Balon Cinta

Bandar Lampung, 19 September 2015, 03.10

Kategori: remaja

"Tante, Tante, beliin balon," rajuk Cita padaku sambil menunjuk-nunjuk penjual balon terbang, yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. 

"Untuk apa beli balon? Kan, kita ke sini, mau main komedi putar."

"Mau balon, Tante," rajuk Cita seraya menarik-narik tanganku.

Aduh! Kugelengkan kepala. Ribet banget ya, kalau punya anak. Tadi, sewaktu akan berangkat ke pasar malam, ingin naik komedi putar. Eh, begitu sampai di pasar malam, malah minta balon.

"Kalo udah minta balon, enggak jadi nih, naik komedi putarnya."

"Enggak apa, Tante. Itu ada balon Sponge Bob. Aku mau yang itu!" Cita menunjuk-nunjuk tempat jualan balon itu.

Akhirnya kuturuti permintaan Cita. Aku tak mau menanggung resiko dia ngambek dan ngeggelepok di tanah.

Kutuntun Cita dan menghampiri penjual balon.

Kupegang-pegang balon Sponge Bob yang diminta Cita. "Mas, balonnya berapaan?"

"Lima ribuan satu," jawab seorang lelaki yang ada di sana. Di sampingnya berdiri seorang bocah lelaki sebaya Cita.

"Aku beli satu, Mas." Kuambil balon itu, dan kuserahkan selembar uang lima ribu ke tangan lelaki itu.

"Papa ... Papa, balonnya!" Tiba-tiba, bosahlelaki yang berdiri di samping lelaki itu  berteriak-teriak. "Aku mau balon yang itu!"

"Eh, Nona," lelaki itu menangkap tanganku, "jangan main ambil aja! Balon ini udah dipilih anak saya. Balon lain kan, masih banyak." Lelaki itu menahan tanganku yang hendak berlalu dan meletakkan uang lima ribu ke tanganku kembali.

Aku menatapnya bingung, menatap Cita, lantas menatap bocah lelaki yang memanggilnya "Papa".

"Jadi, kau bukan penjual balonnya?"

"Ya, bukan. Aku juga sedang membeli balon."

"Oh!" Kututup mulutku. Pantas saja, dari tadi aku heran. Penjual balonnya kok, ganteng banget. Boleh juga, nih! Diam-diam aku mengagumi lelaki itu. Tapi ... Hey! Dia itu sudah punya anak. Berarti dia sudah punya isteri. Seketika wajahku memanas. Kenapa aku berpikir sampai sejauh itu? Mengenalnya saja belum.

"Papa, balonnya," rajuk anak lelaki itu sambil menunjuk balon yang tengah kupegang.

"Itu balon Cita, balon Cita," Cita menarik tanganku dan merebut tali balon yang kupegang, lantas Dipegangnya erat-erat, tali balon itu.

"Itu balon Dika! Papa, itu balon Dika!" Anak yang kutahu bernama Dika itu menarik-narik tangan papanya.

Mereka berebutan balon. Kupegang kepalaku. Pusing melihat tingkah mereka. Aduh! Mengurus satu anak saja repot, apalagi dua seperti ini!

Yang jadi masalah, balon berbentuk sponge bob itu hanya ada satu. Kalau saja ada dua, tidak akan masalah.

Lelaki itu menghampiri Cita. "Anak manis, balonnya kasih ke Om, ya!" Ia mengulurkan tangannya.

"Enggak mau! Ini balon Cita!"

"Papa ... huhu ... Papaaa ...!" Dika menangis dan membanting-banting kedua kakinya.

Halah, Cita ... Cita. Di rumah membuat orang repot. Mengacak semua barang, sampai aku disuruh membawanya keluar, karena mamanya sedang sibuk memeriksa nota penjualan tokonya. Eh, di pasar malam, malah membuat keributan juga. Dasar Cita! Anak nakal! Aku bingung harus bagaimana.

"Eh, Nona! Serahkan balon itu padaku!"

Aku harus membela Cita, Nih. Kalau tidak, ia akan ngambek sepanjang malam dan semua orang akan terganggu.

"Enak aja! Aku yang ambil duluan, kok!"

"Eh, Nona! Aku tadi sudah memilih! Tiba-tiba kau datang dan langsung mengambilnya!"

"Eh, Mas, balon ini lebih dulu ada di tanganku, jadi aku yang lebih berhak."

"Eeeh! Ini orang kok ngotot, ya. Untung aja kau cewek. Kalo cowok-."

"Apa kalo cowok?" tantangku.

"Udah aku tonjok, kau!" Tangan lelaki itu terangkat tinggi seperti ingin meninju.

"Coba kalo berani!" Ku dekatkan wajahku menantangnya.

"Huh!" Ia menurunkan tangannya.

"Papa, Papa ... aku udah dapet balonnya!"

Teriakan Dika menyadarkan kami yang sedang bertengkar sengit, memperebutkan sebuah balon. Kami menoleh bersamaan. Kulihat Cita dan Dika masing-masing memegang sebuah balon Sponge Bob dan mereka terlihat akrab.

Aku dan lelaki itu saling berpandangan. Mengapa jadi kami yang bertengkar? Anak-anak itu tenang-tenang saja. Dan mengapa balonnya jadi ada dua? Serentak kami berlari mendekati mereka.

"Kok, ada dua balonnya?" tanya kami bersamaan.

"Itu, banyak, Tante!" Cita dan Dika menunjuk seikat balon terbang.

Hah??? Kulihat balon bergambar Sponge Bob jadi banyak. "Kok, bisa?"

"Ya, bisa dong Nona. Stock balon saya banyak. Tinggal dipompa aja. Saya belum sempat mompanya. Tadi itu saya pipis," jelas si penjual balon yang duduk sambil memompa balon.

Halah! Kutepuk dahiku. Ampun deh.

"Kenapa enggak bilang dari tadi, Pak, kalo balonnya banyak!" Kuhela napas panjang. Sia-sia saja bertengkar mempertahankan sebuah balon.

Aku jadi malu sendiri. Kutarik tangan Cita dan berlalu bergegas meninggalkan mereka. Gara-gara balon, aku jadi bertengkar. Cita, Cita! Balon, balon!

***

Hari itu hari pertama Cita sekolah. Lagi-lagi aku yang mengantarnya. Aku seperti pengangguran saja, ya? Sebenarnya aku tuh, baru lulus kuliah. Aku sudah Sarjana Ekonomi, lho. Aku sudah dua puluh dua tahun! Tapi kata Mama Cita, kakakku, kelakuanku itu masih seperti anak kecil dan suka seenaknya saja.

Saat kami baru saja turun dari motor, Cita berteriak. "Dika!"

"Cita!"

Mereka berlarian dan saling berpelukan.

Aku terbengong-bengong. Masak gitu ya, kelakuan anak kecil. Begitu ketemu langsung pelukan. Padahal ketemu saja baru sekali. Aku saja belum pernah pelukan dengan cowok. Ups! Pengen juga ngerasain dipeluk cowok. Kayak apa, ya rasanya? Wajahku memerah menahan malu.

Aku mengedarkan pandanganku mencari seseorang. Sepertinya aku terlalu berharap banget bertemu dengan papanya Dika. Habis dia ganteng, sih!

Eh! Aku tersentak. Baru kali ini aku tertarik pada seorang lelaki. Biasanya aku cuek banget. Eh! Bukan cuek, sih. Tapi sebenarnya aku tuh pernah jatuh cinta, tapi enggak kesampaian. Jadi malas juga jatuh cinta lagi. Banyak juga cowok yang naksir aku. Tapi umurnya sama denganku. Aku enggak suka. Aku suka om-om kayak papanya Dika.

Hah??? Papanya Dika? Aku tiba-tiba malu sendiri. bagaimana bisa? Mungkin ia sudah beristeri. Masak aku jadi isteri keduanya. Oh, tidaaaak!

"Hei, Nona cantik, apa kabar?"

Tiba-tiba seseorang menyapaku. Aku menoleh kepadanya. Aku ternganga. Hari ini dia ganteng banget.

"Hei! Kok bengong?"

"Oh. Iya, iya." Aku menoleh kesana kemari.

"Mencari apa?"

"Mana Mamanya Dika?"

"Oh. Dia sudah meninggal saat melahirkan Dika."

"Oh!" Aku menutup mulutku. Ternyata lelaki di depanku ini duren. Duda keren. Asyiik, ada kesempatan.

"Jadi kau seorang-."

"Duda."

"I-i-ya. Maksudku itu." Aku cengengesan.

"Kau sendiri? Mana suamimu?"

"Suami? Aku masih gadis, tau?"

"Oh! Kukira sudah menikah."

"Enak aja!"

"Eh, Ngomong-ngomong, nama kamu siapa?

"Tralala Merdu."

"Apa?" Matanya terbelalak.

"Tralala Merdu. Orang memanggilku Lala."

"Olala ...! Tralala? Nama yang aneh!" Lelaki itu mengerutkan alisnya.

"Entahlah, mungkin karena nama aneh itu, aku juga jadi aneh." Aku menggedikkan bahu. "Nama kamu siapa?"

"Aku, Kacung Hartawan."

"Apa?" Kali ini aku yang terbelalak. "Nama yang aneh." Aku seperti meniru ucapannya. "Mana ada, kacung jadi hartawan." Aku mengerutkan alisku.

"Entahlah. Mungkin karena nama aneh itu, aku jadi kacung yang memiliki harta berlimpah."

"Maksudmu?"

"Aku kerja sama orang. Itu kan Kacung. Tapi jadi General Manager."

"Oooo ...." Aku membulatkan bibirku. Gile! GM, bo! Ganteng lagi. Ini cita-citaku nih, dapetin GM yang ganteng dan (kupandangi wajahnya) wajahnya cukup tua. Hah? Cukup tua? Aku memang aneh. Selagi teman-temanku mencari pacar bronis, alias brondong manis, aku malah mencari om-om.

"Kenapa liat aku begitu?"

"Enggak pa-pa. Umur kamu berapa, sih?"

"Empat puluh empat tahun."

"Hah?? Empat puluh empat, anakmu baru lima tahun?" Tadinya kupikir, umurnya baru tiga puluh tahunan. Wajahnya tidak terlihat seperti berumur empat puluhan.

"Aku lama tidak punya anak."

"Oooo ...."

"Kau umur berapa?"

"Dua puluh dua tahun."

"Oooo ... masih muda. Cantik lagi. Boleh juga dijadikan mama buat Dika." Kacung memainkan alisnya.

Aku pura-pura tidak mendengarnya. Padahal hatiku berbunga, dan bunganya laaangsung mekar!

"Aku masih kecil." Aku pura-pura jual mahal. Gengsi dong. kalau aku langsung menunjukkan kalau aku suka padanya.

"Dua puluh dua, masih kecil?"

"Maksudku, kamu udah tua. Masak umurmu dua kali lipat umurku?"

"Lho, bagus kan? Lagian aku lebih suka yang fresh from the oven. Haha ....!"

Ih! Menjijikkan sekali kata-katanya. Aku dibilang masih segar baru keluar dari oven. Eh! Apa dia tahu kalau kakakku tukang roti, ya.

Aku memandangi wajahnya. "Kamu tau kakakku punya toko roti?"

"Hah? Toko roti? Kakakmu? Kenal juga kagak."

"Tadi kenapa bilang aku ini fresh from the oven? Yang gitu kan roti!"

"Kamu emang kayak roti. Menggoda mata. Apalagi masih fresh."

"Ih! Aku bukan roti, ya?"

"Eh, kok dari tadi kita berdiri di sini, ya. Orang-orang pada liatin kita. Jangan-jangan kita dibilang pasangan serasi, nih!" candanya, tapi sanggup membuat hatiku berbunga-bunga.

Mungkin juga aku terlalu geer. Tapi beneran, aku seneng banget dia bilang begitu.

Iih! Aku kok kayak jadi cewek kecentilan banget, ya. Padahal selama ini, aku cuek.

Aku bukan cuek sebenarnya. Mereka masih seumuran denganku. Itu yang tidak kusuka. Aku suka yang jauh lebih tua. Supaya bisa berasa punya papa. Maklum saja, papaku sudah meninggal sejak aku masih kecil. Mamaku juga sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Aku tinggal dengan kakakku, Mamanya Cita dan suaminya.

"Mendingan, kita keluar, yuk. Kamu udah makan belum."

"Belum."

"Kebetulan, aku juga belum. Yuk." Kacung mengajakku keluar dengan mobil mewahnya. Wah, berasa nikmat banget naik Alphard. Keren juga kalo jadi isterinya. Bisa-bisa teman-temanku semua iri sama aku. Aku terkikik sendiri membayangkan aku menjadi isterinya. Tapi aku tetap jaga gengsi. Aku bersikap biasa saja.

***

Sebulan t'lah berlalu. Aku jadi rajin mengantar dan menjemput Cita, hanya agar bisa berjumpa dengan Kacung. Ia pun demikian. Tiap hari mengantar dan menjemput Dika. Dika dan Cita makin akrab. Kami sering pergi bersama. Tapi aku masih tetap jaga gengsi! Aku perempuan. Tidak mau menunjukkan perasaanku sesungguhnya.

Ia tidak pernah menyinggung soal hubungan kami. Kami hanya berteman seperti biasa. Mungkin kami dekat karena Cita dan Dika. Atau lebih tepatnya karena balon.

Suatu malam kakakku berteriak memanggilku yang sedang tiduran di kamarku. "Lalaaa ...!"

"Yaaa ...!"

"Ada tamu!"

Tamu? Ah, paling juga Rino yang lagi kesengsem sama aku. Males banget kalo nemuin dia. Atau Josh yang sedang naksir aku. Persetan dengan Josh. Walau aku aneh, banyak juga yang naksir aku. Kata orang, aku ini manis.

"Lalaaa ...!"

"Siapa, Kaaak!"

Tiba-tiba kakak sudah ada di depan pintu kamarku. "Dipanggil bukannya cepat keluar! Itu orang, udah nungguin!"

"Siapa?"

"Aku enggak nanya namanya! Tapi udah om-om! Apa kamu ini perempuan panggilannya?" tanya kakak menyelidik.

"Idiih ... Kakak! Masak curiga sama aku? Emang siapa?" tanyaku penasaran. Aku melangkah keluar kamar dan mataku terbelalak melihat siapa yang datang.

Lelaki gagah berwajah ganteng dengan senyuman indahnya.

Aku spontan menyadari bajuku yang berantakan. Rambut berantakan. Aku hanya mengenakan piyama. Aduh, aku malu banget. Aku membalikkan tubuhku hendak berlalu. Ia menarik tanganku.

"Lala ...."

Alamak! Suaranya kok, seksi banget. Aku deg-degan banget.

Aku tidak berani menghadapnya.

"Lala ...."

"Hm ...."

"Kau tidak suka aku datang?"

Aku terdiam. Bukan tidak suka, tapi bingung tau?

"La, ada sesuatu yang mau aku katakan. Aku sudah tidak tahan lagi"

"Apa?" tanyaku pelan.

Sumpah mampus! Dadaku waktu itu, dag-dug-dag-dug! Kenceng banget. Apalagi dia meremas tanganku.

"Sejak awal bertemu, waktu kita bertengkar soal balon itu, aku sudah jatuh cinta padamu."

"Hah?" Aku langsung membalikkan wajah menghadapnya. "Enggak salah?"

"Enggak!"

"Aku ini masih dua dua lho!" Aku mengacungkan dua jari.

"Aku tau."

"Aku ini masih kayak anak kecil, lho."

"Biar. Kau nanti bisa belajar dewasa."

"Aku ini orangnya semaunya, lho."

"Biar. Aku terima apa adanya."

"Aku ini enggak bisa masak, lho."

"Biar, kita bisa beli."

"Aku ini-."

"Stop! Aku ini ... aku ini .... Sebenernya kamu itu mau nerima aku apa enggak? Gitu aja kok, repot!" tanyanya kesal.

Aku tersadar. Aku memang suka begitu. Kata orang, itu namanya too much alias lebay. Aku menatapnya dalam-dalam.

Wajahnya mendekat ke wajahku. Oh, my Goddess, ia mencium bibirku! Tubuhku rasanya melayang tinggi sekali merasakan ciuman pertamaku. Tubuhku bergetar merasakan lembut bibirnya.

Ah! Aku sudah tidak perawan lagi! Gimana, nih! Aku langsung mendorong tubuhnya dan menutup bibirku.

"Kau mengambil keperawananku!" teriakku marah sambil terisak.

Dia terlongo. Ia memegang tanganku. "Siapa yang mengambil keperawananmu?"

"Kau! Tadi nyium bibir aku!"

"Oh itu! Haha ...!" Dia tertawa. "Berarti kau belum pernah dicium lelaki, ya?" godanya padaku.

"Aku enggak mau. Kembalikan keperawananku!" rajukku kesal. Aku sudah menjaga bibirku agar tidak pernah disentuh bibir lelaki. Aku ingin mempersembahkannya buat suamiku di malam pertamaku.

"Cuma dicium bibirnya, kok!"

"Aku enggak mau!"

Dia kelihatan bingung. "Lala, jawab dulu. Kau terima aku atau tidak jadi calon suamimu?"

"Hah??? Calon suami?" Aku ternganga.

"Dari kemarin, hah, oh, hah, oh, mulu. Mau enggak jadi isteriku?"

"Nah, kalo yang ntu, aku mau. Aku enggak bakal nolak!" Aku langsung menghambur memeluknya erat-erat hingga ia terengah-engah.

Ah, karena balon, akhirnya aku mendapatkan duren yang selama ini kuimpikan.

***




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top