i love you

"Yon, tolooong!" Gina merusuh Dion yang baru selesai mengancing kemejanya. Gina berdiri di depan Dion sembari menyingkap rambutnya yang tergerai. Ia meminta suaminya itu untuk menaikkan resleting gaun yang ia kenakan untuk ke gala premiere hari ini.

"Udah," ujar Dion sambil menepuk kedua bahu Gina. "Tenang, istrikuuu. Acaranya bakalan lancar kok."

"Aamiin!" kata Gina sambil menadahkan tangan lalu mengusap wajah dengan khidmat.

"Aduh, ikat rambutku mana, ya?" tanya Gina panik.

"Di tangan kamu itu apa?" sahut Dion santai seraya menyisir rambut.

Gina menyengir sampai gingsulnya terlihat melihat karet rambut di pergelangan tangannya dan langsung mengikat rambut. Gina mengerucutkan bibir memandang cermin. Make up udah mantap. Walau nggak ke MUA, Gina merasa cukup karena ia lebih percaya diri dengan riasannya sendiri. Gina kembali melirik amunisinya untuk hari ini.

"Pashmina dah siaps," tunjuk Gina ke hijab pashmina yang terbentang rapi di atas kasur.

"Sepatu sepatu sepatu?" Gina membuka lemari dan mengeluarkan pump heels yang ia beli minggu lalu sebagai self reward. Juga tas tangan cantik yang Dion belikan waktu ikut conference di Oslo ia letakkan di atas kasur.

Kala akan mengenakan hijab, Gina berhenti bergerak. Ada yang kurang, ciput ninja favoritnya sedang nggak ada di tempat. Duh, ampun deh.

"Jangan panik, pelan-pelan nyarinya," kata Dion waktu mendengar istrinya misuh-misuh.

Gina masih bergerak cepat ke sana ke mari. "Kamu ada liat nggak, Yooon?"

"Yang mana sih?" tanya Dion heran.

"Yang item, yang bahannya alusss, yang belinya sama kamuuu," cerocos Gina.

"Yakin udah kamu laundry? Nggak masih di keranjang cucian?"

"Ih udaah, Yon. Aku yakiiin."

"Coba cek plastik laundry yang baru kita ambil kemarin. Siapa tau ada di sana, belum kamu masukin ke lemari."

Mendengar itu, Gina langsung keluar kamar, menuruni tangga dan bergegas menuju plastik laundry yang tersusun di sofa ruang tengah. Gina segera mencari ciput ninja andalannya, yay ketemu!

Saat akan segera beranjak dari sana, kemeja kotak-kotak milik Dion yang berada dalam satu plastik wrap dengan benda yang ia cari itu mencuri perhatian Gina. Kemeja tersebut adalah kemeja yang sering Dion pakai saat kuliah dulu. Kemeja yang usianya hampir sama dengan kemeja yang Gina gosongkan dengan setrika.

Gina tertegun lagi. Terdapat juga kaos lama Dion. Hei, Gina ingat sekali kaos ini. Kaos polos berwarna merah milik Dion saat mereka SMA. Dion mengenakan kaos itu kala untuk pertama kalinya bernyanyi di festival band. Tawa kecil Gina muncul, mengingat ia yang seolah berperan menjadi manajer Dion saat itu.

Tersadar bahwa ia harus segera pergi, Gina meletakkan kaos tersebut setelah mengusapnya penuh makna. Gina berjalan melewati frame-frame berisikan fotonya bersama Dion. Foto saat wisuda, lamaran, pernikahan, resepsi, atau foto wefie memuat momen kegemasan mereka yang berada dalam frame kecil-kecil.

Kalau Gina pikir-pikir lagi, ia yang telah menjalani pernikahan satu tahun lebih bersama Dion, merupakan hal yang terasa seperti mimpi. Mengingat Gina yang tak bisa membayangkan hal seluar biasa ini akhirnya terjadi, tentang ia yang dulu masih menyimpan rasa diam-diam dibalik topeng persahabatan. Ia yang bahkan tak berani memimpikan masa depan.

Sejujurnya, Gina memang menyelipkan nama Dion dalam doa. Bukan meminta pada Tuhan untuk menjadikan Dion sebagai jodohnya, seringnya, Gina berdoa semoga Dion dilindungi dan dilancarkan segala urusannya. Seperti doanya untuk Arlyn, Kiya dan teman-teman yang lain. Siapa pun yang terlintas dalam pikirannya.

Perihal jodoh, benar-benar sebuah misteri. Gina tak berani menyebut nama, lagipula Sang Kuasa Maha Mengetahui. Maka Gina hanya memohon sosok terbaik untuknya. Apalagi saat itu, pernikahan sudah menjadi bahasan yang biasa bagi perempuan seumurnya. Tidak sedikit dari teman-temannya, bahkan angkatan di bawahnya sudah dipertemukan dengan sang pendamping hidup.

Dulu, Gina secara pribadi memasang target ingin menikah di umur 25 tahun. Tipikal, memang. Tapi saat menjalani kehidupan yang penuh kejutan, Gina nggak memasang target apa-apa perkara jodoh. Ia berharap dirinya dipertemukan dengan orang yang tepat di waktu yang tepat. Lewat dari umur 25 tahun pun nggak masalah, Gina benar-benar nggak bisa mengatur hal-hal yang sudah digariskan untuknya.

Bahkan nggak menutup kemungkinan, ia akan berjodoh dengan kematian sebelum bertemu pasangan hidupnya.

Syukurnya, Gina masih diberikan umur sampai saat ini.

Well, balik lagi.

Jodoh, tentang siapa itu orangnya, kita nggak akan pernah tau. Selama Dion di Jepang, ada beberapa laki-laki yang hadir sebagai calon potensial. Entah itu anak teman mamanya, teman kerja, atau cowok tak dikenal yang mengajukan taaruf.

Dalam situasi itu, Gina berserah saja. Jika benar orangnya, maka Gina minta permudahkanlah langkah orang itu untuk bersamanya.

Mengenai perasaannya pada Dion, benar, Gina menyimpannya. Untuk dirinya sendiri. Mengenyahkan malam-malam penuh rindu, dan menahan diri untuk tidak menyusul ke sana, atau sekadar menyapa meski hanya dari telepon genggam. Namun, Gina merasa tidak kuat. Maka dari itu, Gina memohon pada Sang pembolak-balikkan hati, agar perhatiannya dialihkan. Kala otaknya penuh akan Dion, Gina semakin berusaha kuat untuk fokus pada dirinya sendiri.

Seperti Dion yang juga tengah fokus dengan dirinya sendiri. Lagipula, siapa yang bisa menjamin? Sekali lagi, Gina nggak bisa menebak. Gina nggak punya kuasa untuk memastikan Dion untuknya. Bagaimana kalau seandainya jalan takdir berkata bahwa Dion akan menemukan perempuan baik dan itu bukan dirinya?

Namun, secara mengagetkan dan tidak Gina sangka-sangka sebelumnya, di umur Gina yang ke 24, Dion, sahabatnya itulah yang datang meminangnya. Untuk yang kedua kali setelah lamaran dadakan Dion saat mereka berumur 22 tahun. Dion yang dimudahkan langkahnya. Dion yang menjadi jawaban atas doa. Dion yang terpilih untuk maju menjadi pendamping hidupnya.

Gina banyak memanjatkan syukur. Ia menginginkan Dion sebagai pasangan dan Dion pun demikian. Akad dilangsungkan. Dionlah yang mengikrarkan nama panjangnya di depan wali hakim yang mewakili almarhum sang ayah. Dan akhirnya keduanya sah, baik itu secara agama dan negara, menjadi pasangan suami istri.

Menjadikan Dion sebagai imam dalam hidup. Menyatukan dua keluarga. Gina yang sempat merasa ragu, dilimpahkan keyakinan. Gina yang sempat takut, tak lagi merasakan perasaan negatif atau pun bimbang. Yang tersisa hanyalah rasa bahagia, meski gugup Gina mantap akan pilihannya menerima pinangan Dion.

Tanpa terasa waktu demi waktu berlalu. Kasih, tawa, canda, haru, tangis, pertengkaran, kecewa, semua menjadi warna-warni dalam pernikahan keduanya.

Gina berjalan perlahan memasuki kamar yang tidak tertutup. Ia memandang punggung lebar suaminya dan menatap lekat Dion yang kini sedang mengikat dasi. Gina tersenyum ketika Dion melihatnya dari cermin. Saat Dion akan berbalik, Gina menahan dengan memeluk suaminya itu dari belakang.

Melingkarkan lengannya, Gina sedikit berjinjit meletakkan dagunya di satu bahu Dion.

"Ciputnya ketemu belum?" kata Dion mencubit kecil pipi Gina.

"Udaaah, tuh," tunjuk Gina. Benda itu emang ia lempar begitu saja ke atas kasur sebelum memeluk Dion.

Dion bertanya-tanya saat melihat istrinya yang terlihat berbeda. Gina yang tadi grasah-grusuh, menjadi sangat tenang dan suasana hatinya sepertinya cerah. Pipi Gina juga terlihat bersemu. Sepertinya, blush Gina nggak semerah ini.

"Kenapa?" tanya Dion akhirnya sembari mengelus tangan Gina yang melingkari perutnya.

"I love you," bisik Gina.

Dion yang tidak menduga pernyataan itu langsung merasakan headshot. Jantungnya pun merespon dengan debaran kuat. Iya, dia memang sering gugup nggak karuan kalau Gina sudah bicara seperti ini.

"I love you too," jawab Dion sambil mengurai pelukan Gina. Cowok itu berbalik dan melingkarkan satu tangannya di pinggang Gina. Membawa istrinya itu mendekat.

Dion mengecup kepala Gina lalu membenamkan hidung mancungnya di rambut istrinya itu. Sementara Gina terus tersenyum dan membalas pelukan Dion erat. Menikmati aroma tubuh suaminya.

"Sebenernya bisa aja ngerusak lipstik kamu sekarang, tapi aku takut kamu bakalan telat banget ke acara penting ini," bisik Dion pelan sambil tertawa kecil.

"Oh, iya. Ya ampun!" Mata Gina membulat dan serta merta mengurai pelukan mereka berdua. "Duh, Yooon. Kita harus cepeeet!"

Tuh, kan. Dion bilang juga apa.

bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top