Manis-manis gitu nggak, sih, judulnya? Atau malah asem-asem sepet karena rasa stroberinya? Apa pun itu, julukan generasi stroberi ditujukan kepada mereka yang hidup di era berinovatif tinggi dan kreatif, tetapi rentan terhadap stres dan mudah menyerah. Jadi, filosofinya diambil dari buah stroberi yang tampilannya begitu eksotis dan menarik, tetapi sangat mudah dihancurkan.
Itulah yang melatarbelakangi inspirasi saya untuk memilih topik generasi stroberi sebagai tema yang mendukung buku 'Hai, Penulis! Jadilah Seperti Kerang'. Harapanku, meski kekurangannya terasa fatal karena cepat menyerah, keunggulan yang ada pada generasi stroberi seharusnya bisa diimbangi, bahkan dijadikan potensi agar dikembangkan lebih baik lagi.
Lantas, seperti apa, sih, generasi stroberi itu? Trus, siapa pencetusnya dan apa penyebab munculnya istilah ini?
Izinkan aku share teorinya dulu sebelum ke afirmasi positifnya, ya.
Seperti yang sempat kusinggung tadi, generasi stroberi adalah sebuah julukan untuk generasi yang penuh dengan wawasan dan gagasan, serta ide yang kreatif dan inovatif), tetapi mereka cenderung lebih rentan terhadap stress atau tekanan dan sangat mudah menyerah. Situasi ini merujuk pada generasi muda yang kerap dianggap lunak dan mudah rusak seperti stroberi ketika terkena tekanan.
Mengapa disebut kreatif? Alasannya karena generasi muda sudah hidup di era teknologi yang sudah canggih, di mana informasi tak lagi sulit dicari. Jaringan sosial yang mereka miliki juga semakin besar karena bisa berkomunikasi lewat online. Kelekatan pada teknologi ini memicu candu, sebab generasi muda tak lagi membutuhkan proses panjang dalam menemukan informasi sehingga lama-kelamaan mereka menuntut semuanya serba instan. Kendati demikian, generasi muda dikenal sangat kreatif berkat kepiawaian mereka dalam mengarungi kancah teknologi.
Jadi, ada plus-minusnya, dong? Tentu. Sama seperti ungkapan tidak ada yang sempurna di dunia ini, walau era teknologi menguntungkan banyak orang karena bisa merangsang kreativitas, tetap saja semua memiliki sisi lemahnya.
Mari kita bahas asal muasal generasi stroberi.
Istilah tersebut diperkenalkan pertama kali di Taiwan untuk mereka yang lahir di era tahun 2000-an. Penyebab generasi stroberi ini juga didukung oleh pola asuh orang tua yang menyediakan semua kenyamanan untuk anaknya. Oleh karenanya, secara perlahan namun pasti, generasi muda cenderung menuntut segala sesuatunya cepat beres dan mereka tidak terbiasa menghadapi masalah yang ruwet. Emosi meledak-ledak, cepat pesimis, mager, dan cepat bosan adalah 'konsekuensi' yang lahir dari generasi ini.
Lantas, apa kalian mau dicap sebagai generasi lembek? Wah, jangan mau deh dikatain seperti itu. Aku lebih dari percaya kalau tidak semua generasi yang lahir di era 2000-an se-serba-instan itu. Sama halnya dengan generasi yang lahir sebelum tahun itu. Nggak menjamin generasi senior sekuat itu juga, kan?
Apalagi jika konteksnya aku kaitkan dalam aktivitas menulis. Justru kalian sebagai generasi muda lebih berpotensi dan jauh lebih hebat dari kami para generasi senior. Alasannya, dengan teknologi yang semakin canggih ini, kesempatan untuk sukses jauh lebih besar. Penulis tak lagi membutuhkan birokrasi panjang untuk sampai ke redaksi mayor. Walau saingannya jadi banyak karena ada banyaknya penulis pemula yang mencoba merintis kekreativitasnya lewat jalur literasi, tetap saja, bukan berarti kamu lantas jadi cepat menyerah.
Menyerah lagi, dong, konteksnya? Ya, iya. Kamu harus nunjukin kalau kamu lebih dari bisa untuk bertahan. Semangatnya harus tinggi. Kalau kata peribahasa jadul; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Berasa simpel, tapi sarat akan motivasi. Ingat, nggak ada yang instan di dunia ini apalagi kalau topiknya tentang usaha demi keberhasilan.
Trus, apa yang harus dilakukan biar bisa lepas dari julukan stroberi ini? Hmm, kalau lepas sih mustahil yak soalnya generasi stroberi sudah melekat pada generasi Z. Kendati demikian, setidaknya melalui afirmasi positif di bawah ini, aku harap semoga generasi muda mampu mengoptimalkan diri mereka sehingga bisa mengimbangi kekurangan yang ada.
1. Nggak ada kekuatan lebih hebat selain kekuatan yang bersumber dari diri sendiri. Artinya, hanya kamu yang bisa melawan rasa mager dan membesarkan niat.
2. Jangan menyerah dulu dengan yang sudah kamu mulai, jangan keburu bosan, juga jangan keburu oleng. Coba pikirkan kembali usaha demi usaha yang sudah kamu lakukan. Kamu sudah hebat, kok. Kamu kuat dan luar biasa.
3. Mungkin kamu lelah. Boleh, kok, kalau mau istirahat. Me-time itu memang perlu, tapi ingat, jangan kelewat nyaman dengan istirahat, ya? Walau bagaimanapun, kamu harus tahu bahwa aktivitas yang berleha-leha itu akan beda hasilnya dengan aktivitas yang dilakukan atas dasar totalitas.
4. Percayalah, nggak ada yang sempurna di dunia ini kecuali ketotalitasan dari diri kamu. Artinya, kamu sudah mengusahakan yang terbaik dan memperbaiki apa yang dirasa perlu untuk dibenahi.
5. Jangan takut salah, jangan takut disalahkan, dan jangan malu untuk mengakui itu. Manusia yang berani bangkit dan memperbaiki kekurangannya adalah manusia terbaik yang berinovasi. Kamu lebih dari bisa untuk melakukannya.
6. Mi instan ada, tapi nggak ada usaha yang instan. Itulah sebabnya, jangan lupa pada istilah 'berproses'. Semua punya masa emasnya masing-masing. Percayalah, dengan berfokus pada keunggulan diri serta bertekad untuk mengoptimalkannya akan menjadikan hasilnya lebih awet ketimbang yang memperoleh hasilnya lewat jalur pintas.
Pesan:
Kalian sadar, tidak, kalau topik yang aku angkat ini terhubung erat dengan self love? Kamu diajak untuk bangkit, lebih tegar, serta berpikir positif. Harapanku, semoga semua yang ada di sini bisa termotivasi dan bersemangat dalam menghadapi struggle yang ada. Semangat terus, yaaa 🤗.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top