monitor, komo. monitooor
Sore ini Gina, Kiya dan beberapa teman kantornya di rumah produksi tempat Gina bekerja lagi kumpul makan-makan di salah satu restoran Jepang.
Mata Gina menyipit saat melihat dari kejauhan Dion yang baru saja masuk. Gina udah mau menyapa, tapi Dion nggak menyadari keberadaannya dan malah menghampiri seorang cewek yang duduk dekat jendela.
Iya, benar.
CEWEK!!!
Gina nggak lihat jelas sih itu siapa soalnya cewek itu duduk membelakanginya.
Tapi tetap aja hal itu membuat Gina naik pitam. Emosi berat. Suuzon paraaah.
Teman-teman Gina termasuk Kiya langsung terlonjak saat Gina menggebrak meja.
"Na? Lo kenapa?" tanya Kiya heran.
Gina langsung super panas dong melihat Dion yang duduk berduaan dengan cewek itu. Mana asik banget ngobrolnya. Gina menghela napas lalu mengambil ponsel. Ia nggak boleh gegabah, kan? Oke, Gina akan telepon Dion dulu.
Walau dalam hayalan Gina, dirinya sudah menjadi tokoh di sinetron yang melangkah ke sana dengan penuh amarah dan melabrak dua orang yang tengah asik tertawa itu.
Ih! Yang bikin Gina tambah kesal, nomor Dion nggak bisa dihubungi! HP tuh gunanya apaan sih kalau nggak aktif?!
"Nggak bisa gini gue." Gina bergegas bangkit dan membuat teman-teman di sekitarnya bertanya-tanya.
Gina berjalan cepat ke arah Dion dengan emosi membara. Dion tampak terkejut menyadari keberadaannya. Cowok itu pun lantas berdiri.
Langkah Gina kemudian melambat. Tunggu, kenapa Dion cengar-cengir?
Harusnya Dion pasang wajah panik dong kepergok berduaan sama cewek lain?!
Gitukan harusnya skenarionya?
"Hei, kamu sama siapa di sini?" tanya Dion sumringah.
Gina meneguk ludah agak kagok. "Hng, itu sama Kiya sama temen-temen yang lain juga."
Gina lalu melirik-lirik pada perempuan muda yang satu meja bersama Dion. Siapa sih dia?
Bukan sugar baby-nya Dion, kan?
Nggak mungkin. Dion mana ada potongan jadi sugar daddy. Hush hush bisikan setaaaan.
"Oh, iya. Ini istri saya," ujar Dion memperkenalkan Gina pada cewek itu.
"Salam kenal, Bu," kata gadis itu tersenyum sopan. Mana pakai acara salim ke Gina pula. Santun sekali remaja putri ini.
Gina tersenyum sangat tipis. Tapi wajahnya datar lagi saat mengalihkan tatapannya ke Dion. "Kok hp kamu nggak aktif?"
"Lowbat. Ini baru aku charge," tunjuk Dion pada ponselnya yang tergeletak di meja.
Gina mendecap. Bagaimana pun, ia masih merasa kesal. "Aku telepon nggak aktif. Kalau ada apa-apa gimana?"
"Ini baru aku aktifin, terus ngeliat kamu," jelas Dion dengan wajah polos.
"Kamu...." Berduaan doang? Lanjut Gina dalam hati.
"Eh, ada Gina?" Suara seseorang menarik perhatian mereka.
"Papa lama banget sih di toilet?" ceplos gadis itu pada pria paruh baya yang baru hadir di tengah-tengah mereka. Pria itu tertawa mendengar komentar putrinya. Ya mau gimana hajatnya baru selesai.
"Ayo ... Gina gabung sini." Prof. Brata mempersilakan. "Udah kenalan, kan? Ini anak saya, Dera."
"Iya, Pak. Uhm, saya sama teman kantor, Pak. Di sana," tunjuk Gina ke arah teman-temannya.
Prof. Brata manggut-manggut dan duduk di samping Dera.
"Saya permisi, Prof...." ujar Gina. Kayaknya sosok antagonis yang berniat mendamprat suami (yang dianggap) zholim perlahan menghilang dalam tubuh Gina.
Dion menahan lengan Gina. "Aku antar ke meja kamu."
"Nggak usah ah. Deket gini."
"Nggak apa-apa. Ayo," kata Dion sembari menggandeng Gina.
Teman-teman Gina langsung heboh. "Oh ada misuaaa toooh."
"Gabung sini, Yon," kata Kiya santai.
"Gue di sana sama rekan yang lain." Dagu Dion mengarah pada mejanya bersama Prof. Brata.
Wajah Gina memanas ketika melihat dosen-dosen lain di prodi Dion baru saja datang, bergabung bersama Prof. Brata.
Dion mencubit ujung hidung Gina. "Aku ke sana dulu ya? Nanti pulang bareng?"
Gina mengangguk. Agak bersalah juga telah berpikiran super negatif sama Dion.
***
"Kamu deket sama anak Prof. Brata?" tanya Gina mengungkapkan hal yang membuatnya kepikiran dari tadi. Ternyata pikiran-pikiran ini masih belum selesai. Malah makin membuat otak Gina penuh.
"Hm, dia sering ke kantor," kata Dion sekenanya. Dion berbaring setelah mengatur selimut untuknya dan Gina.
"Prof. Brata nggak niat jodohin kamu sama anaknya, kan?" celetuk Gina dengan penuh prasangka.
"Hah?" Dion kaget bukan kepalang dengan pertanyaan Gina. "Ya enggaklah, ngaco kamu."
Gina menggigit bibir. "Tapi ...."
"Na, mikir apaan sih?" tanya Dion heran. Ia lalu menahan senyum. "Kamu ... cemburu?"
Istrinya itu hanya diam dan manyun. Dion mengetuk-ngetuk pelipis Gina pelan.
"Sama Dera? Dia anak-anak lho, Na." Iya, putri semata wayang Prof. Brata itu masih SMA.
"Tapi ... kalian keliatan deket...."
"Deket kayak gimana sih?" tanya Dion bingung.
"Kalian ketawa bareng...." sahut Gina.
"Na, aku mungkin lagi nanggepin hal lucu. Ya masa nangis?" ujar Dion enteng.
Gina mulai ngegas mengingat betapa murkanya dirinya melihat pemandangan itu. "Ih! Aku marah banget lho tadi. Kalian duduk berduaan, ketawa-ketawa pula. Gimana aku nggak salah paham?"
"Terus? Udah clear kan, tapi?" kata Dion lagi. Gina ini ada-ada aja....
"Tetep aja...."
"Hm? Tetep aja apa?" goda Dion sambil menusuk-nusuk pipi Gina. Berharap istrinya itu nggak marah-marah lagi.
"Au ah, Yon! Kamu tuh nggak pernah serius!" kesal Gina membuang muka. Dia sudah akan berbalik membelakangi Dion, tapi suaminya itu menahan.
"Aku nggak ngerasa salah apa-apa. Okay aku salah, hp aku mati. Tapi kamu masih terus marah-marah dan jealous nggak jelas padahal udah clear Dera siapa, aku nggak mungkin sama dia ada apa-apa."
"Iya aku salah! Perasaanku nggak jelas!" seru Gina sengit sambil bangkit untuk duduk.
Dion menghela napas dan ikut duduk. "Kamu serius mau berantem sama aku gara-gara hal sepele kayak gini?"
"Sepele?" ulang Gina nggak percaya.
"Ya terus?"
Gina berdecak. "Kamu tau nggak kalau misalnya ada yang foto kalian berdua kayak gitu terus kirim ke aku. Aku pasti bakalan salah paham."
"Kamu udah tau faktanya kayak apa. Terus apa? Kamu nggak percaya aku?"
"Au ah!" kata Gina berbaring memunggungi Dion.
"Nggak ada au ah, au ah! Kamu kesel begitu aku nggak tenang tidur," kata Dion tegas sambil memaksa Gina berbaring menghadapnya.
Gina bergeming. Dion malah beralih ke hadapannya. Gina berbalik lagi. Dion pindah lagi. Begitu aja terus sampai pagi.
"Ih! Diooon!"
"Gina... please, aku capek lho, Na."
Gina tetap mencebik kesal.
"Kalau aku tidur dalam keadaan kamu nggak ridho sama aku. Terus tiba-tiba aku meninggal dalam tidur, gimana?" kata Dion lirih.
Mendengar itu, Gina langsung duduk lagi menghadap Dion. "Dion! Kok ngomong begitu?!"
Dion kemudian meraih tangan Gina untuk digenggam. "Na, makanya beneran deh. Aku nggak ngelarang kamu kesel. Aku nggak minta kamu langsung berubah tenang dan melupakan masalah ini karena aku tau kamu masih bete banget. Tapi aku mohon, seenggaknya kita ada usaha nyelesain masalah ini."
Nah, Gina tertegun kan kalau Dion udah ngomong serius begini.
"Na, aku minta maaf. Aku nggak berniat remehin perasaan kamu...."
Rasa kesal Gina menguap berganti dengan perasaan sedih. Ia marah sama dirinya yang udah keterlaluan berpikiran buruk sama Dion.
"Aku nggak tau ... kok malah negatif thinking begini. Mikirnya jauh banget lagi...." lirih Gina dengan air mata yang perlahan turun.
"Otak aku sinetron bangeeet." Gina menangis tersedu-sedu.
Gina tersengal tangisnya sendiri dan susah payah meminta maaf. "Aku hiks minta maaf ya, Yon...."
"Ya ampun, sayang...." Dion meraih Gina dalam pelukannya. "Iya, aku minta maaf juga ya...."
Dion lalu membawa Gina untuk berbaring rapat di pelukannya. Laki-laki itu mengusap-usap punggung Gina menenangkan.
"Ya udah nggak apa-apa, diluapin aja. Daripada terus mikir yang enggak-enggak, dipendem pula."
Gina membersit hidung. "Hm, makasih ya, Yon...."
"Dera itu udah kayak adik lho, Na, kalau dia main ke kantor... Bukan cuman sama aku aja. Mamanya baru meninggal. Jadi sering nyamperin Prof. Brata. Soalnya jadwal beliau padat."
"Innalillahiwainnailaihirajiun...." kata Gina otomatis. Perasaan bersalah semakin menyergapnya.
"Lagian Dera udah punya pacar. Nggak mungkin lah Prof. Brata nyodorin anaknya ke aku, aku punya kamu ini."
"Iya, aku terlalu takut...." lirih Gina serupa bisikan.
Dion merapikan anak rambut Gina ke belakang telinga. "Otak aku udah penuh sama kamu, Na. Kamu satu-satunya."
"Huhu, iyaaa. Aku percaya kamu.... Aku nyesel udah negatif thinking, udah kekanakan...." ujar Gina sambil menyurukkan wajahnya ke dada Dion.
"Nggak apa-apa.... Kalau ada yang ngeganjel di hati kamu bilang aja, ya? Kita harus jaga komunikasi. Walaupun harus berantem dulu juga ya udah. Tapi nggak lama harus diselesain. Mau diam-diaman ayo tapi jangan sampai seharian juga. Tapi sedih sih, soalnya aku biasa meluk kamu kalau tidur."
Gina mendongak menatap Dion. "Kalau kamu yang kesel sama aku?"
"Ya gitu juga dong. Boleh tenangin diri dulu, tapi jangan menghindar apalagi keluar. Aku nggak mau, seandainya kita kenapa-napa, naudzubillahiminzalik, kita lagi nggak saling ridho, Na."
Dion mengecup kepala Gina yang mengangguk terpatah, memahami maksud suaminya.
Bibir Gina lalu mengerucut. "Aku moody, overthinking, overreacting. Kamu kok sanggup ngadepin sih?"
Dion mengetatkan pelukan mereka. "Kamu juga sanggup aja aku jailin tiap hari. Sering bikin kamu dongkol, bikin kesel. Aku juga nggak sempurna. Tapi kamu sanggup-sanggup aja tuh."
Gina balas memeluk sama eratnya. "Sayang banget sama kamu...."
Dion lalu mengusap pipi Gina. "Jangan dituduh aneh-aneh lagi ya?"
Gina mengangguk, Dion sedikit merunduk menciumnya singkat.
"Inget, bersyukur sama yang kita miliki hari ini. Masa depan nggak usah terlalu dikhawatirin. Yang penting kita udah melakukan yang terbaik jalaninnya. Jangan lupa untuk berprasangka baik.... Aku sama kamu, keluarga kecil kita."
Iya, Gina harus beberapa kali diingatkan untuk selalu mensyukuri apa yang dia punya saat ini. Juga berprasangka baik....
Terimakasih Dion sudah selalu mengarahkannya untuk kembali on the track.
Bersambung
Gina, aku jamin Dion nggak akan menjadi lelaki durjana.
Trust me.
It works. Hehehhehehe
Karena aku lagi ada di daerah susah sinyal sampai tanggal 28 jadi langsung up buat dua minggu nanti ya. Okkk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top