(As Sweet As Chocolate) Sugawara x Reader
•
•
•
•
•
Enjoy the story
Sabtu, 13 Februari 201×
Pukul 7 malam.
(Name) membuka tutup kotak itu dengan perlahan, mengintip kedalam kotak yang memperlihatkan selusin bola-bola kecil terbuat dari cokelat tertata dengan rapih di tempatnya masing-masing.
'Hm, semua sudah selesai.'
Ucap (Name) dalam hati sambil tersenyum tipis, lalu kembali menutup kotak yang barusan (Name) buka. Sekali lagi, (Name) memandang kotak itu, lalu mengusap-usap permukaannya yang halus.
Kotak berbentuk sebuah hati yang manis, di bungkus dengan warna merah muda yang sangat pas disertai bintik-bintik putih. Sebuah pita putih yang telah jadi di rekatkan di atas permukaan kotak, membaur dengan warna-warni pastelnya.
Sambil bersenandung, (Name) membalut kotak dengan sebuah kain beludru dan dibuat sebuah simpul. Tampak seperti sebuah bungkusan bento yang selalu dibawa anak sekolahan untuk makan siangnya.
"Semoga dia menyukainya." (Name) tersenyum penuh harap. Semoga tak ada yang menyadari pipinya yang merona saat (Name) keluar nanti. (Name) berlari ke arah pintu depan dan memakai jaket cokelat tebal, sepasang sepatu bot berbulu yang diberada di rak sepatu, kemudian berjalan menuju pintu.
Pintu kayu bercat putih itu berderit pelan, seolah menjerit saat (Name) memegang gagang pintu dan membukanya. Angin musim dingin bulan Februari berhembus pelan, beberapa titik salju berjatuhan dengan lembut. Hidung (Name) sedikit memerah karena suhu dingin.
"Dingin sekali, brrr..." gumam (Name) dengan tubuhnya yang menggigil. Setiap napas yang dihembuskan terlihat seperti asap yang mengepul. Bahkan saat menapakkan kaki keluar saja, (Name) dapat merasakan dingin yang menusuk tulang. "Hah.." menghela nafas pelan, dan muncullah sedikit rasa enggan untuk keluar rumah - namun (Name) ingat mengapa dirinya melakukan ini.
Setelah menarik napas sesaat, lalu menghembuskan nafasnya kembali. (Name) melangkah keluar dengan percaya diri, mengunci pintu rumah terlebih dahulu dan berlari ke arah halte bus yang tidak terlalu sepi. Langkah kakinya terasa berat saat menapaki salju-salju yang semakin lama semakin tebal, meninggalkan jejak kaki yang dalam dan jelas terlihat.
(Name) duduk diatas bangku besi yang dingin dan membeku, di samping (Name) ada beberapa orang sedang duduk, terlihat tak sabar menunggu bus untuk mengantar mereka pulang.
(Name) melirik ke sekelilingnya dengan bosan. Beberapa bohlam lampu yang menerangi halte, telah pudar cahayanya. Bahkan ada yang sudah mati atau berkedap-kedip. Mungkin tempat ini tak terlalu terurus.
(Name) menatap ke kanan, lalu ke kiri dengan cemas.
Ah, salju yang turun semakin menebal. "Ayolah, jangan sampai penerbangannya di batalkan." gumam (Name) dengan perasaan cemas, (Name) menggigit bibir bawahnya sambil meremas tangannya sekuat mungkin sehingga buku-buku jarinya kian memutih. (Name) ingin menemuinya malam ini.
(Name) tidak ingin sampai ke bandara dengan berita penerbangan pesawat yang membawanya batal. (Name) hanya dapat berdoa dalam hati agar badai salju malam ini berlalu dengan cepat.
"Huh.." (Name) menghembuskan nafasnya kasar, saat itu juga suara klakson terdengar beberapa meter dari halte tempatnya bernaung. (Name) menoleh ke arah sumber suara dan mendapati sebuah bus yang tak terlalu besar sedang berjalan kemari. 'Oh, busnya sudah datang.' batin (Name) dengan perasaan lega.
(Name) mendengar beberapa orang disampingnya mendesah lega. Sama seperti dirinya. Sepertinya mereka telah menunggu bus itu sangat lama. Bus telah sampai dan pintu otomatisnya telah dibuka, udara hangat dari pemanas ruangan di dalam bus yang menghangatkan tubuh dapat dirasakan. Dengan segera orang-orang berbondong-bondong masuk, tak menghiraukan (Name) yang sedang melamun.
Hampir saja pintunya tertutup kembali, (Name) segera berdiri dan melangkah masuk dengan buru-buru. (Name) menghampiri tempat duduk dimana dirinya bisa menghadap kearah jendela, meskipun sebenarnya (Name) tak dapat melihat apa-apa diluar. Kaca jendela sudah dilapisi dengan salju tipis.
Mengapa harus malam ini salju turun dengan lebatnya? (Name) bertanya pada dirinya sendiri. (Name) membetulkan posisi duduknya sampai dirinya merasa nyaman, lalu kembali melamun. Perjalanan dari daerah ini ke bandara memang sedikit jauh.
Bus berjalan dengan pelan, mulai pergi meninggalkan halte. (Name) memegangi kain beludru yang berisi cokelat buatannya dengan erat. Satu persatu, penumpang-penumpang bus mulai tertidur, kecuali (Name) dan beberapa orang yang sibuk mengutak-atik ponsel pintar mereka.
Menatap kearah jalan-jalan yang diselimuti salju, diiringi getaran yang menenangkan membuat (Name) ikut tertidur.
'Aku ingin menemuinya sekarang.'
«🌸»«🌸»«🌸»«🌸»
Aku bertemu dengannya di pagi yang cerah, pada musim semi di hari minggu. Bunga favoritku, bunga Buttercup sedang bermekaran. Bunga-bunga itulah yang menarik perhatianku setiap musim semi datang.
Saat itu, aku tengah berjalan-jalan sendiri tanpa tujuan pasti, hanya menikmati pemandangan bunga-bunga yang bermekaran di pinggir jalan. Saat itulah aku melirik ke kanan dan mendapati sebuah pot bunga Buttercup tergantung di atas jendela.
Aku menghampiri pot itu, hanya sekedar membelai mahkota-mahkota bunga yang berwarna keemasan dengan lembut, lalu mencium aromanya yang menenangkan. Namun saat itu, aku baru menyadari bahwa aku sedang berdiri di depan jendela sebuah kafe.
Karena aku mempunyai banyak waktu luang, kupikir aku bisa mampir sebentar dan mencicipi sedikit menu disana.
Oh, aku sangat beruntung untuk mampir waktu itu.
Lonceng kecil berbunyi diatas pintu yang ku masuki. Baru saja aku melangkah masuk, semerbak harum vanilla dan cokelat tertangkap melalui Indra penciumanku. Sangat harum dan membuatku lapar. Rasanya seperti kedua kakiku ditarik masuk kedalam.
Mungkin aku akan membeli secangkir cokelat dingin yang dilapisi krim. Ya, terdengar enak. Atau es krim dan wafer? Biskuit? Ahhh, apa ya... Aku belum tahu. Mungkin akan kulihat di buku menunya nanti.
Aku melihat sekeliling, dahiku sedikit mengerut begitu melihat suasana yang sangat ramai. Semua meja telah diisi, sepertinya aku tidak akan kebagian tempat.
Aku menyadari sebuah bangku kosong di meja kecil khusus untuk berdua. Yah, untuk mereka yang memiliki pasangan mereka. Dengan sorotan mata penuh harap, aku berjalan menuju meja itu. Ketika aku sampai di depan meja yang kutuju, baru kusadari meja itu telah diduduki seseorang.
Laki-laki, sepertinya.
Dan disitulah dia, sedang menyesap Cappucino sambil mengutak-atik keyboard laptop yang ia gunakan. Dia, yang menarik perhatianku. Dengan hati- hati aku perhatikan penampilan dan gerak-geriknya. Aku terlihat bodoh sekali saat itu. Untung saja dia tidak menyadarinya.
Dengan gugup, aku menghampiri laki-laki itu dan menepuk pundaknya dengan halus. Benar-benar halus. Dia yang menyadari langsung melepas headphone berwarna Oranye yang dia gunakan dan melirik kearahku.
Sorot matanya terlihat kebingungan, terlihat jelas dari raut wajahnya.
"Permisi." Aku berkata dengan pelan, mencoba untuk memulai percakapan. Belum pernah dalam hidupku, aku merasa sangat tidak nyaman seperti ini. Yah, memang benar, sama sekali belum pernah aku berbicara pada seorang lelaki yang tidak kukenal.
"Ya? Ada yang bisa kubantu?"
"Apakah ada yang duduk disini, saya sedang mencari tempat duduk, tetapi sepertinya tidak ada yang tersisa." Aku menggenggam erat dompet kecil yang kusembunyikan dibelakangku. Aku mengira, dia akan meminta maaf dan memberi tahu bahwa ada orang lain yang duduk di bangku ini, tetapi perkiraanku ternyata salah.
"Boleh saja, duduklah!" Dia tertawa simpul, dengan lembut mempersilakanku untuk duduk. I-ini tidak seperti yang ku bayangkan. Biasanya kan, laki-laki itu sangat kasar. Dia berbeda dari laki-laki lainnya.
Aku duduk di kursi, lalu mencari posisi ternyaman. "Hei, kau ingin memesan apa?" Tanyanya, yang masih berdiri. "Akan ku pesankan-..." Aku sudah mencegatnya sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Ti-tidak apa-apa! Aku bisa pesan sendiri." Aku tertawa gugup, berdiri dari bangku yang baru saja ku duduki dan berjalan ke arah kasir dengan tergesa-gesa. Dengan pikiran yang setengah buyar, aku sabar mengantri.
Akhirnya aku hanya memesan sekotak cokelat dan secangkir teh melati yang masih hangat.
"Kacau." geramku pada diriku sendiri, kan salahku yang salah mengucapkan nama pesanan, ingin mengganti pesanan tetapi sudah terlambat. Pramusaji itu sudah meneriakkan apa yang ku sebut tadi. Huh, setidaknya aku mendapatkan coklat.
Mendesah pelan, aku berjalan gontai ke arah bangku, dan mengemut coklat dengan lemas. Hmm, rasanya agak pahit di lidahku, aku sangat tidak menyukainya.
"Wah, kau memesan coklat. Boleh kucicip sedikit?"
Aku melirik ke sumber suara dengan agak malas, mendapati sepasang mata tepat didepan mataku sendiri. Aku hampir saja terjatuh dari meja, jika dia tidak mencegahnya dengan tepat waktu. "Eh, maaf." Dia terkikik, aku yang melihatnya membuat kedua pipiku merona merah. Aku hanya diam, tak mampu mengeluarkan kata-kata.
"-...Ambil saja," jawabku singkat, sambil mengelap seluruh wajahku yang basah karena keringat dengan tisu. Cowok itu nyengir, lalu menyambar salah satu cokelat dan memakannya dengan lahap.
Aku memerhatikannya sekali lagi. Rambutnya yang berwarna soft grey. Headhone berwarna oranye yang sangat pas melingkari lehernya. Mata cokelat hazelnya terlihat menawan, innerbeauty di bawah mata kirinya yang menarik perhatian. Dan satu lagi yang hampir kulupakan. Senyumannya.
Senyum yang semanis cokelat.
"Hehe, Arigatou." Dia bergumam pelan, sambil menelan potongan cokelat yang terakhir.
Dalam sekejap, aku bisa merasakan batang cokelat yang meleleh di mulutku terasa amat manis.
«🌸»«🌸»«🌸»«🌸»
Namanya Sugawara Koushi. Dia seorang mahasiswa, dua tahun lebih tua dariku. Dia mengatakan bahwa minggu itu adalah hari terakhirnya di kota Miyagi, karena dia akan melanjutkan pendidikannya keluar negeri untuk beberapa tahun kedepan.
Dia adalah seseorang dengan kepribadian yang menyenangkan dan periang, dia bahkan mengajakku jalan-jalan di hari terakhirnya meskipun kami baru saja berkenalan. Aku sangat menghargai kesertaannya hari itu.
Tepat di bandara, sebelum pesawat yang membawanya akan pergi, Koushi -aku memanggilnya seperti itu karena dia yang meminta- menyarankanku agar saling bertukar nomor ponsel, tanpa basa-basi akupun menyetujuinya.
Setiap hari, kami saling bercakap-cakap lewat ponsel kami, bahkan pada suatu waktu aku sempat mencoba melihat wajah masing-masing melalui sebuah panggilan video call di Skype.
Meskipun di tempatku masih terang benderang, ternyata di seberang sana sudah pukul 3 pagi, dia baru saja selesai melengkapi pekerjaan yang harus dikumpulkan esok hari.
Aku tertawa sangat keras saat melihat kondisinya yang terlihat kusut dan acak-acakan. Dia menanggapiku dengan raut sedikit kesal.
Meskipun jarak kami saling berjauhan, Koushi dan aku tetap bersenang-senang. Ikatan ini yang saling mendekatkan kami. Dan juga mendekatkan hatiku padanya.
Aku menyadari saat diriku pertama kali bertemu dengannya. Love at First Sight, itulah kata mereka, teman-temanku. Saat itu, aku mengira bahwa mungkin itu hanya sekedar naksir saja. Namun dugaanku salah. Sama sekali salah.
Aku menyukai-tidak, Aku mencintainya.
Setiap hari aku selalu mencoba menghubunginya, menanyakan apa kabarnya. Setiap malam, aku selalu saja memikirkan tentangnya sebelum aku tertidur. Bahkan dia selalu berada dalam mimpi-mimpiku.
Lovestruck, kataku balik.
Meskipun begitu, aku tidak pernah menyatakan hal itu padanya, atau memberi satu kode pun padanya. Aku tidak mempunyai keberanian untuk itu. Aku juga tidak ingin dia terbebani oleh perasaanku ini. Belum tentu aku bisa menangani sebuah penolakan apabila itu terjadi.
Lagipula, mungkin saja aku terlambat. Bisa saja dia sudah mempunyai seseorang yang dia sukai di negeri sana. Bahkan mungkin, kekasih yang dia cintai sepenuh hati.
Memikirkan tentang ini selalu membuat perutku mual. Namun setidaknya, aku dapat memberikan cokelat ini kepadanya. Yah, setidaknya sebagai tanda 'pertemanan'.
Hari ini dia akan terbang pulang kesini, karena dia sudah lulus kuliah. Pesawatnya akan mendarat kira-kira nanti malam. Saat itu aku sangatlah gembira hingga aku bersusah payah membuat cokelat untuk dirinya, tentu saja buatanku sendiri.
Aku tahu, hari pada saat kami bertemu, dia menanggapi bahwa dia sangat menyukai cokelat.
Maka dari itu, kubuat cokelat-cokelat ini dengan cinta dan setulus hati. Akan kuberikan yang terbaik untuknya, untuk yang pertama dan bisa jadi yang terakhir pula. Aku tak apa-apa dengan itu.
Tak apa-apa.
«🌸»«🌸»«🌸»«🌸»
Aku terbangun karena sebuah guncangan yang cukup keras, membuat kepalaku terbentur jendela bus agak keras. "Aww!" Aku mengerang pelan, hampir saja kotak yang ku pegang jatuh. Setelah mengerjapkan mataku beberapa kali, akhirnya kesadaranku mulai kembali.
Aku dapat merasakan suasana yang tegang. Penumpang-penumpang yang terbangun sedang berbisik-berbisik, namun suara mereka tetap terdengar berisik. Mesin bus juga terhenti, rodanya sudah tak lagi berjalan diatas jalanan bersalju.
Jantungku berdegup dengan kencang, sambil menerka-nerka apa yang terjadi. Apakah busnya mogok?
"Hujan salju di luar juga semakin ganas." tanggapku pelan, aku menempelkan telapak tangan kananku ke kaca jendela, namun langsung kutarik kembali karena suhunya yang sangat dingin.
"Hahh.." aku mendesah, napasku yang dingin dapat terlihat.
Yah, habis peluangku sudah untuk bertemu Koushi lagi malam ini. Apa mungkin besok, atau lusa... Mungkin minggu depan?
Atau mungkin tidak akan pernah.
Dia pasti akan melupakanku, aku tahu. Aku yakin, diantara semua orang-orang yang penting di hidupnya, akulah yang paling terakhir di daftar itu. Pasti dia menganggapku hanya sekadar gadis biasa yang secara tidak sengaja bertemu di sebuah kafe di suatu waktu.
Sudahlah, aku akan menunggu hingga badai salju berlalu dan pulang kerumah. Tidak akan ada yang menungguku dibandara. Bukan dia, dan bukan siapapun.
Tanpa sadar, air mataku mengalir turun dari pelupuk mataku. "Sial.." aku menggigit bibir, sambil meraih tisu dari kantong jaketku. Namun yang kuraih bukan sepaket tisu yang kucari.
Melainkan ponselku yang berdering, bergetar dengan tenang di telapak tangan kananku. Oh, ternyata ada seseorang yang meninggalkan pesan suara. Apa mereka memanggilku saat aku tertidur?
Ah, mungkin ayah dan ibu menanyakan kabarku, atau adikku yang mungkin yang ingin meminta uang lagi? Tetapi mataku membulat saat melihat nama yang tertera di layar ponselku.
'Sugawara Koushi.'
-5 menit yang lalu.
Kedua telapak tanganku basah oleh keringat, tak kenal suhu. Dengan gemetar, aku menekan tombol [play] dan mendengarkannya.
Apa yang sangat penting sehingga dia harus meninggalkan pesan suara untukku?
"Hei, ini aku, Koushi. Haha, masih ingat kan? Kalau sudah lupa aku bakal nangis nih, hiks. Oke, bercanda. Pesawatku telah mendarat beberapa menit yang lalu, dan sekarang aku sedang menunggu koperku. Bosaannn~"
"Di luar saljunya turun dengan sangat lebat, huh."
"Apa kau ada waktu luang besok? Aku ingin mengajakmu jalan-jalan, berdua, yah, tentu saja. Kau tahu, Mungkin kau mau mampir lagi ke kafe di saat kita pertama kali bertemu? Sekali-sekali untuk nostalgia."
"Kuucapkan terima kasih ya, sudah menjadi temanku hingga sekarang. Meskipun cara kita bertemu sedikit aneh, hehe. Kau itu... Salah satu orang yang penting dalam hidupku. Jaga diri ya.
-... Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin kusampaikan - Eh, koperku sudah datang. Sudah dulu ya. Ku tunggu balasannya!"
Bip.
Pesan suara telah selesai.
Aku terdiam, Lalu melirik kearah jendela. Salju yang turun semakin lebat seiring waktu berjalan. Sesuatu yang dapat mengintimidasimu dan mendorongmu balik ke zona nyamanmu. Tetapi tekadku sudah bulat.
Aku berdiri dari kursiku, dan berjalan kedepan bus, menghiraukan semua orang yang menatapku dengan aneh dan berbisik-bisik dengan orang disebelahnya. Dengan sopan, aku meminta sopir bus untuk membuka pintu dan membiarkan aku keluar. Butuh waktu lama yang untuk meyakinkan sang supir.
Aku menapaki salju yang sekarang sudah setinggi mata kakiku. Penglihatanku sangat buram dan susah sekali rasanya menggerakkan kedua kakiku, tetapi aku ingat.
Aku hanya perlu berbelok kekiri untuk masuk ke daerah parkiran bandara.
Aku berlari, ya, berlari. Cahaya lampu pinggiran jalan kota menerangi setiap langkah kakiku. Tak lama, aku dapat melihat gedung yang besar di kejauhan, di tengah lapangan yang luas dan sepi. Huh, nampaknya seseorang telah membersihkan jalan.
Namun sayang, dalam waktu singkat akan dilapisi dengan salju lagi.
Aku sudah dapat melihat dengan jelas, orang yang beramai-ramai berkumpul di dalamnya.
Diriku menghembuskan napas lega saat memasuki gedung. Sambil membersihlan beberapa butiran salju yang mendarat di jaket dan kepalaku. Aku melihat sekeliling, mencari sosok orang yang kucari-cari.
Dan tepat di depanku, aku baru menyadari. Itu dia, yang sedang menggeret koper di belakangnya. Rambut soft greynya terlihat memutih karena salju. Ada headhone berwarna oranye yang aku kenali melingkari lehernya dibalik syal yang dipakainya. Mata cokelat hazelnya terlihat sayu.
Tak ada senyuman manis yang biasa kulihat di wajahnya.
Aku mengambil ponselku dan menekan tombol kontak dengan perlahan. Ku cari nama orang-orang yang berawalan 'S', dan kubuka satu profil tertentu ini.
'Sugawara Koushi.'
-Panggil?
Tangan dan bibirku gemetar lagi. Keringat dingin mengucur dari pelipisku, aku tak dapat bersuara.
Tetapi aku tak bisa menahannya.
Ku tarik napas dalam-dalam dan menekan tombol panggilan suara.
Tuts..
Orang yang berjalan di depanku berhenti, dia mengeluarkan sebuah ponsel dari saku jaketnya. Untuk sesaat, wajahnya nampak cerah.
Dan saat itu juga panggilanku terhubung.
"Hei! Akhirnya kau menjawab juga..." Sebuah suara di seberang telepon dan beberapa meter di depanku dapat terdengar.
"Lihat kebelakang." ucapku dengan suara lirih.
"Apa?" Tanyanya kebingungan.
"Koushi, tolong lihat kebelakang." Kuulangi sekali lagi. Berharap dia akan menoleh kearahku sebentar lagi. Sosok itu melihat dibalik punggungnya, mata cokelat hazelnya membulat saat menyadari keberadaanku. Aku hanya tersenyum manis sebagai balasan.
"(Name)?"
Dan apa yang ku tahu setelah itu, aku telah di dalam pelukan hangat seseorang. Pelukannya.
"Terima kasih sudah menungguku." Bisiknya senang tepat di telingaku. Untuk sesaat, jantungku berdetak dengan kencang, pipiku mungkin merona merah. "Oh ya, aku ada sesuatu untukmu - Eh?" Seperti petir yang menghantamku dengan keras, aku baru ingat.
Aku meninggalkan kotak cokelatku di dalam bus.
"Oh, tidak!!!" Sugawara mengedipkan kedua matanya penuh tanda tanya. Namun aku menghiraukannya, aku mulai bergumam sendiri karena panik. Aku menggigit kuku jari-jariku.
"Aahhhh tidaaakk.. Aku meninggalkan cokelat buatanku di dalam bus... Padahal aku membuatnya untuk-..."
Aku langsung terdiam karena sebuah jari telunjuk seseorang menempel di kedua buah bibirku. "Hei, tenang saja. Aku mendengar ada sebuah kafe baru di lantai atas, mau ke sana?" Sugawara bertanya dengan tenang.
Aku mengangguk pelan, mencoba menghilangkan rasa maluku. Akhirnya kami mampir ke kafe di bandara lantai atas untuk mencicipi cokelat panas.
«🌸»«🌸»«🌸»«🌸»
"Dan guru itu mencoba menghapus noda di pipinya itu dengan telunjuknya, bukannya bersih malah semakin hitam! Hahaha! Aku masuk ruang detensi selama 5 jam, tapi aku puas!" Sugawara tertawa lebar, lalu meniup cokelat panasnya dan menyesapnya sedikit. (Name) terkikik pelan, menutupi bibirnya dengan telapak tangannya.
Cerita yang diceritakan Sugawara memang sangat lucu. (Name) berharap bisa mengalami kehidupan sekolah seseru itu. (Name) hanya bisa tersenyum-senyum sendiri.
Namun tiba-tiba Sugawara terdiam. Raut wajahnya berubah serius.
"Hei, apa kau sudah punya pacar?" tanyanya pelan. "Apa?" Jantung (Name) berdegup kencang sekali lagi, tak tahu harus menjawab apa.
"Tidak, aku tidak punya. Haha, aku memang kurang beruntung..." (Name) menundukkan kepala dan menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
Saat (Name) menatapnya lagi, wajahnya sudah tepat berada persis di depan wajah (Name) "Eh? Sedang apa kau-.." tanya (Name) namun terhenti.
Karena sekali lagi, Sugawara mengisyaratkan (Name) untuk diam dengan menempatkan jari telunjuknya ke dua buah bibir (Name). (Name) menutup matanya rapat dan menunduk. Tetapi apa yang terjadi selanjutnya sangatlah tidak disangka.
«🌸»«🌸»«🌸»«🌸»
Aku merasa daguku diangkat perlahan, dan sesuatu yang lembut menyentuh bibirku. Saat aku membuka mata, mataku membulat dan pipiku merona merah, sangat merah.
Dia, Sugawara Koushi, telah merapatkan wajahnya dengan wajahku, dahi saling bersentuhan dan bibir menyatu. Aku tidak mempunyai waktu untuk merespons dengan tepat, dia sudah melingkarkan kedua lengannya di punggungku.
Ini memang agak mengejutkan, tetapi... tak tahu mengapa, aku merasa bahagia. Sangat-sangat bahagia. Seperti sesuatu yang sudah lama aku harapkan telah kucapai.
Tolonglah, jika ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku...
Meskipun air mataku mengalir, terulas sebuah senyum dibibirku, dan aku yakin dia dapat merasakannya juga saat aku membalas ciumannya.
Setelah beberapa lama, bibir kami memisah, meninggalkan wajah merah bagaikan tomat. Haha!
Ternyata wajah Koushi yang malu seperti itu lucu juga. "Eh, ah, maaf." ucapnya sambil menggaruk bagian belakang lehernya. "Sepertinya aku agak kebawa suasana tadi, haha."
"Aku suka Koushi." gumamku dengan pelan, senyumku masih terukir di wajahku. "Apa tadi yang kau bilang? Aku tak bisa mendengar...-" sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, aku sudah meloncat ke arahnya dan memberi kecupan di pipi dan dahi secara bergantian.
"Aku suka Koushi!" suara tawaku menggema, kedua buah matanya berbinar saat itu juga. Dia memelukku dengan erat, aku membalas pelukannya juga.
Dan di malam itulah kami resmi berpacaran. Dia berdiri, tangannya yang satu memegang koper dan satunya lagi menggenggam erat tanganku, kami melangkah pergi menjauhi bandara. Ya, mungkin hari ini bukan hari yang terbaik. Ya, mungkin ada beberapa hal yang dapat dibilang, 'masih kurang'.
Tetapi aku telah melihatnya.
Senyum yang semanis cokelat miliknya itu.
Dan itu sudah lebih dari cukup.♡
。
。
。
。
。
終わり
Buseeet... Fe revisi sendiri, baper sendiri Astagfirullah.. 😂😂
Maaf, baru bisa update sekarang.. Maklum udah kelas akhir semakin sibuk.. 😅
Cerita ini niatnya buat hari Valentine, tapi telat (banget) karena harus direvisi dulu. Ini cerita hasil kolaborasi sama temen, masih kesimpen di draft. Yaudah, kuupdate aja.
Sekarang mau ngumumin klo Fe hiatus ya (padahal udah ada pemberitahuan hiatus), buku roleplaynya juga hiatus dulu. Masih dalam tahap pembuatan OC baru, pokoknya 90% dirombak roleplay nya.
Sekian~
Next : Secret x Reader
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top