The Last December

Hujan mengguyur bumi dengan deras, setiap tetesnya seperti tangisan langit yang bersimpati pada kesedihan Mikael. Di dalam ruangan berdinding putih, Mikael duduk di tepi ranjang, matanya terpejam, air mata mengalir deras di pipinya. Suara rintik hujan seakan beriringan dengan isak tangisnya, menggemakan keputusasaan yang merayap dalam jiwanya.

"Mikael...," bisik Ibunya, tangannya lembut mengelus rambut sang anak.

Mikael membuka matanya, tatapannya kosong, seperti kehilangan cahaya. "Ma...," lirihnya, suaranya serak.

Ayahnya duduk di sampingnya, tangannya menggenggam erat tangan Mikael. "Mikael, Nak. Kita harus kuat. Kita semua ada di sini untukmu."

Dokter, seorang pria bertubuh kekar dengan raut wajah simpatik, berdiri di ujung ranjang. "Mikael, saya mengerti ini sangat sulit. Tapi, kamu harus tetap semangat. Masih banyak hal yang bisa kamu lakukan."

Mikael menatap dokter dengan mata berkaca-kaca. "Dokter, berapa lama lagi? Berapa lama lagi saya bisa bersama mereka?"

Dokter menghela napas, suaranya berat. "Mikael, kamu harus tahu bahwa kanker ini..."

"Berapa lama lagi, Dokter?" Mikael memotong ucapan dokter, suaranya bergetar.

"Tiga bulan," jawab dokter, suaranya pelan.

Hening. Hanya suara hujan yang menggema di ruangan, seolah ikut merasakan kesedihan yang menyelimuti ruangan. Mikael terdiam, matanya menatap kosong ke depan. Tiga bulan. Waktu yang terasa begitu singkat, begitu tidak adil.

"Tiga bulan?" Ibunya berbisik, air mata mengalir deras di pipinya.

"Maaf, Bu. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin," ucap dokter, suaranya bergetar.

Mikael menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Dokter, saya... saya ingin menghabiskan waktu ini dengan keluarga saya. Saya ingin membuat konten terakhir, konten yang bisa menginspirasi orang lain."

Dokter mengangguk. "Itu ide yang bagus, Mikael. Kamu bisa menggunakan platform TikTok-mu untuk berbagi cerita dan pengalamanmu. Kamu bisa menginspirasi banyak orang."

Mikael tersenyum tipis, senyum yang penuh kesedihan. "Terima kasih, Dokter. Saya akan mencoba."

Hujan masih turun dengan deras, seolah meneteskan air mata langit untuk Mikael. Mikael, seorang TikToker yang dikenal dengan konten humornya, kini harus berjuang melawan kanker yang merenggut hidupnya. Tiga bulan. Waktu yang begitu singkat, tetapi Mikael bertekad untuk memanfaatkannya sebaik mungkin.

"Mikael," Ibunya mendekat, memeluknya erat. "Mama selalu ada untukmu, Nak. Kita akan melewati ini bersama-sama."

Mikael memeluk erat Ibunya, merasakan kehangatan kasih sayang yang menenangkan jiwanya. "Ma, aku... aku takut."

"Tidak apa-apa, Nak. Mama ada di sini. Kita akan melewati ini bersama-sama," bisik Ibunya.

Mikael menoleh ke arah Ayahnya. "Pa, aku... aku ingin membuat konten terakhir. Konten yang bisa menginspirasi orang lain."

Ayahnya mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Tentu saja, Nak. Kita akan mendukungmu."

Mikael tersenyum, meskipun hatinya masih dipenuhi kesedihan. "Terima kasih, Pa. Aku akan berusaha semaksimal mungkin."

Mikael menatap keluar jendela, melihat hujan yang tak kunjung reda. Dia teringat semua kenangan indah yang pernah dia lalui, semua mimpi yang ingin diraih. Tiga bulan. Waktu yang begitu singkat, tetapi Mikael bertekad untuk memanfaatkannya sebaik mungkin. Dia akan menggunakan platform TikTok-nya untuk berbagi cerita dan pengalamannya, untuk menginspirasi orang lain, untuk meninggalkan warisan yang berarti.

"Mikael, kamu harus tetap semangat," bisik dokter. "Kamu masih bisa menginspirasi banyak orang."

Mikael mengangguk, matanya berbinar-binar dengan tekad. "Ya, Dokter. Saya akan berusaha semaksimal mungkin."

Hujan semakin deras, seolah meneteskan air mata langit untuk Mikael. Tetapi di balik kesedihan, ada harapan. Harapan untuk hidup, untuk berjuang, untuk menginspirasi. Mikael, dengan sisa waktu yang terbatas, akan menulis cerita terakhirnya, cerita yang akan menginspirasi dunia. Mikael terbangun dari tidurnya, keringat dingin membasahi tubuhnya. Mimpi buruk itu kembali menghantuinya. Mimpi tentang dirinya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, dengan selang-selang yang menancap di tubuhnya. Mimpi tentang tatapan kosong Ibunya, dan raut wajah sedih Ayahnya. Mimpi tentang kematian.

"Desember," gumamnya, suara serak. "Ini Desember terakhirku."

Mikael menatap langit-langit kamarnya. Cahaya remang-remang pagi menembus jendela, menerangi ruangan dengan samar. Pikirannya melayang ke masa depan, ke tahun baru yang akan datang. Tahun baru yang tak akan pernah dia rayakan lagi.

"Februari," bisiknya, tubuhnya menegang. "Aku tidak akan melihat Februari lagi."

Mikael merasakan gelombang kesedihan menerpa dirinya. Ketakutan, ketidakpastian, dan rasa kehilangan mencengkeram hatinya. Tiga bulan. Waktu yang terasa begitu singkat, begitu tidak adil.

"Tapi, aku masih punya waktu," gumamnya, mencoba meredakan rasa takut yang merayap dalam dirinya. "Tiga bulan. Masih cukup untuk melakukan sesuatu yang berarti."

Mikael bangkit dari ranjang, matanya berkaca-kaca. Dia berjalan ke arah meja rias, menatap bayangannya di cermin. Wajahnya pucat, matanya cekung, tetapi ada percikan tekad yang menyala di dalamnya.

"Aku harus menggunakan waktu ini dengan baik," gumamnya, suaranya bergetar. "Aku harus membuat konten yang bisa menginspirasi orang lain. Aku harus meninggalkan warisan yang berarti."

Mikael membuka aplikasi TikTok di ponselnya. Jari-jarinya gemetar saat mengetikkan kata-kata yang terlintas di benaknya.

"The Last December," tulisnya, matanya berkaca-kaca.

Mikael menghela napas, mencoba menenangkan diri. Dia tahu ini akan menjadi perjalanan yang sulit, tetapi dia bertekad untuk menyelesaikannya. Dia akan berbagi cerita dan pengalamannya, dia akan menginspirasi orang lain, dia akan meninggalkan warisan yang akan dikenang.

"Ini adalah Desember terakhirku," gumamnya, suaranya penuh tekad. "Tapi, ini juga akan menjadi Desember yang paling berkesan."

Mikael menatap layar ponselnya, matanya berbinar-binar dengan semangat baru. Dia akan menggunakan platform TikTok-nya untuk berbagi cerita dan pengalamannya, untuk menginspirasi orang lain, untuk meninggalkan warisan yang berarti. Dia akan membuat konten yang akan dikenang, konten yang akan menginspirasi dunia.

Hujan mengguyur kota Paris dengan deras, setiap tetesnya menari-nari di atas atap-atap bangunan tua. Mikael berdiri di tepi Sungai Seine, matanya menatap air yang mengalir deras, membawa serta kenangan yang terukir dalam hatinya.

"Paris," gumamnya, senyum tipis terukir di bibirnya. "Ini adalah mimpi yang menjadi kenyataan."

Mikael menarik napas dalam-dalam, menghirup udara dingin yang bercampur dengan aroma hujan. Tiga bulan yang lalu, dia hanya terbaring lemah di ranjang rumah sakit, dihantui rasa takut dan ketidakpastian. Tetapi, sekarang, dia berdiri di Paris, kota impiannya, dengan hati yang penuh syukur dan semangat yang membara.

"Terima kasih," bisiknya, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih kepada semua orang yang telah mendukungku, yang telah mendoakanku, yang telah membuat impianku menjadi kenyataan."

Mikael teringat pada semua orang yang telah hadir dalam hidupnya, orang-orang yang telah menemaninya melewati masa-masa sulit, orang-orang yang telah memberinya kekuatan untuk terus berjuang. Dia teringat pada Ibunya, yang selalu ada disisinya, yang selalu menemaninya dengan kasih sayang dan doa. Dia teringat pada Ayahnya, yang selalu memberinya semangat dan dukungan. Dia teringat pada teman-temannya, yang selalu setia menemaninya dalam suka dan duka.

"Dan, terima kasih kepada semua orang yang telah memberikan donasi," lanjutnya, suaranya bergetar. "Kalian telah membuat impianku menjadi kenyataan. Kalian telah memberikan kesempatan untuk berkeliling dunia, untuk mewujudkan mimpi-mimpiku."

Mikael mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Dia teringat pada saat dia memutuskan untuk menggunakan uang donasi untuk berkeliling dunia. Dia tahu bahwa banyak orang yang tidak setuju dengan keputusannya, tetapi dia yakin bahwa ini adalah cara terbaik untuk memanfaatkan sisa waktu yang dia miliki.

"Aku ingin merasakan indahnya dunia ini," gumamnya, matanya berbinar-binar. "Aku ingin merasakan kehangatan matahari di kulitku, merasakan dinginnya angin di wajahku, merasakan keindahan alam yang terbentang luas di depanku."

Mikael berjalan menyusuri tepi Sungai Seine, matanya menangkap keindahan kota Paris yang terpancar di bawah guyuran hujan. Dia teringat pada semua tempat yang telah dia kunjungi, semua pengalaman yang telah dia rasakan. Dia telah merasakan kehangatan matahari di pantai Bali, merasakan dinginnya angin di pegunungan Swiss, merasakan keindahan alam di hutan Amazon.

"Aku bersyukur," bisiknya, matanya tertuju pada langit yang mendung. "Aku bersyukur atas semua kesempatan yang telah diberikan kepadaku."

Mikael menghentikan langkahnya, matanya menatap langit yang mendung. Hujan semakin deras, setiap tetesnya menari-nari di atas permukaan air. Mikael tersenyum, matanya berbinar-binar.

"Aku ingin merasakan hujan ini," gumamnya, suaranya penuh semangat.

Mikael membuka payungnya, kemudian melemparkannya ke tanah. Dia tertawa, matanya berbinar-binar, dan mulai menari-nari di bawah derasnya hujan. Dia berputar-putar, tangannya terangkat ke udara, merasakan setiap tetes hujan yang membasahi tubuhnya.

"Ini menyenangkan," teriaknya, suaranya bercampur dengan suara hujan. "Aku senang bisa merasakan hujan ini."

Mikael terus menari-nari di bawah hujan, hatinya dipenuhi rasa syukur dan kebahagiaan. Dia merasakan kebebasan, merasakan kebahagiaan, merasakan hidup.

"Aku bersyukur," bisiknya, matanya tertuju pada langit yang mendung. "Aku bersyukur atas semua kesempatan yang telah diberikan kepada saya."

Mikael terus menari-nari di bawah hujan, sampai akhirnya dia merasa lelah. Dia duduk di tepi Sungai Seine, matanya menatap air yang mengalir deras. Dia merasakan embun dingin membasahi kulitnya, tetapi dia tidak merasa kedinginan. Dia merasakan kehangatan, kehangatan yang berasal dari dalam hatinya.

"Terima kasih," bisiknya, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih kepada semua orang yang telah mendukungku, yang telah mendoakanku, yang telah membuat impianku menjadi kenyataan."

Mikael tersenyum, matanya berbinar-binar. Dia tahu bahwa sisa waktu yang dia miliki tidak banyak, tetapi dia akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Dia akan terus berjuang, terus menginspirasi, terus berbagi cerita dan pengalamannya dengan dunia.

Keadaan Mikael semakin memburuk. Setelah menghabiskan malam tahun baru di tengah keramaian Times Square, tubuhnya terasa lemas dan demam merayap ke seluruh tubuhnya. Dia merasakan sesak napas dan nyeri di bagian dada.

"Aku tidak merasa sehat," gumamnya, tangannya gemetar saat meraih gelas air di meja.

Mikael mencoba mengabaikan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya. Dia masih punya banyak hal yang ingin dilakukan, masih banyak mimpi yang ingin dia wujudkan. Dia ingin terus berbagi cerita dan pengalamannya, terus menginspirasi orang lain.

"Aku harus tetap kuat," gumamnya, matanya berkaca-kaca. "Aku harus terus berjuang."

Mikael membuka aplikasi TikTok-nya, jari-jarinya gemetar saat mengetikkan kata-kata yang terlintas di benaknya.

"Halo semuanya," sapa Mikael, suaranya terdengar lemah. "Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian semua, yang telah mendukungku, yang telah mendoakanku, yang telah membuat impianku menjadi kenyataan."

Mikael menghela napas, matanya berkaca-kaca. Dia tahu bahwa ini adalah perpisahan, perpisahan yang tidak dia harapkan.

"Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bersama kalian," lanjutnya, suaranya bergetar. "Tetapi, aku ingin kalian tahu bahwa aku sangat mencintai kalian semua."

Mikael mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Dia teringat pada semua orang yang telah hadir dalam hidupnya, orang-orang yang telah menemaninya melewati masa-masa sulit, orang-orang yang telah memberinya kekuatan untuk terus berjuang.

"Aku bersyukur atas semua kesempatan yang telah diberikan kepadaku," lanjutnya, suaranya bergetar. "Aku bersyukur atas semua cinta dan dukungan yang telah kalian berikan, yang sangat berarti!"

Mikael menutup video tersebut, matanya berkaca-kaca. Dia merasakan tubuhnya semakin lemas, rasa sakit semakin menusuk, dan napasnya semakin tersengal-sengal.

"Aku harus ke rumah sakit," gumamnya, suaranya lemah.

Mikael bergegas menuju rumah sakit, ditemani oleh Ibunya. Dia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, dihantui rasa takut dan ketidakpastian.

"Mikael," panggil Dokter Rini, dokter yang menangani penyakit kankernya. "Saya ingin melakukan pemeriksaan ulang."

Mikael mengangguk lemah, matanya menatap langit-langit ruangan. Dia merasa lelah, dia merasa putus asa.

"Hasilnya akan keluar besok," ujar Dokter Rini, suaranya lembut. "Kamu harus tetap tenang dan beristirahat."

Mikael terbaring di ranjang rumah sakit, matanya terpejam. Dia merasakan tubuhnya semakin lemas, rasa sakit semakin menusuk, dan napasnya semakin tersengal-sengal.

"Aku harus kuat," gumamnya, matanya terpejam. "Aku harus terus berjuang."

Keesokan harinya, Dokter Rini kembali mengunjungi Mikael. Wajahnya terlihat serius, tetapi ada setitik cahaya harapan yang terpancar dari matanya.

"Mikael," panggil Dokter Rini, suaranya terdengar lembut. "Aku punya kabar baik."

Mikael membuka matanya, matanya menatap Dokter Rini dengan penuh harap.

"Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kamu tidak mengidap kanker," ujar Dokter Rini, suaranya bergetar. "Kamu hanya mengalami penyakit influenza."

Mikael terdiam, matanya terbelalak, mulutnya ternganga. Dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

"Ini... ini mustahil," gumamnya, suaranya gemetar. "Aku... aku merasa sangat sakit."

"Ternyata selama ini mesin scanning elektron mengalami error sistem," jelas Dokter Rini. "Dan, kamu hanya mengalami influenza."

Mikael merasakan air mata mengalir di pipinya. Dia merasa lega, dia merasa bahagia, dia merasa seperti baru terlahir kembali.

"Terima kasih, Dokter," bisiknya, suaranya bergetar. "Terima kasih telah menyelamatkan hidupku."

Mikael bangkit dari ranjang, matanya berbinar-binar. Dia merasa seperti baru terlahir kembali, dia merasa seperti mendapat kesempatan kedua untuk hidup.

"Aku akan menggunakan waktu ini dengan baik," gumamnya, suaranya penuh tekad. "Aku akan terus berjuang, terus menginspirasi, terus berbagi cerita dan pengalamanku dengan dunia."

Mikael kembali ke hadapan penonton setianya, matanya berbinar-binar. Dia menceritakan pengalamannya, tentang rasa takut, ketidakpastian, dan harapan.

"Waktu yang tersisa haruslah digunakan sebaik mungkin," ujar Mikael, suaranya penuh semangat. "Jangan pernah menyerah pada mimpi, jangan pernah menyerah pada harapan."

Mikael tersenyum, matanya berbinar-binar. Dia merasa bahagia, dia merasa bersyukur, dia merasa seperti baru terlahir kembali.

"Terima kasih," bisiknya, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih kepada semua orang yang telah mendukungku, yang telah mendoakanku, yang telah membuat impianku menjadi kenyataan."

Mikael menutup video tersebut, matanya berkaca-kaca. Dia merasa bahagia, dia merasa bersyukur, dia merasa seperti baru terlahir kembali.

"The Last December," gumamnya, suaranya penuh tekad. "Ini akan menjadi Desember yang paling berkesan."

The End

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top