gendooong
Sindrom nempel terusnya Gina ke Dion tiap hari kian menjadi-jadi. Dia hobi menggelendot di lengan Dion atau terus-terusan memeluk suaminya itu, hampir setiap saat.
"Ih pengap, tapi nggak mau berenti meluk," celetuk Gina melonggarkan pelukannya.
Dion terkekeh geli. Iya, kalau berpelukan sepanjang hari itu nggak kayak di drama-drama. Lengan pegal atau ngerasa pengap adalah kenyataan yang hakiki. Tapi kalau Gina udah maunya begini, Dion nggak terlalu masalahin. Cowok itu dengan santai mengatur suhu AC biar nggak pengap dan kembali memeluk istrinya.
"Pengertian banget, deh," ujar Gina kembali menyengir.
Dion menepuk-nepuk lembut punggung Gina. "Bobo peluk aja ya?"
"Iya, aku kan nggak grepe-grepe kamu, Yoon."
Dion tertawa dan menyentil kening Gina pelan. "Iya, tapi melekat kayak gurita."
"Masalah emangnya? Daripada nempel ke Manis kan mending ke kamu," tukas Gina dengan pipi menggembung.
Dion menghela napas panjang dan ingin sekali ia menggigit pipi Gina gemas. "Nggak masalah, sayangku. Cuman kalau di kampus jangan goda-godain aku biar cepat pulang dong. Aku nggak bisa konsentrasi."
"Emang aku godain kayak gimana?" tanya Gina sok polos.
"Uhm... kayak gitu deh," kata Dion lalu memeluk Gina kayak guling. "Udah ah tidur tidurrr."
"Ah, Dion nggak seru." Gina berdecak tapi tetap membalas pelukan suaminya hingga keduanya larut dalam dunia mimpi.
Keesokan harinya, setiap mau pisah sama Dion, Gina ngerasa beraaat banget. Namun, Gina mencoba menahan diri, namanya juga Dion kerja, masa diintilin mulu. Makanya setiap Dion pulang, Gina jadi seneng banget. Moodnya meningkat drastis.
"Yeay, Iyon pulaaang!" kata Gina bersemangat lari dari lantai atas mendengar suara pintu yang terbuka.
Gina masih lari saat membalas salam Dion. Dion mengernyit kala Gina menghentikan langkah secara tiba-tiba dan berdiri menunggunya di tangga dengan senyum lebar yang begitu manis. Dion meletakkan tasnya di atas meja lalu berjalan menghampiri Gina.
Gina mencium punggung tangan Dion lalu absen kiss di jidat.
"Mau gendooong," kata Gina sambil mengalungkan tangannya di leher Dion yang berdiri di anak tangga yang lebih rendah darinya.
Sudut bibir Dion terangkat, kalau Gina lagi manja gini dia jadi gemas bukan main. "Ya udah sini gendong."
Gina tergelak saat loncat memeluk Dion dan melingkarkan kedua kakinya di pinggang suaminya itu. Dion menaiki beberapa anak tangga lagi dan berjalan santai.
"Kuat banget deh, padahal kan aku nggak seringan Myongi," kata Gina menyebut kucing komplek yang sering datang dan pergi. Selain sepeda Dion, si Manis, Gina sering merasa perhatian Dion terebut dengan kucing gembrot nan bahenol itu.
Tapi kalau dipikir-pikir berat Gina sama Myongi nggak bisa dijadikan bahan perbandingan sih ya, soalnya kan jauh banget.
"Iya dong harus," kata Dion sembari mencium pipi Gina cepat sebanyak dua kali dan melanjutkan jalannya.
Seolah nggak terpengaruh dengan Gina yang sudah seperti koala bergelantungan di tubuhnya, Dion masih sempat ke sana ke mari untuk mengambil buku di ruang kerja atau botol minum di kulkas dengan satu tangannya sementara tangan lainnya tak lepas memeluk tubuh Gina.
"Aku mau mandi, kamu mau ikut nggak?" tanya Dion setelah masuk kamar mereka.
Gina langsung tersedak. Dion menahan tawa lalu mendudukkan Gina di atas tempat tidur. Gina menelan ludah saat Dion perlahan mendekat dan membuat tubuhnya mundur hingga terbaring.
Dion tertawa kecil melihat Gina yang merona. Mana Dion pakai acara buka kancing kemeja di depannya pula!
"Yakin nggak mau ikut?" kata Dion lagi setelah membuka kancing kedua.
Pipi Gina bersemu tapi dalam situasi ini Gina memegang prinsip 'kalau Dion mepet, dia harus lebih mepet'.
Saat Dion akan beranjak, Gina menyeringai dan segera menarik kerah kemeja Dion sampai wajah mereka bertemu nyaris tanpa jarak. "Meresahkan ya kamu, Yon."
*
Pagi ini, rencananya sekarang mereka mau lari pagi keliling komplek, tapi karena Gina lagi malas gerak pake banget, jadinya mereka jalan santai doang.
Keduanya tampak matching mengenakan training dan sweater. Dion dan Gina jalan bersisian, sneakers couple mereka pun melangkah seirama. Tak jarang keduanya menyapa warga komplek yang kebetulan berpapasan dengan mereka.
Senyum Gina otomatis muncul melihat interaksi satu keluarga tak jauh mereka yang sedang senam di halaman rumah. Ada ayah-ibu, juga tiga orang kakak beradik. Yang paling kecil kisaran umur 3 tahun.
"Seru banget," kata Gina semringah. Lagu senam penguin itu makin terdengar samar ketika Dion dan Gina sudah melewati rumah itu.
"Kalau kita nanti bakal senam apa ya?" tanya Dion.
Gina mengerucutkan bibir. "Hmm, senam apa aja, yang penting kamu instrukturnya."
"Senam waktu kita SMA aja deh kayaknya. SKJ bareng."
"Hahaha iya boleh, seneng deh, bayanginnya nanti kamu jadi hot papa ... terus aku jadi mamah muda," ujar Gina riang dan sarat pengharapan.
"Aamiin...." Dion tersenyum dan mencubit pipi Gina pelan. Mau nyium tapi ditahan sampai rumah aja deh.
"Tapi ya, kalau jalan pagi-pagi gini nih, yang nggak kenal sama kita sering ngira kita anak SMA yang lagi pacaran. Padahal kan udah nikah."
Dion lantas ketawa melihat Gina yang menggerutu. "Kalau aku lagi kumisan, pasti dikira kamu lagi jalan sama om-om."
Gina terkikik. "Nggak om-om banget kok, Yooon. Kamu tuh mukanya kayak bayi! Gemes, tapi badannya bongsor."
Lantas, Dion tergelak dan meletakkan dagunya ke atas kepala Gina sejenak. "Jauh gemesan kamu, ini kok makin mungil sih?"
Gina mencibir dan memegangi lemak perutnya. "Begini dibilang mungil."
"Mungil lah, bisa dikekepin."
Lantas Gina meraup muka Dion. Cowok itu ketawa. Nah, Gina jadi teralih memperhatikan potongan rambut baru Dion.
"Kalau kamu lagi gondrong dulu tuh rebel banget keliatannya, Yon," kata Gina sembari menyisir bagian rambut Dion yang dekat kening dengan jarinya. Rambut Dion emang rapi banget sekarang. Apalagi kalau lagi ditata formal, beuh udah kayak aktor Korea.
Gina sempat terpaku saat Dion merangkul bahunya erat secara tiba-tiba, melindunginya dari pesepeda yang melintas.
"Iya, dulu sempet rela nggak rela motongnya sih," sahut Dion santai dan tak berniat melepaskan rangkulannya.
Gina membalas dengan melingkarkan satu tangannya di pinggang Dion. Jadilah mereka mengobrol dengan saling merangkul sepanjang jalan. Disertai tawa, canda dan kasih sayang.
***
Memasuki kamar, Dion sedikit kaget melihat Gina yang udah tidur sekitar jam setengah sembilan malam. Padahal tadi mereka berdua sempat tidur siang walau sebentar. Mungkin Gina kecapekan. Hari ini tadi setelah jalan-jalan pagi, mereka berdua gotong royong bersih-bersih rumah, lanjut masak-masak, juga pas sore mereka sempat main bulu tangkis juga di halaman belakang.
Tangan Dion bergerak membenahi letak selimut Gina hingga menutup leher. Ia duduk di samping tempat tidur dan merapikan rambut Gina ke belakang telinga. Dion menunduk, mencium kening dan mengusap pipi istrinya itu.
Dion tersenyum dan beranjak menuju ruang kerjanya. Masih ada waktu untuk menyicil pekerjaan agar tak menumpuk.
Waktu demi waktu berlalu. Saat Dion sibuk berkutat di depan meja kerjanya, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Gerakan jemari Dion di permukaan keyboard terhenti kala Gina berjalan ke arahnya. Mata istrinya itu terlihat masih mengantuk.
"Dion...." kata Gina lirih.
Sebelum Dion berdiri, Gina sudah duduk di pangkuannya. Membuat punggung Dion sedikit tersandar pada bahu kursi kerjanya yang empuk.
Gina lantas memeluk leher Dion dan menyandarkan kepalanya di bahu suaminya itu.
Dion melepaskan kaca mata beningnya dan meletakkan benda itu ke atas meja. Ia memeluk tubuh Gina yang meringkuk di pangkuannya. "Kenapa, sayang?"
"Pusing...." kata Gina lirih.
Dion menunduk dan mengusap punggung Gina lembut. "Pindah ke kamar aja ya? Aku gendong...."
Gina bergumam tidak jelas. Tapi walau terpejam, ekspresinya tampak gelisah. Dion memeriksa kening Gina. Agak hangat. Sedangkan tubuh Gina berkeringat dingin.
Dion pun menggendong Gina tanpa kesulitan menuju kamar mereka. Ia meletakkan tubuh Gina di atas tempat tidur dan mengatur bantal agar Gina berbaring dengan nyaman. Mendadak, Gina bangun dan menggenggam lengan Dion. Gina agak panik dan menutup mulutnya ingin muntah.
Dengan bantuan Dion, Gina berjalan cepat ke kamar mandi yang ada di dalam kamar mereka. Dion tidak tega saat melihat Gina yang mengeluarkan isi perutnya. Ia merapikan rambut Gina ke belakang dan memijat leher atau bahu Gina, memastikan istrinya itu agar lebih nyaman.
Setelah berkumur-kumur dan memastikan Gina sudah tak muntah lagi, Dion menggendong Gina kembali ke tempat tidur.
"Kita ke rumah sakit ya?" ujar Dion khawatir.
Gina langsung menggeleng. "Nggak mau, mau sama kamu aja di sini."
"Sayang...."
Gina merengkuh Dion erat. "Mau tidur...."
Dion membaca doa dan meniup lembut ubuh-ubun Gina untuk beberapa saat. Ia pun sedikit lega saat Gina akhirnya bisa terlelap.
Dion memutuskan mengambil wadah di dapur, jaga-jaga kalau Gina ingin muntah lagi. Jadi, Gina nggak perlu repot bolak-balik kamar mandi.
Tangan Dion terulur mengusap rambut Gina dan akhirnya berbaring di sisi istrinya itu. Dion ikut terlelap, tapi juga akhirnya terbangun beberapa jam kemudian karena Gina yang kembali muntah-muntah.
Mereka berdua nggak bisa tidur nyenyak tadi malam. Dion kelimpungan karena Gina lemes banget. Ia sudah akan membawa Gina ke rumah sakit, akan tetapi Gina yang buru-buru bangkit dari tempat tidur menarik perhatiannya.
Dion berdiri di samping Gina yang sedang membuka lemari. "Kamu cari apa? Aku cariin."
"Bentar kayaknya aku telat deh, Yon," kata Gina pelan. Tapi terdengar antusias.
Gina tersenyum tipis saat menemukan benda yang dicarinya. Ada lebih dari satu.
Ya, test pack.
(si bongsor)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top