Bukan Cinta 1½ Meter
Bandar Lampung, 01 Mei 2015, 01.55.
Kategori: Remaja
Bel pulang sekolah berbunyi. Segera, kubereskan semua buku-buku yang berserakan di meja. Kuputar kepala ke belakang, ke arah Sonya, seorang gadis yang tak terlalu cantik, namun sejak kami masih di bangku kelas satu Sekolah Menengah Umum, sanggup membuat jantungku selalu berdebar jika berada di dekatnya. Saat ini, kami duduk di kelas tiga. Kami sama-sama masuk di jurusan IPA.
Sonya tergolong murid yang pandai. Kami selalu bersaing di pelajaran, namun aku selali keluar sebagai pemenang. Aku belajar sangat keras. Sebagai lelaki, aku tak mau kalah dari seorang perempuan. Di kelas, aku selalu mendapat ranking satu. Hanya itu hiburanku satu-satunya, untuk mengurangi rasa minderku. Paling tidak, masih ada yang bisa kubanggakan.
Kalau saja aku bodoh, malas, tidak berprestasi ... lengkaplah sudah kekuranganku. Sudah kate, bego pula.
Kumasukkan buku-buku dan alat tulis ke dalam ranselku hitamku. Ransel hadiah ulang tahun dari mama. Kulihat Bu Ria melangkah keluar dari kelas.
"Aku duluan, An!"
Kutoleh Heri, teman sebangkuku. Ia melambaikan tangan ke arahku. Aku tersenyum padanya. Heri salah satu teman baikku. Kami sama-sama suka bermain catur. Orang tuaku tahu saja. Aku diberi nama Anatoly Karpov. Entah dari mana ide itu datang, hingga aku dinamakan pemain catur yang jenius itu. Nyatanya, aku memang suka bermain catur, walau otakku tidak sejenius Anatoly Karpov. Lumayanlah, kalau untuk tingkat kelurahan, aku selalu juara satu. Tidak terlalu memalukan.
Kembali, kutoleh Sonya yang duduk tepat di belakangku. Ia masih sibuk dengan buku-bukunya.
Ia duduk dengan Stefani, sahabat karibnya. Stefani gadis tercantik di kelasku. Dengan Stefani, aku tak berani jatuh cinta. Ia terlalu cantik bagiku. Sedang aku? Aku hanya seorang lelaki dengan berribu kekurangan yang tak dapat diperbaiki.
Untuk ukuran seorang lelaki, tinggiku tidak lebih dari satu setengah meter. Menyedihkan! Padahal adikku-–perempuan–-yang duduk di kelas satu SMU saja, tingginya mencapai seratus enam puluh delapan centimeter.
Kata mama, selagi kecil, aku sering sakit, ingga pertumbuhanku agak terhambat. Masih untung, aku dikaruniai otak yang lumayan encer dan termasuk anak yang rajin belajar.
Aku ingin menutupi kekuranganku. Aku mempelajari apa saja yang kusuka dengan keras. Aku belajar biola dan piano. Aku sering tampil di sekolah, mau pun di tempat kursusku. Kata orang, permainan piano dan biolaku cukup baik. Aku sangat mencintai musik. Musik bagiku adalah hidupku. Saat kesendirian dan kesepian, musik;ah sahabatku nan setia.
Aku tak memiliki banyak teman. Aku malu, karena orang banyak mengejekku. Di kelas, aku murid lelaki terpendek. Teman-temanku, malah ada yang tingginya mencapai seratus delapan puluh centimeter. Aku tak lebih dari sebahunya.
Teman-temanku sering menjuluki aku, 'cowok satu setengah meter', atau si Kate. Itu julukan yang sangat menyebalkan, yang membuatku kain kehilangan kepercayaan diri.
Aku selesai membereskan semua bukuku. Aku kembali menoleh pada Sonya. Biasanya ia pulang bersamaku. Rumahnya hanya selang beberapa rumah, dari rumahku. Sonya adalah satu-satunya gadis yang tidak pernah mengejekku. Ia sangat baik, lembut dan perhatian padaku. Kami sering belajar bersama. Aku sering bermain ke rumahnya. Orang tuanya pun sangat baik. Orang tuanya adalah pengusaha sukses. Itu juga membuatku merasa kecil di hadapannya.
Papaku hanyalah seorang karyawan biasa di sebuah perusahaan swasta. Orang tuaku bukan orang berada, walau juga tidak terlalu miskin. Kehidupan ekonomi kami sedang-sedang saja.
Kuhampiri Sonya. "Kita pulang?"
Sonya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Cantik sekali. Ada debar halus yang mengetuk-ngetuk dadaku.
"Aku duluan, Fan!" Sonya menepuk bahu Stefani.
Sonya menggamit lenganku. Dadaku kian berdebar. Kadang aku malu berjalan dengan Sonya. Tinggiku hanya sepundaknya. Alamak! Bagaimana jika aku mau menciumnya? Aku harus berjinjit, dong. Wajahku memanas membayangkan itu.
Aku sering berkhayal, kalau ia menjadi kekasihku. Aku hanya berani berkhayal, tanpa banyak berharap darinya. Menyatakan cinta? Aku tak berani. Pasti ia akan menolakku. Mana mungkin ia mau menjadi kekasih dari seorang lelaki kate seperti aku?
Kudorong motor keluar dari tempat parkir. Orang tuaku hanya bisa memberiku motor, sedang Sonya biasa naik turun mobil. Herannya, ia mau kubonceng dengan motor.
Aku tidak terlalu banyak omong. Dengan Sonya saja, aku jarang bicara, kalau ia tidak bicara lebih dulu.
Ia naik ke atas motorku. Ia melingkarkan lengan di pinggangku tanpa malu. Dadaku terus berdebar. Ia beberapa kali melambai tangan pada teman-teman kami yang kami lewati.
"Woi! Kate! Beruntung banget lo bisa bonceng Sonya! Sama gue, dia enggak pernah mau!" Teriak Dedy, temanku yang paling nakal di kelasku.
Aku tak memedulikan teriakannya.
Sepanjang perjalanan, aku hanya diam saja. Ia pun diam. Entah apa yang dipikirkannya. Biasanya ia banyak bicara. Sonya termasuk gadis super bawel.
Seperti biasa, aku mengantar Sonya sampai ke depan rumahnya.
Ia turun dari atas motorku. "Mampir, An?" Ia melepaskan helm yang menutupi kepalanya, menyerahkannya padaku. Ia memperbaiki letak rambutnya.
Kutatap wajahnya seraya tersenyum. Ia benar-benar cantik di mataku. Kuraih helm dari tangannya. "Tidak, terima kasih."
"Mampirlah sebentar. Makan siang di rumahku." Ia setengah memaksa.
"Terima kasih, Son. Aku pulang saja."
"Oke, deh. Hati-hati, ya?" Wajah manisnya itu selalu saja tersenyum. Berbeda denganku yang kaku dan jarang tersenyum.
"Dekat sini, kok, pakai hati-hati?"
"Oh, iya." Ia terkekeh kecil. Ia memegang tanganku yang hendak membelokkan stang motor. "Besok Minggu, kamu ada acara ke mana?"
"Mm ... sepertinya di rumah saja."
"Antar aku, mau tidak?"
"Ke mana?"
"Aku mau membeli sepatu. Sepatuku sudah rusak. Lihat, nih!" Ia mengangkat salah satu kakinya dengan sepatu yang agak sedikit sobek.
Aku mengangguk.
"Makasih, An!"
Cup! Tiba-tiba ia mencium pipiku, dan langsung berlari menuju pintu pagar rumahnya.
Aku tertegun. Spontan kurapa pipi kananku. Baru kali ini, ada seorang gadis yang menciumku. Dadaku berdebar tidak keruan. Kupandangi tubuhnya. Ia membalikkan tubuhnya dan melambaikan tangan padaku.
***
Aku kadang iri dengan orang lain yang terlahir begitu sempurna. Tetapi mama selalu mengingatkanku, bahwa setiap manusia yang dilahirkan memiliki kekurangan dan kelebihan.
Hari Minggu, pagi-pagi aku sudah bangun. Aku bergegas mandi setelah jogging beberapa saat. Hari ini, hatiku begitu berbunga. Setelah mandi aku bergegas ke rumah Sonya. Kukenakan kemeja berwarna biru polos dengan celana panjang biru tua. Kupatut diri di depan cermin. Mungkin ada sekitar satu jam.
Kuraih kunci motor dan pamit pada mama, yang sedang sibuk menyiapkan makan di meja makan. "Aku mau pergi, Ma!"
"Ke mana?" tanya mama seraya memandangku aneh.
"Ke rumah Sonya."
"Sepagi ini? Baru jam tujuh! Tidak makan dulu?"
"Tidak! Nanti saja!" Kukecup pipi mama, lantas berlarian meninggalkan keluar rumah.
Kukendarai motor ke rumah Sonya. Aku jarang sekali, bertamu sepagi ini ke rumah Sonya. Aku sudah tidak sabar lagi ingin mengantarnya pergi membeli sepatu.
Kuparkir motor di depan gerbang rumah Sonya. Kupencet bel dua kali. Beberapa saat, Sonya muncul dari balik pagar. Rambutnya masih kusut, dengan piyama pink yang masih membalut tubuhnya. Sepertinya ia baru bangun tidur, namu di mataku ia tetap cantik.
Matanya terbelalak saat melihatku. "Anatoly?"
Aku tersenyum padanya. "Katanya mau minta antar beli sepatu?"
"Tapi ini masih pagi, An!"
Aku jadi grogi. "Masih pagi, ya? Kalau gitu, aku pulang lagi, deh!" Kubalikkan tubuhku.
Ia meraih tanganku. "Tidak usah pulang. Masuklah." Ia membuka gerbangnya lebar-lebar. "Masukkan motormu!"
Kudorong motor ke halaman rumahnya. di sana berjejer tiga mobil mewah. Satu biasa digunakan papanya, satu kakaknya dan satu lagi mamanya.
Ia membimbingku menuju pintu rumahnya. Aku disambut papanya yang sedang sibuk menyirami tanaman di halamannya yang luas. "Hai, Tuan Anatoly Karpov!" Papanya berteriak ramah menyapaku serayamengangkat tangannya. "Mau main catur lagi?!
Kami biasa bermain catur. Papa Sonya tidak pernah menang melawanku. Ia sangat penasaran padaku. Setiap kali melangkah, aku bisa membaca langkahnya, dan selalu saja kututup.
"Ayo, Om! Siapa takut?" tantangku. Aku dan papanya Sonya merasa dekat. Katanya aku enak diajak berdiskusi. Katanya lagi, aku sangat pintar dan berpengetahuan luas. Aku lebih cocok menjadi seorang Akuntan, menurutnya. Bekerja bersama kertas, dengan ketelitian yang tinggi.
Papa Sonya merapikan selang penyemprot air. Ia melap tangan ke celana pendek yang dikenakannya, lantas berlarian ke arahku.
Sonya paling sebal kalau aku ke rumahnya. Pasti aku berjam-jam hanya bermain catur dengan papanya. Kali ini, wajahnya kembali cemberut. "Anatoly mau mengantar Sonya beli sepatu. Jangan lama-lama, main caturnya!" sungutnya.
"Tenang anak manis! Berapa babak, An? Satu? Dua?" tanya Papa Sonya.
"Terserah, Om saja!"
"Huh!" Sonya berlari masuk ke dalam rumahnya.
Sudah satu jam lebih aku bermain catur dengan Papa Sonya. Ini sudah babak ke dua. Babak pertama, ia sudah kalah denganku pada langkah ke delapan. Kali ini ia hampir kalah lagi. Semua serangannya dapat kututup. Aku paling hebat menjaga pertahananku.
Ia berpikir keras. Ia menyadari, sebentar lagi, rajanya akan tumbang. "Aah! Susah sekali menembus pertahananmu! Malah bidak Om yang kocar-kacir. Om menyerah, deh!" Ia angkat tangan.
"Dua kosong, Om!" teriakku senang. "Mau main lagi?" tantangku.
"Ah, enggaklah! Om pasti kalah lagi." Ia bangkit berdiri. "Kita makan dulu, yuk? Perut Om lapar, nih?" Ia meraba perutnya yang agak buncit.
"Iya, Om!" Kurapikan papan catur beserta semua bidaknya. Kuletakkan dengan rapi di atas meja di depan teras, tempat kami bermain tadi.
Kami makan bersama. Keluarga Sonya sangat harmonis. Mamanya sangat perhatian pada anak-anaknya. Kakaknya pun tidak sombong, walau sekarang sudah menjabat sebagai salah satu direktur di perusahaan papanya. Kakaknya sebentar lagi akan menikah. Kakaknya sangat tampan. Tinggi dan besar. Pastilah banyak yang jatuh cinta padanya. Tidak seperti aku, sudah jelek, pendek ... lagi.
Begitulah orang terdidik, selalu penuh etika. Tidak memandang orang hanya dari satu sisi. Walau aku sering diejek oleh banyak orang, keluarga Sonya tidak pernah mengejekku. Aku suka dengan orang-orang seperti keluarga Sonya.
Kuhabiskan suapan terakhir nasi goreng spesial dari sendokku. Nasi goreng spesial, karena terbuat dari campuran banyak bahan. Ada telur, kacang polong, irisan buncis dan wortel, sosis sapi, daging sapi cincang yang ditaburi daun seledri dan bawang goreng. Sangat lezat! Jarang-jarang aku makan, makanan yang tergolong mewah menurutku. Namun masakan mamaku tetaplah yang nomor satu.
"Tambah, An?" Mama Sonya menawarkan aku untuk menambah nasi goreng.
"Cukup, Tan. Saya sudah kenyang." Kuletakkan piring dan garpu, miring terbuka di sebelah kanan, pertanda aku selesai makan. Itu yang diajarkan mama padaku jika aku telah selesai makan.
Kuseruput jus jeruk yang ada di depan piring nasiku. Segar rasanya kerongkonganku. Kupandangi keluarga ini. Keluarga kaya, terhormat, tetapi rendah hati. Mereka seringkali menyumbang kegiatan dan pembangunan mesjid, atau tempat ibadah lain. Mereka juga sering menyumbang panti-panti sosial dan yatim piatu. Mereka sering membantu beberapa anak putus sekolah. Mereka memiliki ratusan anak asuh. Itu yang kutahu dari papaku. Papaku berteman baik dengan papa Sonya. Mereka sudah berteman sejak Sekolah Mengengah Umum. Tetapi papaku bernasib kurang baik. Walau begitu, aku bersyukur, Papaku orang yang rajin bekerja, sehingga kehidupan kami walau tidak kaya raya, tidak pernah juga kekurangan.
"Setelah lulus SMU, rencanamu menlanjutkan ke mana?" tanya kakaknya Sonya.
"Belum tau, Kak!"
"Akuntansi saja!" celetuk Papa Sonya. "Kau pasti akan sukses dengan profesi itu!" Ia sok tahu saja, meramalkan kesuksesanku.
"Kalau Sonya ke mana?" tanyaku pada Papanya.
"Kalau Om sih, mengarahkan dia ke PR. Tetapi terserah dia saja, maunya apa." Papa Sonya melap mulutnya dengan tissue. Ia menegak jus jeruk yang ada di depannya.
"Apa, Son?" tanyaku pada Sonya yang duduk di sampingku pelan.
"Ikut papa saja. Aku suka juga kok, PR."
"Bagus, deh."
"Kau?"
"Sepertinya aku ikut saran papamu, deh. Mungkin aku bisa sukses di sana. Papamu kan, lebih pengalaman."
"Yuk, kita berangkat!" Sonya berdiri dari tempat duduknya. Ia hari itu mengenakan blus biru dan rok biru, senada dengan warna pakaianku. Entah disengajanya atau tidak.
***
Waktu berlarian tak dapat kuraih. Dua belas tahun t'lah berlalu. Saat-saat bersamanya dulu, adalah saat-saat yang tak pernah dapat kulupakan. Aku jatuh cinta pada Sonya, sahabatku, namun aku tak pernah punya keberanian untuk menyatakan cintaku. Aku takut ditolak. Aku tak sanggup mendengarnya berkata 'tidak'.
Saat ini aku sudah lulus kuliah dan menjadi seorang Akuntan Junior di salah satu kantor akuntan ternama di Jakarta. Aku bekerja dengan prestasi luar biasa. Aku banyak mendapat tugas pemeriksaan ke luar kota, dan perusahaan-perusahaan besar. Bahkan aku sering memeriksa perusahaan Joint Venture dan perusahaan Konsolidasi yang memiliki banyak cabang di seluruh wilayah Indonesia.
Sampai saat ini, aku masih sendiri. Aku tetap suka bermain musik, walau tidak seaktif dulu. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Kadang jika ada pemeriksaan, aku bekerja hingga larut malam.
Hingga kini, aku belum memiliki kekasih. Entah di mana kini Sonya berada. Selepas Sekolah Mengengah Umum, aku melanjutkan kuliahku di Depok di sebuah Perguruan Tinggi Negeri terkenal, jurusan Akuntansi . Aku lulus dengan nilai terbaik, dan aku melanjutkan kuliahku untuk mengambil gelar Akuntan.
Aku sedang asyik menganalisa sebuah laporan keuangan ketika pintu ruanganku diketuk. "Masuk!" teriakku tanpa memalingkan wajah dari komputerku.
Aku merasa seseorang duduk di bangku depan meja kerjaku. "Maaf, ada perlu apa? Saya sedang sibuk."
"Aku mau minta tolong kamu untuk memeriksa laporan keuangan perusahaanku."
Deg! Jantungku seperti berhenti berdetak. Suara itu sangat kukenal. Suara itu adalah suara orang yang baru saja melintas di benakku. Kuputar kursiku. Mataku terbelalak! "Sonya ...?" gumamku.
Ada senyum manis tersungging di wajah gadis yang sedang duduk di depanku. "Iya, ini aku! Apa kabar Bapak Akuntan?" tanyanya dengan wajah yang berseri-seri. Ia menjulurkan tangan padaku.
"Ba-ik!" Suaraku seperti tercekat dan hampir hilang. Aku menjabat tangannya ragu. Aku tak percaya dengan pandanganku sendiri.
"Sibuk?"
"I-ya, lu-ma-yan!" Kulepaskan tanganku dari tangannya. Lama-lama bersentuhan dengannya bisa membuatku pingsan.
"Bisa bantu aku?"
"Bantu apa?"
"Aku sengaja mencarimu. Aku ingin kau menjadi akuntan perusahaanku." Ia duduk manis di depanku. Ia terlihat makin dewasa dan makin cantik dengan stelan blazer hitam di tubuhnya. Rambutnya yang terurai panjang, menambah kecantikannya.
"Kau sudah menghadap bagian Customer Service?"
"Sudah! Aku meminta menghadapmu."
"Boleh!" Hatiku bersorak gembira. Akhirnya orang yang selama ini kurindukan, datang lagi padaku. Tetapi nanti dulu. Bagaimana kalau ia sudah menikah?
"Gimana kabarmu? Sudah punya anak?" tanyanya kaku.
"Boro-boro, menikah saja belum!" Aku memandanginya lama. Ingin sekali kupeluk dirinya. "Kau sudah menikah?"
"Sudah," jawabnya pelan. Tiba-tiba wajahnya berkabut.
Godam raksasa berasa seperti menghantam dadaku. Ternyata benar saja, ia sudah menikah. Aku tak bisa mengharapkannya lagi. "Anakmu berapa?" Aku bicara sewajar mungkin untuk menutupi kekecewaanku.
"Aku belum punya anak. Aku sedang dalam proses perceraian."
"Cerai? Kenapa?"
"Aku tak pernah mencintainya. Aku terpaksa menikah dengannya dua tahun lalu. Ia selalu mendekatiku. Kupikir ia baik dan cinta akan tumbuh seiring waktu. Tetapi sampai saat ini, cinta itu tidak pernah tumbuh di hatiku. Aku terlalu dingin katanya. Ia yang minta cerai. Ia tidak tahan lagi hidup bersamaku. Ia akan menikahi perempuan lain." Ada cairan bening yang menggenanhi sepasang bola mata indahnya.
"Aku turut prihatin." Kuraih tangannya, kugenggam dan kuremas. Aku berusaha memberinya kekuatan.
"Hanya itu?"
Aku terdiam. Apa aku salah bicara?
"Apa kau tidak pernah merasakan apapun?"
Aku terlongo.
"Kau tidak pernah mencintaiku?"
Mulutku ternganga. "Aku-."
"Kau lelaki pengecut! Kau tidak pernah berani mengatakan perasaanmu sendiri. Lihat ini!" Ia mengambil sesuatu dari tasnya dan melemparnya ke atas meja kerjaku.
Sebuah buku harian berwarna kelabu. Itu adalah diary-ku! Bagaimana bisa ada padanya? Aku terpana menatap diary yang kusimpan baik-baik di rumahku itu.
"Itu ... mamamu yang memberikannya padaku saat aku pulang. Ia katakan, kau tidak pernah memiliki kekasih seumur hidupmu. Kau tulis di diary-mu, bahwa kau tak akan pernah menikah selain denganku!"
Aku tertunduk. Mama sangat penasaran padaku. Ia berkali-kali bertanya padaku, mengapa aku belum juga memiliki kekasih. Aku tidak pernah bisa menjawabnya. Aku memang tidak bisa jatuh cinta lagi. Cintaku hanya untuk Sonya. Itu yang kutulis di diary-ku. Rupanya mama sudah menggeledah isi kamarku, dan menemukan diary itu.
Aku tak pernah pulang selepas Swkolah Menengah Umum. Semua kisahku bersamanya ada di diary itu. Aku takut bertemu Sonya. Kusibukkan diri dengan kuliah dan pekerjaan. Aku tidak ingin kecewa. Aku tidak ingin mendengar berita tentang dirinya lagi. Aku hanyalah lelaki satu setengah meter, tidak pantas bersanding dengannya.
Ia terisak di depanku. "Aku pikir, kau tidak pernah mencintaiku. Aku menerima suamiku, lelaki yang tak pernah kucintai. Aku menunggumu. Kau tidak pernah datang lagi padaku. Sementara orang tuaku terus mendesak agar aku segera menikah."
"Maafkan aku, Son. Apa aku terlambat?" tanyaku bodoh. Seandai saja sejak dulu aku mengatakannya, pasti saat ini ia sudah menjadi isteriku.
Ia terdongak. Menatapku dengan mata yang berair.
Kuraih tangannya dan mengecupnya. "Maafkan aku. Aku tak pernah punya keberanian untuk mengatakannya."
"Aku tak pernah memandang orang dari fisik. Aku mencintaimu sejak dulu. Sejak kita masih sama-sama SMU. Kau ingat? Aku pernah mengecup pipimu? Itu pernyataan cintaku. Tetapi kau tidak meresponnya." Ia menangis terisak.
"Maafkan aku, Son. Aku membuatmu menderita." Aku beranjak dan menghampirinya. Ia bangkit berdiri.Kupeluk dirinya erat. "Hanya kau yang aku cintai seumur hidupku." Aku berjinjit hendak mengecup keningnya. Ah! Susah sekali jadi lelaki satu setengah meter. Tinggi Sonya sama dengan adikku. Apalagi ia memakai high heel. Aku merasa seperti kurcaci saja.
Menyadari itu, ia membungkukkan badannya sedikit.
Kukecup keningnya lembut.
Ia tersenyum manis padaku. Kuhapus air matanya.
"Kau masih mau menerimaku, walau aku sudah menjadi janda?" tanyanya cemas.
"Ya. Apa hubungan dengan status jandamu?"
"Sekarang kau sudah sukses. Pasti banyak wanita yang mendekatimu. Wanita tidak akan memandang fisik, saat melihat kesuksesan seorang pria."
"Tidak ada perempuan yang menarik hatiku selain dirimu. Untuk apa mempunyai isteri yang hanya melihat kesuksesanku?" Aku kembali duduk di bangkuku.
Ia menatapku dengan penuh kerinduan.
"Nanti malam, kita ke luar makan. Aku akan mentraktirmu, sekalian melihat rumah baruku. Aku baru saja membeli rumah." Keberanianku seperti tersulut. Tidak ada lagi keraguan dalam diriku.
"Rumah?"
"Iya, di Pondok Indah. Aku selalu berkhayal, rumah itu akan menjadi rumah kita. Walau tadinya kupikir, khayalanku tidak akan pernah menjadi kenyataan."
"Aku mau!" Matanya langsung terlihat berbinar.
***
"Hanya karena lelaki ini, kau tidak pernah bisa mencintaiku?" Suami Sonya menunjuk-nunjuk aku, saat aku menemaninya di sidang perceraiannya. Suami Sonya sangat tampan, keren dan gagah. Jauh jika dibandingkan dengan diriku. Jelas saja ia marah-marah pada Sonya.
"Kau jangan menghinanya!" bentak Sonya.
"Setiap malam, selalu kau sebut namanya. Namamu Anatoly, kan?" Suami Sonya memandangku berapi-api.
Aku mengangguk. Aku menjadi gentar menghadapi suami Sonya. Sekali pukul, pasti aku mental.
"Tidak salah lagi! Mana ada isteri, yang hampir setiap malam mengigau menyebut nama lelaki lain dalam tidurnya. Kau pasti sudah berselingkuh dengannya!" bentak suami Sonya.
"Jangan sembarang menuduh! Bertemu saja baru beberapa hari ini. Kami sudah lama berpisah." Akhirnya dengan keberanian yang kubuat-buat, aku menentangnya.
"Oh! Cinta Lama!" ejeknya sinis.
"Jangan pedulikan dia. Kita pulang!" Sonia menggamit lenganku dan berlalu darinya.
Sepanjang jalan, Sonya mengomel. "Ketampanan tidak menjamin kebaikan hati seseorang. Wajahnya saja yang tampan. Kelakuan seperti anak kecil dan tukang selingkuh."
Aku hanya terdiam mendengarkan omelannya. Aku masih terkejut mendengar perkataan suami Sonya. Ternyata hampir setiap malam, Sonya selalu memanggil-manggil namaku dalam tidurnya. Aku tidak memercayainya. Aku terlalu bodoh selama ini. Mengapa dulu aku melepasnya?
"Apa betul yang dikatakan mantan suamimu?"
"Seperti yang kau dengar." Aku mengejar langkah Sonya yang panjang. Ia bergegas menuju parkiran mobilnya.
"Setelah perceraianmu, aku akan segera menikahimu!" Aku menarik tangan Sonya saat kami tiba di dekat mobilnya. Aku langsung memeluknya dan berjinjit untuk mencium bibirnya. Lama sekali aku menciumnya. Akhirnya aku berhasil mendapatkan ciuman pertamaku padanya dan pada seorang perempuan.
***
Setelah beberapa bulan pernikahanku dengan Sonya ...
"Kau bahagia bersamaku?" tanyaku malam itu saat kami berbaring di tempat tidur.
Ia tersenyum cerah. "Tentu saja. Kau lelaki terbaik dalam hidupku." Ia membelai dadaku yang telanjang. "Aku tidak pernah sebahagia ini. Kau?"
"Tentu saja, aku bahagia, sayang," kukecup keningnya. "Aku ingin kita segera mempunyai anak." Kubelai pipinya lembut. Isteriku ini sangat cantik sempurna. Semoga saja anakku kelak tidak kate seperti diriku. Semoga saja anakku mirip dengan mamanya.
"Aku juga ingin segera mengandung anakmu." Ia memelukku erat.
Isteriku bukanlah orang yang dingin seperti yang dikatakan suaminya. Isteriku sangat hangat dan perhatian. Ia selalu ada di hatiku. Hidupku kini terasa sempurna. Aku semakin lebih percaya diri. Ia sangat menghargai dan menghormatiku. Katanya aku adalah lelaki terbaik dalam hidupnya. Walau tinggiku hanya satu setengah meter, tetapi cintaku bukan cinta satu setengah meter. Cintaku sangat panjang tidak berujung.
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top