»» Adore
Mengawali tahun keempatku di tempat ini, aku menemukan sesuatu yang mengejutkan---mungkin bisa dibilang, ini adalah sebuah rahasia yang tak sengaja terungkapkan. Meski aku belum bisa meyakini seratus persen kebenarannya.
Ini bermula dari bagaimana Tuan Yury mendekatiku saat selesai makan malam. Biasanya pada jam ini, beliau akan memilih untuk duduk santai sembari membaca beberapa kata terangkai pada buku-buku yang tak kupahami apa artinya. Tepat dalam ruangan yang jendelanya dapat dicapai oleh netra merahku---perpustakaan pribadinya.
Tapi khusus pada malam itu, ia seakan memberiku izin untuk berada di dekatnya. Percakapan kami diawali dengan bagaimana beliau mengatakan tentang pemandangan malam hari di wilayah ini begitu membosankan---aku tidak tahu seberapa lama ia telah mendekam di dalam menara itu tapi dengan ini dapat kupastikan beliau telah mengecap masa-masa tidak menyenangkan di dalam rumahnya untuk waktu yang tak sebentar. Kemudian, aku sedikit membantah---bila bisa dikatakan ini bantahan, sebab pada mulanya aku hanya ingin membuatnya yakin aku tidak sedang bosan apalagi ingin kabur dari tempatku bernaung. Ia memberikan pandangan bingung. Seolah-olah, menemukan pertanyaan rumit pada salah satu buku pengetahuan yang kerap dibacanya itu. Memandangku dengan sepasang kristal ametis yang tampak kelam tanpa cahaya, seolah dibuai kegelapan—namun entah mengapa masih memberikan sisi menawan dalam pengamatanku.
Ia berpikir bagaimana harusnya aku yang telah melakukan sedikit perjalanan ke dunia luar, akan lebih memilih udara bebas tanpa kungkungan sekat transparan seperti yang kami dapati sekarang. Pada detik itu, aku sedikit tertawa. Tidak bisa diharapkan wajah bahagiaku, karena pada dasarnya aku memang sedang tak memoles lengkungan tanda gembira hati pada wajah ini. Tidak ada yang istimewa pada perjalanan yang dimaksud Tuan. Kalau bisa, aku tidak ingin mengingatnya. Bagaimana orang-orang berpikir bahwa dunia luar dipenuhi kebebasan … ya, sesungguhnya itu tidak sepenuhnya salah---penuh, sangat penuh dengan kebebasan gaya hidup yang mana dapat membunuhmu dalam sepersekian detiknya ketika tak mengambil langkah cermat. Aku selalu bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan takdirku. Mungkin Tuhan sedang tidak menginginkanku menemukan belahan dunia yang lebih baik, sehingga memberikan pemandangan luar biasa buruknya hingga menghantui setiap hariku di luar sana.
"Yah, kurasa ada baiknya juga kau tidak menikmati kebebasan di luar sana."
Aku tidak akan menganggap itu sebuah sindiran. Sebab pada dasarnya paham hati akan maksud dikata. Tuan Yury sedang menyertakan rasa bahagianya teratas diriku yang masih betah hidup mengisolasi diri bersamanya di sini. Aku tersenyum kecut; tidak bisa mengelak bahwa aku merasa nyaman di sini. Namun kuyakini, bahwa sosok seperti Tuan Yury harusnya memiliki kesempatan lebih besar untuk berkunjung sesekali ke dunia luar. Sangat disayangkan jika kesempatan itu direnggut darinya berkat orang-orang di masa lalunya yang kejam.
"Apa kau baik-baik saja?" Adalah pertanyaan yang membekas pada hatiku berikutnya. Bagaimana Tuanku mengkhawatirkanku yang mana sebenarnya tidak memiliki secuilpun rasa sedih hati sebab takdir yang mengantarku kini. Entah apakah yang membuatnya berpikir sebaliknya---apakah beliau salah mengartikan senyuman bodoh yang baru saja diulaskan? Andai aku diberikan waktu sejenak untuk memikirkannya.
"Aku ingin pergi berlibur," adalah kalimat yang menyambung pembicaraan kami yang lalu---sekali lagi disuarakan oleh sosoknya. Tepat setelah sebelumnya aku mengkonfirmasi bagaimana baiknya keadaanku, meski beliau tampaknya tak puas dengan itu---beliau terlalu baik, untuk sekedar memikirkan perasaan pesuruh yang tidak berguna sepertiku. Lebih baik beliau memilih untuk menggunakan waktunya demi kebahagiaannya sendiri---adalah harapanku.
"Kemana anda akan pergi, Tuan?"
"Hmm … aku tidak memikirkannya. Ini adalah petualangan sejenak tanpa tujuan." Ada sekilas sirat menerka dalam netranya ketika berbicara demikian. Dan aku tidak bisa untuk tidak lebih penasaran lagi terhadap hal itu. Memikirkan kemana jejak kaki akan mengantarnya. Kemudian, setelah temukan kerlipnya dunia luar pada bagian Bumi Cordea yang ia jelajahi … akan kembalikah ia pada mereka yang menanti?
Sayangnya, hal seperti itu pastinya bukan urusanku. Untuk sekadar memperjelas pertanyaan di kepalaku … mungkin terlalu lancang bagi diriku yang bahkan tidak ada hubungannya dengan itu.
"Kemanapun itu, Tuan, semoga anda selalu diberkahi. Selamat jalan."
"Apa maksudmu?"
Ada jeda diantara perbincangan kita yang sepertinya sedikit menjanggal. Aku mengangkat kedua alisku---pergerakan spontan ketika menghadapi situasi ini. Anehnya, Tuanku justru menanggapi dengan tawa kecil---sepertinya, baginya … reaksiku cukup lucu. Dan aku tidak keberatan untuk mendengarkan suara lega hatinya itu.
"Apa maksud Tuan?"
"Kau berkata 'selamat jalan'."
"Ada yang aneh dengan itu, Tuan?" Sekali lagi, aku yang dibingungkan dengan ucapannya. Kepala seolah menyertai, ikut bergerak sedikit miring ketika sepasang kristal semerah darah masihlah menatap lurus kepadanya.
Tuanku berikan senyuman percaya dirinya. "Tak perlu ucapkan selamat jalan karena kau akan ikut denganku. Lagipula tidak ada artinya perjalanan ini jika kau tak bersamaku."
Rantai kata yang membuatku bergeming di tempat. Seolah waktu baru saja membeku hanya untuk diriku yang masih berusaha mencerna sekali lagi---kemudian lagi dan lagi. Tetap pada hasil yang mencengangkan; beliau baru saja mengatakan akan membawaku. Aku, dan bukan Asherah ataupun Yuzuriha.
"Sa-saya?" Pita suaraku tak bisa untuk tidak tergoda mengulangi perkataannya. Terbata-bata dalam kecemasan semisal ini hanyalah sebatas pengharapan.
Ia tertawa. Kali ini sedikit lebih keras. Tak lagi netranya menatap padaku dengan kerlingan bahagianya, melainkan arahkan kepada bulan setengah yang sedang menggantung di langit-langit malam. "Tentu saja. Karena kau---Lysander---adalah orang yang paling berharga untukku."
Sekelebat percakapan siang sebelumnya, hanya ada aku dan Asherah, kembali berputar di kepalaku.
"Tentu saja. Lysie tidak tahu? Tuan kita sepertinya sangat menyayangimu, lho."
Itu adalah kalimat Asherah yang tak bisa kupercaya sepanjang hidupku. Awalnya, aku tidak percaya. Sampai kemudian Tuan mengatakannya sendiri seperti ini.
'Mengapa?' Mungkin adalah apa yang akan muncul dalam benakku untuk diituangkan dalam kata nyata. Namun lidahku telah kelu untuk sekedar mengutarakannya. Meski begitu … aneh rasanya. Aneh, tapi nyaman untuk mendengar hal itu dari Tuanku. Seolah desir hangat dalam dadaku menjelaskan bagaimana jiwa ini, dengan kurang ajarnya, menerima semua estimasi itu menjadi nyata.
Seolah aku tidak ingin melupakan kalimat itu sampai kapanpun.
×
[ ADORE ]
Yury Z. Alaraph
Lysander Libertas
Asherah -exem- Barmavitus
Yuzuriha Igarashi
© Cordisylum
×
Published: February 15th 2021
Last edited: February 15th 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top