10 - Boom!

Seanggun warna senja menyapa
Bersambut musim yang dijalani
Semegah bintang penuh harapan

Mencoba 'tuk terangi
Dalam gelapnya malam
Ungkapanku untuknya
Untuk seorang wanita
Yang kupuja dan kupuji
Takkan kurasa jenuh
Dirinya di hatiku

(Lima Indera - Ungkapan Hati)

Dion kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling. Cowok itu bersyukur bahwa penonton yang datang pada malam ini melebihi ekspektasinya. Malam berjalan semakin larut. Lagu tadi merupakan lagu terakhir yang Dion bawakan. Namun, sosok yang ia harapkan tak kunjung muncul. Dion harus menyanyikan lagunya dengan menelan pahit rasa kecewa. Ia mesti bersikap profesional dan menghibur semua penonton yang telah hadir untuk melihat penampilannya.

"Pecah banget gigs lo, Yon! Gila, sepupu gue musisi!" seru Kiya heboh setelah pertunjukan Dion benar-benar berakhir.

"Yoi! Mantap-mantap. Lagu terakhir lagu jaman dulu banget dah. Tapi liriknya bujubuset. Puitis bener. Spesial buat seseorang ye, Yon?" Juli memberondong Dion dengan pertanyaannya.

Mendengar itu, Dion hanya terkekeh seraya menenggak habis air mineral yang ada dalam genggamannya. Peluhnya berjatuhan. Dion melepas kemeja yang ia kenakan menyisakan kaos lengan pendek berwarna hitam polos. Kedua tangan Dion tergerak untuk mengipaskan bagian bawah kaosnya dan membuat bagian perutnya mengintip. Mungkin Dion tak mempunyai abs kotak-kotak seperti papan penggilasan, tapi perut Dion juga tak buncit dan hal itu membuat cewek-cewek yang tidak sengaja melihatnya ingin menjerit karena Dion jadi terlihat begitu seksi saat ini.

"Tapi kok Gina nggak ada, ya?" tanya Pilip heran. Biasanya Gina tak pernah absen menonton penampilan Dion.

"Hey, Dion," sapa Celia membuyarkan pikiran Dion mengenai Gina. "Penampilan lo keren banget tadi."

Dion menyambut uluran tangan Celia dan tersenyum ramah. "Makasih udah datang, Cel."

Celia mengangguk dan merona malu. Ia sudah lama menaruh hati pada Dion dan selalu berusaha untuk ada di dekat cowok itu.

Dion masuk organisasi BEM, ia juga mengekor masuk BEM meski Celia sendiri tak terlalu suka menjadi bagian sebuah organisasi yang begitu menyita waktu. Namun, tak apa. Cinta memang butuh perjuangan, bukan?

Gadis berambut panjang itu juga sering meminta Dion untuk mengajarinya memainkan alat musik gitar. Ya ... meski hal itu belum pernah terlaksana karena Dion selalu menolak secara halus dan tak bisa meluangkan waktu untuknya. Celia sadar, ia bukanlah seseorang yang masuk dalam prioritas Dion. Tapi Celia yakin selama ia berusaha, Dion pasti akan luluh pada nantinya.

"Gue balik dulu, ya. Udah malam banget," ujar Celia. Sebenarnya, ia sedang melayangkan kode berharap Dion akan mengantarkannya pulang.

"Pilip, lo anter Celia gih. Kasian udah malem," ujar Dion seraya mengemasi barang-barangnya.

"Kok gue?" Pilip bicara tanpa suara. Dion mengirimkan sinyal pada Pilip untuk tak membantah. Sebenarnya, Dion juga tak ingin Pilip terus-terusan menahan perih melihat Kiya dan Juli bersama.

Pilip kemudian menyerah. Lagipula tak ada salahnya jika ia mengantarkan Celia. "Oke, gue anterin ya, Cel?"

Celia terlihat berpikir sebelum mengiyakan. Meski hatinya seutuhnya jatuh pada Dion tapi Pilip jauh lebih baik jika dibandingkan dengan supir taksi.

"Thanks banget kalian udah dateng. Gue cabut ya, buru-buru." Dion meraih ranselnya dengan gerak tergesa kemudian berlari keluar.

"Hati-hati, Yon!"

"Yo!" seru Dion melambaikan tangannya tanpa melihat ke belakang lagi. Dion ingin segera sampai kosan dan meneror jendela Gina, menanyakan mengapa gadis itu tak bisa hadir menonton penampilannya.

Apalagi Gina tadi berkata bahwa ia sudah dalam perjalanan. Apa jangan-jangan Gina terlibat kecelakaan? Dion sontak mengusir prasangka buruk tersebut.

Tak apa, tak apa jika Gina tak datang ke gigs-nya malam ini, Dion hanya berharap Gina baik-baik saja. Semoga gadis itu baik-baik saja.

Kiya, Juli, Pilip dan Celia juga meninggalkan tempat itu. Pilip melirik ke arah Kiya dan Juli yang sudah berada di dalam mobil. Dua sejoli itu tampak tertawa bersama. Ah, indahnya  mereka yang saling mencintai.

"Pilip-pilip! Hati-hati bawa anak orang!" pesan Kiya setelah menurunkan jendela mobil dan melambaikan tangan pada Pilip. Di samping Kiya, Juli juga melambaikan tangan kemudian mobil mereka pun berlalu.

Pilip tersenyum dan turut melambaikan tangan. Kemudian cowok bermata sipit itu membukakan pintu mobil untuk Celia. Memasuki mobil dan duduk nyaman di kursi kemudi. Mobil Jeep milik Pilip pun melaju. Pilip berdeham mengusir rasa canggung karena satu mobil dengan Celia.

Celia Xaviera, Pilip tahu gadis ini begitu menyukai Dion. Namun, Dion sudah sangat mantap dengan pilihannya walaupun dengan cara yang terbilang aneh. Dion tak bisa lagi melihat perempuan lain meski secantik Celia sekalipun.

"Lo sejak kapan kenal sama Dion?" tanya Pilip mengawali.

Celia tersenyum tipis menoleh ke arah Pilip. "Hm ... dulu waktu Dion belum gondrong, dia ngasih payungnya ke gue dan dia sendiri lari menembus hujan. Gue sempat berpikir Dion suka sama gue, tapi ternyata Dion emang baik ke semua orang."

"Tapi lo tau kan Dion suka sama siapa?" Pilip bertanya lagi.

Celia mengangguk dan mengulas senyum kecut. "Gue tau, tapi gue nggak akan menyerah."

"Dion punya prinsip yang kuat dan konsisten dengan apa yang dia pilih dan yakini. Dan memaksakan hanya akan menyakiti diri lo sendiri. Gue harap lo bisa cari kebahagiaan lo," ujar Pilip serius.

Celia terdiam, perkataan Pilip terasa benar. Bukan waktu yang sebentar ia mencoba mendapatkan hati Dion. Tapi tak kunjung berhasil. Dion hanya menganggapnya seperti teman yang lain. Tak ada sesuatu yang istimewa.

Diam-diam, Pilip merasa simpati pada Celia. Mencintai orang lain yang hatinya telah tertawan oleh orang lain memang teramat menyesakkan.

Seperti dirinya sendiri yang berusaha keras mengikhlaskan Kiya untuk Juli. Tapi tentu tak semudah rangkaian kata. Hal ini harus dilakukannya. Kendati sulit, ia harus melakukannya. Jika ia ingin menemukan kebahagiaannya, ia harus melakukannya.

***

"Ibu ngapain tengah malem begini di luar?" Kening Dion terlipat mendapati ibu kos yang mondar-mandir di depan pagar.

"Tadi kan Gina dijemput sama si Gery-Gery itu, tapi dia belum pulang. Kamu nggak sama Gina?" tanya Astuti khawatir.

"Gina nggak dateng ke gigs Dion, Bu. Tadi dia bilang udah di jalan, tapi Dion juga bingung kenapa nggak nyampe-nyampe." Alarm bahaya dalam tubuh Dion sontak menyala memberikan peringatan. "Ibu sekarang masuk aja. Biar Dion yang nyari Gina."

Setelah Astuti masuk, Dion menempelkan ponselnya ke telinga mencoba menelepon Gina. Tak diangkat. Dion tak menyerah hingga panggilannya tersambung saat percobaan yang ke lima.

"Lo di mana, Nang?!" seru Dion cemas.

"Y-yon ...." Dari getir dalam suaranya, Dion dapat memastikan kini gadis itu sedang menangis.

"Nang, lo baik-baik aja? Sekarang lo di mana? Tunggu di situ. Gue ke sana sekarang!"

Dion melajukan motornya secepat yang ia bisa menuju tempat yang Gina utarakan. Sesampainya di sana, hati Dion mencelos melihat Gina yang duduk di sebuah halte tanpa menggunakan alas kaki. Gadis yang sedang tersedu itu mengangkat kepala ketika menyadari deru motor Dion yang tiba di hadapannya.

Dini hari ini, malam semakin larut dan begitu sepi. Udaranya dingin seolah menusuk tulang. Hanya rembulan dan bintang-bintang yang menemani.

"Y-yon ...." Gina terisak melihat Dion yang sudah berdiri di hadapannya. Mata Gina bengkak dan hidungnya sungguh merah. Dion melepaskan jaketnya dan menyuruh Gina untuk mengenakannya.

"Gery ... dia ...." Gina terbata-bata. Air matanya kian deras. Rongga dadanya seolah terhimpit sampai gadis itu merasa sulit untuk bernapas. "D-dia bawa gue ke hotel," lirih Gina dengan kepala tertunduk dalam.

Tangan Dion mengepal. Rahangnya juga mengatup kuat. Andai saja ia tak memikirkan kondisi Gina yang membutuhkannya, Dion ingin menyerang Gery dan memberikannya pelajaran saat ini juga. Dion meraih pergelangan tangan Gina yang memerah karena bekas cengkeraman kuat yang Gery sebabkan.

"Terus gimana? Lo nggak kenapa-napa, kan?" tanya Dion khawatir.

Kepala Gina lantas mendongak. "YA GUE TONJOK, LAH!"

Dion terpana seperkian detik mendengar seruan penuh emosi itu sebelum meraih Gina ke dalam pelukannya. "Cewek pinter, cewek pinteeer," ujar Dion dengan perasaan yang benar-benar lega. Dion mengusap-usap rambut Gina berusaha menenangkan.

Gina semakin tersedu. Bayang-bayang Gery yang begitu menakutkan terlintas dalam benaknya. Cowok itu berusaha menciumnya secara paksa. Namun, Gina berusaha keras menghindar dan berhasil kabur setelah memberikan hadiah sebuah tampolan keras pada cowok itu.

"Dia kira gue cewek apaan coba? Brengsek! moga tuh bajingan impoten! Dasar anj—" maki Gina dengan air mata yang masih tumpah ruah membasahi baju Dion.

"Udah-udah-udah," sela Dion sambil mengeratkan pelukannya. "Sekarang lo aman sama gue. Lo nggak akan kenapa-napa."

Tangis Gina semakin meledak. Semarah apa pun Gina kelihatannya, sekasar apa pun makian yang ia lontarkan saat ini, Dion tahu Gina menyimpan ketakutan yang teramat besar. Terbukti dengan tangan gadis itu yang gemetar hebat. Sesuatu yang biasa timbul ketika Gina dilanda ketakutan.

"Lo mau ... kita lapor polisi?"

Gina lantas menggeleng cepat. "Nggak! Gue nggak mau lagi berurusan sama dia. Gue nggak mau lagi ketemu dia!"

"Oke-oke," ujar Dion mengangguk. Setelah Gina cukup tenang, Dion mengurai pelukannya dan menghapus air mata gadis itu.

"Sepatu lo ke mana?"

Gina mengedikkan bahu. Sepatunya telah hilang entah ke mana dalam pelariannya tadi.

"Harusnya tadi gue langsung ke gigs lo aja, Yon. Harusnya gue nggak ketemu dia ...." Gina kembali tersedu sedan.

"Iya-iya nggak pa-pa. Sekarang lo ambil hikmahnya aja, Nang."

"Hikmah apaan coba?!" Gina tergugu. "Baru juga gue ngebuka hati lagi. Hati gue malah diancurin berkeping-keping ketemu cowok brengsek kayak dia. Gue kira berpenampilan kayak gini gue bakal dipandang lebih sama cowok. Mereka bakal notice gue, ngehargain gue. Tapi nyatanya enggak, Yon. Enggak ...."

"Lo cuma ketemu sama orang yang salah, Nang."

"Kenapa sih gue selalu ketemu sama orang yang salah?" Suara Gina terdengar putus asa. "Kapan gue ketemu sama orang yang tepat?"

"Orang itu ... akan datang di waktu yang tepat," ujar Dion sungguh-sungguh.

Dan gue harap orang itu adalah gue.

Ponsel Gina berdering. Gina membersit hidung dan membelalak menyadari bahwa itu panggilan dari mamanya. Mengapa mama meneleponnya selarut ini?

"Lo mau gue yang angkat?" tanya Dion menawarkan.

"Nggak, biar gue aja." Gina kemudian menyambut panggilan itu. "Halo, Ma? Fila nggak kenapa-napa kok. Iya ini hidung aku lagi meler. Iya, kuliah aku lancar kok. Nggak ada masalah. Aku baik-baik aja, Ma."

Gina menggigit bibirnya. Mamanya berkata bahwa beliau memiliki firasat buruk dan begitu mengkhawatirkannya.

"Mama pasti kecewa sama gue kalau tau hal ini, Yon ...." Gina kembali tersedu setelah panggilannya bersama sang mama berakhir. "Harusnya gue ke sini kuliah bener-bener. Bukannya malah mikirin cowok melulu."

"Udah, sekarang lo nggak usah mikirin hal yang nggak penting kayak gitu lagi, oke? Sekarang lo fokus sama kuliah lo, lo harus fokus buat mama dan almarhum papa lo bangga."

Mendengar perkataan Dion, Gina lantas mengangguk dengan patuh.

"Kita sama-sama jauh dari orang tua. Di sini kita nggak punya siapa-siapa. Maka dari itu gue ngerasa ... di sini gue cuma punya lo dan lo juga cuma punya gue. Gue nggak mau lo kenapa-napa."

Gina terhenyak memandang Dion yang sedang menatapnya serius.

Dan ... Gina merasa Dion merupakan orang terbaik yang pernah datang di kehidupannya.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
(Q.S. Al-Baqarah [2] :216)

Halal ❤ Zone

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top