gue cium, boleh?
"Yon, gue cium boleh?" bisik Gina bertanya. Mendengar itu, Dion langsung bereaksi dengan mengangguk lebay dan mata yang berbinar-binar.
"Boleh banget, ngapain minta izin segala sih? Tapi nggak malu nih ada banyak orang?" Dion celingak-celinguk sebelum mendekatkan wajahnya pada Gina.
"Ish!!!" Gina kontan mencubit pinggang Dion kesal. "Maksudnya cium dedek bayi ini!"
"Owalaaah, gue kira mau cium gue." Dion menggaruk belakang lehernya. "Tanya ibu-bapaknya lah, Nang. Boleh cium atau nggak."
Raut kesal Gina berganti dengan senyuman manis, memperhatikan bayi Arlyn dan Shandy. Oh iya, nggak lama setelah Dion dan Gina menikah, usai proses yang cukup panjang dan rumit Arlyn dan Shandy memutuskan balikan serta mantap mengikuti jejak Dion dan Gina melangkah ke jenjang pernikahan.
Mungkin sekitar dua bulan lebih setelah menikah, Gina mendapat telepon dari Arlyn yang menjerit bahagia memberitahukan bahwa dirinya positif hamil. Dan sembilan bulan kemudian ... lahirlah bayi imut yang kini anteng tertidur di kasur kecilnya yang berwarna biru laut ini.
"Malu ah, Yon," bisik Gina lagi di telinga Dion.
Dion balas berbisik. "Kalau nggak dikasih izin nanti gue wakilin pas kita pulang ke rumah."
"Diiih!" Gina lantas memukuli lengan Dion. Geli banget sumpah mendengar mulut jail suaminya itu. Sedangkan Dion hanya mesem-mesem pasrah menerima pukulan sayang dari istrinya yang lucu.
"Ini suami istri gasrak banget kenapa sih?!" tanya Shandy heboh. Arlyn juga menyusul di belakangnya.
"Itu, Lyn. Gina mau cium bayi lo, boleh nggak katanya?" kata Dion terus terang.
"Boleh banget, Na. Sini gendong ajaaa." Arlyn mengangkat bayi kecilnya dan secara hati-hati menyerahkannya pada Gina.
"Beneran, Lyn? Duh, jadi deg-degan." Gina menggigit bibirnya gugup menerima bayi kecil itu dalam dekapannya. Gina membetulkan posisi duduknya dan memangku bayi Arlyn dan Shandy dengan sangat hati-hati. Ah iya, bayi perempuan ini namanya Marsha Ananda Prasetya. Boleh dipanggil dengan Sha aja.
"Lucu banget ya, Yon?" tanya Gina sembari mengusap pipi lembut Sha.
"Iya, lucu banget."
"Gue cium ya, Lyn," kata Gina meminta izin. Soalnya Sha gemesin parah.
"Boleh, Na. Cium aja," kata Arlyn tersenyum melihat anaknya yang menjadi sumber kebahagiaan orang-orang di sekitarnya.
Gina menunduk, hidungnya menciumi pipi Sha yang berisi. Matanya, hidungnya, bibirnya.... Semuanya lucu dan mungil. Apalagi wanginya Sha bikin Gina ingin nempel-nempel terus.
Dion juga ikutan gemas. Setelah mendapat izin, Dion dan Gina bergantian mencium baby Sha yang masih ada di pangkuan Gina.
"Kita bawa pulang ya, Shan. Assalamualaikum," canda Dion sambil mendekap bahu Gina.
"Waalaikumsalam---Eh ... eh nggak bisa. Susah ngadonnya itu. Nggak bisa sekali jadi!" seru Shandy yang membuat mereka seketika tertawa.
"Rilis sendiri lah nanti, Yon." Mama Arlyn bersuara. "Kan udah lumayan lama juga pacaran abis nikahnya."
Mama Arlyn ini, dikata anak mereka album jadi dirilis-rilis.
"Gina juga udah pinter banget itu ngemong bayinya," puji Mama Arlyn.
"Doain ya, Tante," jawab Dion sambil menepuk-nepuk puncak hijab Gina. Sementara Gina cuma tersenyum sopan.
Sebenarnya, Gina pernah keguguran pada 3 bulan pertama pernikahan mereka. Gina nggak menyadari dirinya tengah hamil muda dan ketika ia tahu, janinnya tidak selamat. Karena masih sangat awal, jadi nggak perlu dikuret. Gina harus minum obat aja untuk membersihkan kandungan. Gina mengalami pendarahan dan cukup terguncang secara psikis.
Cukup menyedihkan jika diingat, itu ujian rumah tangga mereka yang terberat mungkin. Gina dan Dion berusaha untuk bangkit dan mengikhlaskan kendati nggak mudah. Gina yang kecewa dengan dirinya sendiri juga Dion yang merasa tidak bisa diandalkan.
Keadaan cukup sulit saat itu, Gina terus menangis dan memutuskan pulang ke rumah mamanya. Ya, mereka juga pernah berdebat separah itu. Dion menahan Gina meninggalkan rumah, tapi Gina bersikeras. Gina bahkan menggunakan taksi walau Dion sudah bilang akan mengantar.
Akhirnya, Dion ikut menginap di rumah mama Gina. Menyelesaikan urusan rumah tangga mereka dan setelah proses yang cukup alot, emosi yang meluap-luap teredam dan mereka berakhir saling meminta maaf.
Sejak saat itu, Gina nggak pernah mendengar tekanan nggak langsung dari mama atau mertuanya dengan bilang mau cepat-cepat menimang cucu.
Ya, nggak dapat Gina pungkiri, walau nggak disampaikan, pasti ada keinginan para orang tua untuk menimang cucu dari mereka berdua. Namun, pertanyaan atau celetukan orang-orang luar pastilah ada. Gina sempat kepikiran, tapi selalu ia enyahkan dan berusaha biasa. Kalau belum waktunya ya bagaimana?
Sekarang ... Gina mau belajar mempersiapkan dirinya lahir dan batin untuk menjadi seorang ibu. Walaupun terkadang rasa iri itu tentu ada ketika melihat temannya yang telah memiliki bayi.
Apalagi, lebih duluan Dion dan Gina kan menikah daripada Shandy dan Arlyn. Gina menggelengkan kepala, mengusir pemikiran jelek itu. Ia yakin mereka punya zona waktu masing-masing.
Gina kadang suka mengelus perut teman-temannya yang hamil lalu mengelus perutnya sendiri. Ia juga memeriksakan rahimnya ke dokter kandungan dan syukurnya tidak ada masalah yang perlu dikhawatirkan. Dion juga dalam keadaan sehat segala-galanya. Jadi, mungkin memang perlu menunggu lagi saja kapan anugerah itu datang.
Perihal anak bukan hanya upaya manusia tapi juga campur tangan yang Maha Kuasa, kan?
Dion dan Gina juga sudah berdiskusi intens bahwa mereka berdua sudah benar-benar siap dan ingin menjadi orang tua. Tapi yang jarang dilakukan adalah harus bersiap juga dengan kehilangan. Dion dan Gina bersepakat apa pun yang terjadi mereka bisa menguatkan satu sama lain dan nggak saling pergi lagi. Mereka berkomitmen akan menikmati dan mensyukuri hari ini.
Di teras rumah Shandy dan Arlyn, Udin dan sedang Dion duduk-duduk santai.
"Yon, nikah gimana? Enak nggak sih?"
Dion mengangkat alis mendengar pertanyaan Udin yang tiba-tiba. "Ya nggak selalu enak juga, Din. Masing-masing keluarga punya masalahnya sendiri-sendiri. Tapi kan udah diikat nih di hadapan Tuhan. Menikah juga keputusan gue dan dia. Kalau ada masalah ya nggak bisa pergi gitu aja. Harus diselesaikan berdua."
Udin mengangguk-angguk mendengar kalimat demi kalimat Dion yang luar biasa serius.
"Lagian rasanya gue nggak bisa hidup kalau nggak ada Gina," timpal Dion lagi.
"Iya, kadang gue juga nggak nyangka lo jadi juga sama Gina. Lo berdua tuh pasangan tergemay gitu kalau kata anak sekarang."
"Iyalah. Tuh, gemes banget liat dia gendong bayi."
Udin tersenyum hangat melihat ekspresi Dion memandangi Gina dengan pendar penuh cinta. "Moga cepet ya, Yon. Tapi jangan jadiin beban. Santai aja."
Dion mengangguk pelan. "Iya, Din. Makasih banyak."
"Doain gue juga bisa nyebut nama panjang Riri depan penghulu secepatnya."
"Aamiin.... Usaha yang banyak lo," kata Dion menepuk bahu Udin.
"Lo juga usaha yang banyak." Udin tersenyum mesum. Dion langsung menjitak kepala Udin tanpa mukadimah.
***
"La, coba dong biasain ngomong aku-kamu. Kalian itu suami istri. Mama tau ya kalian berdua suka kelepasan manggil satu sama lain pakai gue-elo. Kalian itu kok aku-kamunya depan orang tua aja?" omel Ninda panjang lebar saat Gina berkunjung ke rumahnya yang juga nggak jauh-jauh banget dari rumah Gina dan Dion.
"Soalnya telinga aku suka gatel kalau Dion ngomong aku-kamu gitu, Ma."
"Halah, alasan doang," sembur Ninda nggak terima.
"Ih, beneran tau, Maaa. Geli-geli gimanaaa gitu," rengek Gina sambil meringis-ringis.
"Kalian aja tuh yang nggak biasain. Dibiasain dong dari sekarang."
"Iya, Ma. Fila coba...."
"Janji ya?" kata Ninda dengan mata menyipit.
Gina tersenyum sambil mengangguk patuh. "Iya, janji."
Obrolan dengan sang mama itu membuat Gina mulai mempraktikkannya dari shubuh ini.
"A...." Gina mengguncang bahu Dion pelan. "Udah adzan shubuh."
Suara bernada lembut menghiasi indra pendengaran Dion. Ia juga merasakan sentuhan kecil pada puncak kepalanya. Usapan yang begitu menghanyutkan. Kedua matanya pun sayup-sayup mulai terbuka. Ia menguap lebar dan menggaruk tengkuk.
"Nang?" Dion duduk dan melihat Gina di hadapannya lekat-lekat. Biasanya, selalu Dion yang bangun lebih dulu dan membangunkan Gina. Sekarang ganti Gina yang bangunin dia.
"Apa?" Gina mengangkat alis dan menunjukkan senyumnya yang teduh. "Ayo shubuh dulu."
Dion menyambut tangan Gina dan turun dari tempat tidur. Mereka bergantian berwudhu dan melaksanakan salat berjamaah seperti biasanya. Usai wirid dan berdoa, sambil melantunkan shalawat sama-sama, Gina mencium punggung tangan Dion. Sedangkan Dion mengusap puncak kepala Gina.
Setelah selesai membereskan mukena, Gina menyusul Dion yang duduk di tepi kasur memijat kepalanya. Dion masih pakai sarung, baju kokonya udah berganti dengan kaos putih polos.
"Kamu pusing?" tanya Gina meletakkan dagunya ke pundak Dion.
"Iya, sedikit."
"Mau aku pijitin kepalanya?" tawar Gina.
"Boleh?"
"Boleh dong. Sini." Gina menepuk bantal di atas pahanya, meminta Dion merebahkan kepala di sana.
Dion memejamkan mata, kepalanya menjadi lebih ringan karena sentuhan Gina.
"A...."
"Hm?"
"Aku mau kita biasain manggil aku-kamu bukan gue-elo lagi. Mama pernah dengar kita masih pakai gue-elo, terus kemarin negur. Nggak apa-apa, kan?"
Dion menganggukkan kepala. "Iya, nggak apa-apa. Nggak salah juga biasain mulai sekarang. Kamu ... nyaman-nyaman aja, kan?"
"Iya, kayaknya udah mau terbiasa." Gina menyengir lebar sampai gigi gingsulnya terlihat jelas. "Dulu tuh aku ngerasa cringe banget sih kalo kita ngomong aku-kamu, karena udah kelamaan temenan kali ya?"
"Iya, apalagi kalau aku udah mulai ngerayu-rayu, pasti bawaannya kamu mau nabok, kan?" Dion tertawa lepas.
"Asli parah itu mah. Pengin guling-guling aku dengernya. Apalagi muka kamu tuh tengil bangeeet." Gina menguyel-uyel pipi Dion gemas.
"Aku tengil gini kan, kamu juga sayang."
Mereka lantas tertawa.
"Sayang," panggil Dion. Sekarang mereka lagi beresin tempat tidur bareng-bareng.
"Uhm?"
"Keberangkatan aku dimajuin besok."
Dahi Gina langsung berkerut. "Ke mana?"
"Norway ... yang surat tugasnya udah ada sebulan lalu," kata Dion yang membuat gerak Gina terhenti saat melipat selimut.
"Yang kamu juga presentasi?"
Dion mengangguk.
"Sampai kapan? Aku lupa."
"Satu minggu, kurang lebih."
"Oh ... oke." Gina melanjutkan kegiatannya tanpa melihat Dion.
"Nanti sebelum berangkat aku antar kamu ke rumah mama atau mama aku jemput ke sini?"
"Terserah Aa aja."
"Harusnya gimana nyamannya kamu dong."
"Hm ... nggak tau."
"Kok gitu?"
"Nggak apa-apa."
Dion mendekati Gina dan memeluknya dari belakang. "Nanti bakal rajin video call."
Gina mengusap tangan Dion yang memeluknya. "Iya, aku ngerti."
"Jangan telat makan ya."
"Iya, kamu juga." Gina mengurai pelukan Dion dan berbalik menghadap suaminya. "Nanti aku bantuin packing."
Dion mengecup kening Gina cukup lama. "Doain lancar ya."
Gina mengangguk-angguk berusaha menghapus kesedihannya. "Semangats suamiii."
"Sayang rengginang poli." Dion mendekap Gina erat.
"Saaayang iyoncuuu," jawab Gina membalas pelukan Dion.
Bersambungs
Hiat hiat hiat berpelukaaaan.
:) :) :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top