3am

Warning!

Gengs, muhun muuf, kalau skinship-nya di part ini agak terlalu intens. Nggak hot koook (iya kayaknya enggak). Tapi gue nulisnya sampai mau tereaaaak! AHAHHHA.

***

Sayup-sayup Dion membuka matanya.

Dion nggak bisa gerak. Awalnya Dion parno kalau-kalau saja dia mengalami peristiwa yang disebut dengan 'ketindihan'. Laki-laki itu mengembuskan napas lega, menyadari ia benar-benar lagi ketindihan. Bukannya makhluk gaib, Dion lagi ketindihan istrinya sendiri.

Pemandangan pertama yang Dion lihat adalah helaian rambut Gina. Aroma shampo Gina menguar lembut memasuki indra penciumannya. Dion tersenyum geli kala dagu dan sisi kepala Gina bergerak-gerak di atas dadanya. Mungkin sedang mencari posisi enak. Dion kaget ketika Gina mengangkat kepala, mata mereka bertemu. Hela napas Gina bahkan bisa Dion rasakan dengan jelas.

"Maaf, kebangun ya?" Suara Gina halus, nyaris seperti bisikan. Mata Gina yang terlihat masih super mengantuk, menyipit ketika menyengir polos.

"Ini jam berapa?" tanya Dion dengan mata yang masih mengerjap-ngerjap.

Gina melirik jam dinding. "Jam 3."

"Oooh. Kamu kenapa kebangun?" tanya Dion seraya membenahi anak rambut Gina dan menyelipkannya ke belakang daun telinga.

Sebenarnya Gina juga masih ngantuk berat. Antara sadar nggak sadar juga nemplok ke Dion gini. Namun, Gina nggak ada sama sekali niat untuk mengubah posisinya.

"Nggak tau juga sih. Betewe, aku nggak berat kan, Yon?"

Sebelum Dion menjawab, Gina langsung memotong. "Pasti nggak lah, kamu bilang kan aku ringan kayak ciki."

Gina dan Dion tertawa pelan bersamaan.

"Kamu kalau mau tidur, tidur aja, A." Gina mengusap kening Dion dengan ibu jarinya.

Dion menggeleng kecil. Nggak, Dion nggak bisa tidur lagi, setidaknya untuk sekarang. Dion berdeham lalu mengulas senyum tipis. Sebagian tubuh Gina menimpa Dion. Wajah mereka masih saling bertemu dengan jarak yang teramat minim. Bahkan sepertinya mereka bisa merasakan detak jantung masing-masing.

"Bibir kamu kok bisa pink banget gini sih, Yon?" Telunjuk Gina menyentuh bibir Dion pelan. Suara Gina serak, belum lagi matanya yang sayu. Mana Gina pakai acara senyum-senyum terus lagi, Dion kan jadi asfghjkl.

"Nggak tau. Bibir kamu juga pink banget."

"Aku kan pakai lipcare. Kamu enggak. Kamu juga pernah ngerokok." Kening Gina mengerut. "Eh, tapi Lee Jong Suk juga ngerokok, bibirnya tetep pink juga sih."

"Emang dari sananya mungkin." Dion membasahi bibirnya yang terasa kering dan membuat Gina salah fokus.

"Yon, jangan kayak gitu, ih."

"Jangan gitu gimana?" tanya Dion heran.

"Jangan kayak gini." Gina kembali mendemonstrasikan bagaimana Dion membasahi bibirnya.

Dion malah mengulangi perbuatannya. "Kenapa deh? Bibir aku kering ini."

"Kamu ... hng ... jadi keliatan seksi kalau basahin bibir gitu," kata Gina jujur.

Oh iya, jelas. Dion dengan rambut acak-acakkan. Muka baru bangun tidur. Nada suaranya yang rendah dan serak. Juga dada bidangnya yang kini Gina jadikan alas.

Ditambah lagi dengan melihat Dion membasahi bibir, benar-benar menggoda Gina untuk bertindak ekstrem. Huh, menstruasi Gina udah beberapa hari sih, tapi tetap saja dia belum bersih.

Dion terkekeh geli. "Seksi banget nih? Lebih seksi lagi kalau kamu pakai lin---"

"Hush! Rahasia perusahaan." Gina membekap mulut Dion singkat. Lalu mereka tertawa lagi.

"Dah ah, tidur lagi yuk tiduuur." Dion menangkup wajah Gina lalu menciumnya singkat.

Tersenyum lebar, Gina mengelus rambut Dion sejenak. Mereka berbagi bantal. Ujung hidungnya hampir menyentuh pipi Dion. Sementara tangan Gina sedikit mengcengkram piama tidur yang Dion kenakan.

"I'd be lost without you, Na," ujar Dion sembari membawa lengannya melingkari punggung Gina. Menepuk-nepuknya pelan.

"In your arms is my favorite place in the world, A."

Dion dan Gina kembali memejamkan mata dengan senyum yang terukir samar sebelum kamar itu hanya dihiasi oleh hela napas mereka yang teratur.

***

Dion terbangun, menyadari ia dan Gina masih berbagi pelukan. Lengannya terasa kebas tapi Dion sama sekali nggak mempermasalahkannya. Senyumnya terulas mengingat tingkah laku Gina beberapa jam yang lalu.

Secara hati-hati, Dion menarik lengannya dan memposisikan kepala Gina untuk berbaring di bantal dengan nyaman. Dion memperhatikan wajah Gina kala tidur, entah untuk yang kesekian kalinya.

Dion suka memandangi wajah polos Gina atau menyentuh bulu mata istrinya yang lentik. Bibir Gina yang lebih sering sedikit terbuka karena terlalu lelap atau hidungnya yang kembang kempis. Firstya Angginafila is really pure, sweet ... and amazing.

Usai mengecup ringan pelipis Gina, pandangan Dion lalu beralih pada cincin yang melingkari jari manis istrinya. Dion mengusap cincin Gina lalu menyandingkan dengan cincin yang ia kenakan. Rasanya bibir Dion tak bosan-bosannya mengulas senyum. Tangan Dion lalu bergerak merapikan selimut Gina sebelum turun dari tempat tidur.

Seperti biasa, Dion dan Gina menjalankan rutinitas sehari-hari. Dion mengantar Gina ke kantor sebelum pergi mengajar. Gina akan meeting membahas projek baru mendatang yaitu sebuah film dokumenter.

Gina menyalimi tangan Dion kayak anak diantar bapaknya ke sekolah. Dion protes dan menggeleng waktu Gina meletakkan punggung tangannya ke pipi. Istrinya itu malah sengaja menggoda Dion dan malah mengarahkan ke dahi.

Dion tersenyum kalem. "Firstya Angginafila...."

"Haha iya ... iya." Gina mencium punggung tangan Dion dengan hidungnya.

Kemudian nggak tanggung-tanggung, Gina memberikan bonus ciuman bibir meninggalkan sisa lipstiknya yang glossy di punggung tangan Dion.

Kebiasaan mereka saat harus berpisah dalam kegiatan masing-masing yaitu ... setelah bersalaman, keduanya akan mengobrol sebentar dengan tangan yang terus bertautan.

"Jangan capek-capek," kata Dion sembari mengayunkan genggaman tangan mereka.

"Hmm, semangat ngajarnya, bosqueee." Gina tersenyum hingga gigi gingsulnya terlihat jelas. "Kalau ada mahasiswa kamu yang bikin puyeng, langsung lapor ke aku, oke? Nanti aku doain biar ga bikin puyeng kamu lagi. Berani-beraninya mereka membuat suamiku puyeng."

Dion tertawa dan mencubit pipi Gina dengan cubitan nggak serius. "Yang ada aku yang bikin mereka sakit kepala, Na."

"Oh ... kalau gitu aku yang doain mereka biar dikuatkan," kata Gina penuh khidmat.

Tawa Dion terdengar merdu, raut wajah Gina yang ekspresif sekaligus ajaib benar-benar membuatnya gemas overload.

"Ini kamu nggak berangkat-berangkat?" tanya Gina mendelik.

"Idih, kamu yang nggak turun-turun," sahut Dion sama tengilnya.

"Ya udah aku turun dulu yaw."

"Ya udah ini dulu," kata Dion enggan melepaskan tautan tangan mereka kemudian mencondongkan pipinya ke arah Gina.

"Wew, suka begitu ya Anda." Gina lalu mengecup pipi Dion.

Dion menahan lagi ketika Gina akan mundur. "Anda nggak mau disun keningnya?"

"Oh ya harus dong. Anda ini peka banget. Meriang saya kalau nggak disun paksu," ujar Gina yang membuat perut Dion tergelitik.

Dengan senyum lebar, Gina mendekatkan wajahnya dan absen kiss Dion di keningnya pun ditunaikan.

"Aw, jadi senang."

Tak lama kemudian, Dion dan Gina terkesiap saat seseorang menggetuk mobil mereka.

"Yaelaaah, woi mencurigakan banget lama amat di parkiran. Turun woy!" kata Pilip heboh. Kiya yang turun tak lama setelah Pilip pun hanya tertawa geli.

"Ih ganggu banget si Pilip Pilip," gerutu Gina. Cewek itu sempat saja menggigit punggung tangan Dion, sebelum genggaman tangan mereka terlepas walau Gina tak rela.

"Adow," kata Dion sebagai respon. Tapi nggak membalas kayak biasanya, karena Dion telah menurunkan kaca mobil dan mendapati seraut wajah Pilip yang menjulingkan mata.

"Ngapain lo pake juling segala?" tanya Dion heran.

Pilip kembali menormalkan mata sipitnya. Oppa Korea KW itu menyengir. "Biar surprise. Btw, gue ganggu?"

"Banget!" sahut Gina spontan. Kalau Pilip nggak ganggu kan mungkin bisa dapat jatah sun nggak cuma di kening.

"Ya ampun, Na. Bete amat muka lu," ejek Pilip tanpa rasa bersalah.

Gina bersungut-sungut. "Lu rese."

Muka Gina yang ditekuk langsung berubah manis manja grup ketika beralih memandang suaminya.

"Aku turun ya, cinta," bisik Gina di telinga Dion.

Dion yang geli lantas tertawa. "Iyaaa."

Gina pun turun kemudian bergabung bersama Kiya.

"Bini lo gue bawa dulu sebelum ni kantor gulung tikar ya, Yon," kata Kiya seraya mengalungkan tangan di lengan Gina.

"Bye bye sayangku. Love you full. Hati hati di jalan yaaa. Kalau dah sampai kampus kabarin!" Tangan Gina melambai ke arah Dion.

Dion balas melambaikan tangannya ke arah Gina.

"Batre tu anak kayaknya ga abis-abis ya, Yon?"

Iya, batrai happy virus Gina yang maksimum membuat Gina yang sempat gloomy dan sedih terus-terusan waktu kemarin-kemarin itu adalah hal yang benar-benar nggak biasa.

"Ya begitu deh, dia senang bergerak aktif. Ada-ada aja tingkahnya," kata Dion melihat Gina yang walau sudah berjalan jauh masih sesekali menoleh ke belakang menebar senyum untuknya.

Pilip terkekeh. "Ya udah lo hati-hati di jalan."

"Eh bentar, gimana lo sama sepupu gue?"

Cowok itu tersenyum miris. "Gitu-gitu aja."

"Lo sama Celia beneran udahan nggak pake nyambung lagi?" tanya Dion mengingat Pilip dan Celia yang sempat putus nyambung.

"Cerita lama, Yon. Enam bulan lebih udah gue selesai sama dia. Kita juga nggak ada kontekan lagi."

"Lo serius sama Kiya walau lo tau...."

"Lo serius masih nanya, Yon?"

"Ya udah, cuma nanya."

"Gue nggak meyakinkan emangnya?"

"Bukan begitu maksud gue."

"Cowok yang deketin dia didepak mundur. Dia masih nggak bisa lepas dari Juli. Gue bisa di deket dia entah sampai kapan atas nama temen, walaupun gue nggak tau Kiya nangkep gue ada rasa sama dia atau nggak."

"Gue cuman bisa doain yang terbaik buat lo sama Kiya."

"Thanks, Yon."

***

Sorenya Gina pulang lebih awal daripada Dion yang berkutat di kampus hingga menjelang magrib.

Sesampainya di rumah, mereka makan malam bersama. Kemudian Dion sibuk dengan laptopnya. Juga memeriksa beberapa tumpukkan buku-buku tebal di meja kerja.

"Aku di sofa depan ya. Nonton TV." Gina mengusap bahu Dion setelah meletakkan setoples kacang atom di depan suaminya itu.

Dion tersenyum menggenggam tangan Gina di bahunya. "Makasih ya, sayang."

"Hehe, sama-sama." Gina mengedipkan matanya dan tertawa kecil sebelum keluar dari ruangan itu.

Dion berusaha fokus mengerjakan laporan penelitiannya. Hampir empat puluh menit, Dion berhasil menyelesaikannya dan turun menyusul Gina. Terlihat istrinya itu sedang duduk di lantai menyandarkan tubuh pada sofa dan menulis sesuatu di atas kertas dengan meja bundar yang dijadikannya alas. Biar Dion tebak, sepertinya Gina sedang menulis daftar belanja bulanan.

"Daftar belanja?"

"Yo'i, Bro," sahut Gina singkat karena fokus menulis.

Dion mendudukkan diri di atas sofa tepat di belakang Gina. Gina menggerutu kala kedua paha Dion yang terbalut celana piama panjang itu membentengi tubuhnya di kanan-kiri. Dion lalu memeluk leher Gina yang begitu betah duduk di lantai. Setelah puas menciumi ubun-ubun Gina. Kemudian Dion menggesekkan dagunya di puncak kepala istrinya itu.

Gina menggerakkan kepalanya dan membuat Dion ikut-ikutan menggerakkan kepala. Gina menoleh ke kanan, Dion ikut ke kanan. Gina menoleh ke kiri, Dion ikut ke kiri. Dion tak bisa menahan tawa tatkala Gina menggelengkan kepalanya cepat.

Tangan Dion sesekali menguyel pipi Gina gemas. Kadang Gina ingin menggigit tangan Dion yang bergerak jail tapi Dion malah beralih memeluknya lebih erat.

Tentu masing-masing pribadi punya cara sendiri menunjukkan rasa kasih sayang. Namun, bagi Dion dan Gina, selain komunikasi verbal, physical affection adalah salah satu kunci keluarga harmonis mereka. Bukan hanya aktivitas seksual, Dion dan Gina memang sangat lengket mengingat betapa touchy-nya mereka.

Cuddle, hug, kiss, peck atau berbagai sentuhan sederhana seperti menggengam tangan, usapan, gelitikan, hingga jitak-menjitak. Dulu Gina memang bertindak lebih pasif dan Dion lebih mendominasi. Namun, kini Gina merasa bukan masalah besar untuknya melakukan first move.

"Belanja apa lagi ya, A?" tanya Gina memiringkan kepalanya, berusaha menatap Dion. Tangannya mengangkat kertas itu agar Dion bisa melihat tulisannya dengan jelas.

"Aku mau nyetok jelly sama yakult," tutur Dion.

"Okidoki." Gina menulis lagi, menambah daftar belanja agar tidak ada yang terlupa walaupun di tempat belanja nanti seringkali terjadi improvisasi.

"Kalau aku ... mau cocobit warna biru." Pulpen Gina kembali menari di atas permukaan kertas. "Gimana? Coba cek lagi."

Dion memeriksa kertas itu sekali lagi lalu menganggukkan kepala. Setelah urusan daftar belanja itu beres, Gina kembali mendongak dan memajukan wajahnya ke dekat telinga Dion yang sedikit menunduk. Tangan Gina mengusap-usap belitan tangan Dion yang masih berada di sekeliling bahu dan lehernya.

"Fyi, aku udah mandi, lhooo," bisik Gina lalu mengibaskan rambutnya yang wangi stroberi. Memberi penekanan pada kata mandi.

"Thank you for information yaa." Dion menyengir lebar.

Tanpa basa-basi, Dion berdiri dan Gina lantas mengalungkan tangannya pada leher Dion ketika tubuhnya tiba-tiba melayang. Keduanya terkekeh geli menuju tempat tujuan. Gina pun dengan senang hati membantu Dion mengunci pintu kamar.

Lalu, biarkan semesta berkata mantap.

Bersambung

HAREUDANG HAREUDANG HAREUDANG

nonono nggak ada adegan m4nt4b s0uL, sampai di sini aja udah gonjang-ganjing bgt nggak siiihhhhh.

Regards, iin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top