H Á V I

Hari ini, aku harus menjadi korban dari pacarku—Helga Si Ensiklopedia Nordik Berjalan—untuk menemaninya berputar-putar di antara patung Thor dan Loki sembari terus-terusan mengoceh bagaimana Hollywood sudah merusak citra mereka.

Entah bagaimana awalnya, tapi yang pasti, aku tidak akan bisa melarikan diri sebelum ia puas menghampiri tiap patung dan lukisan di museum Nordik yang baru saja dibuka di pusat kota beberapa hari yang lalu. Ketika mendengar kabarnya, ia berteriak kegirangan tepat di telingaku. Aku bersumpah ia hampir saja membuatku tuli.

"Erik, kemarilah!"

Helga menarik tanganku untuk menerobos kerumunan menuju diorama Yggdrasil—pohon sakral yang menopang sembilan dunia menurut mitologi Nordik. Ukurannya yang luar biasa besar berhasil membuatku menganga. Terdapat kolam kecil di sekitar akarnya—seperti kolam air mancur di alun-alun kota. Kami memutuskan untuk duduk beristirahat di situ.

"Kau tahu? Konon katanya, Odin menggantung dirinya sendiri di pohon ini selama sembilan hari sembilan malam untuk mendapat pengetahuan."

Aku menoleh ke belakang, memperhatikan bagaimana tiap-tiap cabang akarnya menjuntai sangat jauh, bahkan hampir memenuhi atap ruangan. Siapa pun yang merancang museum ini patut diacungi dua jempol.

"Kalau begitu, kenapa kau tidak melakukannya untuk studimu? Aku yakin Odin akan mengapresiasinya."

Helga terkekeh. "Humormu gelap sekali."

Tanpa sadar, tanganku memainkan air di kolam itu. Rasanya sejuk dan airnya jernih. Mataku menelusuri riak yang diciptakan pompa airnya sampai riak itu berakhir di diorama lain yang terletak di dasar pohon. Tiga wanita bertudung yang menenun benang.

"Mereka adalah para Nornir," ujar Helga. "Merekalah yang menentukan takdir manusia. Mereka juga bertanggung jawab merawat Yggdrasil agar tidak mati."

"Itu tugas yang berat untuk ukuran tiga wanita saja." Aku beranjak seraya mengulurkan tanganku padanya. Untung saja Helga mau menurut.

Diam-diam, aku menuntunnya untuk keluar dari ruangan itu sementara ia tanpa sadar terus bercerita bagaimana Odin mengorbankan satu matanya di Sumur Mimir—lagi-lagi—demi mendapat pengetahuan. Jika dipikir-pikir, hasrat pria ini akan pengetahuan patut diapresiasi. Andaikan saja aku punya dedikasi sebesar itu saat sekolah dulu.

Langkahku terhenti ketika genggaman Helga lepas dari tanganku. Ia berdiri di hadapan patung tertinggi di antara semua patung yang ada di museum itu. Tidak ada orang lain selain Helga dan aku sendiri. Semua pengunjung seolah menghindar dari patung ini.

Aku mendongak menatapnya. Odin, sang All-Father, dewa tertinggi dalam mitologi Nordik. Sosoknya terlihat seperti pria tua yang tegap dan bijaksana di balik tudung yang dipakainya. Satu tangannya memegang tombak—Gungnir—sementara dua gagak—Huginn dan Muninn—bertengger di bahunya. Ada perasaan gentar yang tumbuh di benakku saat aku menatap satu matanya yang masih utuh—seolah-olah ia adalah sosok yang nyata—walau aku tidak pernah percaya pada mitologi-mitologi seperti ini.

Apa itu benar? Apa ia adalah seorang dewa yang kehilangan kuasanya dan runtuh dimakan peradaban? Apa ada—sekecil apa pun itu—kemungkinan akan nyatanya semua cerita yang pernah Helga sampaikan padaku?

Semakin lama aku menatapnya, semakin aku merasa kalau objek di hadapanku ini benar-benar Odin yang terperangkap di balik penjara marmer. Bersamaan dengan itu, aku merasakan angin berembus di belakangku.

"­­Hávi ...."

Bulu kudukku merinding. Sontak saja aku menengok ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Tidak bahkan seorang pun. Tidak bahkan Helga—yang tadi jelas-jelas berada di sampingku. Ruangan ini tiba-tiba menjadi ruangan yang mati dan sunyi.

"­­Hávi ...."

Sial, apa ada sesuatu dalam donat murahan yang tadi kumakan? Apa yang sedang terjadi? Kenapa bisikan itu terdengar semakin kencang?

"Helga? Di mana kau?"

Tak ada jawaban. Rasa takut menyergap ke seluruh inci tubuhku. Aku harus segera keluar dari sini sebelum aku tambah gila!

Aku berlari sekencang mungkin dari ruangan itu. Helga sialan! Aku tidak akan mau lagi diajak ke sini!

Untuk terakhir kalinya, aku menoleh ke belakang. Napasku tercekat ketika melihat sosok seorang wanita bertudung hitam sedang menggulung benang—persis seperti diorama Nornir yang ada di kolam tadi. Bedanya, benang itu terputus. Gulungan wanita itu hampir selesai.

Tunggu ... apa itu takdirku?

"Aduh!"

Aku menabrak seorang satpam. Ia membantuku berdiri dengan tatapan khawatir di matanya. "Anda tidak apa-apa, Tuan?"

Aku berdiri dengan kikuk, belum sepenuhnya mencerna apa yang baru saja kusaksikan. "Uh ... ya, aku tidak apa-apa. Terima kasih."

Buru-buru aku menarik kakiku dari tempat itu. Aku menghela napas lega ketika melihat Helga sedang berdiri canggung di samping lapangan parkir tak jauh dari situ.

"Helga! Itu tidak lucu!" Napasku terengah-engah.

Helga menoleh. Tatapan sewotnya seolah siap melahapku. "Dari mana saja kau? Aku memanggilmu dari tadi—wow, apa yang terjadi? Kenapa kau seperti dikejar-kejar hantu?"

Aku menggeleng panik, enggan menjawabnya. "Aku merasa mual. Ayo cepat pergi dari sini!"

Helga mengangguk. Ia menggandeng tanganku menuju halte. Katakan aku sudah gila, tapi aku bersumpah melihat dua gagak berputar mengelilingiku di langit.

X=x=x=X

Sudah pukul dua pagi. Mataku perih membaca semua tulisan ini. Helga dan virus Nordiknya sudah menjangkit tubuhku sampai-sampai aku jadi sinting. Tapi jujur saja, kejadian di museum tadi ... seolah membangkitkan sesuatu dalam jiwaku. Ada sensasi yang menggelitik dan membuat dadaku ngilu setiap kali aku memikirkannya.

Terutama ... bisikan tadi.

Ah ... mungkin aku hanya berhalusinasi. Mungkin itu bukan apa-apa. Ditambah lagi, aku tidur larut akhir-akhir ini. Mungkin itu efek sampingnya. Aku seharusnya mendengarkan nasihat dari radio kesehatan Minggu pagi. Begadang memang buruk untuk kesehatan.

Tetap saja, rasa penasaranku yang membuncah ini tidak bisa kuabaikan. Jadilah aku meminjam semua buku tentang mitologi Nordik yang ada di perpustakaan setempat. Aku tidak punya nyali meminjamnya pada Helga—meskipun aku tahu koleksinya lebih banyak daripada koleksi payah perpustakaan ini. Kalau sampai ia tahu, ia bisa khawatir dan tidak akan pernah lagi membicarakan tentang hal ini kepadaku. Aku tahu ia mencintai studinya. Walau menyebalkan, aku suka ketika Helga bercerita kepadaku dengan binar semangat di matanya. Aku tidak ingin menjadi alasannya untuk kecewa hanya karena situasi konyol ini.

Udara di sini cukup panas dan pengap—seperti akan turun badai. Aku meregangkan tubuh. Usaha ini sia-sia. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang kucari. Embusan sejuk dari kipas angin kecil yang kupasang di meja berhasil membuat kelopak mataku naik-turun berusaha menahan kantuk. Tanpa kusadari, angin itu membalik halaman buku yang sedang kubaca.

Ragnarök. Kiamat versi mitologi Nordik. Semua orang tahu itu. Ada banyak sekali interpretasi dan adaptasi peristiwa itu di media populer. Tapi sedikit orang yang tahu runtutan kejadian yang sesungguhnya.

Ah ... sebenarnya tidak juga. Helga pernah bercerita kalau sumber-sumber utama tentang mitologi Nordik yang berhasil bertahan sampai ke masa modern adalah sumber yang ditulis setelah Kristenisasi menyentuh tanah Skandinavia. Ada banyak pengaruh-pengaruh Kristenisasi yang diselipkan di setiap ceritanya. Ditambah lagi, mitologi Nordik dulunya diwariskan lewat mulut ke mulut, sehingga ada banyak versi mengenai cerita-cerita ini.

Tapi yang pasti, versi paling populer menyebutkan bahwa ketika Ragnarök datang, Jörmungandr—ular raksasa yang mengelilingi Bumi—akan bangun dari tidurnya, menyebabkan gempa yang sangat dahsyat. Lalu akan terjadi perang besar antara para Æsir dan—

Ah, sialan! Buku macam apa ini? Kenapa halamannya tersobek di bagian yang penting?

Aku mendesah lelah. Mungkin aku memang harus meminjam buku-buku Helga nanti.

Aku membalik halaman berikutnya. Di situ terdapat ilustrasi Fenrir—serigala raksasa—sedang memakan Odin. Nasib sang All-Father ditakdirkan akan berakhir di tangan seekor serigala. Jika dipikir-pikir, itu cukup ironis. Odin diceritakan sebagai pria tua yang cukup licik dan rela melakukan apa saja untuk menghindari takdirnya yang satu ini. Ia punya penglihatan akan masa depan, ia punya seluruh pengetahuan di sembilan dunia, tapi jika takdir yang ditenun para Nornir berkata lain, semua itu tidak ada artinya.

"Hávi ...."

Aku terperanjat. Suara itu lagi!

"Bangunlah, Hávi ...."

Sontak aku berdiri. Ini sudah kelewatan!

"Siapa di sana?" teriakku pada udara kosong.

Lagi-lagi, tidak ada jawaban. Ada apa dengan semua permainan konyol ini?

"Bangunlah, Hávi. Waktumu di dunia ini sudah habis." Bisikan itu terdengar semakin jelas.

Aku bersandar di tembok, memindai dengan waspada setiap inci apartemen kecilku. Jika wanita itu muncul lagi, aku bersumpah akan menghajarnya karena sudah mempermainkanku!

"Bangunlah, Hávi. Para Æsir sudah menunggumu."

Æsir. Itu sebutan untuk dewa-dewi utama Nordik. Kenapa mereka menungguku? Untuk apa? Apa yang sedang terjadi? Dan kenapa wanita itu terus-terusan memanggilku Hávi?

"Bangunlah, Hávi. Buka matamu." Bisikan itu berada tepat di belakang telingaku.

Bulu kudukku merinding. Aku berbalik arah. Jantungku serasa berhenti berdetak ketika wanita yang tadi menghantuiku di museum berada tepat di depan mataku. Entah dari mana ia muncul—mungkin menembus tembok atau semacamnya. Aku tidak tahu, dan aku tidak peduli.

"Berhenti menggangguku!"

"Bangunlah, Havi." Wanita itu memegang sesuatu. Ia mendekat ke arah wajahku. "Bangunlah, dan buka matamu!"

"ARGGHHH!"

Mataku! Mataku perih. Aku menekannya erat, berharap rasa sakitnya segera pudar. Tapi tanganku terasa basah dan amis.

Darah ... ini pasti darah!

Wanita itu menusuk mata kananku!

Rasa perihnya membuatku mual dan kehabisan tenaga. Aku memaksa mata kiriku untuk terbuka. Aku harus menelepon ambulan—atau polisi, atau apa pun itu!

Sial! Di mana ponselku?

Tanganku meraba-raba meja. Persetan dengan barang-barang yang kini tergeletak berserakan di lantai karena ulahku. Tapi tunggu ... apa yang sedang kugenggam?

Ini ... ini jarum tenun. Dari mana aku mendapatkannya? Kenapa ini bisa ada di tanganku?

Tunggu! Apa itu berarti aku ... menusuk mataku sendiri?

Tidak! itu tidak mungkin! Aku sudah gila! Aku benar-benar sudah gila!

X=x=x=X

Aku berlari sekuat tenaga, tak peduli jika kakiku hampir patah, dan tak peduli jika ini masih dini hari. Tujuanku hanya satu; lokasi museum terkutuk itu.

Mataku masih mengeluarkan darah. Rasanya luar biasa sakit, tapi aku tidak peduli. Aku akan membuat wanita gila itu merasakan akibatnya!

"Tunggu! Tuan! Kau tidak bisa masuk! Pameran ini sudah tutup!" Satpam yang sedang berjaga itu menghalangi jalanku.

"Menyingkir! Aku harus masuk!"

"Tuan, Anda berdarah! Aku akan menghubungi polisi dan ambulan—"

Bersamaan dengan itu, tanah serasa bergetar hebat. Satpam itu bahkan kehilangan keseimbangan karenanya. Di langit yang masih gelap, aku mendengar suara dua ekor gagak. Mereka pasti mengikutiku sedari tadi.

Setelah ini apa? Apa aku akan menggantung diri secara terbalik di sebuah pohon? Apa aku akan mati dimakan serigala?

Aku menggunakan kesempatan ini untuk menerobos masuk ke dalam ruangan. Gempa besar yang tiba-tiba terjadi membuat bangunan retak-retak—seolah hampir roboh. Sayup-sayup dari belakang, terdengar teriakan orang-orang yang berhamburan keluar rumah karena panik. Pengalihan yang bagus. Mereka tidak akan peduli padaku.

Pintu kecil—yang biasa digunakan untuk jalur keluar-masuk petugas—di samping pintu utama kudobrak paksa. Aku berlari menuju patung Odin di tengah-tengah ruangan. Ia seolah menjulang lebih tinggi daripada yang terakhir kuingat. Aku memperhatikan setiap inci rupanya melalui mataku yang tersisa.

Semakin atas, semakin kusadari perawakan patung ini mirip sekali denganku. Bahkan tahi lalat yang ada di pergelangan tanganku tidak luput dari detail patung itu.

Tunggu, wajahnya!

Wajahnya tidak terlihat seperti itu saat aku mengunjungi museum kemarin. Tapi aku bersumpah kalau wajah yang kulihat sekarang ... adalah wajahku! Aku masih mengingat jelas bagaimana rupaku di depan cermin. Tidak salah lagi, itu memang wajahku!

Tapi ... bagaimana bisa?

"Bangunlah, Odin. Kehidupanmu di dunia ini sudah berakhir," seru suara di belakangku. Kali ini suaranya bukan lagi bisikan, melainkan suara yang bertumpuk lebih keras.

Aku menoleh ke belakang. Kali ini, tidak hanya satu wanita yang ada di sana, tapi tiga. Para Nornir ada di sana.

Kenapa mereka menyebutku Odin?

Apa aku adalah ... Odin?

BRUK!!

Tubuhku tertindih benda berat. Aku tidak bisa bergerak! Aku tidak bisa bernapas! Patung ini pasti roboh karena gempa. Aku harus minta bantuan. Siapa pun! Helga! Aku ... aku harus—

"Bangunlah, Odin."

Bisikan itu ... adalah hal terakhir yang aku dengar sebelum aku kehilangan kesadaran.

Inikah kematian?

X=x=x=X

Aku mengerjapkan mata. Kepalaku serasa dihantam ratusan ton gada. Ketika kesadaranku sudah terkumpul sepenuhnya, barulah aku bisa memindari sekitar.

Tunggu ... di mana aku? Kenapa aku bisa terduduk di sini?

Apa ini semacam ... singgasana? Apa yang sedang terjadi?

"Hávi akan membawa kita menuju keagungan dan kemenangan!" sahut seseorang. Tubuhnya besar, tegap, dan gempal—seperti pegulat profesional. Palu itu—Mjölnir—tergenggam erat di tangannya. Itu pasti Thor.

Di sampingnya, terdapat pria lain yang memegang erat sebuah sangkakala. Heimdall, aku mengenalnya. Kenapa aku mengenal mereka semua?

"Kami merasa terhormat untuk bertarung bersamamu, Hávi."

"Tuntun kami menuju kemenangan—"

"Kami sudah menunggu di Valhalla untuk momen ini, Hávi—"

"Sudah saatnya, Hávi—"

"Hávi—"

Diam! Diam! Semua ini membuatku kepalaku serasa pecah! Aku tidak ingin mendengarnya lagi! Aku harus pulang! Aku harus kembali pada Helga! Aku—

"Hávi ...."

Aku membuka mata. Para Nornir ada di hadapanku. Urðr, Verðandi, dan Skuld. Ya, kali ini, aku mengenal mereka. Mereka pasti bisa mengeluarkanku dari dunia antah berantah yang tak kukenali ini.

Tapi tunggu ... aku mengenali semuanya. Aku mengenali setiap inci tempat ini. Aku tahu dari apa singgasana ini terbuat. Aku tahu makanan apa saja yang ada di meja. Aku tahu setiap wajah yang ada di sini. Aku tahu semuanya. Ini Asgard ....

Urðr mendekat. Di balik tudungnya, aku bisa melihat matanya yang bersinar terang bagai bulan purnama.

"Bangkitlah, Hávi," bisiknya, "Ragnarök sudah tiba."

X=x=x=X

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top