trims udah jadi pasanganku
Dion menyapu wajahnya menggunakan handuk kecil sehabis cuci muka dan menyikat gigi. Mata Dion terlihat masih diserang kantuk. Cowok itu menggaruk pipi sambil berjalan ke arah dapur.
Setelah pulang dari masjid usai salat shubuh, sekitar jam enam pagi Dion kembali melanjutkan tidur karena kemarin malam dia tidur cukup larut untuk mengerjakan jurnal.
Senyum Dion terbit hingga matanya menyipit melihat Gina yang sibuk di depan pantry. Langkah Dion terayun dan berdiri tepat di belakang Gina.
"Masak apa, Bro?" tanya Dion sambil sesekali menghirup aroma rambut Gina harum mewangi sampo yang alami-alami sohib rambutku.
Gina mengulum senyum. "Masak ayam, Bro," sahut Gina sebelum mencicipi masakannya. "Cobain, kurang apa?"
Gina mengulurkan sendok ke arah Dion yang lantas mengalihkan kepala ke arah bahu Gina agar istrinya itu bisa menyuapinya dengan mudah.
Dion berkonsentrasi menggunakan indra pengecapnya. Matanya lalu berbinar. "Nggak kurang apa-apa. Udah pas. Enak."
Gina lalu mematikan kompor. "Udah sikat gigi, kan? Makan dulu sini."
"Gue maunya makan lo gimana, dong?" Dion memajukan wajah secara mendadak. Mampus, Gina gugup setengah metong. Pipinya langsung merah. Mana nggak bisa mundur lagi soalnya udah mentok depan kulkas.
"Lo mau digetok pake wajan?!" Gina berseru galak.
Dion berdecak sambil geleng-geleng. "Laki mah dicium, Nang. Bukan digetok."
Wajah Gina makin panas. "Iya, dicium pake teflon!"
Dion cemberut lalu menegakkan tubuhnya. Gina mengerjap-ngerjap saat Dion melengos menjauh darinya. Romannya-romannya ada yang ngambek nih.
Gina menggigit bibir. "Yon ...."
"Hm?" sahut Dion acuh tak acuh.
"Makan dulu ...."
"Nggak ah, ngantuk."
Gina berjalan cepat menyusul Dion dan meraih tangan suaminya itu. "Makan ayo."
Dion menggeleng. Mukanya masih asem banget.
"A'a...." Gina menggoyang-goyangkan tangan Dion yang ada dalam genggamannya.
Mata Dion membulat mendengar panggilan Gina untuknya. Ia menahan senyuman melihat Gina yang mengerjap seperti anak kecil.
"Ya udah cium sini ya?" Gina menunjuk kening Dion lalu mengecupnya singkat. "Mwa."
"Di sini." Dion menyentuh bibirnya dengan jari telunjuk.
"Geli banget Dion, ih!"
Dion bergeming, menahan senyuman. Kenapa sih istrinya ini menggemaskan sekali?
"Di sini aja ya." Gina lalu mengecup pipi kanan dan kiri Dion. "Dah ya, suamiku. Ayo makan duluuu."
"Entar di sini ya." Dion menunjuk bibirnya lagi.
Mata Gina mengerling jail. "Hmmm, iya nantiii."
"Janji, lho."
"Ishhh, Diooon!"
Dion mencubit pipi Gina gemas dan mengikuti Gina yang menariknya duduk. Meja makan mereka telah tersaji nasi, lauk dan tumisan yang Gina masak sendiri. Mereka duduk berhadapan dan menadahkan tangan. Lalu melantunkan doa makan sama-sama persis kayak anak PAUD.
"Hm, enaaak." Dion bertepuk tangan lalu mengacungkan dua jempolnya. Mulutnya penuh makanan.
Gina turut bertepuk tangan dengan riang. "Jadi, saya lolos ke babak selanjutnya, Chef?"
"Lolos dong!" Dion menyendok lagi dengan lahap.
Gina terkikik. Mereka pun menikmati makan sambil berbincang-bincang ringan. Setelah itu, Dion lalu mencuci piring dan terkekeh geli menyaksikan Gina yang membuka youtube sambil menirukan gerakan dance Rhapsody dari JKT48.
***
"Halo, istriku yang lucu. Sedang apa di mana?" tanya Dion setelah membuka pintu rumah setelah pulang dari kampus tempat ia mengajar. Mereka memang memegang kunci rumah sendiri-sendiri. Biar lebih praktis. Ia celingak-celinguk karena tidak ada tanda-tanda keberadaan Gina. Makanya Dion memutuskan untuk menelepon.
"Ada di rumah kok, Yon. Tapi, hm, gimana bilangnya ya?"
Perkataan Gina spontan membuat dahi Dion berkerut.
"Ada apa sih, Nang? Lo baik-baik aja, kan?" Dion meletakkan tas kerjanya di sofa lalu membuka dua kancing teratas kemeja yang ia kenakan.
"Susulin ke belakang yaaaa. Aku butuh bantuanmu, suamiku."
Dion langsung bergegas menuju area belakang. Ia menyingkap jemuran-jemuran dan akhirnya menemukan Gina yang sedang nangkring di atas pohon. Istrinya itu menyengir dan mengulurkan kedua tangan ke arahnya.
"Iyoncuuu! Tolongiiin, nggak bisa turuuun!"
"Ya ampun, Naaang. Kenapa pakai acara manjat pohon sih?" Dion geleng-geleng, untung saja Gina nggak naik ke atas genteng lagi.
"Itu.... Tadi kucing tetangga nangkring di sini. Jadi gue kan juga mau join. Eh, nggak lama dia malah turun. Guenya yang nggak bisa." Gina duduk di atas batang pohon yang tidak terlalu besar dengan kedua kaki yang menjuntai ke bawah. Namun, tampak begitu kokoh untuk menanggung beban tubuh Gina.
Batang pohon itu tidak terlalu tinggi namun tidak terlalu rendah juga, karena saat Dion berdiri di depan Gina, kepalanya berada di posisi sejajar dengan lutut istrinya itu.
"Ada-ada aja sih. Manjat bisa, turun nggak bisa," gerutu Dion sambil berkacak pinggang.
"Takut tauuu. Dari sini tuh lumayan tinggi."
"Lo udah lama nangkring di sini?"
"Lumayan, untung bawa hp tadi jadi nggak bosen." Gina menyengir lebar lalu memotret Dion yang ada di depannya.
"Ya udah, ayo cepet turun."
"Bantuiiin."
Dion berdecak gemas mendengar rengekan Gina. Lalu mengulurkan kedua tangannya di bawah ketiak Gina. Otomatis, Gina mengalungkan lengannya ke leher Dion. Gina menahan dirinya untuk tidak mesem-mesem.
Hap. Kaki Gina bisa menapak ke tanah. Bukannya memberi jarak di antara mereka, Dion malah mengunci dengan menggenggam kedua tangannya yang melingkari pinggang Gina.
Dion berkata dengan wajah yang sok kalem. "Gue mau nagih janji sih sebenarnya."
"Janji apaan?" tanya Gina sewot.
"Ini?" Dion jadi monyong-monyong karena nggak bisa menunjuk bibirnya.
"Astaganaga, masih inget ajaaa."
"Ya inget dong."
Gina makin salah tingkah karena tatapan Dion.
"Yon. Salting nih gue." Gina menutup mata Dion.
"Silau gue, cantik banget."
Gina langsung mengipasi wajahnya. Aduh, kenapa jadi panas gini deh?
"Hm, anu, itu, ayo, eh, anu, masuk yuk?" kata Gina belibet.
Dion kontan terbahak. "Gimana-gimana, Nang?"
"Ihhh, ituuu! Nanti kalau kucing tetangga liat gimana? Atau burung-burung yang berterbangan di angkasa? Atau pilot pesawat yang lewat? Atau, hm... kupu-kupu yang lucu?"
"Ya mereka nggak mungkin negur terus nontonin kita, Nang," sahut Dion yang membuat Gina jadi makin malu.
"Hmmmm." Gina berpikir mencari-cari alasan.
"Ham hem ham hem ap--"
Dion terdiam ketika sesuatu yang lembut seperti permen yuppy membungkamnya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Ketika Dion lengah, Gina langsung bergegas kabur.
"Woi, malah kabuuur!" Dion mengejar-ngejar Gina. Istrinya itu tertawa mengejek. Mereka asik berlarian di halaman belakang rumah mereka. Dipandangi oleh kucing tetangga, burung yang berterbangan dan kupu-kupu yang lucu.
***
Memang, menikah nggak selalu bahagia. Waktu masih jadi pengantin baru ya Gina masih bisa bilang indahnya kebangetan. Makin ke sini Gina makin sadar.
Bukannya nikah sama Dion nggak bahagia, nggak gitu. Gina bahagia banget. Tapi ada masanya pernikahan mereka, juga mungkin seluruh pasangan di dunia ini pernah mengalami keadaan kritis suatu waktu.
Kadang pas lagi sama-sama capek. Padahal bisa jadi masalahnya cuman sepele atau salah paham aja. Gina tau wataknya gimana, ia masih suka meledak-ledak. Gina sadar Dion lebih banyak mengalah. Gina nggak mau Dion malah terpaksa memaklumi tingkahnya yang kadang batu banget atau bahkan memilih untuk memendam kekesalan padanya.
Gina nggak mau ... itu jadi bumerang untuk pernikahan mereka. Gina ... mau selamanya sama Dion. Sampai masuk liang lahat. Sampai akhirat nanti sama-sama lagi.
Sisi baiknya, setelah melewati kondisi kritis, hubungannya dengan Dion menjadi lebih kuat. Gina dan Dion selalu berusaha untuk membicarakan permasalahan mereka, apa yang membuat keduanya tidak merasa nyaman, bagaimana langkah selanjutnya mengatasi kesulitan itu?
Menyatukan dua kepala itu nggak mudah. Dion yang selalu terorganisir, ini ini ini brat bret selesai, maunya apa-apa one shot one goal. Sedangkan Gina, udah ceroboh parah, kadang moodnya naik-turun, nggak bisa diburu-buru. Selain Dion yang sering bersabar, Gina juga mengusahakan dirinya bisa mengimbangi Dion. Sesuai kondisi dan situasi.
Komunikasi adalah koentji. Kalau udah sadar sikapnya kelewatan, Gina nggak malu buat minta maaf duluan. Kalau Dion sih jangan ditanya. He's too sweet. Setelah menikah, Dion nggak tanggung-tanggung menunjukkan rasa sayangnya ke Gina. Dari cara dia menatap Gina aja, kadang tuh Gina udah mau pengshan. Mungkin udah kelamaan menahan diri kali ya. (Emot tersenyum senang) (Emot mata berkaca-kaca)
Orang-orang selalu bilang Dion sayang banget ke Gina. Segitu sayangnyaaa Dion sama kamu tuh, Naaa. Intinya mereka bilang begitu. Mungkin buat yakinin perasaan Gina kali yak. Ya, Gina dulu kan emang suka denial. Dion mana mungkin sih suka sama gue? Udah berapa ratus kali tuh dulu Gina nanya sama diri sendiri?
Padahal Gina kan juga sayang banget sama Dion. Apa selama ini sering Gina tutup-tutupi? Nggak bermaksud apa-apa, emang malu aja Gina-nya. Gini-gini Gina pemalu tau. Biasanya juga malu-maluin ya? Karena malu, kadang Gina malah ngegas. Padahal Gina sama sekali nggak bermaksud begitu.
Gina emang masih suka malu-malu. Gengsi juga kadang. Terus geli-geli gimanaaa gitu kalau ia dan Dion berada dalam satu rangkaian kalimat bersama kata mesra. Ya ampun, Gina merinding. Gimana ya? Gina nggak bisa bayangin. Tapi ya semuanya mengalir aja sih.
Lama-lama jadi terbiasa. Gina yang terbiasa tidur dikelonin suami. Terbiasa denger suara dengkuran halus Dion yang merdu. Terbiasa bangun pagi liat muka Dion dan terbiasa-terbiasa lainnya tentang Dion.
"Kenapa sih senyum-senyum?" Sekarang Dion berjalan ke arah Gina terus duduk di sofa di sebelah istrinya itu. Mana mepet banget lagi. Kan space sofanya masih banyak, Pak. Tapi nggak apa-apa sih, Gina juga seneng dipepet Dion.
"Bercahaya banget sih suamiku." Gina nyeplos gitu aja sambil mengelus-ngelus rambut Dion.
Gina tersentak kala Dion mendekap bahunya dari samping. "Tumben-tumbenan manis banget. Mau minta beliin apaan?"
Gina langsung mendengkus. "Dih, suuzon aja jadi orang."
"Ya terus?" tanya Dion sambil mengerling tengil. Sikap tengil Dion yang nyebelin tapi ngangenin juga.
"Ya masa nggak boleh sih muji suami sendiri?" Emang kalau Gina manis-manisin Dion itu selalu ada udang di balik bakwan gitu? Ya emang bener sih, kadang. Tapi kan nggak selalu juga.
"Lha, aku seneng malahan. Kok ngambek sih, Nang?" Dion mencubit pipi Gina sambil ketawa geli. Asli, Gina emosian banget ya? Kenapa Gina sumbu pendek banget sih? Liat muka tengil Dion aja mulut Gina merepet mulu bawaannya.
"Yon...." panggil Gina setelah menguasai diri.
"Hm?" Dion memainkan rambut Gina. Kemudian mencium bahu Gina yang berlapiskan sweater tipis warna abu-abu.
Jangan lumer dulu Ginaaa. Kamu bisa, kamu pasti bisa.
Sabar Gina, sabar. Kalau Dion mepet, lo harus lebih mepet. Nah, mantap. Aduh, ini yang bisikin siapa sih? Genit banget Gina perasaan. Tapi nggak apa-apa sih, sama suami sendiri juga ini.
"Kamu tau kan, aku sayang banget sama kamu?" Gina bicara dengan nada rendah yang memikat. Aduh, ini serius. Nggak bermaksud menggoda Dion. Gina bertanya dengan hati tulus dan suci.
Dion terpekur menatap Gina. Dia pasti mikir tumben-tumbenan atau Gina lagi kesambet apaan tengah hari gini?
"Aku sayang sama kamu. Sayaaang banget." Masih menatap Dion, Gina meraih tangan kanan Dion dan menyentuhkan hidung dan bibirnya di punggung tangan Dion. Menghirup tangan itu lama. Lalu mengecup tangan Dion berulang kali sampai-sampai Dion speechless dibuatnya.
Dion membawa Gina ke dalam dekapannya yang hangat, menenggelamkan kepalanya di antara leher dan bahu Gina.
"Makasih udah jadi suami aku ya, Yon." Gina menepuk-nepuk pundak Dion pelan.
Dion mengangguk. "Makasih juga udah bersedia jadi istri aku ya."
Dion mengeratkan pelukan mereka berdua. Gina dan Dion bersyukur dalam hati bahwa mereka kini saling memiliki.
Bersumbang
Masih unyu ya, belum hot hot summer. Eh canda summer.
Up nya satu kali seminggu.
Dah. Luv.
Regards, Iin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top