12 - Sedewasa Lo Aja
Kiya, Juli dan Pilip duduk di tepi koridor rumah sakit setelah mengantarkan Gery yang benar-benar babak belur karena aksi kalap Dion. Untung saja perkelahian itu tak sempat diketahui oleh pihak kampus. Dan sekalap-kalapnya Dion, dia masih memedulikan Gery yang tergeletak di tanah dengan meminta dua sohibnya membawa cowok itu ke rumah sakit.
“Untung aja noh si Gery kagak lewat. Dion kesambet apaan dah? Sumpah, sekarang gue jadi takut sama itu anak.” Juli bergidik ngeri memutar kembali memorinya tentang Dion yang tadi berubah menjadi monster petarung.
“Liat Dion marah aja gue nggak pernah.” Pilip menimpali. “Speechless gue Dion bisa ngamuk kayak gitu.”
Bagaimanapun juga, Dion hanya manusia biasa. Pilip dan Juli juga mungkin akan melakukan hal yang sama jika ada seseorang yang berani mengganggu orang yang mereka sayangi.
Di tengah-tengah Pilip dan Juli, dari dari Kiya hanya bungkam. Gadis itu masih merasa syok atas apa yang terjadi hari ini. Bayangan seringai menyeramkan Gery yang teramat dekat dengan wajahnya, membuat Kiya lantas menutup mukanya dengan kedua telapak tangan. Kiya tak bisa membayangkan jika ia ada di posisi Gina malam itu.
“Ya, lo kenapa?” tanya Pilip agak cemas menyadari Kiya sedang tidak baik-baik saja.
Juli yang notabenenya pacar resmi Kiya kontan dilanda panik dan sedikit membungkuk untuk mensejajarkan wajahnya dengan Kiya.
“Yang, hei, kenapa?” tanya Juli seraya menarik lembut telapak tangan Kiya yang menutup mukanya.
Kiya mulai terisak. Juli dan Pilip terenyak. Sebagai pacar siaga, tanpa ba-bi-bu lagi Juli beranjak cepat lalu beralih ke hadapan Kiya dengan menumpu satu lututnya di atas lantai. Menenangkan Kiya yang masih tersedu.
Melihat pemandangan itu, Pilip hanya tersenyum tipis. Agak getir. Mengikhlaskan ternyata memang tak semudah yang ia kira.
Sebuah panggilan telepon mengalihkan perhatian Pilip. Ia pun mengangkat telepon tersebut dan menjauh dari Juli yang masih menenangkan Kiya.
“Iya, halo, Cel?”
“Halo, Pilip. Gue denger dari anak-anak Dion berantem habis-habisan di kampus. Dia nggak kenapa-napa, kan? Dion ada masalah apa sih? Sekarang dia di mana? Gue telepon nggak aktif, Lip.” Rentetan pertanyaan Celia membuat Pilip pusing.
“Cel, lo bisa nanya satu-satu. Udah kayak wartawan aja, lo pikir gue juru bicaranya Dion?”
“Sori, Lip. Tapi Dion nggak kenapa-napa, kan?”
“Ya bonyok juga. Tapi nggak separah Gery, lah.”
“Tetep aja Dion bonyok, Lip.” Celia berdecak. “Sekarang Dion ada di mana?”
“Gue juga nggak tau pasti, Cel. Mungkin pulang. Lebih baik lo nggak usah ganggu dia dulu deh. Dion butuh waktu nenangin diri.”
Iya, Pilip memang benar-benar tak tahu pasti Dion ada di mana. Setelah meminta Pilip dan Juli membawa Gery ke rumah sakit, Dion menarik tangan Gina untuk ikut bersamanya.
Dion dan Gina memang langsung pulang. Menuruni motor Dion, Gina berjalan lunglai lalu membuka pagar. Gina yang masih merasa tak karuan secara sadar tak sadar menaiki tangga menuju ke atas genteng.
Nongkrong di atas genteng masih menjadi opsi utama Gina kala sesuatu mengusik pikirannya. Gina sedikit kaget menyadari Dion yang membuntutinya sampai ke atas sini. Mereka duduk membelakangi sinar senja yang benderang. Di perjalanan tadi sampai saat ini, keduanya hanya diam tanpa saling bicara. Terjebak dalam pikiran masing-masing.
Dion menolak untuk pergi ke rumah sakit karena merasa lukanya memang tak seberapa. Dion juga tak berniat untuk memastikan keadaan Gery saat ini juga, takut ia akan kembali lepas kendali dan membuat onar di rumah sakit karena tangannya yang masih gatal melayangkan pukulan pada cowok itu.
Jadi, biarkan ia menenangkan dirinya terlebih dahulu dan memastikan kondisi Gina yang sedari tadi hanya melamun dan melamun.
“Gue minta maaf,” kata Dion memulai. Ia tak terbiasa melakukan aksi diam-diaman dengan Gina meski hanya sebentar.
Dion menghela napas panjang kala Gina tak juga bersuara. “Gue pasti udah bikin lo takut.”
Hening.
Sunyi senyap.
“Lo ... kayak monster tau nggak?” Suara Gina akhirnya muncul. Agak tercekat juga sedikit serak. “Lo kayak bukan Dion,” tambah Gina lagi sambil menatap luka di ujung bibir Dion dan lebam yang menghias wajahnya.
“Gue terlalu marah,” ujar Dion pelan, serupa bisikan halus.
Lagi-lagi hening menyelimuti. Angin berembus membuat rambut Gina menari-nari menghalangi mata sendunya.
“Akhir-akhir ini gue selalu ngerepotin lo.” Gina berkata lirih. Kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Kalau lo kena masalah gimana?”
“Tsk, nangis lagi, kan.” Dion menghela napas. “Lo yang kebanyakan nangis akhir-akhir ini.”
Tangis Gina yang awalnya tanpa suara kini mulai terdengar menjadi isakan kecil. “Hiks. Lo pikir gue seneng cirambay mulu kayak gini?”
Kata orang jika siap tuk jatuh cinta maka juga harus siap dengan patah hati. Dari dia yang selalu ngebet pengin pacaran dan menjelma menjadi petualang yang mencari cinta sejati lalu bertemu cowok dengan berbagai karakter. Siklusnya terus berulang. Kenalan, dekat, patah hati, cari lagi, kenalan, dekat, patah hati lagi.
Andai saja waktu bisa terulang, Gina ingin kembali ke masa-masa sebelum ia mengenal cowok-cowok yang singgah hanya untuk menorehkan luka, seperti Ruri yang bermulut tajam ataupun Gery yang ya ... begitulah.
Sekarang Gina benar-benar ingin fokus pada dirinya sendiri. Menyelesaikan kuliah, punya kerjaan, jadi sineas sukses, ngabisin waktu sama mama juga sahabat-sahabatnya dan masih banyak mimpi-mimpi yang siap untuk ia wujudkan tanpa pusing memikirkan cowok, cowok dan cowok.
Masalahnya satu,
Dion juga cowok.
Hm.
Lupain. Lupain. Lupain.
Anggap aja Dion bukan cowok.
Dion teman yang sudah seperti keluarga.
Harta yang paling berharga adalah keluarga~
“Dan lo juga, kalau sok mau jadi jagoan, ngapain pakai acara bonyok segala?!” Gina mengomel sambil menangis. Meraih tangan Dion dan menatap buku-buku jari cowok itu yang memerah.
“Ya ... gue kan nggak punya ilmu kebal, Nang. Apa gue ikut ajian ilmu kebatinan aja ya?”
“Au ah, sedewasa lo aja, Yon.” Gina mencibir dan menghapus air matanya dengan punggung tangan.
Akhirnya, Dion bisa tertawa geli. Tangannya terulur dan mengacak rambut Gina gemas.
“Yon,”
“Hm?” tanya Dion masih dengan senyum cerah.
“Makasih.”
Dion memiringkan kepalanya menatap Gina. “Karena udah bikin Gery bonyok?”
“Bukaaan.” Gina menggeleng cepat.
“Terus?”
“Hm ... makasih karena selalu ada di pihak gue. Lo yang ngingetin gue kalau gue salah langkah. Lo yang selalu nyemangatin gue saat gue ngerasa di titik paling melelahkan dan rasanya udah mau musnah aja dari muka bumi. Lo yang terus ingetin bahwa gue harus bikin mama dan almarhum papa gue bangga, lo yang selalu jadi tameng gue kalau gue takut. Makasih udah bertahan jadi temen gue sampai sekarang.”
Dion terpana mendengar perkataan Gina yang panjang kali lebar. “Lo ngomong apaan sih? Kayak kita mau pisah jauh aja.”
Gina tergelak. “Ya ... jarang-jarang gue bilang makasih kayak sambutan ibu PKK gini ke elo.”
Tawa Gina perlahan lenyap. “Yon,” panggilnya lagi.
“Hm?”
“Jangan berantem lagi.”
Dion terdiam cukup lama. “Hm," jawabnya teramat singkat.
“Ham hem ham hem. Serius nih. Janji?” Gina mengulurkan jari kelingkingnya ke arah Dion. “Kalau ada yang mau berantem kayak gitu lagi sama lo. Mereka harus hadapin gue dulu. Kayaknya kekuatan gue udah kembali nih.”
Melihat binar keceriaan Gina semakin memancar, Dion tak bisa berhenti untuk tersenyum.
“Demi kemaslahatan umat manusia, gue janji nih janji.” Dion menautkan kelingkingnya dengan kelingking Gina.
“Hehe, gitu dong.”
“Nang,” ujar Dion seraya menahan Gina melepaskan tautan kelingking mereka.
“Kenapa?” Gina mengerjap gugup kala Dion menatap matanya intens. Tatapan Dion kali ini sungguh berbeda. Bukan sejenis kelingan jail nan tengil yang biasa cowok itu tunjukkan. Dion benar-benar membuat Gina merasa tersihir. Terpana bak cewek pemeran utama tokoh film romantis yang rasanya nggak pernah cocok sama kisah mereka berdua.
“Gue sayang sama lo.”
Deg.
Jantung Gina berdetak lebih cepat. Mencerna kalimat sederhana yang barusan Dion utarakan.
Ujung bibir Gina terangkat membentuk senyuman indah. “Gue juga.”
***
Gina menatap langit-langit kamar. Lampu yang menyala di tengah ruangan tak menyilaukan matanya. Gadis itu memang kesulitan untuk tidur jika lampu dimatikan. Kini sudah menginjak waktu tengah malam tapi kantuk tak kunjung datang hingga Gina terjaga sampai selarut ini.
Dia jadi kangen Dion.
Oke,
Oke,
OKE
Gina mendengus. Ngapain kangen? Orangnya sekarang paling udah molor sambil ngorok. Mungkin dia masih memikirkan perkataan Dion tadi sore. Dion bilang sayang dia, dan dia juga bilang sayang sama Dion. Terus? Terus apalagi? Udah. Gitu doang. Intinya apa? Gina juga nggak ngerti.
Sayang.
Maknanya banyak. Ya, karena nggak mau ketinggian ngarep, kayak yang udah-udah, Gina berpikir sayangnya Dion pasti bukan ke arah sana. Pasti bukan.
Seperti perasaannya sendiri. Gina sayang sama Dion. Banget, mungkin. Mereka selalu sama-sama walau hanya sebatas dalam ikatan persahabatan. Setiap hari. Terus-terusan.
Lalu bagaimana jika ada suatu masa mereka harus terpisah? Apa perasaannya akan tetap sama?
Ponsel Gina bergetar dan gadis itu termangu mendapati nama Dion di sana. Usai mengucapkan salam dan kata halo, Gina mengernyit heran mempertanyakan alasan mengapa Dion meneleponnya di tengah malam begini, juga mereka berdua memang teramat jarang berkomunikasi via telepon. Karena kamar indekos mereka yang teknisnya bersebelahan walau berbeda bangunan, mereka sering bicara lewat jendela masing-masing.
Ia dan Dion juga tak begitu sering saling berkirim pesan. Kalau ada, hanya berupa pesan-pesan singkat, itu juga jika dirasa perlu.
“Kenapa, Yon?” tanya Gina bingung.
“Lo yang kenapa?”
Alis Gina menyatu heran. “Lah, kok malah balik nanya? Elo yang nelepon.”
“Lo yang kenapa belum tidur?” tanya Dion pelan namun mendominasi keheningan malam.
“Kok tau gue belum tidur?” Lampu yang masih menyala tentu bukan alasan karena Gina memang menyalakan lampu kamarnya sepanjang malam.
“Ya tau aja,” jawab Dion sambil tertawa kecil.
“Jawaban macam apaan tuh?” Gina mendengus mendengar jawaban sok tau Dion. Tubuh Gina bergerak mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping, pandang Gina mengarah pada fotonya bersama Dion saat prom night. Mereka berdua terlihat sangat bahagia.
“Nggak lagi mikirin Gery, kan?”
Mata Gina melotot sepenuhnya. “Nggak, ngapain juga?” desis Gina tidak suka.
“Oh, berarti lagi mikirin gue.”
Bujubuneng, kok tau?
Tapi nggak boleh ngaku. Nggak boleh. Gengsi harga mati nggak bisa dinego-nego, shay.
“Dion jayus.” Gina tertawa keki. Namun, kenapa pula dia jadi senyum-senyum sendiri?
“Gue juga sekarang tau lo lagi senyum.”
Dion kenapa idih, batin Gina berteriak. Menjauhkan ponsel dan dahinya makin berlipat-lipat. Memastikan bahwa ini telepon bukan video call.
“Yon, lo kenapa sih, nggak jelas amat. Ini kenapa tengah malam pake acara nelepon gue segala? Mau pamer banyak pulsa lo?”
Dion terbahak. Agak tertahan, nggak mau juga cekakakan semaunya tengah malam begini yang pasti bakal ganggu penghuni kos yang lain. “Emangnya gue elo sang fakir pulsa?” ledek Dion sambil terus tertawa.
Dan entah mengapa Gina berpikir suara tawa Dion terdengar menyebalkan tapi bikin gemas pada satu waktu. “Bodo amat. Ini lo nggak ada bahasan yang lebih serius dikit apa ya?”
“Mau bahas yang serius-serius, nih?” Senyap beberapa detik. Dion menggumam panjang seperti berpikir. “Hm ... lo kapan mau nikah?”
Gina tercekat. Kok Dion nanyanya ke sana?
Oke, itu pertanyaan umum. Nggak usah diambil pusing, entar malah migrain.
“Abis wisuda,” sahut Gina enteng.
“Oh, bentar lagi dong?”
“Iya dong.”
Iya kalau lulus tepat waktu, seperti yang khalayak umum telah ketahui bahwa menunda skripsi sama dengan menunda resepsi. Tapi kalau emang jodohnya udah nyampe ya ... lain cerita.
“Maunya nikah sama siapa?” Dion kembali bertanya dan kening Gina semakin mengerut.
“Sama manusia, lah.”
“Terus?”
“Terus?” Gina membeo. “Apanya?”
“Maunya kayak gimana?”
“Yang ada senter dan bluetooth-nya.”
“Serius, Firstya Angginafila.”
Tawa Gina kembali berderai mencairkan suasana. Abis, nada suara Dion sok serius banget.
“Pokoknya yang sholeh, bisa nuntun gue ke arah yang baik dan benar. Nggak usah cakep, tapi gemeshin biar gue bisa uyel-uyel. Nggak males usaha buat nafkahin akuh dan anak-anak. Penyayang, ini wajib kudu harus karena wanita ingin dicayang-cayang. Sabar menghadapi kelakuankuh yang demikian adanya. Penyemangat yang super biar gue selalu syemangat menjalani kehidupan ini. Nah, pokoknya gitu. Entar syarat dan ketentuan tambahan bisa diatur.”
Gina tertawa geli mendengar cerocosannya yang mengalir begitu saja. Ya, menghibur diri di kemumetan hidupnya akhir-akhir ini boleh lah ya.
Di depan jendelanya, Dion hanya tersenyum sambil menuliskan kata-kata Gina dalam lembaran notes miliknya. Ponselnya terapit di bahu dan menempel di telinga. Pandangan cowok itu kemudian mengarah ke jendela Gina yang tertutup di seberangnya.
“Iya-iya, gue usahain.”
Masih tersenyum tampan, Dion memainkan penanya membuat ilustrasi wajah Gina di bawah tulisan-tulisannya.
Di sisi lain Gina langsung terduduk mendengar sahutan Dion.
Usahain?
USAHAIN?
Usahain maksudnya?!
Hari ini Dion kenapa sih? Demen banget bikin jantung Gina jumpalitan.
“Usahain?” tanya Gina bingung sebingung-bingungnya.
“Hm ... usahain nyariin maksudnya.”
“Oh ....” Oh, maksudnya gitu.
Gitu ya, gitu.
“Nggak usah sok-sok nyariin buat gue. Lo aja belum nemu.”
“Gue udah nemu.”
“Oh, yang lo ceritain kemaren-kemaren? Yang main rahasia-rahasiaan? Oh iya inget. Inget banget.” Gina mendengus kecil. Agak kesal.
Kenapa juga dia harus ngerasa nyesek? Bagus dong, kalau Dion telah menemukan sosok yang dia mau. Bahkan, Celia yang begitu beningnya aja lewat.
“Entar gue kasih tau itu siapa. Nggak usah pake acara ngambek.”
“Siapa yang ngambek idih.”
“Itu suaranya judes amat.”
“Hm, gue sih cukup tau tanam dalam diri aja ya temen gue yang tersayang tak menganggap diriku untuk berbagi cerita ya cukup tau aja,” ujar Gina menyindir.
Dion mengembuskan napasnya pelan. “Itu tadi sore gue bilang sayang serius loh, Nang.”
“Iya gue juga serius,” sahut Gina tak mau kalah. Gina kembali berbaring dan memakai selimutnya rapat-rapat.
“Ya udah.”
“Ya udah apa?” tanya Gina. Dion hanya diam sampai Gina menguap karena mulai mengantuk.
“Ya udah tidur sana.”
Oke, Dion memang gantung banget kalau ngomong. Nggak jelas.
“Gue nyanyiin biar mimpi indah.”
Gina lagi-lagi mendengus. “Emang gue anak TK?”
“Gina bobo ....” Suara Dion melantun dengan merdu.
“Oh Dion kebo ....”
“Bodo amat, ya.” Dion melanjutkan nyanyiannya. “Gina bobo oh Gina bobo kalau tidak bobo Dion yang bobo ....”
“Nggak jelas.”
“Emang.”
“Kita sama-sama nggak jelas,” kata Gina pelan sambil memejamkan matanya yang ruyup ingin tidur.
“Jodoh kali?” celetuk Dion sambil menutup jendelanya. Kemudian merebahkan diri di atas tempat tidurnya yang empuk dan bernuansa klub bola favoritnya.
“Hm, kita jodoh ya?” suara Gina semakin rendah.
Dion tersenyum mendengar embusan napas Gina yang teratur. “Mudah-mudahan.”
Masih dengan telepon yang menempel di telinga, sayangnya gadis itu tak mendengar apa yang Dion utarakan secara sadar. Dia sudah mengelana di dunia mimpi.
Dan bertemu Dion lagi.
Dion ada di mana-mana.
Dan nggak pernah jelas.
Bersambang
Kapan Halal Zone-nya qaqa????
Cieeee nungguin banget nih???? 🙊
Dion emang nggak jelas banget ya.
Ya gimana nanti, sedewasa mereka aja 😂 wkakak.
Regards, Iin 👻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top