Viella: Her Smile
TW: blood, suicide
"Gray!" teriaknya dengan keras. Ia segera berlari ke arahku yang baru saja terkena cat tumpah dengan wajah panik. Buket bunga yang awalnya berada di pelukannya sudah berada di atas lantai, teracuhkan begitu saja oleh Viella.
"Aku 'kan sudah bilang, ambil cat itu hati-hati! Kenapa belakangan ini kamu ceroboh banget, sih?" gerutunya sambil melepas jas seragam sekolahku.
Beberapa menit yang lalu aku ingin menolongnya untuk mengambil cat yang berada di atas lemari. Katanya kali ini ia akan mengikuti lomba melukis yang diadakan sekolah setiap tahunnya. Namun, alih-alih mengambilnya hati-hati, aku malah menjatuhkannya karena terlanjur kesal melihat gadis itu sibuk dengan buket bunga di tangannya.
Aku cemburu, kuakui itu. Melihatnya selalu didekati oleh kakak kelas, membuat hatiku panas selalu. Terlebih, hari ini ia memberi buket bunga untuk Viella. Dan dengan polosnya gadis itu tersenyum lebar.
Maksudku, aku juga bisa memberikannya puluhan buket bunga warna-warni. Jika mau aku bisa memetikkan bunga asli untuknya. Ya, harus cari kebun bunga tetangga dulu, sih.
"Kenapa diem? Aku lagi marah sama kamu, ya!" cetusnya sambil mengelap pipiku yang sempat kena percikan cat tadi.
Aku membuang muka, "Habisnya, kamu sibuk sendiri sama bunga jelek itu," jawabku dengan suara yang kecil.
"Hah? Kamu bilang apa? Gray, serius, dong! Belakangan ini sikapmu aneh banget," timpal Viella, selesai mengelap cat di pipiku dan menatapku dengan tajam.
"Aku cemburu," ungkapku dengan ketus.
Hening. Ruangan ekskul itu seketika hening setelah ucapanku tadi. Viella hanya diam mematung, mengerjap beberapa kali ke arahku-mungkin masih berusaha mencerna kata-kataku.
"Cemburu?" Viella sontak tertawa renyah, membuat suaranya sedikit bergema di langit-langit ruangan. "Kamu bercanda, 'kan?"
Aku mengernyitkan dahiku, tak terima ia menanggapinya dengan gelak tawa. "Hei, menurutmu aku sedang bercanda sekarang?"
"Tentu! Tidak mungkin kamu suka sama aku, 'kan?"
Setelah menyadari raut wajahku yang serius, ia langsung terdiam kembali. Lalu menggaruk pipinya pelan dengan gerakan kikuk.
"Gray, kamu bercanda, 'kan? Kamu tidak suka sama aku, 'kan?!" tanyanya mengulang kembali semua pertanyaan tadi.
"Ya, aku suka sama kamu. Jadi jangan terima barang apa pun dari kakak kelas itu. Aku tidak suka," balasku dengan ketus.
"Gray, se-sejak kapan? Kamu ... sejak kapan?" Raut wajahnya terlihat begitu terkejut dan tak percaya-atau mungkin menolak untuk percaya.
Belum sempat aku menjawabnya, ia langsung mundur dan membereskan semua peralatan melukis miliknya. Aku hanya mematung melihat gerak-gerik tubuhnya itu, hingga akhirnya ia keluar dari ruangan. Tak terkecuali buket bunga tadi, ia membawanya pergi.
Bunyi kicauan burung di senja hari terdengar begitu jelas olehku. Bayangan kanvas-kanvas kosong di ruangan ini sudah terlihat begitu tinggi.
Aku melirik jas seragamku yang kotor oleh tumpahan cat, tersandar di atas kursi. Pikiranku seketika kacau, dan helaan napas yang terlontar dari mulutku. Seharusnya aku tidak mengatakannya tadi. Mengingat hubungan kami yang begitu jauh dari tanda-tanda percintaan.
Begitu bodohnya aku.
***
Gadis yang murah senyum itu namanya adalah Viella. Aku bertemu dengannya sejak duduk di bangku SMP. Hobinya adalah menggambar pemandangan alam. Dan entah sejak kapan kami menjadi dekat.
Aku suka mencoba berbagai ekskul. Jika bosan, aku akan keluar. Dan sebaliknya, aku akan bertahan dan mengikutinya dengan sungguh-sungguh. Walau memang mengikuti beberapa ekskul itu sangat menguras energi. Namun, bagiku menyenangkan saat jumlah temanku bertambah.
Berbeda dengan Viella. Kuperhatikan, teman di sekelilingnya hanya beberapa. Selebihnya hanya formalitas sebagai teman sekelas. Ia memang murah senyum, tapi sulit terbuka pada orang lain. Kerjaan rutinnya di sekolah adalah menggoreskan pensilnya dengan serius.
Namun, itu adalah hal yang menarik darinya.
Saat sudah menjadi lebih dekat dengannya, ia sering berceloteh. Semua topik pembicaraan diborong olehnya, tak terkecuali pemandangan alam yang sangat ia kagumi. Dan aku sering mengangguk, mengiyakan, dan menggodanya.
Terkadang, saat libur sekolah, ia mengajakku pergi ke pegunungan dan juga pantai. Tentu saja untuk mengabadikan ciptaan tuhan tersebut ke dalam karya miliknya dan mengoleksinya di rumah. Aku tak keberatan, selagi itu adalah dia.
Ketika kami sudah duduk di bangku SMA, ada kakak kelas yang berusaha untuk mendekatinya. Segala modus PDKT dilakukan untuk meluluhkan hatinya. Dan selalu berhasil kugagalkan. Tentu, aku baru sadar tentang perasaanku itu.
Sejak kejadian cat tumpah tempo hari di Ruangan Ekskul Seni, Viella benar-benar menjauhiku. Setiap kali kuajak bicara, ia selalu menghindar dengan berbagai alasan. Jika aku bertemu dengannya selain di dalam kelas, ia selalu menghilang secepat kilat.
Aku sungguh menyesal memilih untuk mengungkapkan perasaanku sore itu kepadanya. Karena beberapa minggu setelahnya, ia kecelakaan sepulang sekolah. Tanpa hadirku, ia kurang waspada dan ditabrak motor dengan laju yang cepat.
"Aku tidak bisa melihat lagi, Gray! Apa yang lebih buruk dari itu?!" teriaknya sambil terisak. Air mata terus mengalir melewati kedua pipinya tanpa henti. Kedua tangannya terangkat untuk menutupi wajahnya sendiri.
Karena kecelakaan itu, Viella sempat terbaring koma selama beberapa hari. Hingga saat ia siuman, dokter mengatakan bahwa ia sudah tak bisa melihat lagi.
Sudah lewat seminggu sejak dokter mengatakan begitu. Aku selalu datang ke rumah sakit setiap hari untuk sekedar menemani dan memberi semangat untuknya. Walau usahaku terkadang sia-sia. Tubuhnya terlihat sangat kurus saat ini karena selalu menolak untuk makan.
Asa dalam hidupnya telah pupus. Begitulah yang terlihat olehku. Tentu saja, senyuman darinya juga hilang bersama penglihatannya.
Andaikan saat itu aku bersama dengannya.
"Viella, apa pun itu, aku ada di sini untukmu. Setidaknya kamu harus makan. Kasihan orang tuamu yang sangat mengkhawatirkanmu," ujarku dengan lembut, berusaha membujuknya untuk makan walau hanya sesuap.
"Aku sudah tidak bisa gambar lagi, Gray. Aku tidak bisa lihat apa pun. Aku tidak bisa lihat alam lagi. Bahkan, kamu yang ada di sampingku juga tidak kelihatan," racaunya, mulai sesenggukan karena tidak berhenti menangis sejak tadi.
Aku ingin melihatnya kembali tersenyum. Aku ingin mengusir air matanya dan tidak berani untuk datang lagi. Aku ingin membawa warna itu kembali ke dalam kehidupannya. Namun, aku bisa apa?
Aku tak bisa mengembalikan penglihatannya. Dokter bilang penglihatan Viella hilang secara permanen. Satu-satunya cara ialah mencari pendonor mata untuknya. Dan sulit untuk menemukannya, terlebih juga harganya yang luar biasa.
Kugenggam tangannya dan menariknya dari wajahnya, lalu mengusapnya dengan lembut. Aku berusaha menyalurkan ketenangan lewat tindakan kecil tersebut. "Kumohon, tenanglah. Aku juga merasa terpuruk melihatmu begini, Viella. Kita lewati ini bersama-sama. Kehidupanmu masih panjang."
Setelah mendengarnya, tangisannya mulai reda. Ia menunduk, meremas wajahnya sendiri, membuatku sontak terkejut. Lalu kemudian ia tertawa. Aku tak tahu apa yang dipikirkan olehnya.
Viella menarik tangannya dari genggamanku, lalu tiba-tiba berteriak. "Oke, begitu cara mainmu, Takdir! Aku turutin. Oke, aku jadi buta sekarang. Kenapa tidak sekalian saja nyawaku melayang, hah?!"
"Vi, kamu tidak apa-apa ..."
"Memangnya aku keliatan tidak papa sekarang?!" sergahnya dengan cepat memotong kalimatku. Ia kembali tertawa, mengacak-acak rambutnya sendiri. "Takdir, kenapa jahat banget sama aku, sih? Salahku apa?"
"Vi, kamu ..."
"SALAHKU APA!!" teriaknya kembali dengan suara yang lebih keras. Begitulah Viella, terus berteriak meminta penjelasan dengan begitu frustasi. Kata-kataku tak didengar olehnya, seakan-akan aku tak ada di sini.
Tidak lama kemudian ibunya masuk, menghampiri putrinya dengan wajah panik dan mencoba menenangkannya. Aku menyingkir, memberi ruang pada ibu dan anak tersebut. Dan teriakan Viella pada akhirnya berhenti setelah ia tertidur di pelukan ibunya.
Aku tahu, aku tidak dapat berbuat apa pun untuknya. Aku tahu, aku tak akan pernah mengerti penderitaan yang dialaminya saat ini. Namun, izinkan aku untuk menjadi salah satu tempat kau berbagi luka.
Aku tak keberatan jika itu harus selamanya.
***
Setelah diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit, Viella memilih untuk home schooling. Orang tuanya tidak keberatan, asal Viella tidak menolak makanan untuk perutnya setiap hari. Terlebih, pasti berat baginya jika langsung beraktivitas di luar rumah seperti dulunya dengan keadaannya tersebut.
Berita tentang kecelakaan dan kondisi Viella sekarang sudah diketahui oleh pihak sekolah dan teman-teman lainnya. Sebagian dari mereka menaruh simpati, hingga berniat untuk menjenguknya. Namun Viella berpesan kepadaku untuk melarang mereka berkunjung ke rumahnya. Sedangkan sebagian lainnya memilih untuk tidak peduli, atau sekedar tertawa melihat musibah yang menimpa Viella.
Anehnya, semangat bagiku untuk menjalani hari di sekolah sudah sirna semenjak Viella home schooling. Aku sudah berhenti dari semua ekskul yang pernah kuikuti dahulunya. Bahkan terkadang tugas yang diberikan oleh guru juga tidak kukerjakan.
Mungkin gadis itu adalah penyebabnya. Semangatku luntur bersamaan dengan senyum di wajahnya. Padahal temanku banyak di sekolah, tapi aku tetap merasakan ruang hampa di hatiku setiap harinya.
Sekali lagi, mungkin karena gadis itu, Viella.
Selama kurang lebih 9 bulan aku menemani dan menyemangatinya untuk terus hidup dengan semangat yang membara. Bagaimanapun juga, ia masih muda dan perjalanannya masih panjang. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk sekolah seperti biasanya saat kami baru saja menginjak kelas 11.
Awalnya teman-teman satu kelas sangat memperhatikannya dan bersimpati. Aku juga menjadi lega, karena kekhawatiranku kepadanya berkurang. Namun, entah sejak kapan perhatian mereka justru berbalik menjadi pisau untuk Viella. Semuanya mulai mencibir kondisi gadis itu dan mengacuhkannya.
Melihat itu, aku mulai menemaninya setiap saat. Kapan dan di manapun itu kuusahakan agar terus berada di sisinya-ya, kecuali ke toilet. Sehingga orang-orang sering berpandangan miring melihat hal itu. Toh, aku tidak peduli. Yang terpenting keselamatan Viella. Walau memang, Viella selalu mengkhawatirkanku yang sibuk mengurusnya daripada memperhatikan kehidupanku sendiri.
Jujur saja, walau ia tak memiliki perasaan yang sama denganku, aku ikhlas dengan segalanya. Viella berhak untuk tetap hidup walau kondisinya "cacat" dan dikucilkan.
"Semoga dia suka," gumamku sembari bersenandung riang di tepi jalan di pagi hari. Di tanganku sudah ada sketchbook dengan cover pemandangan alam, khusus untuk Viella.
Tadi malam tak sengaja suatu informasi mengenai kesehatan mental singgah di media sosialku. Katanya, mencoret kertas dengan sembarangan dan tanpa konteks apa pun dapat mengurangi rasa stress atau kesedihan seseorang. Kuharap Viella juga begitu.
Aku ingin mengabadikan semua kekacauan pikiran dan kegundahan hatinya ke dalam buku ini. Lantas, yang tersisa untuknya hanyalah kebahagiaan dan senyuman itu akan kembali terbit dan tiada tenggelam.
Sibuk memikirkan Viella, aku baru sadar bahwa aku sudah berada di kelas. Pintu kelas memang sudah terbuka sejak aku datang, dan tak ada penghuninya sama sekali. Namun aku yakin Viella sudah sampai duluan, karena mataku menangkap tas miliknya tersampir di atas kursi. Terlebih, setiap paginya ia diantar orang tuanya sampai ke dalam kelas. Karena Viella takut dengan pandangan orang-orang, ia memilih untuk datang pertama.
"Tunggu, masa Viella pergi ke luar sendirian?" tanyaku sendiri mulai panik. Kuletakkan tas milikku dan buku tadi ke atas meja dengan gerakan kilat. Lalu menghampiri meja Viella yang sempat mengusikku sedari tadi.
Kertas-kertas hasil robekan berhamburan di atas mejanya. Beberapa pensil yang patah dan juga pulpen ikut menghiasi meja miliknya itu. Apa yang terjadi padanya? Ini terlihat kacau sekali.
"Eh? Untukku?" Aku terkejut melihat sehelai kertas yang berisikan namaku di sana. Tulisannya memang berantakan dan tidak rapi, tapi masih bisa dibaca. Tentu saja Viella yang menulisnya-ia selalu kesulitan untuk menulis dalam kondisinya yang sekarang.
Setelah beberapa detik kuhabiskan waktu untuk membaca pesan singkat dari Viella itu, wajahku memucat secara tiba-tiba. Aku tertegun cukup lama, berusaha untuk mencerna kalimat yang tertulis di sana.
Wushh!
Desiran angin seolah-olah memanggilku lewat jendela kelas yang terbuka. Ini aneh. Padahal jendela kelas selalu tertutup oleh murid yang bertugas membersihkan kelas setiap sorenya.
Apa ... itu ulah Viella?
Entah dorongan dari mana, kakiku melangkah dengan sigap ke arah jendela itu. Aku menoleh ke bawah, melihat Viella di sana.
Kakiku tiba-tiba mati rasa, membuat tubuhku jatuh ke bawah. Keringat dingin berkucuran di pelipisku. Tanganku gemetar, seolah-olah menolak kenyataan bahwa yang tergeletak di bawah sana adalah Viella.
"Tidak ... mungkin." Hanya dua kata itu yang dapat keluar dari mulutku saat ini. Lalu berusaha untuk berdiri dan berlari ke lantai bawah untuk menghampiri Viella. Aku ingin memastikan bahwa penglihatanku salah adanya.
Namun saat aku sudah sampai di bawah, fakta pahit menimpaku. Yang tergeletak dengan bergelinangan darah itu adalah dia.
"Viella!!"
***
Maaf, aku tidak sekuat yang kamu harapkan. Maaf, aku tidak sesempurna dahulunya. Maaf, aku tidak bisa melihat ketulusanmu.
Maaf, Gray.
Takdir membenciku. Dunia juga mengucilkanku. Dan semesta justru ingin mendekapku. Aku ingin menurutinya. Setidaknya, kau lepas dari jeratan kesialanku ini.
Gray, aku terlambat. Aku terlambat untuk mencintaimu.
The End
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top