11 - Gaswat, Dion Ngamuk!

Gina sungguh teramat murka. Mungkin segala umpatan di dunia ini tak akan cukup mewakili kemarahannya pada Gery. Gina merasa cowok itu benar-benar kurang ajar dan menginjak-injak harga dirinya.

Di sisi lain, gadis itu juga dilanda rasa takut dan trauma yang begitu mendalam. Sampai saat ini, Gina kerap dilanda mimpi buruk karena peristiwa itu. Ia benar-benar parno dan seringkali ketakutan sendiri.

Dari dulu Dion selalu menjadi tameng setiap Gina membutuhkan. Tapi seperti malam kelam itu, ada kalanya Gina tak bisa bergantung dengan orang lain bahkan Dion sekalipun. Ia harus berjuang mati-matian melindungi dirinya sendiri. Menjaga kehormatan dirinya sebagai seorang perempuan.

Selain peristiwa kecelakaannya bersama Dion di masa SMA, tragedi malam itu adalah bencana paling menakutkan yang pernah Gina alami. Dan Gina sangatlah bersyukur ia berhasil meloloskan diri. Jika tidak, Gina tak tau apa yang akan terjadi padanya saat ini.

Di lain hal, kini Dion benar-benar bersikap protektif pada Gina. Ia tak ingin lengah. Kedua sahabat itu semakin lengket bagaikan lem korea. Selain kegiatan yang tak bisa mengkondisikan mereka bersama, di mana ada Dion di sana pasti ada Gina. Begitu pula sebaliknya. Jika ia tak ada, Dion memberikan mandat pada Kiya, Juli dan Pilip untuk menjaga Gina. Pokoknya, Dion berusaha keras untuk menutup semua kemungkinan Gina bertemu dengan Gery.

Tapi seberapa keras Gina menghindar atau sebanyak apa pun cara Dion memblokade kehadiran Gery di hadapan Gina, ada kondisi tak terduga di mana Gina dan Gery bertemu pada satu waktu. Seperti sekarang ini, Dion dan Gina bersama teman-teman yang lain sedang berada di sebuah warung makan dekat kampus. Gina sontak dilanda panik luar biasa melihat sosok Gery yang baru saja masuk bersama seorang perempuan.

Jantung Gina berdetak amat cepat. Kilas balik peristiwa itu muncul dalam benaknya.

Kiya, Juli dan Pilip memandang heran Gina yang langsung menyembunyikan dirinya di bawah meja. Sedangkan Dion yang mengetahui situasi, tak bisa menahan diri untuk tidak mengepalkan tangannya kuat-kuat karena amarah yang memuncak. Menahan dirinya untuk tidak menarik Gery dalam sebuah adu baku hantam.

Dion melirik nanar Gina yang terlihat gemetar di bawah sana. Kemudian, cowok itu mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Gina yang masih bergetar ketakutan.

Gina mendongak dengan mata yang berkaca-kaca. Keduanya berpandangan. Pada netranya, Dion seolah meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.

Dion akan selalu berada di garda terdepan untuk melindungi Gina.

***

Dua minggu berlalu. Matahari belum juga muncul. Langit masih gelap dan udara subuh ini terasa begitu dingin. Di dalam kamar kosnya, seorang gadis terbalut mukena berdominasi warna putih dengan sedikit corak bunga-bunga meringkuk di atas sajadah setelah menunaikan salat shubuh. Kebiasaan buruk Gina setelah salat yaitu kembali tertidur karena tak kuasa menahan kantuk.

Ada banyak buku-buku tebal serta tumpukkan kertas yang berserakan di sekitarnya. Lalu secara tiba-tiba, Gina terduduk dengan mata yang masih terpejam. Bertahan di posisi itu dalam beberapa saat, mengumpulkan segenap nyawanya yang masih berkeliaran di bawah alam sadar.

Mengerjapkan mata, ia menguap lebar layaknya kuda nil. Kemudian meregangkan otot-otot tubuhnya. Sadar akan mukena yang masih ia kenakan, gadis itu lantas menanggalkan mukena dan melipatnya bersama sajadah.

“Ya Allah, siapakah jodohku?” tanyanya dengan suara khas orang bangun tidur. Entah mengapa pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Pertanyaan yang juga entah kapan akan terjawab.

“Siapakah jodohku? Di mana dan sedang apa dirinya?” Gadis itu kembali bergumam sembari mengucek belek yang menghias kedua sudut matanya.

“Woy, Nang! woy!" Sebuah suara tiba-tiba terdengar. "Udah bangun belom kagak sih? Woy, Rengginang!”

Gadis itu menggerutu mendengar seruan berisik yang terdengar di luar jendela kamarnya. Seruan yang merusak waktu subuh menjelang paginya yang indah.

“Ngapa sih, Yon?! Ada kecoak lagi?!” seru Gina galak sembari membuka jendela. Fajar bahkan belum tampak tapi Dion sudah seberisik ini.

“Bukan! Ini lebih emergency! Lo juga, gue telepon nggak diangkat-angkat!”

Gina terdiam. Bahkan gadis itu lupa menaruh ponselnya di mana.

“Emangnya ada apaan sih?” tanya Gina heran sambil memijat lehernya yang terasa pegal karena tidur di lantai.

“Ini hari pertama gue magang."

Dahi Gina berkedut. “Ya terus?”

“Gue belum potong rambut, Kunti! Elo sih kagak ngingetin!”

Gina mengembuskan napas dengan kasar sebelum mengomel. “Eh, Tuyul Gondrong! Gue tuh udah berapa kali bilang ke elo jauh-jauh hari cepetan potong rambut. Elo tuh yang bilang entar-entar mulu. Udah kepepet baru dah belingsatan!”

“Aduh, Nang. Daripada lo ngomel, mending lo sekarang cukurin rambut gue!”

Mata Gina kontan membelalak. “Yon, lo nggak ada ide yang lebih bagus lagi ngapa?! Gue mana bisa nyukur rambut! Lo pikir nyukur rambut segampang nyukur bulu ketek?!”

Dion berdecak. “Lo kan pernah motong rambut sendiri, Nang.”

“Ya … itu kan gue iseng megang gunting, megang rambut sendiri terus kepotong gitu aja. Beda atuh, Yon. Rambut cewek sama rambut cowok mah. Emang Ijul sama Pilip ke mana dah?! Minta tolong sama mereka kek.”

“Itu dua bocah lagi nggak pulang sibuk ngurus acara himpunan jurusan mereka.” Dion mengacak rambutnya frustrasi. “Sekarang gue harus pergi pagi-pagi dan jam segini nggak ada tukang cukur rambut apalagi barber shop yang buka. Terserah lo dah, Nang. Modelnya kayak gimana terserah lo, yang penting gue kagak gondrong lagi. Entar habis magang, gue rapiin dah ke barber shop.”

Gina menghela napas panjang-panjang kemudian bertitah. “Ya udah, kalau gitu kita ketemu di markas!”

Dion dan Gina akhirnya bertemu di markas mereka seperti biasa. Dion duduk dengan perasaan gugup ketika Gina memasang sebuah mangkok plastik di atas kepalanya.

“Entar rambut lo kayak mangkok dong, Yon?” tanya Gina sambil memainkan gunting.

“Serah lo dah, serah. Entar gue akalin pakai pomade apa gimana deh.”

“Yakin nih?” tanya Gina agak sangsi.

“Iya,” sahut Dion sambil meneguk saliva. Mempertanyakan pada dirinya sendiri apakah menyerahkan nasib rambut dan kepalanya pada Gina adalah keputusan yang benar atau tidak.

Gina sudah akan memangkas rambut Dion tapi tangannya malah tertahan di udara. “Yon, nggak jadi deh, entar kepala lo kenapa-napa, gimanaaa?” Gina mulai merengek pada Dion.

“Lagi ngapain sih kalian? Main salon-salonan?” tanya Astuti menimbrung di tengah-tengah Dion dan Gina.

“Ibu!” seru Gina antusias. “Astaga, kok kita lupa kita punya Ibu?! Ibu! Ibu harus membantu kita berdua!”

“Nah iya, Bu!" Dion tersenyum dengan mata berbinar sembari berdiri dan melepaskan mangkok plastik yang terpasang di atas kepalanya. "Saya mau potong rambut, Bu. Mau magang.”

“Oooooh. Kalau gitu, sini serahkan sama Ibu!” ujar Astuti kembali mendudukkan Dion dan mencari amunisi yang dulu pernah ia gunakan saat masih membuka salon. “Jadi, mau model kayak gimana? Kayak Lee Min Ho? Kim Bum? Anjasmara? Primus? Shahrukh Khan? Reza Rahardian? Jefri Nichol?” cerocos Astuti penuh semangat.

“Apa aja, Bu. Yang penting rapi.” Dion tersenyum menghadap kaca. Seperti mengucapkan selamat tinggal pada rambut gondrong yang telah lama menghabiskan waktu bersamanya.

“Oke deh!” Astuti merentangkan kain pada bahu Dion dan menutup sekeliling leher rapat-rapat kemudian mulai memangkas rambut Dion.

Ciat! Ciat! Ciat!

Gina duduk sambil meletakkan telapak tangannya di dagu sembari tersenyum memperhatikan Dion yang terlihat begitu tegang. “Santai aja mukanya, Pak!” komentar Gina seraya terkekeh geli.

Dion mencibir di tempat duduknya. Menatap rambut gondrongnya yang jatuh berguguran.

"Bukannya lo ada kelas pagi ya, Nang?" tanya Dion tanpa memandang Gina dari pantulan kaca.

Gina kontan menepuk dahinya. "Alamak! Iya, Yon!"

Gina lantas panik dan buru-buru melesat ke dalam indekosnya yang terhubung dengan tempat fotokopian Astuti.

Waktu berselang, matahari pun merangkak naik dengan perlahan. Gina telah siap untuk berangkat ke kampus. Gadis itu tampak segar, woyajelas karena ia sudah mandi di pagi hari ini dengan riang gembira. Biasanya, Gina paling malas mandi pagi-pagi sekali begini.

Dari kos khusus cowok di sebelah, Dion juga sudah rapi berjalan dengan dramatis menghampiri Gina. Cowok itu mengenakan kemeja formal dilapisi oleh jas lab berwarna putih.

Melihat Dion dengan tatanan rambut barunya, Gina benar-benar terpana seolah-olah ia sedang melihat salah satu anggota F4. Soundtrack drama Boys Before Flowers dari T-Max langsung memenuhi gendang telinganya.

Almost Paradise
achimboda deo nunbushin
Nal hyanghan neoui sarangi
Onsesang da gajindeutae
In my life nae jichin sarme kkucheoreom
Dagawajun ni moseubeul eonje kkajina saranghal su itdamyeon

"Nang, biasa aja liatin guenya napa!" Dion menjitak Gina yang masih terperangah karena magis yang terpancar dari pesona seorang Dion Awan Angkasa.

Gina tergeragap dan tertawa cengengesan.

"Emang kenapa kalau gue liatin kayak gini?" goda Gina seraya sengaja memandang Dion dengan tatap memuja. Dion lantas menghindari Gina yang bertingkah jail. Namun, Gina semakin menjadi-jadi, ia memandangi Dion tanpa berkedip bagai seorang penggemar garis keras bertemu idolanya.

"Pokoknya jangan." Jari telunjuk Dion mendorong jidat Gina pelan.

"Kenapa jangan?" tanya Gina lagi sambil melanjutkan aksinya.

Dion menatap Gina tepat di manik mata. "Entar gue jatuh cinta," bisik Dion sebelum berlalu.

"Hah?" Mata Gina membulat. Tubuhnya kaku seraya memandangi punggung Dion yang semakin menjauh untuk menuju motornya.

"Cepetan! Entar kita telat, Nang!" seru Dion yang sudah berada di atas motor.

Gina menaiki motor Dion dengan perasaan berdebar-debar. Alamak, kenapa dia jadi salah tingkah begini?

***

Mobil Gery berhenti di gedung fakultas target teranyarnya. Setelah mencium pipi sebagai salam perpisahan, Gery memandangi lekuk tubuh cewek itu ketika berjalan. Kedua matanya tak bisa berhenti menatap cewek itu. Dari dalam mobil, Gery bersiul senang. Cewek itu terlihat begitu seksi dan memanjakan matanya.

Gery kembali mengemudikan mobil mewahnya. Cowok itu melambatkan mobilnya ketika melintasi fakultas Gina. Tanpa banyak pikir, Gery kemudian memarkirkan mobil dan mencoba untuk mencari sosok Gina.

Ia tak pernah bisa melupakan tonjokkan Gina yang membuat hidungnya sakit bukan kepalang. Baru kali ini Gery bertemu dengan cewek semacam itu. Anggap ia kurang ajar, tetapi dari dulu  Gery selalu berhasil menaklukkan semua targetnya. Tapi Gina sungguh berbeda. Hal itu membuat Gery semakin terobsesi untuk menaklukkan gadis itu. Gery bersumpah, ia akan membuat Gina bertekuk lutut.

Sudah beberapa minggu, Gery tak bisa menjumpai Gina karena gadis itu selalu dalam pengawalan ketat teman-temannya. Terlebih cowok bernama Dion. Gery tidak buta menangkap perasaan kedua sahabat itu satu sama lain. Ya ya ya friendzone atau apalah itu.

Namun, Gery tak peduli. Ia menginginkan Gina menjadi miliknya. Seutuhnya.

Seringai jahat muncul pada wajah Gery kala melihat Gina yang berjalan bersama cewek manis yang Gery ketahui bernama Kiya.

Good. Sore ini mereka bertemu di titik kampus yang tak begitu ramai. Gery lalu berjalan cepat menghampiri Gina dan Kiya.

Langkah Gina dan Kiya tercekat atas kehadiran Gery yang begitu tiba-tiba.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Kiya tajam. Sebenarnya, ia juga takut berhadapan dengan cowok brengsek ini.

"Gue mau ngomong sama Gina," ujar Gery santai kemudian melayangkan senyumannya pada Gina yang langsung membuang muka.

"Gue sibuk," sahut Gina dingin sembari menarik tangan Kiya untuk menjauh.

Namun, Gery menahan tangan Gina dalam genggaman. Seperti tersengat listrik, Gina langsung melepaskan tangannya dari genggaman Gery. Tak ingin Gery menyentuh kulitnya barang sedikit pun.

"Lo harus dengerin gue dulu, Na." Gery mulai memohon.

Gina benar-benar sudah kebal dan tak tertipu dengan sandiwara busuk Gery.

"Nggak ada yang harus gue denger lagi dari lo." Gina kembali menarik tangan Kiya untuk meninggalkan Gery. Bisa Kiya rasakan di balik tembok kuat yang Gina bangun, gadis itu sangat takut bertemu secara langsung dengan Gery.

"Lebih baik lo pergi," ujar Kiya sambil menahan Gery untuk mendekat.

"Tapi urusan gue sama dia belum selesai." Gery menyahut tajam. Menatap Kiya dengan kedua mata elangnya. "Atau lo yang mau selesain urusan dia sama gue?" bisik Gery sambil mendekatkan wajahnya pada Kiya.

Kiya langsung memundurkan wajahnya yang pucat pasi. Gery benar-benar menyeramkan.

"Urusan kita udah selesai!" Gina berkata tegas terlebih karena melihat perlakuan Gery pada Kiya. Namun, Gery kembali meraih tangan Gina secara paksa. Membelenggunya dalam sebuah genggaman kuat.

"Lepasin nggak lo?!" Dari belakang, tiba-tiba sebuah tangan menarik bahu Gery hingga genggamannya pada Gina terlepas.

Tak tahan lagi menahan akumulasi amarahnya yang telah tersimpan lama, Dion melayangkan satu pukulan telak di wajah Gery hingga ujung bibir cowok itu berdarah.

Gery menggertakkan gigi. Tidak terima atas perlakuan Dion, cowok itu memberikan balasan serupa sama kuatnya.

"Dion!" Gina berteriak melihat Dion yang terhuyung karena Gery memukulnya tepat di ulu hati. Sedetik kemudian Dion dan Gery terlibat dalam ajang saling pukul.

Di sisinya, Kiya menahan Gina untuk tidak mendekati pertarungan itu.

"Sekali lagi lo ganggu Gina, abis lo sama gue!" desis Dion tajam.

"Apa urusannya sama lo? Lo cuman temennya, kan?" Gery menyeringai remeh. "Bibirnya manis kalau lo mau tau," bisik Gery tepat di telinga Dion.

Sebuah kebohongan yang membuat emosi Dion semakin tersulut. Nyatanya, Gery tidak sempat mencium Gina malam itu karena Gina telah menonjoknya. Namun, ucapan provokatif Gery membuat Dion kesetanan.

"Bangsat!"

Bagai kerasukan, Dion memukuli Gery dengan membabi buta. Gery terjerembab di atas tanah dan mengerang kesakitan. Dion benar-benar lawan yang tangguh.

Di tempatnya berdiri, Gina menutup mulutnya karena syok. Mata gadis itu berkaca-kaca. Ia tak tau harus melakukan apa. Perasaannya sungguh tak karuan. Ini pertama kalinya Gina melihat Dion seemosi itu. Dion terlihat berbeda dan kehilangan kontrol.

Dion yang kalap menekan lututnya di atas tubuh Gery yang terbaring di tanah. Gery tertawa seperti orang gila merasakan sakitnya. Urat Dion menegang dan rahangnya terkatup rapat. Kedua mata Dion menyala-nyala sambil menghunjam Gery dengan pukulan penuh emosi.

"Dion udah!" teriak Gina. Kiya juga mencoba menghentikan Dion. Tapi Dion menulikan telinganya dan terus melayangkan tinju.

Juli dan Pilip yang baru saja hadir lantas bergerak untuk memisahkan Dion dari Gery. Tapi Dion tak gentar. Pilip dan Juli bahkan kewalahan menghadapi Dion.

Gina melepaskan diri dari genggaman Kiya dan menarik Dion dengan sekuat tenaga tetapi Dion bagaikan robot yang tak bisa dihentikan.

"Yon! Gue mohon udah!" seru Gina. Air mata telah mengalir deras dari pipinya.

"Dion gue mohon udah! Lo bisa bunuh dia!" Gina berteriak keras yang lantas membuat pukulan Dion terhenti. Dion berdiri sempoyongan sambil melihat Gery yang terbatuk-batuk karena pukulannya.

Dion mengacak rambutnya dan memandangi tangannya sendiri tak percaya.

"Yon ...."

Tanpa berkata apa pun, Dion memeluk Gina erat-erat. Mencoba meredam emosi dan menjernihkan pikirannya.




Bersambung.

Hehe.

Panjang kan.

Panjang dong.

Tenang Gery salut nggak bakal kenapa-napa walaupun kadang gue mau dia kenapa-napa.

Oh, iya mengenai terbitnya Fangirl Enemy, mohon doanyaaa yaaaak. Dan juga ... Halal Zone ini sequel Fangirl Enemy versi wattpad yaaak. Kalau versi novel ... hm gataudeeeh 😂

Udah liat Dion potong rambut? Liat instagramnya -> @dionangkasa_

Sebelum status On-Hold ilang dari samping judul jangan berharap gue apdet cepet. Coba doain aja gue bisa cepet apdet dan komentar kalian yg nyemangatin gue itu vitamin banget sumpaaah. Alapyupul!

Best Regards, Iin 😸

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top