ketempelan
"Pokoknya nggak mau!" Gina mencebik dan memeluk Dion erat-erat. Selain beribadah dan makan, Dion dan Gina nggak rela meninggalkan kasur. Mereka leyeh-leyeh aja sejak bangun tidur.
Padahal Dion ada kelas sore ini dan entah kena angin apa Gina sama sekali nggak mau ditinggal walau cuma sebentar. Sebentar dalam artian paling lama ya tiga jam lah.
"Nggak mau! Kalau kamu mau, ya mahasiswa kamu aja yang ke sini," ceplos Gina ketika Dion menyinggung tentang profesionalisme.
Dion lantas geleng-geleng. "Terus yang kamu maksud aku ngajar sambil dipeluk kamu kayak gini?"
Gina udah mau ngangguk, tapi menyadari dia masih cukup waras untuk nggak mengamini perkataan Dion.
"Emang nggak bisa apa kamu libur hari ini aja.... Kan baru aja pulang.... "
"Ada yang perlu aku tanda-tanganin juga.... Kasian bimbingan aku nanti makin molor jadwalnya nungguin aku."
Bibir Gina jadi maju lima senti. "Gitu yaaa...."
"Kamu mau ikut?" tawar Dion serius.
"Emang boleh?"
"Boleh, siapa juga yang ngelarang?"
Dion ketawa lagi melihat Gina mendengkus.
"Cepetan siap-siap. Jadi ikut, nggak?"
Gina mencium pipi Dion kilat. "Jadi! Awas kalau ditinggal!"
"Nggak akan ditinggal," kata Dion yang juga bangkit untuk siap-siap.
Sesampainya di kampus, Gina berjalan bersisian dengan Dion. Maunya Gina sih, jalannya sambil gandengan, tapi sadar diri dia lagi di kampus tempat Dion mengajar bukan taman bermain. Sampai di Fakultas Teknik, ada beberapa yang nyapa Dion dan otomatis senyum ke Gina. Dari satpam, mahasiswa atau dosen-dosen. Gina pakai tunik batik sedangkan Dion mengenakan kemeja navy lengan panjang dan celana bahan.
Tiba di prodi Teknik Nuklir, yang nyapa sampai salim ke Dion makin banyak.
"Sore, Bu...." sapa seorang mahasiswi ke Gina dengan ramah.
"Sore...." Gina tersenyum agak jaim. Karena Dion dipanggil bapak ya wajar dong kalau dia dipanggil ibu, batinnya berkoar.
Umurnya dan Dion baru 25 jalan 26, cuma beberapa tahun di atas mahasiswa-mahasiswa semester akhir.
Dion pernah cerita nggak sedikit juga yang masih bertahan memegang predikat mahasiswa paling lama.
Semangat pejuang skripsi! Kalian pasti bisa! Usahakan dalam mood yang baik. Kalau ada yang mau dibeli, beli! Kalau ada yang mau dimakan, makan! Tapi skripsinya dicicil dikit-dikit, lama-lama jadi bukit.
Setelah mereka berlalu, Gina dapat mendengar sekilas bisik-bisik mahasiswa dan mahasiswinya Dion.
"Mirip banget. Beliau kembaran Pak Dion?" tanya salah satu mahasiswa gondrong.
"Bukan. Itu istrinya!" elak mahasiswi berponi rata. "Aku pernah liat...."
Sayangnya Gina nggak bisa mendengar lagi lanjutan pembicaraan para mahasiswa itu tentangnya. Gina mengekori Dion yang memasuki kantor dosen dan bersalaman dengan salah satu dosen senior.
"Wah, sama istri, Yon?" tanya Prof. Brata.
"Iya, Prof. Nggak mau ditinggal di rumah."
Gina lantas memukul pelan bahu Dion. Kemudian bersaliman dengan dosen senior yang Gina ketahui adalah Ketua Program Studi Teknik Nuklir. Beliau sempat Dion kenalkan ketika mereka akan menikah dan beliau juga datang ke resepsi mereka.
"Kamu juga waktu di Norway gelisah terus, ditanyain katanya kangen istri, Na," kata Prof. Brata tertawa, juga para staf di kantor dosen itu. Sementara dosen yang lain sebagian sudah pulang atau masuk kelas.
Gina tertawa kecil. "Beneran, Prof?"
"Iya, dia juga mau ngambil penerbangan paling awal. Sayangnya udah penuh semua."
"Prof, jangan bongkar-bongkar rahasia."
Bapak-bapak dengan rambut yang sudah sedikit memutih itu tertawa dan menepuk-nepuk bahu Dion.
"Silakan duduk, Gina. Itu camilannya dimakan. Saya mau ke rektorat dulu ya."
"Iya, Prof. Mari...."
Sepeninggal Prof. Brata, Dion mengajak Gina ke ruangannya. Nggak terlalu luas, tapi nggak pengap juga. Selagi Dion mengatur suhu AC, Gina duduk di kursi di depan meja kerja Dion. Mengamati beberapa frame yang ada di meja itu.
Ia lalu mengambil frame yang memuat wajahnya dan Dion yang lagi foto berdua. Foto itu dijepret di rumah, tepatnya di ruang tamu, dengan pipi mereka yang saling menempel berebut untuk masuk ke jepretan kamera.
"Kamu mau minum apa?"
"Nggak usah, A. Nggak haus," tolak Gina.
"Nanti kalau laper atau haus bilang ya."
Dion duduk dan memeriksa tumpukan kertas yang harus ia tandatangani. Gina menumpu dagu, memperhatikan Dion yang lagi sibuk dengan pena dan kertas. Gina memfoto Dion diam-diam lalu dia tersenyum-senyum sendiri melihat hasilnya, jarang-jarang nih ekspresi serius Bapak Dion Awan Angkasa, S.T, M.Sc.
Gina meletakkan ponselnya lalu merebahkan kepalanya miring di atas satu tangannya yang terlipat di meja Dion. Melihat Gina terus memperhatikannya seperti itu, Dion mengulurkan tangannya mengusap kepala Gina.
"Aku masuk kelas sepuluh menit lagi. Kamu mau ikut masuk?" tanya Dion.
Gina mengedikkan bahu. "Nggak, ih. Ngapain? Malu sama mahasiswa kamu."
"Aku kira nggak malu." Dion terkekeh geli. "Terus kamu mau di sini aja atau mau ke mana?"
"Di sini aja deh."
"Aku pesenin go food ya."
Gina tersenyum lebar. "Makasih, suamicuu."
"Sama-sama.... Kalau mau Ashar mukenanya ada di lemari luar. Nanti bilang aja ke Nuni, staf yang di depan."
"Okidoki."
Tepat sepuluh menit, Dion pamit keluar untuk masuk kelas. Sebenarnya Gina penasaran Dion ngajar kayak gimana. Tapi rasanya aneh kalau dia jadi penyusup di kelas Dion. Apalagi anak-anak di Teknik Nuklir ini rata-rata cowok semua. Walaupun ada ceweknya, tapi bisa dihitung pakai jari. Mau keluar malas, mau ke mana juga?
Kira-kira Dion ngajar selama satu jam lebih. Setelah Ashar, Gina ngobrol sama Nuni sebentar, terus karena takut ganggu Nuni yang kayaknya banyak kerjaan, Gina lanjut ke ruangan Dion untuk main game cacing, makan terus ngemil. Waktu Dion masuk, mata Gina yang sayup-sayup mau tidur jadi langsung cerah. Dion kayaknya habis wudhu.
"Aku Ashar dulu," kata Dion menggelar sajadah ke arah kiblat di ruangannya. Gina cuman memperhatikan Dion. Ia kadang nggak nyangka Dion sekarang udah jadi suaminya. Pertama kali Gina perhatiin Dion salat waktu SMA, di rumahnya waktu mereka kerja kelompok berdua.
"Sekarang kita ke mana? Mau langsung pulang?" tanya Dion yang udah selesai salat sambil melipat sajadah dan meletakkannya di atas lemari.
"Aku kok kangen Arlyn sama Riri ya, A?"
"Kamu mau ketemu mereka?"
Gina mengangguk antusias.
"Kamu aja? Nggak sama aku?" tanya Dion.
Gina langsung menggeleng cepat.
"Kamu ajak juga Shandy sama Udin. Biar kamu ada temennya. Yah? Yah?"
Dion tersenyum dan mengangguk mengiyakan.
"Eh, Arlyn dan Shandy emang bisa? Kan ada bayi."
"Tanya aja dulu atau kita ketemu di manaaa gitu."
***
"Lo yakin kelakuan Gina ke elo itu cuma efek kangen? Bukan karena...." Udin membuat lingkaran arah maju di depan perutnya.
Malam ini Gina, Arlyn dan Riri lagi windows shopping. Bayi Arlyn yang udah nyenyak dititip sebentar ke Mama Arlyn. Sementara Dion, Udin dan Shandy duduk di salah satu cafe. Dari sini, Dion dapat memperhatikan Gina yang berada di tengah menggandeng kedua sahabatnya.
"Hah? Gimana?" Dion yang nggak fokus jadi nggak ngeh maksud Udin.
"Itu... maksudnya isi, Yon," timpal Shandy.
"Hah? Isi apaan?" tanya Dion masih tulalit.
"Isi mihun! Lo kira risol." Udin berdecak. "Makanya orang ngomong tuh diperhatiin, jangan liatin bini mulu."
"Iya-iya, maap. Gue khawatir aja Gina agak aneh belakangan ini," jelas Dion setelah meminum kopinya.
"Makanya itu, gue juga ngerasa. Ya emang sih Gina manja ke elo dari dulu. Tapi sekarang manjanya tuh beda banget kan, Din?"
Udin mengangguk setuju dengan pernyataan Shandy. "Terus... pas udah nikah sama lo, Gina males nempel banget ke lo depan kita soalnya males dicengin. Sekarang kayaknya nggak ada masalah ngelendotin lo depan kita. Makanya gue nebak si Rengginang lagi isi. Lo nggak ngerti gue gibeng, Yon."
Dion menggaruk tengkuknya. "Maksud kalian? Ada ... bayi? Gue nggak mau nebak-nebak ah."
"Kita cuma ngerasa Gina agak aneh, Yon."
Dion bersedekap dada dan celingak-celinguk menatap Gina dkk yang udah nggak terlihat rentang pandangnya.
"Mereka masuk ke toko aksesoris di sono," kata Shandy melihat leher Dion yang nggak bisa diam.
"Iya, Yon. Khawatir banget, kan ada Arlyn sama Riri."
"Nggak tau juga, gue jadi ikutan aneh."
"Jangan-jangan.... Lo lagi yang malah isi, Yon?" tanya Udin yang minta banget ditampol.
"Isi lemak!" cibir Dion.
Saat Gina memasuki cafe itu bersama Arlyn dan Riri. Dion langsung berdiri dan menghela napas lega. Kayak Gina habis balik dari mana aja. Padahal Dion dari tadi mengawasi Gina yang keluar masuk toko bareng Riri dan Arlyn.
"Maaf ya, lama." Gina memainkan tangan Dion. Membuat teman-temannya langsung buang muka dan asik sendiri.
Dion menggenggam tangan Gina erat di bawah meja. Mereka saling mengobrol dengan sahabat masa SMA-nya itu. Nggak berapa lama mereka memutuskan pulang, Arlyn dan Shandy sih yang buru-buru walau nggak ada salahnya refreshing tapi tetap aja nggak bisa ninggalin anak mereka lama-lama.
Udin sama Riri mau ke tempat lain berdua. Sedangkan Dion dan Gina memutuskan untuk pulang.
Gina mengusap lengan Dion yang ia peluk. "Kamu kenapa? Kok diem?"
"Agak capek aja kayaknya...." kata Dion tersenyum.
Di rumah, sesudah ganti baju dan bebersih, Gina menepuk pundak Dion yang duduk diam di atas kasur. Tidak mengerti apa yang ada di pikiran Dion saat ini. Mungkin Dion benar-benar capek.
Gina beringsut duduk di samping Dion lalu memijat lengan Dion tanpa diminta, biasanya Dion harus mati-matian merayu Gina dulu agar istrinya itu bersedia mijitin dia.
"Maaf ya, A. Aku tau kamu kemaren capek banget tapi aku yang nangis-nangis bikin kamu begadang, bukannya langsung tidur. Terus minta ikut kamu ke kampus, terus minta ketemu temen-temen. Maaf....Aku nggak maksud nyusah-"
Dion menarik tangan Gina dan membuat Gina duduk di pangkuannya. Dion menatap lekat mata Gina yang kini berkaca-kaca.
"Kamu nggak pernah nyusahin aku. Kamu harus inget. Aku suami kamu. Bukan cuman kamu yang kangen aku, aku ... aku juga kangen banget sama kamu."
Gina merasa wajahnya memerah dengan apa yang diutarakan Dion. Rasanya air matanya ingin tumpah entah kenapa. Ia memang begitu sensitif belakangan ini.
"Nangis aja, nggak apa-apa."
Mendengar perkataan Dion yang super menenangkan, Gina memeluk leher Dion dan menangis lagi.
"Kalau mata kamu bengkak, nanti dikira mama, aku banyak bikin kamu nangis, lho."
"Nanti aku bilang mama, Dion suka bikin kangen." Gina mengurai pelukannya dan menghapus airmatanya yang mengalir sambil terkikik geli. Sebuah kontradiksi memang.
"Kamu apalagi." Dion mencubit pelan ujung hidung Gina.
Gina mengecup rahang Dion singkat. "Kamu lebi--"
Kali ini omongan Gina terpotong karena suaminya menghalangi kalimatnya selesai.
Bersambung
Asragagagaggagagag
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top