1 - Rengginang Poli
Seorang cewek duduk dengan posisi kaki bersila di atas kursi menghadap layar laptop yang terletak di meja belajarnya. Kesepuluh jari cewek dengan rambut dicepol asal itu menari-nari pada permukaan keyboard. Kalimat demi kalimat yang ia rangkai menyatu dengan sempurna.
Gerak jemarinya terhenti sejenak untuk membetulkan letak kacamata minus berbingkai bulat sempurna dengan gaya vintage, serupa dengan jenis kacamata yang dipakai oleh musisi ternama John Lennon atau aktor ganteng Daniel Radcliffe saat memainkan peran sebagai Harry Potter.
Gadis itu mendengar suara sekaligus hawa panas yang timbul dari uap rice cooker yang berada di samping bawah meja belajar. Sadar akan hal tersebut, ia langsung membungkuk untuk mengambil bagian dalam rice cooker berisikan mie instan yang telah matang.
"Auw!" Gadis itu meniup jari-jarinya yang terasa panas usai meletakkan bagian dalam rice cooker ke atas meja. Mengabaikan nasib jari-jarinya yang serasa terbakar, cewek itu memamerkan gigi gingsulnya untuk mengoyak bagian ujung bumbu mie instan.
Aroma menggiurkan dari mie instan yang telah tercampur bumbu memenuhi indra penciumannya dalam sekejap. Cewek itu berdecak kagum dengan mata penuh binar. Seolah-olah mie instan di hadapannya adalah suatu hidangan mahakarya seorang chef hotel berbintang.
Dengan gerakan antusias, cewek itu mulai melahap mie instan yang sudah ia pindahkan ke atas mangkuk. Lamat-lamat merasakan setiap kenikmatan yang tiada tara dari mie instan tersebut.
"NAAAAAAANG!"
Sebuah suara menggelegar dan ketukan-ketukan menyebalkan yang berasal dari luar jendela kamar kosnya membuat cewek itu mendelik dan mengunyah dengan kesal. Ia mencoba tak mengindahkan suara-suara rusuh tersebut dan melahap mie instan buatannya yang begitu maknyus. Namun, seruan demi seruan itu terus saja terdengar.
Gadis itu bangkit berdiri dengan malas dan tak lupa membawa mangkuk mie instan turut serta. Ia berjalan dengan kaki yang dihentak kesal. Sambil melangkah, cewek itu masih saja sempat untuk memasukkan satu suapan mie yang melilit pada garpu.
BRAK!
Jantung Dion nyaris keblinger kala cewek bernama lengkap Firstya Angginafila itu membuka jendela dengan cukup keras.
"APAAN SIH, YON?! BERISIK!" seru Gina garang setelah mie instan di mulutnya tertelan. Kemudian menaruh asal mangkuk mie yang telah tandas tanpa sisa ke atas lemari kecil yang tak jauh dari tempat ia berdiri.
"Nang, entar aja lo marah-marahnya. Sekarang, lo harus menyelamatkan nyawa gue! Hanya elo satu-satunya harapan gue, Nang!" cerocos Dion dengan wajah penuh pengharapan.
Di tangan cowok itu tergenggam sebuah sapu yang tadi berfungsi untuk mengetuk jendela kamar kos Gina. Jendela kamar kos Gina hanya berjarak kira-kira satu setengah meter di seberang jendela kamar kos Dion. Ya, bangunan kos-kosan mereka memang berdiri berdampingan. Kos Gina merupakan bangunan terakhir kos-kosan khusus perempuan dalam deretan itu. Dimulai dari bangunan kos Dion, sampai ke ujung jalan sisanya merupakan kos khusus untuk laki-laki.
Kening Gina kontan terlipat. "Jangan bilang ...." Sekarang, ia mulai menebak-nebak maksud dari perkataan Dion. "Gue ke sana!"
Gina meraih celana training yang tersampir di atas kasur dan mengenakannya dengan gerakan tergesa. Gadis itu meluncur menuruni tangga dengan duduk menyamping di atas hand railing. Gina menutup pintu setelah keluar. Kos khusus perempuan yang ia tempati saat ini begitu sunyi karena rata-rata semua penghuni telah berangkat kuliah atau bekerja. Sedangkan Bu Astuti, pemilik indekos ini sedang berbelanja ke pasar pagi.
Tidak ada kata yang bisa menggambarkan penampilan Gina sekarang selain kata 'absurd'. Gadis itu memakai daster lengan pendek bergambar Monokorubo selutut yang dipadukan dengan celana training.
"Allahu Akbar!" Juli yang baru saja keluar dari kamar mandi kontan dibuat kaget dengan kehadiran Gina yang begitu tiba-tiba. Cowok itu memegangi handuk yang tersampir di pinggangnya agar tidak melorot.
"Pagi, Bray!" sapa Gina sebelum menaiki tangga menuju kamar Dion. Namun, cewek itu kembali mundur menuruni anak tangga dan melongokkan kepala ke arah Juli.
"Leher belakang lo masih ada sabun tuh! Mandi tuh yang bersih, Ijul!" Usai mengatakan itu, Gina kembali berlari untuk menunaikan misinya.
"Kayak lu sendiri udah mandi aja, Na!" Cowok blasteran Betawi-Belanda itu memeriksa bagian belakang lehernya dan meringis menyadari perkataan Gina benar adanya. "Nama gue Juli, bukannya Ijul!"
Juli mendengus sebelum kembali memasuki kamar mandi. Gina hanya terkikik mendengar seruan cowok bernama lengkap Julian Kenneth Rojali itu dari lantai bawah. Larinya kemudian terhenti secara mendadak begitu sampai di tempat tujuan.
"Mana makhluk bedebah itu, Yon?!" seru Gina setelah memasuki kamar Dion dengan gagah berani layaknya petugas polisi yang sedang melakukan penyergapan. Sang pemilik kamar sendiri kini sedang berdiri di atas kasur sambil memegangi sapu.
"Itu, Nang. Sebelah situ!" seru Dion ketika dua kecoak berjalan cepat di sekitar kaki Gina. Menyadari keberadaan hewan kecil tersebut, Gina lantas berusaha memusnahkan kedua makhluk itu dengan seluruh kekuatan.
Gina mulai memukulkan sapunya. Namun, meleset sodara-sodara! Makhluk kecil berbahaya itu dapat berkelit dan menyelamatkan diri. Sekarang, kecoak itu malah berpencar dan salah satunya kabur ke arah tempat tidur Dion.
"Pukul di sana, Yon!"
Masih berdiri di atas kasur, Dion mengikuti perintah Gina dan memukulkan sapunya ke arah kecoak itu. Jangan harap Dion akan menginjakkan kaki ke lantai yang sama dengan makhluk tersebut berada.
Ia tidak takut dengan kecoak, hanya agak agak agak sedikit geli. Percayalah.
"Lo berdua ngapain pagi-pagi begini rusuh amat?" tanya Pilip yang kebetulan lewat ingin ke kamar mandi. Kamar cowok itu berada di bagian paling ujung lantai dua kos ini.
"Yoi, gue hampir jantungan liat lo, Na," timbrung Juli yang baru saja naik ke lantai atas.
Gina melirik Pilip dan Juli yang berdiri di bibir pintu kamar Dion. Gadis itu menggelengkan kepalanya. Otot perut Juli yang bertelanjang dada membuat Gina hampir kehilangan fokus. Cowok itu terlihat kian seksi karena menyuar rambutnya yang basah sehabis mandi. Lain hal dengan Pilip, cowok sipit berbadan jangkung itu tampak begitu imut karena baru bangun tidur.
Stop, Gina. Ingat alasan mengapa kau berada di sini! batin gadis itu seolah memperingatkan.
"Itu, ada kecoak!" jawab Gina akhirnya sambil kembali memukulkan sapu ke lantai. Tapi kecoak itu malah mengaktifkan mode terbangnya!
Pilip, Juli dan Dion lantas berteriak macam abang-abang hansip yang baru ketemu sundel bolong pada serial horor TV zaman dulu. Tanpa basa-basi lagi, Pilip dan Juli langsung ngacrit dari depan kamar Dion. Sedangkan Dion telah berlindung di balik tubuh Gina.
Gina menarik napas kasar. Memang tak ada satu pun dari penghuni kos laki-laki ini yang berani dengan makhluk bernama kecoak.
Maka dari itu, Dion selalu membutuhkan bantuan Gina sebelum dia kenapa-napa. Sebab, Dion sempat dilanda trauma akut karena kecoak itu pernah menjamah kulitnya dengan masuk ke dalam kaos oblong yang ia pakai saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini.
Gina mendelik ke arah Dion yang menjadikan dirinya tameng dan menggenggam sisi dasternya dengan kuat. Persis bocah kecil yang berlindung pada sang emak saat lagi dikejar mantri sunat.
Dion menyengir dan kembali merapatkan diri ke dinding. Ia berdeham dengan suara yang berat lalu memberi instruksi pada Gina tentang keberadaan dua kecoak itu. Gina kontan mencibir melihat Dion yang sedang memerintahnya.
"Mayor, cepat laksanakan!" Dion berseru tegas. "Tenang, di sini Letnan Kolonel akan membantumu dengan do'a."
Gina terus mendengus melihat Dion yang terkekeh mengesalkan.
"Hiat-hiat! Mampuslah kau!"
Gina menggunakan sendal jepit sebagai senjata. Akhirnya, ia berhasil membuat para kecoak keok. Makhluk itu telah mengembuskan napas terakhir akibat tampolan sendal jepit Gina yang sama sekali tidak berperi ke-kecoa-an. Dion bergidik melihat Gina mengambil dua kecoak yang telah tak sadarkan diri itu dengan tangan kosong dan membuangnya keluar jendela.
Setelah mencuci tangan menggunakan sabun, Gina terkaget-kaget saat Dion melompat turun dari atas kasur ke hadapannya. Cowok itu menggunakan sapunya sebagai gitar dan mulai bernyanyi.
"Penyelamat, pemberani, Rengginang Poli .... Panggil saja dan dia pasti akan segera datang .... Sahabat semua, Rengginang Poli ... Selalu menolong saat butuh bantuan .... Ginang! tepat dan pemberani, Ginang! Dia yang paling kuat! Ginang—"
Dion menyanyikan lagu yang diadaptasi dari theme song kartun favoritnya bersama Gina yaitu Robocar Poli. Gina turut bernyanyi sembari memegangi sapunya sebagai microphone. Biasanya, mereka berdua bakal menonton kartun itu di tempat fotokopian Bu Astuti yang berada di depan kos-kosan. Bu Astuti adalah pemilik sah dari bangunan kos mereka berdua.
"Terimakasih, Rengginang Poli!" Dion membungkuk 90 derajat ke arah Gina.
Gina mengangguk-angguk menerima penghormatan Dion. Tetapi pada detik berikutnya, Dion mengaduh-aduh kesakitan karena Gina yang memukuli bahunya dengan membabi buta.
"Ampun, Nang! Ampuuun!" Dion berusaha menghindar dari serangan Gina.
"Lo tuh ya, Yon! Badan gede, rambut gondrong, sama kecoak takut!"
Sejak jadi mahasiswa, Dion memang sering bergonta-ganti model rambut. Dari model semi gundul masa Ospek hingga jenis rambut belah tengah bergelombang kayak tokoh drama korea Goblin, yang sempat membuat Gina mau mimisan tiap kali memandangnya. Ia juga pernah menjelma sebagai cowok pomadic yang selalu tertata rapi. Inti dari pembahasan ini adalah, apa pun model rambutnya, sahabatnya itu tetap saja terlihat rupawan dan sedap untuk dipandang.
Seperti sekarang, ketampanan surgawi Dion tidak berkurang seuprit pun kendati rambut cowok itu dibiarkan gondrong sampai menyentuh bahu. Tipikal model rambut mahasiswa senior dengan muka sangar. Cocok sekali dengan hobi Dion yang senang demo di jalanan.
Namun, sesangar apa pun penampilannya, Dion tetap saja takut dengan hewan bernama kecoak.
"Gue ya, Nang. Mending balap karung sama ular sanca ke mana-mana daripada pada ketemu kecoak terbang!"
Gina lantas menjitak cowok di depannya. "Yaiyalah, ular sanca mana bisa balap karung!"
Dion tertawa. Kemudian bicara mengalihkan bahasan. "Lo kuliah, Nang?"
"Jam berapa udah?" Gina melirik weker yang berada di atas nakas tempat tidur Dion. "Ya ampun, 45 menit lagi!" seru Gina panik.
Kedua alis Dion menyatu. "Itu masih lama, Angginafila," komentarnya.
"Gue belum mandi, belum ngeprint tugas. Terus, yang masuk nanti itu dosen killer! Telat sedetik aja gue nggak boleh masuk. Sia-sia dong, gue begadang ngerjain tugas!" cerocos Gina kelabakan. Cewek itu kemudian berlari untuk keluar dari kamar Dion. Namun, dalam hitungan detik Gina kembali memutar langkahnya.
"Ehhh! Yon, Yon! Gue minjem baju lo, dong. Yang mana aja dah. Baju kuliah gue udah ludes. Masa gue kuliah pake daster."
"Makanya, kalau punya jemuran itu diangkat, pinteeer." Dion mengambil salah satu kemeja flanel yang tergantung di lemari dan melemparnya ke arah Gina.
"Iya ah, babaaaay!" Gina berseru dan melesat keluar.
Suara rusuh langkah gadis itu terdengar begitu jelas. Tak membutuhkan waktu yang lama bagi Dion untuk kembali melihat sosok Gina di seberang jendelanya.
"Nang!" panggil Dion. Tak lupa ia mengetukkan sapunya ke arah jendela kos Gina.
"Apaan lagi, Dion Awan Angkasa Raya Memuji?" tanya Gina hampir teriak. "Lo disamperin hantu kecoak gentayangan?"
"Yeu, Rengginang Poli. Sini biar gue yang ngeprint tugas lo. Lo mandi aja sana."
"Wadaw! Serius, Yon?" Mata Gina membulat penuh suka cita. Gadis itu lantas mengambil flash disk yang telah berisikan dokumen tugasnya dalam bentuk soft file. "Iyoncu! Ailopyu baby, mwah!"
"Najisun. Cepetan mandi sana!" seru Dion setelah menangkap flash disk yang Gina lemparkan dari jendela seberang.
Gina menyengir lebar menampilkan gigi gingsulnya. Gadis itu langsung grasah-grusuh menuju kamar mandi. Dion hanya geleng-geleng kepala dan beranjak untuk duduk di meja belajarnya. Menyalakan laptop lalu memasukkan flash disk milik Gina. Dion memeriksa dokumen tersebut sekaligus menjaring typo yang ada. Gina memang mengerjakan tugas itu dengan sangat terburu-buru karena dikejar deadline. Setelah selesai dengan sempurna, Dion mengaktifkan printer yang telah tersambung dengan laptop. Jarinya menekan CTRL+P pada permukaan keyboard. Lalu, oke!
Sehabis mandi, Gina lantas mengenakan pakaian. Ia menggulung lengan kemeja flanel milik Dion yang membuat telapak tangannya tenggelam. Kemeja flanel itu ia padukan dengan celana jeans. Beres.
Ah iya, ponsel!
Aduh, Gina lupa di mana ia menaruh benda very very important tersebut. Gina mengobrak-abrik isi kamar untuk mencari keberadaan ponsel semata wayangnya. Kegiatan pencarian itu membuat kamar Gina semakin porak poranda.
Daun telinga Gina melebar kala mendengar nada dering ponselnya. Ia langsung menuju ke sumber suara. Yeah, dapat! Ternyata ponsel itu tergeletak di kolong tempat tidur.
Mengambil posisi tiarap, Gina menggapai ponselnya yang terus berdering. Gina kontan mengaduh karena kepalanya sempat membentur kaki tempat tidur. Ada sebuah nama yang tertera pada layar ponselnya.
Panggilan Masuk
📲 Maz Gebetan📞
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top