuk kebaikannya sendiri dan sebagai bekalnya di kemudian hari. Coba lihat Dion, cowok itu jauh lebih sibuk dibanding dirinya. Tapi Dion bisa membagi waktunya dengan teramat baik. Gina juga nggak pernah lihat Dion mengeluh. Meski muka Dion tak jarang kelihatan capek, Gina hanya bisa melihat gelak tawa dan senyum tengil di sana. Gina jadi merasa tidak enak kala teringat ia selalu menyusahkan Dion dengan masalah-masalahnya.
“Dion ke mana, ya?” Gina bergumam setelah membuka jendela kamarnya. Memandangi jendela kamar Dion yang tertutup rapat. “Apa masih molor?”
Gina meringis. Tadi malam mereka telepon-teleponan sampai larut malam. Udah kayak orang pacaran aja.
Hm.
Eh, tapi nggak mungkin Dion masih molor. Ini udah hampir tengah hari dan Dion Awan Angkasa tidak punya sejarah malas bangun pagi seperti dirinya. Tak seperti Gina yang akan tidur lagi setelah shalat shubuh, Dion itu tipe cowok yang pulang dari masjid abis shubuh bakalan langsung melakukan aktivitas harian yang telah terjadwal dalam notesnya.
Sekali lagi, Dion memang cowok yang terorganisir dan pintar membagi waktu. Sebagai cewek, Gina jadi malu sendiri menyadari dirinya yang begitu acakadul.
Kalau Dion ada, emangnya gue mau ngapain? Suara hati Gina bertanya penasaran.
Refreshing, lah! seru suara hati Gina yang lain mengingatkan.
Tapi refreshing ke mana? Sama siapa? Berduaan doang? Ciye berduaan.
Ini siapa lagi coba yang nimbrung? Gina menggelengkan kepalanya untuk menyadarkan diri. Dari tadi ia terus berceloteh dalam hati. Dan pikirannya kenapa juga harus tertuju dengan Dion, Dion dan juga Dion.
Heloooow. Banyak hal yang bisa ia lakukan. Ngestalk kabar terkini Kiev Bhagaskara kek, bantuin ibu kos di fotokopian, naik ke atas genteng kek atau tidur sampai ketiduran. Lho, gimana tuh? Au ah, bodo amat.
Dering telepon membuat Gina terlonjak dari pikirannya. Tangan gadis itu langsung mengambil ponselnya dengan gesit dan mengusap layar menerima panggilan itu secara tak sabar ketika melihat nama yang tertera.
“A'a!”
***
Dion mematung cukup lama di depan pintu ruang Gery dirawat. Bukan karena menyesali dengan apa yang telah ia perbuat kemarin pada cowok itu. Karena bagi Dion, brengsek macam Gery emang pantas ditonjok.
Ia diam untuk menenangkan diri. Sesungguhnya, kaki panjang Dion begitu bernafsu untuk menendang pintu di depannya dan masuk secara tidak sopan. Well, ini rumah sakit dan Dion udah janji sama Gina untuk nggak berantem lagi. Jadi, dengan setenang mungkin Dion mengetuk pintu lalu membuka kenopnya. Cowok itu memasang muka datar saat melihat Gery mengobrol manja tebar pesona dengan seorang suster.
Emang jiwa playboy sudah mendarah daging ya begitulah.
Seketika Gery menoleh melihat kedatangan Dion dan langsung memasang muka waspada. Lebam pada wajah Gery sudah mulai sedikit pudar. Suster yang terlibat obrolan cantik dengan Gery itu pun mengulas senyum ke arah Dion lalu ke luar dari ruangan itu.
“Ngapain lo ke sini? Jengukin gue?” tanya Gery sinis.
Dion lantas menjawab dingin. “Nggak, gue cuma mau memastikan kalau lo belum mati aja.”
Gery tertawa kecut. “Oh.”
“Kayaknya lo baik-baik aja. Gue cabut.” Dion sudah akan berbalik. Tapi tertahan saat Gery kembali bersuara.
“Gina gimana?”
“Ngapain lo nanyain dia?”
Gery berkata enteng. “Gue penasaran aja. Nggak boleh?”
Tangan Dion terkepal. “Nggak. Nggak boleh.”
“Oke, karena gue sayang nyawa. Gue nggak akan deketin cewek itu lagi.” Gery yang awalnya duduk sambil bersandar menegakkan tubuh dan mengubah posisi kakinya yang berselonjor menjadi bersila. Sambil melipat tangan di depan dada, Gery berseringai nakal. “Tapi, Bro. Temen lo itu body-nya uhuy banget. Jangan disia-siain.”
Lantas, Dion mencengkeram baju Gery dan tangan lainnya sudah terangkat untuk melayangkan tonjokan. Dion sedikit menyesal tak datang kemari bersama Juli dan Pilip. Setidaknya mereka berdua pasti akan menahannya untuk bertindak lebih jauh.
Mata Gery otomatis terpejam tak mengira akan mendapat serangan dadakan. Dan kala menyadari tak ada yang terjadi setelah sekian detik. Kelopak matanya membuka perlahan dan melihat Dion sedang mati-matian menahan emosi. Gery meneguk ludah menatap urat-urat pada tangan Dion yang menegang. Kepalan tangan cowok itu bergetar dan terhenti beberapa senti di depan wajahnya.
Dion melepaskan cengkeramannya dengan kasar sampai tubuh limbung Gery hampir saja terjatuh dari tempat tidur rumah sakit andai ia tidak bisa menyeimbangkan diri.
“Walaupun gue tau elo yang bayar biaya perawatan gue. Tapi gue ini tetap pasien, Man. Dan lo nggak bisa nonjok gue semau lo.”
“Gue peringatin sama lo. Perempuan itu bukan barang. Seharusnya lo memperlakukan perempuan dengan hormat seperti lo menghormati ibu yang melahirkan lo ke dunia. Dan gue juga berharap, kalau lo punya anak cewek nantinya, dia nggak bakal ketemu cowok brengsek macam lo.”
Perkataan Dion benar-benar membuat Gery tertohok hebat. Seketika Gery menjadi merasa bersalah dengan kelakuannya selama ini. Ada rasa sesal yang juga menyeruak. Tapi harga dirinya terlalu gengsi untuk membenarkan semua perkataan Dion.
Hening menyergap dua lelaki itu. Dion yang sedang meredam emosinya dan Gery yang diam merenung.
“Tunggu.” Gery berkata sebelum Dion keluar. Langkah Dion terhenti di depan pintu. “Gue bohong. Gue nggak sempat nyium Gina. Dia udah nonjok gue sebelum itu.”
Tanpa sadar, Dion mengembuskan napas lega karenanya. Dan tanpa menoleh ke belakang lagi, Dion melanjutkan langkah untuk keluar dari sana.
Ada jutaan syukur yang Dion lontarkan dalam hati sepanjang perjalanannya menuju parkiran rumah sakit. Bersamaan saat Dion menemukan motornya, cowok itu mengangkat panggilan telepon yang berasal dari Gina.
“Halo, kenapa, Nang?”
“Yon, anak kita dateng!”
***
Di depan indekos Dion dan Gina, seorang anak kecil berlari ke arah Gina dengan riangnya. Menampilkan gigi susunya yang teramat lucu. “Ontiiiiiiiii!” serunya antusias.
“Kenziiiiiii!” Gina berlari lebih kencang. “Kenzi jangan lari. Entar jatoh!”
Gina langsung menangkap tubuh mungil anak laki-laki itu dan memeluknya erat. “Uuuutu utu ... lucunyaaa anak Ontiii.”
Onti diadaptasi dari kata aunty.
Kenzi tertawa geli saat Gina menciumi pipi gembilnya. Anak berumur tiga tahun itu mengenakan oto berwarna kuning cerah yang membuatnya semakin terlihat menggemaskan.
“Apa kabar Onti Fila?” tanya seorang laki-laki yang sedari tadi berdiri di belakang Kenzi.
Gina menoleh dan tersenyum ceria. “A'a! Baik donggg.”
Bisma Anggara Pradikta. Laki-laki yang berusia lima tahun lebih tua dari Gina itu kini telah berubah menjadi sosok lelaki dewasa. Cowok yang biasanya memakai kaus plus jaket denim juga celana jins belel tersebut kini memakai setelan kerja nan rapi. Bisma datang bersama buah hatinya dengan Dian Banyu Pelita yang teknisnya adalah kakak perempuan Dion.
Keduanya menikah beberapa bulan selepas wisuda dan diberi kepercayaan oleh Tuhan dengan hadirnya bayi laki-laki tampan yang diberi nama Angkasa Kenzi Pradikta pada tahun pertama pernikahan mereka.
“Nggak nangis-nangis lagi mau stop kuliah, kan?” tanya Bisma pada Gina sambil tersenyum.
“Nggak dong. Hehehe.” Gina tertawa malu. Terakhir kali, Gina sempat dibuat tak percaya saat Bisma mentransfer sejumlah uang sebagai sogokan untuk ia tetap semangat kuliah. Meski mereka hanya bertetangga dan tak ada ikatan darah sedikitpun, Bisma merupakan figur kakak laki-laki terbaik untuk Gina.
“Jangan stres-stres ya. Kalau ada masalah bilang sama A’a," ujar Bisma sambil mengacak rambut Gina yang sedang menggendong Kenzi.
“Siap, Bos!” Gina menyengir dan kembali melepas rindunya pada Kenzi.
“Dion mana, La?” tanya Bisma.
“Nggak tau pergi ke mana, A. Tapi tadi katanya udah mau pulang. Paling bentar lagi nyampe.” Gina menyipit ketika melihat motor Dion berhenti di depan pagar. “Nah, panjang umur si curut.”
Dion bergegas turun dari motornya dan melepas helm sambil berlari menuju Kenzi yang masih dalam gendongan Gina.
“Kenzi!” Dion menguyel pipi Kenzi gemas.
“Oom Iyon! Oom Iyon!” Kenzi berceloteh. Bocah itu memang memanggil Dion dengan sebutan Oom. O-nya ada dua jangan lupa.
Dion dan Bisma saling tos dan berpelukan layaknya sohib lama. “Teteh nggak ikut?” tanya Dion menyadari kakak perempuannya tak ada di sana bersama Bisma dan Kenzi.
“Lagi ada siaran. Ini baru satu minggu teteh kamu kerja lagi.” Dian memang fokus menjadi ibu rumah tangga semenjak Kenzi lahir. Dan ketika Kenzi sudah menginjak umur tiga tahun, Dian meminta izin pada Bisma untuk kembali bekerja sebagai reporter. Awalnya, Bisma tidak memberikan izin karena pekerjaan reporter yang cenderung sangat melelahkan karena harus ke sana ke mari memburu berita. Namun, akhirnya pria itu mengizinkan saat Dian diterima sebagai pembaca berita di salah satu stasiun televisi.
Mereka sudah sepakat untuk bergantian menjaga Kenzi. Dan hari ini adalah giliran Bisma. “Sekarang A’a ada meeting mendadak sama klien. Jadi, A’a nitipin Kenzi ke kalian nggak papa, kan?”
Sebenarnya, Bisma ingin menitipkan Kenzi ke salah satu tempat penitipan anak. Tapi saat melewati daerah indekos Dion dan Gina, ia berpikir akan lebih baik menitipkan Kenzi bersama dua remaja itu. Hal ini juga telah Bisma diskusikan bersama Dian sebelumnya. Lagipula sudah lama Kenzi tak berjumpa dengan Oom dan Onti-nya.
Gina mengangguk antusias. “Boleh banget, A! Aku nggak ada kerjaan juga hari ini. Free!”
“Iya Papa kerja aja nggak papa ya, Kenzi? Hari ini Kenzi main-main sama Oom, sama Onti juga,” timpal Dion seraya mengelus rambut mangkok Kenzi.
“Ya udah kalau gitu. Bentar ya.” Bisma mengambilkan tas ransel dengan moncong bebek 3 dimensi berwarna kuning dari dalam mobil. “Ini tas Kenzi, ada baju ganti, popok sama susu. Maaf banget nih kalau ngerepotin kalian.”
Dion menyambut tas itu dari tangan Bisma. “Tapi kalau kita ngajak Kenzi jalan-jalan nggak papa, kan?”
“Iya ajak aja. Udah lama dia nggak jalan-jalan.” Bisma menepuk bahu Dion dan beralih pada Kenzi yang asyik memainkan boneka jerapahnya. “Kenzi, Papa pergi dulu. Pinter-pinter ya, Jagoan. Entar Papa jemput.”
Gina sedikit takut jikalau Kenzi akan menangis tidak ingin Bisma meninggalkannya. Namun, dugaannya ternyata salah. Kenzi tersenyum dan menyambut punggung tangan Bisma lalu menciumnya dengan hidung dan bibirnya yang mungil. Bocah kecil itu lalu melambaikan tangan.
“Kalau ada apa-apa, telepon aja ya,” ujar Bisma pada Gina dan Dion. Keduanya mengangguk dan menenangkan Bisma untuk tidak khawatir.
“Dadah, Papa! Hati-hati ya!” Gina melambaikan tangan Kenzi ke arah Bisma.
Bisma membalas lambaian itu sambil berjalan mundur. Hati Gina merasa hangat ketika melihat senyuman Bisma. Ya, senyuman seorang ayah.
Tak ada yang tau tentang ini, tapi jika harus jujur, Bisma adalah cinta pertama Gina. Wajar karena rumah keduanya berdekatan dan mereka tumbuh kembang bersama. Dulu, Gina selalu menempel pada Bisma seperti permen karet dan Bisma juga selalu ada untuknya jika ia tertimpa masalah. Perasaannya pada Bisma tak pernah Gina ungkapkan pada siapapun. Gina sadar, Bisma hanya menganggapnya sebagai seorang adik. Tidak lebih dari itu.
As expected, dia terjebak dalam kakak-adek zone.
Tapi tak apa. Gina sudah sangat bahagia ketika Bisma menemukan seseorang yang tepat menjadi pendamping hidupnya. Dian Banyu Pelita. Kalian sudah tahu cerita awal keduanya bertemu, bukan? Yap, ketika mereka menjadi perwakilan menyelesaikan perseteruan Dion dan Gina. Waktu telah bergulir sangat cepat ternyata.
“Woi, Nang!”
Gina terperanjat saat Dion menepuk pundak kanannya.
“Udah mandi belom, lo?”
“Udah. Kenapa emang?”
“Kita jalan-jalan sama Kenzi.”
“Sekarang?”
“Nggak. Besok.”
“Kalau besok, Kenzi udah pulang dong, Yon,” kata Gina dengan wajah yang begitu polos.
Dion berdecak dan mengacak rambut Gina sampai benar-benar acak-acakan. “Sekarang, pinteeer. Udah sana cepet siap-siap.”
Gina memberengut. “Kenzi sama Oom, ya. Onti siap-siap dulu, oke?”
“Ciap!” seru Kenzi sambil mengangguk-angguk lucu. Matanya bulat penuh binar. Membuat Dion dan Gina gemas bukan main.
bersambung
gantung banget emang tapi harus dicut takutnya kepanjangan. sambungannya soon ya nggak nyampe seminggu apalagi sebulan. jangan lupa dikomen. so silent readers tolong muncul yaaa. makaciii.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top