Menjelang Petang
Bandar Lampung, 23 Juni 2015, 02.52
Kategori: Semua Umur
Hidup bagai sebuah garis berujung panah. Selalu maju. Tidak akan pernah mundur. Garis adalah kumpulan titik-titik yang seirama. Hidup adalah kumpulan ribuan, jutaan, milyaran, bahkan tak terhitung cerita yang terangkum dalam buku kehidupan.
Hidup ini sangat-sangat ajaib. Bagaimana setitik buih, bisa berkembang menjadi sosok makhluk dengan segala akal dan keculasannya. Culas? Ya, tidak ada satu pun manusia yang tidak culas. Siapa yang berani mengaku bahwa dirinya bukanlah orang yang culas? Jika ada yang mengaku, dirinya bukanlah orang culas, maka orang itulah, sebenarnya orang paling culas di dunia ini.
Hidup berawal dari fajar. Dari tempat gelap menuju terang, dan kembali lagi ke tempat gelap. Untuk apa kita hidup? Hampir semua orang bertanya seperti itu. Kalau tidak tahu untuk apa kita hidup, mengapa kita harus hidup. Hanya lahir menjadi bayi, lalu tumbuh besar, menua dan berlalu.
Kekayaan, jabatan, adalah godaan terbesar dalam hidup. Banyak orang silau. Lupa asalnya. Lupa segalanya. Sadar, jika semua itu t'lah lenyap. Diri kita hanya seperti tukang parkir. Hanya bisa sekejap menikmati, lalu berlalu. Untuk apa sedih, untuk apa stres, jika semua yang kita miliki telah berlalu? Untuk apa sombong, kalau harta yang kita miliki, ternyata tak lebih dari partikel-partikel yang semuanya akan hancur.
Dari sinilah cerita ini dimulai ....
Masaku sekejap hampir usai. Senjaku sedikit lagi menjelang. Malamku kan tiba. Pagiku tak seindah pagi-pagi dalam lagu atau cerita. Kisahku kisah yang tidak berarti.
"Mak!" teriak anak bungsuku, seorang anak lelaki berusia 16 tahun.
"Ya."
"Mikirin Kak Rani lagi?" tanyanya dengan wajah penuh kegeraman.
Aku mengangguk ragu. Kutahu, ia akan marah jika aku selalu memikirkan anak sulungku yang telah bersuami dan sedikit berharta. Ya, hanya sedikit berharta. Bukan jutawan, atau milyader atau trilyuner.
"Buat apa mikirin orang, yang nggak pernah mikirin Emaknya? Buat apa, inget sama orang yang lupa, kalo dia itu dulu cuma orang kampung yang miskin?! Buat apa, Mak? Mak masih punya aku! Aku juga nanti bisa kaya. Kalo aku kaya, aku mau ajak Emak naek pesawat terbang. Aku mau bahagiain Emak!" Si bungsu mengomel dengan suara yang penuh emosi.
Aku terdiam. Aku memang masih selalu berharap, suatu saat, aku akan dijemput oleh anak sulungku dan mengajakku pergi menginap di rumahnya. Kata orang sih, ia sudah punya rumah yang cukup bagus. Tidak seperti rumah Emaknya yang masih berlantai tanah, beratap rumbia. Mungkin ia malu punya Emak yang miskin dan jelek. Anakku satu itu, memang cantik. Tidak heran kalau mendapat suami yang lumayan tampan dengan penghasilan di atas rata-rata. Anakku yang satu itu juga dulu rajin belajar. Tidak heran kalau ia bisa kuliah dengan beasiswa dari kampusnya.
Sedang anakku yang bungsu biasa-biasa saja. Malah cenderung tidak pintar. Tapi ada satu kelebihannya. Ia sangat perhatian dan menyayangiku. Kata orang, anak perempuan lebih sayang orang tua ketimbang anak lelaki. Tapi anak-anakku sebaliknya.
"Jangan mikirin dia lagi!" ancam si bungsu sambil berlalu.
***
Aku masih tetap bersabar dan berharap. Menunggu dan menunggu. Aku mencoba menghubunginya melalui telepon sahabatnya. Aku tidak memberitahukan hal ini pada anak bungsuku. Kalian tahu apa yang ia katakan saat aku bilang akan ke rumahnya yang berada di seberang pulau?
"Mak, aku nggak punya uang untuk bayar ongkos Emak."
"Emak pake uang sendiri, Ran."
"Tapi aku lagi sibuk, Mak. Aku kerja, aku nggak bakal bisa nemenin Emak."
"Kan ada anakmu, Ran. Biar Emak sama dia aja."
"Aduh, Mak. Kan ini lagi musim liburan. Anakku lagi di rumah neneknya."
Dan berbagai macam alasan yang diberikannya. Aku hanya bisa terdiam. Aku merasa ia tidak mau menerima kedatanganku. Padahal hanya beberapa hari. Aku tidak mengerti. Ia sibuk, atau hanya alasan. Kalau sibuk, apakah tidak ada waktu sama sekali untukku?
Aku menarik napas panjang. Dulu saat ia bayi, setiap saat aku menemaninya. Tidak pernah lepas dari perhatianku. Kugendong saat ia menangis. Kuteteki saat ia lapar dan haus. Kutemani saat ia sakit, sampai aku sendiri tidak tidur. Semua kulakukan sampai ia besar. Aku selalu ada waktu untuknya. Tapi untuk waktu beberapa hari saja untukku, ia tidak punya.
Aku kembali ke rumah dengan perasaan gundah. Hilang sudah harapanku. Aku harus berusaha melupakannya. Melupakan anak yang dulu pernah aku bangga-banggakan. Toh, aku punya anak yang lain. Lebih baik, aku memperhatikan anak bungsuku. Mudah-mudahan, ia adalah anak yang berbakti pada orang tuanya kelak.
***
Bertahun berlalu. Aku masih diberi umur panjang. Petang semakin usang. Tubuh kian renta. Tapi beruntung, aku masih selalu diberi kesehatan.
Hari ini. Hari ini. Hari pertama aku naik pesawat terbang. Jantungku mau copot rasanya. Aku duduk tegang di kursi.
"GImana, Mak? Enak nggak naek pesawat?" tanya si bungsu.
"Deg-degan."
Ia tertawa kecil. "Nanti Emak boleh belanja apa aja, kalo kita sampe ke Singapura!"
"Emak nggak mau apa-apa. Jangan lama-lama di sana."
"Loh, Mak?"
"Emak lebih betah di kampung. Lebih tenang. Emak takut, naek pesawat."
Aku tidak mau apa-apa di usia yang hampir senja ini. Aku hanya ingin hidup tenang. Melihat anak-anak sukses dan bahagia. Itu sudah cukup.
Melihat si bungsu sukses seperti saat ini, suatu kebahagiaan untukku. Di usianya yang ke tiga puluh, ia tidak juga mau menikah. Alasannya, selalu takut seperti kakaknya yang terlalu mendengar omongan suami. Kalau pun mendapat isteri, ia ingin yang sayang pada diriku.
Sudah beberapa wanita diajak ke rumahku, tapi berkali ia batalkan untuk melanjutkan hubungannya, karena sikap wanita itu. Kadang aku kasihan melihatnya.
"Aku mau, waktuku kuberikan untuk Emak. Bukan untuk isteriku," ujarnya suatu hari.
"Kenapa?"
"Karena dulu waktu aku kecil, Emaklah yang tiap hari nemenin aku, bukan isteriku."
***
Jangan memikirkan orang yang tidak pernah memikirkan kita (Mario Teguh)
Kalo kejadiannya kayak cerpen di atas gimana, coba?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top