»» KomaShira #1

Kepedulian dan perhatiannya bisa dibilang merupakan sesuatu yang alami---semata-mata adalah bagian dari apa yang membentuk pribadinya sebagai salah satu orang-orang berbakat di dunia ini; mereka cenderung memiliki ciri yang unik dan begitu berbeda satu sama lainnya. Katakanlah Shiraki Shion adalah satu dari ratusan---atau ribuan---orang di antaranya.

Hanya sampai pada batas itu aku berani untuk memikirkannya. Tidak lebih.

Aku membiarkannya untuk tetap menjalani perannya sebagai teman sekelas yang terlalu baik---untuk tak mengganggu prosesnya sebagai kuncup yang hendak mengembang, selayaknya teman-teman sekelasku yang lain. Pada dasarnya, di kala itu kuakui sesuatu bernama "kesadaran diri" milikku sempat mati. Dan ketika aku berhasil menelaah kembali, hubungan kami telah tumbuh menjadi pertemanan yang begitu indah---setidaknya, begitulah ketua kelas kami mengidentifikasinya. Jarak yang semula membuka lebar diantara kami semakin terkikis bersamaan dengan hari-hari panjang yang kami lalui. Daripada merasa tak terbiasa dengan perhatian yang diberikannya padaku---selayaknya yang kurasakan pada pertemuan-pertemuan pertama kami---afeksinya yang seperti itu seolah telah merambah dan bercampur dalam keseharianku hingga terlalu sulit untuk aku dapat menarik diri kembali.

Tanpa aku menyadarinya, aku sampai pada keadaan dimana kepeduliannya padaku justru mulai membuatku merasa nyaman.

Suatu hari, ketua kelas kami---adalah satu dari sekian sedikitnya sosok baik hati yang mau menghabiskan waktunya untuk berbincang-bincang denganku---secara tiba-tiba menanyakan hal yang aneh. Aneh dalam artian … asing dalam pemahamanku. Ia berbicara tentang rasa penasarannya atas hubungan kami berdua setelah lulus sekolah nanti. Jujur saja, aku tidak pernah sampai pada pemikiran itu. Aku tidak pernah berpikir bahwa diriku cukup layak untuk terlibat dalam waktu penentuan di masa muda para murid berbakat. Pun untuk membicarakan apakah aku dan Shiraki-san akan tetap terjalin dalam ikatan erat seperti ini untuk beberapa tahun setelahnya … sama sekali bukanlah sebuah intensi.

Sekali lagi, aku memandang diriku hanya sebagai batu loncatannya untuk terbang lebih tinggi. Dan detik itu aku diminta untuk memikirkan apakah pada saatnya kami akan terus bersama ataukah mungkin aku hanya terlalu serakah untuk berharap demikian?

Berharap … ya. Sepertinya detik itu aku mulai sadar bahwa kedamaian dimana hari-hariku terlewati tanpa afeksi maupun kehadirannya adalah sebuah dusta---perbedaan seperti itu … entah mengapa aku tidak bisa menerimanya. Tapi jika mengesampingkan tahun kelulusan yang semakin dekat itu, sebenarnya ada lebih banyak fakta lain yang harus kupusingkan lagi.

Aku memutuskan untuk membicarakan perihal kesehatanku kepada Shiraki-san. Bukan berarti aku tidak akan menyadari dia telah mencatat dalam pikirannya akan betapa rapuhnya tubuh ini setelah berhari-hari memperhatikanku dalam awas netranya. Tapi kenyataannya memang sebagai berikut: dia tidak akan pernah menyadari sebelumnya atas batas kematian yang selalu mengambang begitu dekat denganku. Sebagaimana aku hidup sembari menjadi rumah dari dua penyakit ini, sebagaimana perkiraan sisa waktu yang menghantuiku kehidupan singkatku ini.

Dalam pembicaraan panjang kami, kesimpulan yang dapat kutarik adalah Shiraki-san tidak puas dengan itu. Beberapa kali waktu itu aku mendapati ekspresinya dengan alis membentuk dahi mengkerut. Pun disertai napas panjang yang lirih terlepas untuk ke sekian kalinya. Ia tidak mengatakannya secara langsung kepadaku … tapi keringat dinginku dapat menggambarkan bagaimana aku merasakan cemas dalam diam atas kemungkinannya sedang marah padaku---aku tidak pernah bermaksud menyembunyikan fakta terkait keadaan tubuhku … tidak pernah!

Ia berbicara tentang bagaimana ia harus pulang lebih dulu---mengabaikan raut penuh tanya dariku ketika langkah kaki mengantarnya mengikis jarak, menjauh dariku. Bukannya apa … tapi Shiraki-san sudah sering untuk pulang agak terlambat sebab melakukan banyak hal---random, jika harus kukatakan---di gedung sekolah kami. Aku tidak mengerti. Aku seharusnya tidak terlalu terluka oleh tindakannya mengingat betapa hinanya diriku dan aku tau itu. Tapi pada detik itu aku terlanjur menyadari bagaimana diriku mungkin tidak akan bisa menerima perbedaan pada hari-hari dimana kami harus ucapkan selamat tinggal pada satu sama lain.

"Aku ingin berharap … agar kita akan tetap bertemu lagi di hari esok."

◆◇

"We Can See Again Tomorrow"

- Zanka;Ab Initio | Verbena Series -

Chapter ???

◇◆

"Kita bisa bertemu lagi besok."

Aku terdiam. Menatapnya dalam pandangan tidak percaya. Langkah kakinya berhenti tepat ketika kukira jejaknya hilang di balik pintu penyekat ruang. Ia tersenyum lembut, tepat ketika aku mengangkat wajahku dan bertemu sapa dengan sepasang kristal cokelat kemerahannya.

Aku tertawa dalam diam. Dalam hening yang diisi dengan senyuman saling terlempar pada satu sama lainnya, dihiasi oleh guguran kelopak sakura yang merambah ruang lewat jendela terbuka. Aku tahu dia menangkap bagaimana satu kalimat darinya itu sudah cukup buatku merasa lebih lega.

Hanya dengan satu kalimat itu.

Bukankah cinta itu benar-benar mematikan? Lebih-lebih untukmu yang sempat hidup di masa lalu tanpanya.

"Ketika kau mulai terbiasa dengan afeksi dari seseorang, cinta benar-benar mempengaruhi perubahan hidupmu," adalah apa yang sempat aku tuturkan. Dalam hening yang lagi-lagi menyambutku beberapa detiknya, aku tidak berharap bahwa ia akan benar-benar dapat menangkap jelas kalimat terlontarkan.

"Apakah itu menjadi lebih berwarna?"

Sangat.

Pada netra yang dipenuhi binar ingin tahunya, aku sampaikan sebuah pesan.

"Rasanya seperti membuatku akan sangat merindukanmu jika hari esok tak datang."

Andai kita bisa terus bersama….

Kami tertawa.

◆◇

"We Can See Again Tomorrow"

Danganronpa Series
© Spike Chunsoft

This fanfiction and OC
© Cordisylum

◇◆

Published: February 15th 2021
Last Edited: February 15th 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top