superb kwangen

Gina memeluk guling, tengah malam ini ia begitu nelangsa karena Dion yang pergi ikut pertemuan di Norwaygia selama satu minggu itu. Ini sudah hari ke delapan. Mungkin sebentar lagi Dion akan sampai, tapi Gina seolah tak bisa sabar. Entah kenapa saat ini Gina sensitif banget kalau Dion nggak ada. Biasanya Gina selalu santai dan sibuk dengan kerjaannya sendiri.

Seberapa sibuknya Gina di kantor, ketika di rumah Gina juga mencoba menyibukkan diri dengan nonton atau buka-tutup medsos, Gina tetap kepikiran Dion meskipun mereka hampir video call setiap hari. Kemarin Gina mengakhiri sesi video call mereka karena nggak mau Dion melihatnya menangis. Pasti cowok itu bakal kepikiran.

Pernah, Gina kelepasan nangis waktu mengangkat video call Dion tapi dia langsung beralibi karena habis nonton drama korea. Gina nggak bohong, soalnya drama yang ia tonton itu juga sedih. Namun, penyebabnya nangis waktu video call itu ya karena Dion lagi jauh. Cuman Gina nggak mau Dion tau.

Hari ini Gina memilih di rumah mereka sendirian menunggu Dion datang. Kemarin-kemarin ia sempat menginap di rumah mamanya juga menginap ke rumah mertuanya, Mama Erika. Gina juga sempat main ke rumah Kak Dian mengunjungi Kenzie juga baby Kei.

Karena masih aja gelisah, Gina menunaikan shalat malam. Terus ngaji juga mendoakan Dion semoga selamat sampai tujuan.

Sebenarnya, Gina lumayan penakut kalau sendirian. Kalau sama Dion biasanya cuman lihat punggung Dion aja dia sudah tenang dan nggak was-was. Malam ini Gina malah membuka pintu kamar dan turun ke lantai satu. Menyalakan lampu dan berjalan mendekati sepeda yang berada di ruang tamu. Sengaja Dion letakkin di sana nggak di garasi, katanya biar bisa nemenin Gina.

"Nis...." panggil Gina yang tentu nggak akan ada sahutannya. Kalau ada yang nyahut kan bakal horor banget.

"Kok Dion lama ya...." Tiba-tiba Gina nangis. Kejer banget. Coba aja Manis manusia, pasti udah kaget terus pukpuk Gina yang sedang bersedih penuh duka lara.

Gina duduk di atas sofa ruang tamu. Terus menutup mukanya pakai kedua tangan dengan air mata yang nggak ada menunjukkan tanda-tanda berhenti turun. Gina nggak tau betapa konyol sekaligus menyedihkannya dia sekarang, tapi Gina nangis di sofa sampai ketiduran. Tanpa bantal, tanpa selimut.

Ketika Gina bangun, ia sudah berada di kamar dengan selimut yang menutupinya sampai leher. Gina melirik jam dinding di kamar. Sudah jam 2 dini hari. Gina memijit kepalanya yang pening karena terlalu banyak menangis. Seketika itu juga dia sadar bahwa tadi dia keluar dan tidur dekat Manis di ruang tamu. Kok sekarang pindah ke kamar?

Juga ... Dion! Dion di mana? Apa Dion udah pulang?

Gina menyingkap selimutnya dan akan turun dari kasur. Perempuan itu tersentak ketika sosok Dion masuk dan langsung memeluknya erat.

Gina nggak bisa menahan tangisannya. Rasanya benar-benar nggak karuan. Dion mengusap punggung Gina menenangkan. Juga mengecup puncak kepala Gina berulang kali.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Dion lembut. Dion merasakan kesedihan Gina. Walaupun kesedihannya itu Gina tutup-tutupi sejak Dion bilang mau pergi.

Gina nggak menjawab dan semakin mengeratkan pelukannya, kemudian menyandarkan kepala di ceruk leher Dion. Gina nggak paham kenapa tangisnya nggak mau berhenti. Dia sebenarnya nggak mau bikin Dion khawatir. Gina tau Dion pergi kerja dan itu juga buat mereka berdua. Namun, Gina juga nggak tau kenapa dia jadi aneh begini.

"Coba lihat aku dulu." Dion memajukan wajahnya sedikit menengok Gina yang masih betah bersandar di bahunya. Jujur saja ia begitu khawatir ketika masuk ke rumah melihat Gina yang ketiduran di sofa. Nggak pakai selimut dan Dion masih bisa melihat jejak air mata di sana.

"Sayang...."

Gina mengalah dan menatap wajah Dion. Sebelum Gina menyembunyikan wajahnya lagi, Dion merangkum pipi Gina dan menghapus airmatanya.

"A...."

"Hm?"

"Aku nggak tau kenapa nangis-nangis begini...."

"Ada yang sakit?"

Gina menggeleng. "Aku cuma...."

Gina kembali terisak. Dion lantas memeluk Gina dan menenangkannya. Karena kalau terus-terusan begini Gina bisa sesak napas. Hal ini mengingatkan Dion ketika ia menjatuhkan tanda-tangan Kiev ke got waktu mereka SMA dulu. Namun, sekarang tangisan Gina beribu kali lebih lipat memilukan hatinya.

"Maaf," lirih Dion.

Dion menarik kotak tisu yang bisa dijangkaunya. Ia mengulurkanya kepada Gina yang perlu mengeluarkan ingusnya. Setelah itu, Gina sedikit lebih tenang. Mereka berdua berbaring dengan posisi kepala Gina yang rebah di atas lengan Dion.

"Maaf udah bikin kamu nangis kayak tadi, ya." Dion mengusap lembut pipi Gina. Ia tak kuasa melihat mata Gina yang sembab.

"Maluuu." Gina merengut dan memeluk Dion dari samping.

"Gini ya rasanya dikangenin istri."

Gina mendelik. "Emang kamu nggak kangen apa sama aku?"

"Kangen. Pake banget." Gina nggak tau aja sesampainya di bandara dan mengambil koper, Dion lari secepat-cepatnya menuju taksi.

"Idih," celetuk Gina tanpa mikir.

"Idih-idih tapi mewek," ledek Dion.

"Diooon. Nggak mau diledekiiin," rengek Gina.

Dion mencubit ujung hidung Gina. "Iya-iya, maaf."

"Pas kamu di Jepang dulu.... Aku nggak nangis begini banget perasaan. Nangis sih awalnya, apalagi baca surat dari kamu. Tapi abis itu nggak kangen yang nggak bisa lepas gitu, lho." Akhirnya Gina bisa ngomong lebih panjang setelah tadi sendu melulu bawaannya.

Dion merapikan anak rambut Gina. "Iya, ya? Aku juga walau sering kangen, juga bisa ditahan, lah. Soalnya kalau pulang ya bakal nggak selesai-selesai."

"Kalau pulang juga nggak bisa meluk aku kayak gini kan, ya?" Gina menengadah untuk menatap wajah Dion.

"Iya, nggak bisa diuyel-uyel juga, apalagi kalau kayak gini."

Gina menyipit geli ketika Dion mengecup pipinya bertubi-tubi.

"Pokoknya habis ini jangan salahin aku kalau nempelin kamu terus."

Dion mengecup pipi Gina lagi karena gemas. "Boleeeh."

"Pokoknya besok aku izin. Udah nggak ada project juga sebenarnya."

Dion tau film yang dikerjain Gina dan tim udah lama selesai. Sekarang baru rilis trailer. Dion berdoa film itu bakal meledak di pasaran dan disukai masyarakat.

"Nanti temenin aku ke gala premier yaaa," kata Gina dengan mata mengerjap.

"Pasti," jawab Dion yang nggak bisa menyembunyikan rasa bangganya.

"Nanti Kiev ada?" tanya Dion penasaran.

"Kiev juga diundang. Tapi nggak tau bisa datang atau nggak."

"Oh, gitu."

"Kenapa?" tanya Gina.

"Nggak apa-apa."

Gina mengerucutkan bibir.

Dion bertanya lagi. "Kamu sering ketemu dia?"

"Siapa? Kiev?"

Dion mengangguk.

"Hm.... Nggak juga, tapi kalau ketemu dia, aku juga selalu cerita, kan?" kata Gina yang membuat Dion membenarkan.

"Kamu nggak ngantuk?" tanya Dion.

"Hm, nggak tau. Kamu sendiri ngantuk?"

Dion menggeleng. "Belum."

"Di Norway gimana?" tanya Gina.

"Oh iya, sampai lupa." Dion mengambil ponselnya yang tergeletak nggak jauh dari tempat tidur.

"Ini, aku motoin aurora sebelum ke bandara. Nggak sempat kirim ke kamu."

"Mana?" tanya Gina antusias.

Dion dan Gina bangkit duduk untuk melihat pemandangan aurora yang berhasil Dion jepret pakai kamera ponsel.

"Cantik banget," kata Gina berdecak kagum.

"Sama kamu jelas lebih cantik kamu,lah."

"Boong."

"Walaupun sama-sama ciptaan Allah, tetap aku bilang kamu yang lebih cantik," kata Dion sambil mengulas senyum manisnya.

Gina nggak bisa untuk menahan cibiran. Soalnya kalau Dion lagi model gombal tuh dia suka kagok nanggepinnya. Gina rebahan lagi sambil menutup selimut sampai ke atas kepala. Dion terkekeh geli dan meletakkan ponselnya di nakas dekat tempat tidur.

"Nggak mau sambil peluk?" tanya Dion yang juga mulai rebahan.

Gina membuka selimutnya dan tanpa suara memeluk Dion sambil memejamkan mata. Dion hanya tertawa kecil dan mencium kening Gina. Ia bergabung ke dalam selimut tebal yang Gina pakai dan balik memeluk istrinya itu sebelum meletakkan dagunya di atas kepala Gina.

Bersambung

Hmmmmmm suka gitu ya Iyon sama Gina :))

See u ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top